Mania Cinema

Cleo from 5 to 7: Melihat Cermin Feminitas yang Telah Surut

Wanita selalu peduli dengan kecantikan, selalu ditekan dengan standar kecantikan yang selalu berubah selama beberapa dekade. Usaha wanita untuk selalu bisa terlihat cantik pun terkadang justru menimbulkan keraguan diri pada wanita itu sendiri. Lantas bagaimana sikap wanita terhadap hal ini? Dalam film Cleo from 5 to 7 (1965) kita diajak melihat ke dalam diri Cleo (Corinne Marchand), bagaimana ia selalu berkutat dan selalu gelisah tentang penampilannya sebagai seorang penyanyi.

Dalam film ini kita diajak mengikuti Cleo menghabiskan sore harinya berjalan-jalan menyusuri Paris, menunggu kabar tentang pemeriksaan medis yang belum lama ini ia terima. Seiring perjalanan Cleo dalam beberapa jam itu, ia bertemu dengan beberapa orang. Dalam percakapannya dengan beberapa karakter tersebut, Cleo mendapatkan wawasan dan berbagai cara berpikir mengenai kecantikan yang memudar ini. Hal pertama yang terlihat dari film Cleo from 5 to 7 oleh Agnes Varda adalah betapa indahnya film ini. Adegan pertama yang menampilkan Cleo dengan refleksi cermin dirinya adalah adegan favorit saya.

Cleo mencintai sosoknya yang muda dan cantik dan dia selalu melihat bayangannya di cermin. Pandangan apa yang dapat diambil dari tindakan karakter utama ini? Kesombongan Cleo terletak pada kecantikannya yang memudar, dan ia membenci dirinya sendiri. Cermin dalam film ini merupakan simbol terhadap pergulatan feminitas seorang wanita. Pergulatan Cleo ketika melihat sosok cantiknya di sebuah cermin dan pergulatannya ketika melihat kecantikannya yang perlahan menghilang merupakan hal yang sangat menarik, menurut saya. Melihat refleksi diri di cermin terlalu sering adalah melihat cacat dalam diri sendiri. Semakin kita menatap cerminan diri kita di cermin, semakin banyak hal yang akan kita kritik terhadap diri kita sendiri. Ketika Cleo berhenti melihat cermin, memulai pertemuan baru, dan berbicara dengan orang-orang selama beberapa jam, ia mulai melupakan sedikit kekurangannya.

Melihat Lebih Jauh dari Cermin

Bagaimana Cleo mulai menyadarkan diri, dan mulai melepaskan beban akan kecantikannya ini menjadi menarik diamati. Pandangan terhadap wanita dan tekanan untuk berpenampilan sesuai dengan standar di masyarakat pada saat itu juga sangat menarik diteliti. Menempatkan wanita di pusat narasi film-filmnya dan pada investigasi dokumenternya adalah pilihan yang jelas bagi Agnes Varda, karena menyatakan minat dan keinginannya sendiri untuk mengeksplorasi petualangan dan pengalaman wanita. Namun, pada akhir 1950-an dan sepanjang 1960-an, ini merupakan pilihan radikal yang memiliki konsekuensi politik. Karena sebagian besar film yang diproduksi selama periode itu memiliki protagonis laki-laki dan mengekspresikan pandangan dunia patriarkal (Neroni, 2016). Sehingga pergerakan yang dilakukan oleh Agnes Varda ini menjadi suatu hal yang cukup berpengaruh pada masa itu, mengingat Agnes Varda sudah berani melawan arus patriarkial dan menempatkan feminitas pada masa itu.

Suatu hal yang patut untuk diapresiasi, ketika seorang wanita dan kepercayaan diri mereka dimunculkan dalam sebuah film dan bagaimana mereka seharusnya bahagia dengan tubuh mereka untuk mereka sendiri daripada hidup dan tubuh mereka hanya digunakan untuk menyenangkan mata orang lain. Varda menunjukkan keindahan wanita, dan hal tersebut sangat indah karena ditampilkan dari tatapan wanita, lagi keindahan tersebut ditampilkan sebagai sebuah pilihan dari wanita itu sendiri. Female Gaze muncul pada sebuah adegan di mana seorang wanita sedang ditunjukkan melakukan pekerjaan sebagai model seni patung. Meski pada adegan tersebut menunjukkan ketelanjangan, hal tersebut tidak ditunjukkan dengan tujuan untuk menjadikan wanita tersebut sebagai objek seksual, melainkan sebagai sebuah bentuk pekerjaan normal yang memang ditekuni oleh wanita itu sendiri. Pada adegan tersebut saat Cleo menanyakan tentang perasaan Dorothée (Dorothee Blank) mengenai pekerjaanya sebagai model, Dorothée menjawab, “My body makes me happy. Not proud. They’re looking at more than just me. A shape, an idea..,” Pendapat tersebut senada dengan Neroni (2016: 118) yang menjabarkan sebagai berikut: “Varda frames Dorothée’s body in a way that emphasizes her nakedness as a mode of gesture, as an expression of subjectivity, rather than as a mode of turning the female body into an object.”

Mazur (1986:282) dalam jurnalnya menjabarkan perihal mengapa perempuan lebih tertekan oleh standar kecantikan di masyarakat, dan menuturkan wanita mengalami tekanan lebih daripada pria untuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang ideal. Hal ini  karena mereka dengan cepat belajar bahwa peluang sosial dalam kehidupan mereka dipengaruhi oleh kecantikan mereka, dan rasa kecantikan (atau kekurangannya) menjadi aspek penting dari konsep diri seorang wanita muda. Sehingga dapat dipahami bahwa memang pada dasarnya wanita yang berjuang untuk menaikkan derajat mereka sebagai manusia sosial seringkali diharuskan untuk terlihat sedemikian rupa akibat tekanan dari masyarakat dan paradigma-paradigma baru yang telah dipengaruhi oleh media massa.

Dalam Cleo from 5 to 7, Cleo pun merasakan tekanan dari orang di sekitarnya yang mengharuskan ia memeluk kecantikannya. Tekanan datang dari kekasihnya yang melarang Cleo memikirkan penyakitnya, “You’re strong. Your beauty is your health,” tutur kekasihnya. Pandangan masyarakat terhadap ‘kecantikan’ sering kali terkait erat dengan hal-hal biologis. Ideologi kecantikan wanita menunjukkan bahwa wanita yang beruntung adalah wanita yang terlahir cantik, dan orang-orang yang kurang beruntung ialah yang tidak cantik. Di awal film, Cleo ditampilkan dengan parasnya yang cantik natural dengan mengenakan pakaian penuh gaya berpola polkadot yang membuatnya tampak muda nan cerah, dan tatanan rambut dramatis yang tampak sehat mengembang dan rapi. Namun sosok asli Cleo ditunjukkan di sekitar pertengahan film, yang menyajikan bahwa kecantikan Cleo adalah sebuah rekayasa alih-alih natural yang menampilkan Cleo dengan pakaian polos berwarna hitam dan gaya rambut lurus yang simpel. Perkembangan media massa yang terus melaju pesat akan selalu mempengaruhi tren-tren kecantikan baru, dan hal ini seharusnya menjadi sebuah “wake up call” bagi kita bahwasannya tidak ada gunanya mengikuti tren yang akan terus berubah dari tahun ke tahun.

 Relevansi dan Wacana akan Standar Kecantikan

Sebuah argumen menarik terkait Cleo dan kecintaannya terhadap dirinya sendiri dapat diamati dari buku yang ditulis oleh Neroni (2016), bahwa film ini tentang seorang wanita yang tampaknya menikmati dan mewujudkan feminitasnya sebagai objek. Film ini menyelidiki hubungan antara kecantikan (Cleo) sebagai komoditas, penikmatan atas kecantikan (Cleo), kenikmatannya mengonsumsi produk yang menandakan feminitas, dan kecemasannya atas kemungkinan diagnosis kanker. Argumen tersebut dapat terlihat benar jika kita menonton Cleo from 5 to 7 hanya pada tingkat permukaan. Namun, Cleo from 5 to 7 memberikan sugesti makna potensial yang muncul dari perkembangan karakter Cleo dalam perjalannya menghabiskan waktu dari pukul 5 hingga pukul 7 tersebut. Potensi film ini untuk menimbulkan sebuah percakapan atau diskusi tentang feminisme merupakan suatu hal yang hingga saat ini masih sangat relevan dan dapat diapresiasi.

“Melalui kamera dan cara Varda melakukan editing pada film ini, kita sadar bahwa, jika Cleo mati, Paris akan terus berlanjut tanpa dia, jalanan masih dibersihkan saat fajar, meja-meja bistro tetap dibersihkan dan diatur ulang, merpati bertengger, para pecinta berjalan, taksi berdesak-desakan satu sama lain,” (Kevin Hagopian untuk New York State Writers Institute). Melalui mata Cleo, kita melihat bahwa tidak peduli apa, kita pasti akan menua, dan kematian tidak dapat dihindari. Hidup adalah sebuah perjalanan dan kita harus melepaskan diri kepada apa yang akan datang untuk kita, menerima kekurangan kita, dan menjalani hidup untuk kita sendiri. Karena tanpa kita pun, dunia dan kehidupan orang lain akan terus berlanjut tanpa memedulikan kita.

“Beauty is pain,” kata orang-orang. Tapi apakah itu benar? Memang benar jika kamu membiarkan kalimat itu mengontrol dirimu. Standar kecantikan dalam masyarakat telah mempengaruhi bagaimana perempuan harus terlihat diinginkan, agar dapat diterima di masyarakat. Standar kecantikan yang ditargetkan pada wanita akan terus berubah, misalnya pada bagaimana bentuk badan seorang wanita terus berubah tiap dekade, mengikuti perkembangan zaman. Menurut artikel berjudul Beauty Standrads: See  How Body Types Change Through History,  mulai dari masa Victoria Inggris (c. 1837 – 1901), pada periode waktu ini menampilkan wanita cantik sebagai Desirably Plump, Full-figured, dan Cinched-waist. Pada sekitar tahun 1990-an, pada masa ‘Heroin Chic’ menunjukkan tipe tubuh ideal: Waifish (kurang terurus), sangat kurus, Translucent Skin dan Androgynous. Kini standar kecantikan atau ‘Kecantikan Postmodern’ (c. 2000 – hari ini) meliputi: perut rata, kurus yang tampak ‘sehat’, payudara dan pantat yang besar, serta Thigh-gap. Perempuan ditekan dengan paradigma-paradigma yang tidak realistis, seperti bagaimana wanita umumnya diharapkan untuk memiliki proporsi tubuh layaknya model Victoria Secret’s.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, film Cleo from 5 to 7 masih relevan untuk ditonton meskipun film ini telah berumur 58 tahun. Diskursus tentang feminisme pada zaman itu dapat diamati dan dapat digunakan sebagai perbandingan pada masa kini, dapat diamati bahwa beberapa permasalahan pada masa itu masih relevan hingga saat ini.

Cleo from 5 to 7 | 1962 Sutradara : Agnes Varda | Pemeran : Corinne Marchand, Antoine Bourseiller | Negara Asal : Perancis |Durasi : 90 Menit | Produksi : Cine-tamaris, Rome Paris Film

 

Seorang average movie enjoyer dan Mahasiswa S2 UNAIR yang selalu memiliki passion dalam bidang kebahasaan. Acap kali menulis esai singkat di platform medium dan google site pribadinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top