Mania Cinema

Summer of Soul: Kawanku, Revolusi Segera Dimulai!

Pada 1969, Gil-Scott Heron sedang menulis puisi dengan judul “The Revolution Will Not Be Televised” di kamar asramanya sambil menonton pertandingan bisbol di televisi. Setahun kemudian, puisinya direkam dengan iringan perkusi bongo dan conga. Lalu direkam ulang lewat iringan musik band penuh pada setahun berikutnya. “The Revolution Will Not Be Televised” sendiri adalah sebuah sajak perjuangan afro-amerika di bawah opresi berlapis komersialisasi media dan revolusi.

1969 merupakan tahun yang monumental, khususnya di skena musik. Led Zeppelin mengeluarkan dua album berpengaruh untuk aliran musik rock dengan Led Zeppelin dan Led Zeppelin II. Konser terakhir The Beatles yang dihelat di atap bangunan, festival musik Woodstrock digelar dan dicatat sebagai salah satu festival musik berpengaruh pada saat itu. Selain itu, ada satu festival musik yang sangat berpengaruh pada lapisan masyarakat Afro-Amerika, yang sayangnya telah “dilupakan” oleh khalayak umum. Festival musik itu bernama Harlem Cultural Festival.

Penggebuk drum grup hip-hop The Roots, Ahmir “Questlove” Thompson menilik kembali mengenai nilai sejarah dan budaya Harlem Cultural Festival pada dokumenter Summer of Soul (..Or, When The Revolution Could Not Be Televised). Harlem Cultural Festival sendiri merupakan festival musik yang merayakan keragaman pada musik Afro-Amerika berlatar di Harlem­ – salah satu titik kumpul komunitas Afro-Amerika di New York. Questlove menilik kembali dengan menghadirkan rekaman arsip, pengunjung festival, musisi yang bermain di festival, serta figur yang relevan pada budaya Afro-Amerika.

Dokumenter ini menghadirkan pergelaran musik konser sebagai sajian utamanya. Tak hanya itu, ia juga membahas konteks tentang bagaimana pergelaran festival musik menjadi suatu medium sebagai musisi untuk mengekspresikan bentuk perlawanannya. Selain membahas tentang memanfaatkan panggung musik sebagai media perlawanan, film ini juga membahas tentang jargon “The Revolution Will Not Be Televised” milik Gil Scott-Heron. Jargon tersebut bercerita tentang keberpihakan media saat itu yang mengakibatkan arsip film ini dilupakan, bahkan ‘hilang’.

Melawan lewat Panggung Harlem

Kultur musik Afro-Amerika tidak bisa lepas dengan semangat perlawanan terhadap relasi kuasa ras. Dari salah satu kultur musik Afro-Amerika tertua, yaitu Jazz, sampai turunannya yang lebih kontemporer seperti musik Rap. Aktivisme musik Jazz bisa dikenang dari lagu Billie Holiday, Strange Fruit yang bercerita tentang dua pria Afro-Amerika digantung tanpa diadili terlebih dahulu. Cerita ini menginspirasi Abel Meeropol untuk menuliskan puisi dengan judul yang sama dan dipopulerkan lagunya oleh Billie Holiday. Ketika lagu itu rilis, banyak radio yang memutuskan untuk tidak memutarkan lagu tersebut karena muatan rasisme yang kuat saat itu.

Selain Jazz, musik Rap juga ikut turut merayakan perlawanan lewat lirik-lirik Rap tersebut. Musisi Rap acapkali mengkritik sistem kepolisian yang cenderung rasis kepada komunitas  Afrika-Amerika. Contohnya bisa diambil dari lagu milik Kendrick Lamar yang berjudul Alright. Lagu ini dirilis pada 2015 yang menceritkan tentang bagaimana kebrutalan polisi dalam menangani komunitas Afro-Amerika. “..and we hate po-po, Wanna kill us dead in the street fo sho,” ucap Lamar dalam salah satu penggalan lirik Rap-nya.

Panggung Harlem Cultural Festival sebenarnya memiliki semangat yang sama dalam mengamplifikasi semangat perlawanan komunitas Afro-Amerika. Dijelaskan dalam film, bahwasannya niatan awal dari Tony Lawrence selaku inisiator awal festival tersebut, bukanlah sebagai panggung perlawanan, melainkan sebagai tempat eskapis bagi para warga Harlem.  Dekade 1960 bukanlah waktu yang sempurna bagi masyarakat Amerika Serikat, khususnya masyarakat Afro-Amerika. Dekade ini diisi oleh hiruk-pikuk kejadian yang meneror dan menekan masyarakat Afro-Amerika.

Masyarakat Afro-Amerika masih memperjuangkan haknya di tengah pergerakan hak sipil setelah kejadian bus yang dilakukan oleh Rosa Parks di 1955. Aktivis kemanusiaan seperti Malcolm X dan Martin Luther King yang dengan vokal membela hak perjuangan untuk  Afro-Amerika sayangnya tewas ditembak di dekade yang sedang panas-panasnya memperjuangkan hak sipil Afro-Amerika itu. Belum lagi di Harlem adalah pusat masyarakat Afro-Amerika pada saat itu yang dinilai ‘kumuh’ dan ‘berbahaya’. Hal ini salah satunya ditunjukan oleh  kerusuhan Harlem 1968 atas tewasnya Martin Luther King. Harlem saat itu terjadi kerusuhan karena dipicu oleh tewasnya Martin Luther King.

Maka dari itu, Tony Lawrence selaku promotor Harlem Cultural Festival menginisiasi sebuah panggung hiburan sebagai eskapis di tengah hiruk-pikuk sosio-politik masyarakat Afro-Amerika di pengujung dekade 1960.  Selain sebagai titik temu masyarakat Afro-Amerika, pemilihan Harlem sebagai tempat perheletan di festival juga dipertimbangkan karena setahun sebelumnya, tempat ini menjadi titik lokasi kerusuhan atas kematian Martin Luther King yang ditembak semalam sebelum kerusuhan. Karena hal tersebutlah Tony Lawrence berusaha meredam suhu politik tersebut dengan hiburan yang bersifat eskapis.

Musisi yang hadir di festival itu hampir semuanya merupakan musisi Afro-Amerika yang berkutat pada sekitaran genre Jazz, RnB, Soul, dan juga Gospel. Musisi yang hadir di festival tersebut ialah legenda ataupun calon legenda dalam skena musik Afro-Amerika seperti Stevie Wonder, Sly & The Family Stone, Nina Simone, Mahalia Jackson, B.B King dan lain-lain.

Kendatipun niatan awal Tony Lawrence memprakarsai Harlem Cultural Festival sebagai sarana eskapis masyarakat Harlem, hal ini tidak memberhentikan para musisi Afrika-Amerika untuk menyuarakan suara perjuangan. Hal ini bisa dilihat ketika Mahalia Jackson dan Mavis Staple menyanyikan lagu Precious Lord, Take My Hand. Lagu tersebut adalah kesukaan dari Martin Luther King dan merupakan permintaan terakhir beliau sebelum saat hendak ditembak pada setahun sebelumnya di Hotel Lorraine, Mempis. Mahalia Jackson dan Mavis Staples tentu mendidikasikan lagu tersebut ke mendiang Martin Luther King atas jasa dan aktivismenya di pergerakan sipil masyarakat Afro-Amerika. Lagu tersebut diiringi oleh rangkaian musik latar minimalis; gitar elektrik dan organ piano dan disambut oleh suara dari Mavis Staple dan diikuti oleh lengkingan dahsyat dari Mahalia Jackson. Penampilan itu mengingatkan kendati Martin Luther King telah tiada, tapi semangat ruhnya menyublim kepada pewarisnya, khususnya pada Mavis Staple, Mahalia Jackson serta band pengiringnya di kala itu.

Nina Simone juga berkesempatan hadir dalam mengisi perhelatan festival. Ia mengenakan gaun terusan bewarna kuning bercorak dan rambutnya dililit ke atas membentuk seperti corong. Bisa dibilang, Nina tampil menawan dan penuh gaya dalam penampilan tersebut. Salah satu pengunjung bahkan mengatakan bahwa ia rela menyeberangi jalanan berair demi Nina Simone, “Ia terlihat seperti putri dari Afrika,” sebut pengunjung itu.

Nina membuka rangkaian pertunjukan dengan lagu Backlash Blues yang dibawakan lebih energik dalam tempo dan aransemen yang lebih meriah ketimbang versi albumnya. Backlash Blues bercerita tentang opresi masyarakat Afro-Amerika dari masyarakat kulit putih. Simone menggunakan alegori Mr. Backlash dalam menggambarkan figur dari masyarakat kulih putih yang mengopresi. “You give me second class houses, second class schools, I know you think that all colored people are just second class fools,” nyanyi Simone dalam lagunya.

Denise Oliver-Velez, seorang profesor dan aktivis Afrika-Amerika menyatakan dalam sebuah wawancara di film bahwa Nina Simone dengan lihai menceritakan pengalamannya sebagai perempuan Afro-Amerika dan menembus batas zaman di saat itu. Kehadiran Nina Simone di panggung ini bisa dinilai cukup penting untuk menyuarakan aktivisme perempuan Afro-Amerika dan memberi harapan untuk perempuan Afro-Amerika dalam menggapai mimpinya. Hal ini diperjelas saat salah satu narasumber, Charlayne Hunter-Gault menceritakan pengalamannya bersama temannya ketika masuk kuliah di Universitas Georgia. Hunter-Gault dan temannya, Hamilton Holmes adalah dua orang Afro-Amerika pertama yang masuk ke universitas dalam akhir masa segregasi sosial.

Hunter-Gault ingin sekali jadi seorang wartawan, ia menjalani mimpinya dengan jalan penuh liku. Saat ia memasuki kamar asrama, hanya dia lah orang Afro-Amerika. Ia bercerita bahwa saat di asrama, ia tinggal di lantai pertama, sedangkan mahasiswi lainnya ada di lantai kedua. Mahasiswi lantai kedua menggangu Hunter-Gault dengan menghentakkan kaki mereka ke lantai agar Hunter-Gault terganggu akan hal tersebut. Hunter-Gult malah menanggapinya dengan santai, ketika ia mendengar hentakan tersebut, ia coba halau dengan memutar rekaman musik Nina Simone dengan keras-keras. Ia merasa bahwa apa yang disuarakan oleh Nina Simone di dalam lagunya sama dengan apa yang ia rasakan saat itu.  Penampilan Nina Simone ditutup dengan pembacaan puisi Are You Ready? Karangan David Nelson dengan aransemen musik perkusi yang lebih terdengar seperti pernyataan genderang perang terhadap opresi sitemik masyarakat Afrika-Amerika.

Mengamini Kembali Perkataan Gil Scott-Heron

Judul alternatif film ini adalah When The Revolution Could Not Be Televised yang merupakan rujukan dari puisi karangan Gil Scott-Heron. Umumnya, puisi ini mengisyarakatkan bahwa  revolusi takkan pernah bisa mengalahkan komersialisasi produk-produk televisi demi mengejar angka dan rating. Maka dari itu, hemat dari Scott Heron, Revolusi takkan pernah ditayangkan di televisi, jika ingin melihat bagaimana revolusi itu terjadi, kita harus turun ke jalan dan saling mengepalkan tangan menuntut keadilan.

Questlove sepertinya jeli dalam menggambarkan ruh puisi tersebut ke dalam film. Pasalnya, komersialisasi media terhadap rating ketimbang tontonan penuh dengan substansi hadir saat Harlem Cultural Festival berlangsung, tepatnya pada Juli 1969, Apollo 11 menjalankan misi dan berhasil mendarat di Bulan. Belum lagi pergelaran festival legendaris Woodstock yang dihelat pada tahun yang sama membuat festival ini semakin terkubur oleh waktu.

Minimnya pemberitaan media televisi atau cetak mengenai perhelatan festival tersebut menjadi salah satu pemicu mengapa festival ini dilupakan. Hal Tulchin, sutradara yang merekam festival tersebut menceritakan kesulitannya dalam menjual film konser itu. Salah satu penyebab mengapa film konser ini susah dijual adalah bentrok dengan jadwal festival musik Woodstock. Hal Tulchin bahkan sampai melabeli film tersebut dengan julukan Black Woodstock agar menyamai festival musik Woodstrock, tapi, hal tersebut seakan sia-sia. “Sepertinya tidak ada yang ingin menonton festival musik Afro-Amerika,” ucap Hal Tulchin di film.

Minimnya sorotan atas capaian masyarakat Afro-Amerika, khususnya di bidang musik mau tidak mau semakin memicu upaya “penghapusan” sejarah. Harlem Cultural Festival jika dibandingkan dengan festival lainnya seperti Woodstock, memiliki daya tawar yang berbeda dan unik. Harlem Cultural Festival bukan hanya soal perayaan keberagaman atas kekayaan musik yang dimiliki oleh masyarakat Afro-Amerika, tapi juga atas perlawanan opresi sistemik dari ketidakadilan rasial. Harlem Cultural Festival mengingatkan bahwa perlawanan tidak hanya berupa demonstrasi di jalanan, tapi juga bisa menyuarakan protes tersebut di bentuk panggung-panggung lewat lirik-lirik dan aksi panggung oleh musisi yang disebut sebelumnya.

Di suatu wawancara, dua produser film ini menceritakan mengapa rekaman konser festival ini dilupakan. Robert Fyvolent dan Joseph Patel menceritakan bahwasannya rekaman konser festival ini dilupakan karena sikap naif Hal Tulchin saat itu. Tulchin menganggap bahwasannya, rekaman konser tersebut akan terjual di tiga stasiun televisi. Ternyata hal itu tidak mudah terjual karena keberpihakan media saat itu cukup rasis. Fyvolent mengatakan dalam wawancara bahwa ia rasa stasiun televisi saat itu takut akan kehadiran komunitas Afro-Amerika yang sebanyak itu.

Salah satu klip berita CBS yang muncul di film, namun tidak saat siaran langsung adalah ketika seorang pengunjung festival yang menyatakan bahwa pendaratan manusia di Bulan itu akan sia-sia jika negara membiarkan rakyatnya, khususnya di Harlem menderita kelaparan. Keberpihakan media televisi yang cukup rasis saat itu menjadi salah satu penyebab umum mengapa festival ini dilupakan .

Keberpihakan media televisi di kala itu sangat memengaruhi bagaimana publik memandang festival tersebut. Tidak hanya festival tersebut, namun juga masyarakat Afro-Amerika. Sampai sekarang pun, media konvensional seperti televisi akan berpihak ke rating dan angka ketimbang konten penuh substansi. Jadi, jika ingin mengalami revolusi, lakukan dengan caramu sendiri. Entah itu dengan menggelar festival musik, demonstrasi di jalan atau membuat utas panjang di Twitter. Apapaun itu, jawabannya tidak ada di televisi

Summer of Soul (..Or, When the Revolution Could Not Be Televised)| 2021| Sutradara : Ahmir “Questlove” Thompson | Negara Asal : Amerika Serikat | Durasi : 118 Menit | Produksi : Searchlight Pictures

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top