Merasakan Kedekatan Hidup dalam Cerita Biasa dari Desa
Cerita Biasa dari Desa adalah dokumenter tentang pertanian yang mencoba menghadirkan nafas jeda agar tidak semua dokumenter pertanian di Indonesia serupa: merekam perjuangan kelas dan konflik agraria. Rio Dewanto pernah menjadi penyampai pesan para petani dalam dokumenternya sendiri tentang kasus Mekar Jaya di Sumatera Utara, atau film-film Watchdoc yang mengusut tersingkirnya gerakan petani di penjuru Indonesia. Mereka yang tertarik pada isu ini mestinya memahami bahwa perjuangan kelas atau lahan tentu penting, namun ada pula poin mendasar yang mungkin terlupakan: bahwa pertanian juga merupakan mata pencaharian.
Film ini mengikuti sekelumit kisah Agnang Takbir Ginanjar, seorang petani muda di pelosok Sragen. Ia sendiri hanyalah petani biasa. Ia bukan tetua adat atau aktor intelektual dari serikat petani yang mampu menjabarkan sejarah atau teori. Ia hanya belajar menanam melon dan mengusir hama dari lahannya. Toh dalam film, ia diceritakan terus menerus belajar: mendengar nasihat saudara, memburu hama tikus dengan senapan, bahkan memisuhi nasib buruk tanamannya sendiri.
Agnang juga tidak berada pada situasi konflik lahan melawan negara atau perusahaan. Ia tidak dihadirkan sebagai pahlawan pangan yang kegiatan pertaniannya perlu dilindungi. Agnang tidak memiliki filosofi tertentu untuk menanam sebagaimana yang dokumenter lain lakukan ketika merekam masyarakat adat: bahwa alasan utamanya menanam melon adalah untuk mendapatkan keuntungan, begitu pula keputusannya mengirim buah ke Bandung bukannya di pasar lokal. Ada keluarga yang mesti ia hidupi, ada adik perempuan yang butuh uang tambahan untuk kuliah kedokteran.
Alih-alih heroik a la Rio Dewanto atau memiliki tendensi ambisius sebagaimana Watchdoc lakukan, Cerita Biasa dari Desa benar-benar lugas: Pembuat filmnya hanya merekam kehidupan sehari-hari subjeknya tanpa mengeksplorasi tujuan besar yang ingin dicapai. Kekhawatiran yang dialami Agnang bisa dinikmati sepanjang mata melihat hingga layarnya habis, membuat kita merenung dan memberi bekas empati dalam hati. Sebaliknya, heroik dan ambisius hanya akan tersisa di layar kaca. Di luar itu, rasa empati itu memudar lalu keseharian penonton kembali seperti sedia kala. Rio Dewanto akan pulang ke rumahnya dan filosofi-filosofi masyarakat adat yang nun jauh di sana terlupakan oleh penonton.
Dengan kesederhanaan gaya dan penceritaan, menurut saya, Cerita Biasa dari Desa tetap berhasil membawakan isu-isu penting yang selama ini dibicarakan secara bombastis: petani, semewah apapun nama program yang ditawarkan pemerintah, adalah pekerjaan berisiko yang tetap dilakukan orang desa.
Dekat dalam Keseharian
Kesan pertama saya setelah menonton film dokumenter ini adalah kedekatannya yang mengagumkan dengan realitas kehidupan. Namun, kedekatan yang dihadirkan oleh Cerita Biasa dari Desa bukanlah tentang isunya, melainkan kesehariannya.
Melihat kehidupan Agnang bukan hanya tentang bagaimana ia menggambarkan realita yang paling realistis. Kehidupan Agnang seperti memang direkam begitu saja tanpa intervensi. Dihadirkan apa adanya. Sepanjang film, kebanyakan sudut pengambilan gambarnya berada di eye-level maupun di bawah subjeknya. Sutradara menggunakan close up shot untuk melihat bagaimana Agnang berkontemplasi di lahannya, long shot ketika sedang bersama orang lain seperti ibu, tetangga, atau supplier yang datang menjemput. Kamera tidak banyak bergerak, terkesan hanya berdiri diam di sudut ruang percakapan, kecuali ketika banyak orang datang dan kamera musti mengikuti siapa yang berbicara.
Situasi rumah dibiarkan apa adanya tanpa perubahan, termasuk memperlihatkan rumah yang “sedikit” berantakan. Wajah Agnang ditampilkan datar, baik ketika ia sedang senang, marah dengan dirinya sendiri, atau berdebat karena jengkel pada sang ibu. Gambar satu ke gambar lain dihubungkan dengan jump cut, yang menunjukkan tidak hanya perpindahan lokasi, tetapi juga konteks siapa yang sedang dibicarakan. Kehidupan Agnang ditampilkan secara realistis, berikut pula suara-suara yang mengikutinya secara paralel. Ketika hujan, suara ramai itu masuk. Ketika pintu ditutup, suara ramai itu menghilang.
Dalam kategorisasinya, Cerita Biasa dari Desa masuk dalam dokumenter observasional. Metode yang berkembang sejak 1960 an ini memang bertujuan untuk menjawab kegelisahan akan perkembangan dokumenter ekspositoris yang melulu tentang argumentasi dan retorika sehingga kadang kala ia digunakan sebagai alat propaganda. Dokumenter observasional mencoba untuk hadir sebagai alat untuk merekam kehidupan saja: tidak ada narasi voice-over, musik latar, bahkan wawancara. Absennya wawancara mengindahkan seolah-olah tidak ada wacana tertentu yang ingin diusung oleh si pembuat film.
Dengan metode observasional itu, Cerita Biasa dari Desa berhasil menunjukkan kedekatan. Agnang tidak hanya bertani. Sebagaimana warga biasa, ia bertemu dengan supplier yang siap mengirim buahnya ke Bandung, berdiskusi dengan sang kakak, hingga meluangkan waktu untuk momen penting setiap anak laki-laki: sunat. Sang sutradara menghadirkan pula sang ayah yang kesulitan dengan aplikasi terbaru Taspen, ramai kehidupan terminal, dan bagaimana Agnang berdebat dengan sang ibu. Ada kesulitan-kesulitan, konflik kecil tanpa tatap mata, hingga riuh tangis sang anak ketika berpisah dengan ibunya.
Sebagai ayah, Agnang menemani anaknya sunat, menenangkan dengan mengatakan bahwa rasa sakit yang dirasakan semua laki–laki beranjak dewasa itu layaknya digigit semut. Sebagai kepala keluarga, ia berdiskusi pada sang istri untuk menemukan jadwal yang pas agar mereka sama-sama bisa meluangkan waktu. Sebagai seorang kakak, ia memilih melon sebagai komoditas pertanian untuk mendapatkan untung: adiknya perlu uang tambahan kuliah kedokteran. Sebagai seorang anak dan saudara, ia menerima nasihat ibu dan kakaknya, namun tetap pada pendiriannya selagi ia melakukan segalanya sendiri. Agnang bukan hanya petani muda. Pertanian adalah kerja yang ia ambil untuk menyambung hidup.
Cerita Biasa dari Desa menggunakan pendekatan etnografis, di mana sang sutradara hanya perlu menghadirkan seorang subjek dalam filmnya untuk kemudian menarik konteksnya secara lebih luas. Dokumenter etnografis menjadi sumber utama kerja-kerja antropologi selanjutnya untuk memahami kehidupan yang liyan dan menariknya dalam konteks manusia secara general. Bedanya, Agnang adalah orang Jawa dan tidak “liyan-liyan” amat. Untuk itu, yang ditonjolkan dalam film ini adalah pilihannya menjadi “petani muda” dan bagaimana kondisi pertanian di pedesaan. Dalam hal ini, etnografi digunakan untuk menunjukkan kedekatan emosional dengan subjeknya, alih-alih mencari pembuktian melalui lebih banyak informan.
Meskipun pendekatan etnografis mungkin tidak bisa digunakan untuk semua isu atau gaya penceritaan, namun tentunya ia menawarkan suatu kelebihan: kedekatannya yang relevan. Kita tidak perlu melihat suku-suku yang jauh di pedalaman atau batas terluar negara untuk melihat isu lahan. Kita tidak perlu memahami filosofi-filosofi pertanian untuk memahami bahwa petani itu penting. Kita, sebagai penonton yang heterogen, bisa sama-sama terwakili menyadari bahwa Agnang jugalah ayah dari seorang anak. Anak dari kedua orang tua. Suami dari seorang istri. Kakak dari seorang adik.
Pada akhirnya, Agnang adalah kita semua: yang sama-sama bekerja keras walaupun pilihan yang diambil sangatlah menantang.
Selain pada itu, Cerita biasa dari Desa masih memiliki beberapa kekurangan teknis. Subtitle terutama, karena ditulis dengan banyak sekali kesalahan dan terasa kurang verbatim. Beberapa kalimat narasumber seperti dirangkum lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalau-kalau kesulitan menemukan padanan katanya. Padahal, aspek verbatim adalah hal sangat penting dalam etnografi — setidaknya dalam penelitian — sehingga penonton atau pembaca dapat memahami keseluruhan konteks dan emosinya. Dalam konteks film, penonton dapat mengetahui kosakata lokal yang diucapkan subjek-subjek dalam film memiliki makna yang beragam dan tidak serta-merta dicarikan padanan katanya. Kekurangan itu, bisa jadi, karena pengambilan gambarnya yang cukup baru, yaitu pada tahun 2023 ini. Namun, tentu saja itu tidak bisa menjadi alasan untuk memberikan yang terbaik pada penonton.
Daripada kekurangan itu, sekali lagi, Cerita Biasa dari Desa adalah dokumenter observasional dengan pendekatan etnografis yang cukup berhasil. Kerja keras Agnang dan kesulitannya merintis pertanian melon tersampaikan dengan baik kepada penonton bahkan tanpa perlu sang sutradara bertanya, tanpa perlu wawancara. Kita bisa menggambarkan hidup sebagai dirinya dan memahami alasan-alasan di balik semua tindakan yang ia lakukan; baik sebagai seorang kepala keluarga, atau sebagai petani muda.
Artikel ini merupakan luaran dari lokakarya menulis kritik film yang diadakan Mania Cinema dan Sewon Screening dengan program Kelas Bunga Matahari pada 26-30 September 2023.
Cerita Biasa Dari Desa| 2023| Sutradara: Zanuar Ali Mustiko Aji| Jenis Film: Dokumenter| Durasi: 29 Menit
Biasa dipanggil Farid adalah lulusan Universitas Brawijaya jurusan antropologi. Menyukai riset-riset lapangan dan menulis karya fiksi. Tulisan-tulisannya dapat ditemukan di Sediksi.com, Kolonian.is, dan omong-omong.com. Cerpennya di Kolonian.is dengan judul Musa dan Nabi Lain yang Memberinya Topi tidak hanya mendapatkan kesempatan dipamerkan dalam eksibisi media tersebut pada 2022, tetapi juga meraih penghargaan sebagai Cerpen Terbaik dalam ajang Kolonian Sastra Awards 2023. Korespondensi melalui email [email protected].
Leave a Reply