Mania Cinema

Gagasan Queer dalam Sinema Kira Muratova: Generasi, Situasi dan Bangsa

Artikel ini diterjemahkan dari tulisan milik Lina Žigelytė dengan judul asli Kira Muratova’s Queer Bloc: Situastions, Generations and Nations pada 12 Maret 2022. Terbit di Another Gaze

Tak satu pun dari dunia milik karakter yang berbeda bisa menjadi universal dan mendominasi dunia karakter lain.

—Kira Muratova, 20011

Kira Muratova, salah satu sutradara brilian yang berasal dari wilayah bekas Uni Soviet, menolak menawarkan dirinya menjadi perwakilan “sinema perempuan”.2 Selama perjalanannya  pasca-Perestroika ke arah barat, para penulis dan mahasiswa akan bertanya kepadanya tentang posisi perempuan dalam industri sinema, tetapi tanggapannya tetap sulit untuk dipahami.3 Ada kemungkinan bahwa keberatannya bukan dituju pada cita-cita dasar feminisme barat – yang mana di antaranya kompatibel dengan realitas perempuan Soviet selama masa hidup Muratova – tetapi pada suatu ide untuk melabeli karyanya. Bagaimanapun, sejumlah filmnya menyoroti karakter perempuan dan interaksi sosial mereka dengan cara yang bertolak belakang pada sifat tradisional dan unsur kesopanan. Tak mengherankan bahwa Festival de Films de Femmes de Créteil 1988 – sebuah festival film perempuan – adalah salah satu yang pertama memperkenalkan film-film Muratova kepada audiens barat.

Banyak dari film Muratova—15 film panjang, 6 film pendek, dan 3 film kolaboratif  dari 1958 hingga 2012—memprioritaskan aspirasi dan pengalaman perempuan. Film panjang pertamanya, melodrama Korotkie vstrechi (Brief Encounters, 1967), berfokus pada dua perempuan yang jatuh cinta dengan pria yang sama. Dibuka dengan close-up dari birokrat bernama Valentina (diperankan oleh Muratova) saat dia berjalan di sekitar dapurnya yang sesak, bersusah payah memikirkan pidato yang harus ditulis untuk pertemuan rutin partai komunis lokal. Dalam film terakhirnya, Vechnoe vozvrashchenie (Eternal Homecoming, 2012), beberapa wanita yang hidup secara mandiri dikunjungi oleh kenalan lamanya – para pria yang mengeluh tentang pernikahan heteroseksual mereka yang gagal. Alih-alih memberi perhatian serius pada keluhan pria-pria, para wanita tersebut menggoda mereka tentang perselingkuhan dan memancing jiwa narsismenya. Kedua film ini berkaitan dalam menyoroti sebuah karier yang terbentuk oleh kesulitan finansial dan sensor ekstensif, sebuah karya yang menunjukkan kehidupan perempuan derana yang berkembang di luar budaya barat dan keluarga inti, serta menekankan hubungan berkelanjutan yang dibangun para wanita ini antara satu sama lain.

Wajar jika banyak yang bertanya bagaimana sinema Muratova dapat diterima oleh penonton kontemporer, terutama karena karena ada perasaan ketidakstabilan yang sulit dipahami,  terjadi pada saat ini maupun di era di mana ia paling aktif—tahun-tahun setelah jatuhnya Uni Soviet. Dia tak hanya menggambarkan transformasi dunia Soviet dan pasca-Soviet, tetapi juga menciptakan karakter yang hidupnya – seperti Muratova – tidak bisa dikotakkan dalam kategori. Muratova lahir di tempat yang sekarang menjadi kota Soroca di Moldova (sebelumnya bagian dari Rumania) dari seorang ibu keturunan Rumania-Yahudi dan ayah keturunan Rusia. Dia menghabiskan sebagian besar karirnya, termasuk 17 tahun di mana rezim Soviet melarangnya menjadi sutradara, di Odessa, salah satu kota pesisir Ukraina. Pada tahun 1997, Muratova menggambarkan dirinya dalam istilah nomaden: “Saya bukan orang Odessa. Saya hanya numpang tinggal dan hidup di sini”.4

Memang, melalui dukungan dana dari Ukraina, Muratova tetap tinggal di Odessa bahkan ketika intervensi militer Rusia semakin meningkat di wilayah timur Ukraina. Sementara itu, dia tetap menjadi kritikus vokal rezim Vladimir Putin, sambil percaya bahwa rezim itu akan hancur secara bertahap.5 Meskipun film-filmnya dalam bahasa Rusia, ia tetap menyisipkan banyak lokasi, musik dan aktor Ukraina. Penolakan Muratova untuk menetapkan dirinya dalam satu budaya dan transformasi cepat dari bekas  Soviet memberikan latar bagi sinemanya sebagai sebuah dunia di mana tatanan sosial dan ekonomi terus-menerus berada dalam keadaan berantakan. Disintegrasi sosial ini disertai dengan frgamen-frgamen kecil bertema queer yang menarik perhatian pada hierarki kekuasaan sosial untuk memisahkan mereka.

Fragmen-fragmen kecil ini menawarkan cara lain untuk masuk ke dalam karya Muratova, dan jika dilihat dengan lebih teliti dan saksama, kita akan melihat kiasan eksplisit terhadap perbedaan pendapat seksual dan gender, termasuk erotisme dan hasrat sesama jenis. Routledge International Encyclopedia of Queer Culture tahun 2006 menyebutkan bahwa karya Muratova adalah sebuah pintu masuk tentang khazanah sinema di Rusia dan secara singkat membahas salah satu petunjuk yang lebih jelas terhadap homoseksualitas dalam karyanya, seperti film tahun 1997 Tri istorii (Three Stories).6 Bagian dari film ini diatur dalam ruang ketel gelap yang berisi apa yang terlihat seperti banya, atau pemandian uap panas, yang dijalankan oleh sang flamboyan, Venichka (Zhan Daniel). Untuk menyambut tamunya – pria yang tertarik pada pria – dia memakai karangan bunga, menyanyikan arias, dan terkadang muncul hampir telanjang. Kita bahkan menyaksikan dua pria saling berciuman secara singkat sesaat sebelum salah satu dari mereka menuju ke kamar mandi Venichka. Dalam adegan-adegan ini, homoseksualitas tidak pernah menjadi subjek ejekan atau rasa malu. Beberapa tahun sebelumnya, Muratova merilis Uvlecheniya (Passions), sebuah film tahun 1994 yang menggambarkan peristiwa sehari-hari di arena pacuan kuda kontemporer dan memperlihatkan banyak adegan yang merayakan keindahan tubuh atletis para joki. Sekelompok pemuda kurus berkeliaran di istal, jalan setapak, dan ladang. Di sini, sifat atletis para remaja tersebut sebagian besar dimanfaatkan untuk menyinggung kenyamanan lingkungan homososial tanpa romansa heteroseksual. Hal ini bisa dilihat sebagai kritik selingan terhadap pelanggaran gender dan seksual yang nampaknya merupakan bagian alami dari masyarakat pasca-Soviet yang sedang mengalami transformasi, dan hal ini merupakan salah satu tema utama dalam film-film Muratova.

Kendati eksperimen gender dan perlawanan seksualitas, meski mudah dikenali dalam karya-karyanya, ini hanyalah batu loncatan menuju blok queer Muratova. Meskipun tujuan dari banyak film barat kontemporer (dan seringkali yang paling populer) dengan subteks queer tampaknya berakhir dengan representasi—ambiguitas seksual, romansa sesama jenis, dan keluarga sesama jenis adalah beberapa bagian yang dapat diprediksi—sindiran kecil mengenai queer oleh Muratova sering kali muncul. menghasilkan pengusutan yang lebih menyeluruh dan dekonstruksfif terhadap dinamika kekuasaan. Meskipun karyanya menghindari penyampaian terang-terangan tentang perubahan, banyak dari sindiran-sindiran kecil tentang queer ini memberi imajinasi tentang transformasi sosial. Momen-momen ini, yang sebagian besar dihasilkan melalui pengambilan gambar, penyuntingan, dan suara, khususnya terlihat dalam peristiwa-peristiwa spontan, interaksi antar generasi, dan konteks multinasional di kawasan pasca-Soviet. Ketiga aspek gagasan ini terlihat paling meonojol dalam film Passions, Three Stories, and Nastroyshchik (The Tuner, 2004), tiga film yang dibuat dengan salah satu kolaborator Muratova yang paling ia sukai dan sering ia ajak bekerja sama, aktor Rusia, Renata Litvinova.7

Situasi

Seorang wanita anggun berjalan melintasi ladang bunga liar yang bermekaran. Jas hujan emasnya berpadu dengan cahaya sore yang hangat. Wanita itu berbaring dan tertidur di antara chicoriesIII dan renda Ratu Anne; sedangkan di latar belakang, kita bisa mendengar suara tembakan yang intens. Adegan ini berasal dari Passions, film pertama Muratova yang dibintangi Litvinova, yang memerankan Lilia, seorang perawat di sebuah resor kesehatan pesisir di mana mereka merawat penunggang kuda pulih dari cedera. Adegan ini terasa asing: Muratova jarang menunjukkan karakternya sendirian. Mereka biasanya diperlihatkan dalam kelompok dan pasangan, berbaur dan berbicara satu sama lain: berkaitan langsung terhadap pernyataannya dalam epigraf film bahwa terlalu banyak berfokus pada satu karakter dapat mengakibatkan universalisme yang tidak perlu. Latar pasti dari Passions tidak pernah terklarifikasi, meskipun kita mengamati pantai, gunung, istal, dan karakter bergerak tanpa tujuan di antara lokasi-lokasi tersebut. Tampaknya tak seorang pun yang mengejar tujuan yang jelas dan tak ada satu pun interaksi yang mendapat sorotan.

Judul filmnya di dalam bahasa Rusia juga dapat diterjemahkan sebagai ‘Interest’ atau ‘Minat’, sebuah terjemahan yang mencerminkan fokus film pada kesenangan mengamati yang tak pernah mengganggu. Arah kamera tertarik pada semua orang dan segala hal tanpa memprioritaskan satu gambar atau sudut pandang. Dua karakter secara eksplisit menarik perhatian pada ketertarikan film terhadap penampilan: satu adalah pemain sirkus Violetta (Svetlana Kolenda), yang berfantasi tentang menunggang kuda; yang lainnya adalah seorang fotografer yang, di tengah-tengah film, mengeluh, “Saya kehabisan film!” tapi terus memotret berbagai situasi, tanpa indikasi yang jelas tentang apa proyeknya.

Pakar film Mikhail Iampolski menyebut gaya pembuatan film Muratova sebagai “sinema situasi”, dan berpendapat bahwa ini memungkinkan kita untuk mengamati karakter dalam berbagai keadaan sehingga kita dapat lebih memahami mereka sebagai manusia.8 Tapi menurut saya, beberapa situasi di mana Muratova menempatkan karakternya memberi efek sebaliknya: kita tak memahami karakter dengan lebih baik meskipun melihat kembali karakter tersebut berulang-ulang, sebuah paradoks yang paling jelas dalam Passions. Dalam film ini, Lilia terus menemukan tempat baru untuk berkeliaran, seperti pantai, ruang tunggu, arena pacuan kuda, dan kesempatan baru untuk berinteraksi dengan orang baru, seperti pasien, kuda, dan fotografer. Orang-orang mungkin mencoba untuk memahami satu sama lain dalam hidup dengan memperhatikan satu sama lain, tetapi Passions menolak untuk memberi kita perspektif yang baik — bahkan ketika Lilia menetap dan tidur siang di lapangan. Suara tembakan yang tiba-tiba dari kejauhan mengalihkan perhatian penonton, namun sumbernya tidak pernah diketahui. Baik situasinya maupun Lilia masih sulit dipahami dan tidak dapat diketahui.

Passions mengatur karakter, interaksi, dan ruang untuk berpikir kritis tentang kekuatan elemen dasar bahasa film (seperti penyuntingan, suara, dan jarak antara kamera dan subjek yang difilmkan), sebagai contoh “sinema situasi” Muratova. Sinema situasi adalah jenis pembuatan dunia alternatif yang tidak memiliki dialog teratur atau karakter yang perkembangan mereka tidak jelas atau linier. Sebaliknya, film ini mengajak kita untuk berpikir melalui ketidakpastian yang muncul ketika film tidak memberi kita banyak informasi. Secara umum, pembuatan film Passions dan Muratova bergantung pada keterbukaan tanpa batas.

Ketika karya Muratova mulai didistribusikan di Barat, ia berfokus pada kehidupan perempuan – yang tidak pernah dia klaim sebagai feminis secara eksplisit – beresonansi dengan penonton yang tertarik pada ‘sinema wanita’. Saat ini, meningkatnya minat terhadap karyanya mungkin lebih berkaitan dengan sifat terbuka dari karyanya, jenis pemikiran dan cara berpikir para pembuat film eksperimental atau membuat film yang terkenal karena dimensi queer yang ada di filmnya.

Orang yang tertarik dengan karya Muratova akan menemukan bahwa Murtova memiliki banyak kesamaan dengan taktik filmis yang sering digunakan untuk menunjukkan perbedaan, memperebutkan kekuasaan, dan mengubah model hubungan romantis dan platonis. Para pembuat film yang tertarik pada queerness harus membuat bahasa film yang mampu menyampaikan perasaan yang berbeda, terutama sebelum munculnya artikulasi arus utama mengenai queerness. Ini terjadi meskipun bahasa tersebut masih kekurangan dukungan material dan kejamnya sensor. Pembuat film seperti Sergei Eisenstein dan Cheryl Dunye bereksperimen dengan elemen-elemen dasar film, seperti ketegangan antara keheningan dan gerakan, penggunaan suara, atau kontras antara aktualitas dan fantasi, untuk menghasilkan momen-momen bernuansa aneh yang terbuka untuk berbagai interpretasi.

Karena banyaknya eksperimen formal, Passions sangat selaras dengan warisan ini. Penonton mungkin mengingat pembuat film Ismael Bernal dari Manila ketika mereka melihat bagaimana Muratova melihat kehidupan sehari-hari. Penggunaan cinéma vérité menciptakan karakter ambigu yang terbuka untuk interpretasi berlapis-lapis dari keinginan dan identitas mereka. Selain itu, situasi polivokal Passions mengingatkan saya pada Andy Warhol, yang memfilmkan banyak orang berbicara secara bersamaan untuk mengurangi perasaan hierarki di antara mereka. Selain itu, salah satu pengaruh utamanya adalah Sergei Parajanov, pembuat film Armenia kelahiran Georgia, yang dijatuhi hukuman enam tahun di kamp kerja paksa oleh pemerintah Soviet atas tuduhan homoseksualitas.9 Oleh karena itu, “sinema situasi” Muratova adalah undangan untuk menerapkan praktik yang dianggap kritis. Undangan ini menjadikan warisan film Murtova semakin penting bagi audiens kontemporer.

Generasi

Seorang wanita memasuki kantor arsip untuk mencuri sesuatu. Ini adalah premis Ophelia, bagian kedua dari Three Stories, film triptychI 1997 Muratova. Ditulis oleh Litvinova, Ophelia adalah contoh ketertarikan Muratova pada pertemuan perempuan antar generasi. Karakter utama, Ophelia (atau Opha, diperankan oleh Litvinova), bekerja sebagai arsiparis di rumah sakit bersalin. Ibu Opha menyerahkannya untuk diadopsi sebagai bayi yang baru lahir, dan sekarang dia mencari catatan arsip ibu kandungnya untuk melacaknya. Film berakhir dengan Opha akhirnya bertemu dan kemudian menenggelamkan ibunya.

Pada dasarnya, Ophelia adalah film balas dendam yang berpusat pada pengalaman wanita. Hanya dua karakter pria yang memiliki dua karakter bersifat signifikan. Salah satunya adalah seorang turis berbahasa Jerman yang dipukuli oleh tiga wanita setelah dia mencoba melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu dari mereka. Yang lainnya adalah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Opha dan mencoba merayunya. Pada awalnya, Opha menolak rayuan dokter karena dia tidak memiliki kondom. Ketika mereka akhirnya berhubungan seks, dokter bertanya kepada Opha apakah dia mencintainya, yang dia berikan jawaban sinis: “Saya tidak mencintai pria. Saya tidak mencintai wanita. Saya tidak mencintai anak-anak. Saya tidak suka orang. Saya akan menilai planet ini nol.”

Karya Muratova menekankan pada perempuan dan ekspresi seksualitas perempuan yang acuh tak acuh (seks dihadirkan sebagai kejadian biasa tanpa basa-basi).  Yang memperkuat energi pembangkang dalam film ini adalah perlakuan terhadap waktu: Ophelia memberontak terhadap temporalitas linier, yang dianggap oleh E. Ann Kaplan, seorang feminis, sebagai “teleologis” dan “patriarkal”.10 Pemberontakan ini terungkap dalam pencarian obsesif Opha terhadap ibunya sebagai cara untuk kembali ke kisah asalnya. Namun setelah terungkap, Opha melakukan sesuatu yang radikal – dia menenggelamkan ibu kandungnya dan membakar akta kelahiran curian yang menyebabkan pertemuan mereka. Saat kita menyaksikan akta kelahiran dibakar, kita menyaksikan keinginannya untuk tidak terikat oleh hubungan kekerabatan biologis atau catatan pribadi. Karena mereka tidak dapat menampung Opha, kerangka kerja yang mendasari arsip umum—seperti indeks berdasarkan abjad, database kronologis, unit penyimpanan, dan folder—dibuang.

Etos gagasan feminis di film ini terlihat jelas: alur ceritanya matrilineal, Opha mencapai tujuannya, dan dia berkembang tanpa membutuhkan laki-laki. Namun, serangan terhadap akta kelahiran, ikatan ibu-anak, dan arsip sebagai representasi temporalitas linier memungkinkan interpretasi baru dalam Three Stories. Dalam adegan terakhir, Opha berada di dermaga yang berjalan menjauh dari air dan menuju pantai, kembali ke planet yang dia akui telah dia temukan kekurangannya. Bahasa visual dari akhir cerita ini (fokus pada dermaga, luasnya perairan) juga menunjukkan sebuah pembukaan: Opha kembali ke planet ini sebagai titik nol dan dia siap untuk menyusun cerita asal usulnya sendiri. Di sini kita menyaksikan siklus waktu, yang diperkuat oleh fakta bahwa Ophelia membuat referensi familiar, ke Ophelia karya Shakespeare (kecuali Ophelia karya Muratova yang masih ada). Siklus waktunya tidak memiliki awal yang jelas; seperti pergantian musim menunjukkan perubahan terus menerus tanpa akhir yang tidak jelas. Siklus dalam waktunya juga merupakan kembalinya yang abadi, sebuah tema yang direferensikan dalam judul bahasa Inggris film terakhir Muratova, Eternal Homecoming.

Bangsa

Film The Tuner tahun 2004 adalah contoh bagaimana Muratova tidak dibatasi oleh satu budaya atau bahasa. Bertempat di kota pesisir dan difilmkan di Odessa, The Tuner adalah film tentang penjahat yang mengambil alih bekas Uni Soviet. Kita menyaksikan bagaimana kapitalisme barat membentuk kembali negara ini pada pertengahan tahun 1990an: mata uang yang paling dipercaya adalah dolar AS; telepon seluler mengganggu komunikasi tradisional; turis berbicara bahasa Inggris yang terpatah-patah; dan toko-toko teduh yang menjual berbagai macam barang elektronik impor muncul di lokasi yang tidak biasa. Salah satu karakter utamanya adalah Andrei (Georgiy Deliev), seorang penyetem piano menawan yang juga merupakan penipu berbakat. Litvinova berperan lagi, kali ini sebagai kekasih Andrei, Lina, seorang wanita yang menginginkan uang dan menyamar sebagai tipe sosial yang berbeda (gangster, birokrat, istri pengusaha kaya) untuk mengeksploitasi individu yang naif.

Film ini berargumen bahwa seluruh struktur sosial yang berubah—khususnya prasangka bahasa, etnis, dan kelas, yang diperburuk oleh kesenjangan ekonomi dan ketidakamanan pribadi yang diakibatkannya—mungkin perlu disesuaikan atau diubah. Dalam satu adegan, kami menyaksikan dua wanita tua kaya raya menebak etnis sang penyetem. “Apakah dia orang Chechnya? Mungkin orang Armenia?” mereka bertanya satu sama lain. Mereka akhirnya memutuskan bahwa dia adalah orang Uzbek ketika mereka mendengarnya membawakan lagu yang bagi mereka merupakan lagu yang tidak dapat dipahami. Belakangan, kita mengetahui bahwa para wanita tersebut sebenarnya khawatir bahwa sang tuner mungkin adalah seorang Yahudi dan oleh karena itu – menurut salah satu dari mereka – adalah seorang penjahat.

Sejalan dengan runtuhnya tatanan monolingual dan monoetnis di The Tuner, adalah disintegrasi gender dan norma-norma seksual: Andrei benar-benar tunduk kepada Lina, mandi dan membawakan sarapan untuknya di tempat tidur, tetapi Lina tidak menunjukkan ketertarikan romantis padanya. Pada akhirnya, penonton mengetahui bahwa ini adalah hubungan ketiganya di mana dia menggunakan seorang pria hanya untuk keuntungan finansial. Di The Tuner, penonton akan menemukan banyak pernikahan heteroseksual yang gagal dan perempuan yang menolak minat untuk memiliki anak. Berbagai contoh pemberontakan terhadap norma-norma gender dan seksual ini pada awalnya mungkin tampak sebagai tanda-tanda runtuhnya tatanan sosial. Namun momen-momen ini juga dapat diartikan sebagai tanda-tanda penciptaan dunia yang menyatukan individu-individu yang berbeda.

Pembuatan dunia baru ini terbukti ketika kita mengikuti Lina ke toilet umum pria di ruang bawah tanah sebuah gedung. Di sini, dia berhubungan kembali dengan seorang teman lama, seorang petugas crossdressingII (diperankan oleh Zhan Daniel, aktor yang sama yang berperan sebagai ratu flamboyan di Three Stories). Teman lama Lina dan kaki tangan masa lalu Tanya (Natalya Buzko) juga muncul, memamerkan gaun flapper-nya. Maka di ruang tunggu toilet yang luas, reuni yang semarak dan agak aneh terungkap, dengan peragaan busana dadakan dan lelucon tentang kegagalan hubungan heteroseksual. Ketiga teman itu berdiri sangat dekat dan berbicara satu sama lain, tetapi secara bertahap suara-suara lain mengisi ruang, dan kisah mereka menjadi semakin sulit untuk didengar karena Muratova membuat semacam gangguan sonik dari atas ruangan gedung tersebut. Dalam The Tuner, saat Lina turun dari loteng yang ia tinggali bersama Andrei, ke jalanan yang sibuk dan lokasi-lokasi bawah tanah, penonton melihatnya dengan cepat berganti-ganti kostum untuk mewujudkan bentuk tipe sosial yang berbeda. Dia melakukan perjalanan melalui beberapa lanskap yang berubah sementara kita melihatnya mengalami banyak perubahan, beberapa di antaranya hampir tidak dapat dipercaya, seperti saat dia muncul dengan sabit saat melakukan sensus penduduk. Seiring pemandangan dan karakter Lina berputar dan berubah, The Tuner menunjukkan bahwa transformasi dapat dimulai dalam situasi sehari-hari dan meluas ke berbagai arah – seperti obrolan spontan antara tiga teman yang bersatu kembali dalam ruangan secara tiba-tiba.

Lina Žigelytė (penulis) adalah seorang pendidik, kurator, dan seniman audiovisual. Ia lahir di Vilnius, Lituania dan sekarang tinggal di Rochester, New York. Karyanya mengeksplorasi hubungan antara sejarah media transnasional dan studi seksualitas. Ia adalah seorang staf pengajar di program Media dan Masyarakat di Hobart and William Smith Colleges.

Diterjemahkan Oleh: Adinda Sihite

Desain Oleh: Shafa Salsabilla

Catatan Penulis

1. Andrey Plakhov, ‘Кира Муратова: я все время притворяюсь’, Kommersant, April 2001. Diterjemahkan oleh Lina Žigelytė.

2. Galina Tsymbal, ‘Женское кино—жесткое и циничное действо’, Delo, 23 Februari 2007.

3. “Keesokan harinya Muratova diundang ke sebuah seminar tentang teori feminis. Para mahasiswa telah menonton filmnya dan bersiap untuk mendiskusikannya. Saya direkrut sebagai penerjemah. […] Setelah pertukaran yang panjang dan hidup dengan para mahasiswa yang sebagian besar perempuan, ia menutup dengan sebuah komentar yang dimaksudkan sebagai pujian. Namun, ketika saya bersiap untuk menerjemahkannya, hati saya berdebar-debar, mengantisipasi reaksi mereka. ‘Anda tahu, saya pikir, jika saya tidak menemukan métier saya di bidang seni, saya juga mungkin akan menjadi seorang feminis.”Jane A. Taubman, Kira Muratova, London dan New York: I. B. Tauris, 2005, hlm. 8-10. hlm. 10.

4. Ibid, hlm. 109

5. Irina Milichenko, ‘Муратова: Думаю, в Украину Крым не вернется, но может, Россия развалится’, Gordon, 21 Maret 2016, [diakses 2 Juli 2019]

6. David A. Gerstner, ed. Routledge International Encyclopedia of Queer Culture, London and New York: Routledge, 2006.

7. Litvinova juga merupakan sutradara film layar lebar dan dokumenter yang telah memenangkan banyak penghargaan. Sebagai seorang aktor dan pembuat film, ia dikenal di Rusia karena film-filmnya yang mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang kinerja gender, memori, dan budaya selebritas.

8. Mikhail Iampolski, Муратова. Опыт киноантропологии, Санкт-Петербург: Сеанс, 2015, hlm. 511-528.

9. Jane A. Taubman, hlm. 9.

Catatan Penerjemah

I Triptych adalah karya seni yang terdiri dari tiga bagian atau panel. Sering digunakan untuk menyampaikan narasi, membuat urutan

II Tindakan seseorang mengenakan dan berpakaian menurut jenis kelamin yang berbeda dibandingkan dengan jenis kelaminnya sendiri

III tumbuhan liar atau semak menahun di pinggir jalan

Mahasiswa sastra Inggris yang mencoba mengumpulkan portofolio dengan menjadi penulis dan penerjemah lepas. Menyukai musik grunge dan nu-metal. Kalau senggang, terkadang membaca buku sastra klasik. Buku karya Fyodor Dostoyevsky dan Jane Austen adalah salah dua yang sedang digemari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top