Mania Cinema

Throw Away Your Books, Rally in the Streets: Hubungan Antara Masyarakat dan Kaum Terpelajar  pada Sinema Shūji Terayama

Diterjemahkan dari jurnal milik Ferran de Vargas, Throw Away Your Books, Rally in the Streets: The Relationship Between Intellectuals and Masses in Terayama Shūji’s Cinema terbit di New Ideas in East Asian Studies, no. 2 pada tahun 2018.

Seperti yang disampaikan oleh Andrews (2016), Shūji Terayama adalah figur penting berkaitan dengan budaya tandingan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, sama pentingnya secara intelektual dengan filsuf Takaaki Yoshimoto. Melalui analisis terhadap film Terayama Throw Away Your Books, Rally in the Streets (Sho o Suteyo, Machi e Deyō), dalam tulisan ini saya ingin melihat sebuah premis yang sejauh ini belum banyak dieksplorasi dalam publikasi bahasa Inggris: penekanan eksistensialis sutradara kepada tokoh yang mempertanyakan diri sendiri, transformasinya melalui aksi atas keadaan dan wacana terkait dengan semangat emansipatorisnya, memungkinkannya untuk menghubungkan pendekatannya dengan ideologi paling libertarian dari Japanese New Left.

 Mereka yang paling terpengaruh oleh teori taishū (masyarakat independen) anti avant-garde dari Yoshimoto di ruang-ruang seperti Todai Zenkyōtō atau Nichidai Zenkyōtō selama protes mahasiswa tahun 1968-1969. Teori taishū sendiri menganggap bahwa untuk memperkuat subjektivitas (shutaisei) masyarakat, subjek harus menumbuhkan kemandiran (jiritsu) masyarakat itu sendiri dari garda depan intelektual mana pun. 

Sinema Terayama dapat dilihat sebagai serangan terhadap ekspresi diskursif dari realitas, sebuah upaya permanen untuk melepaskan kekuasaan pada penonton melalui film dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh kaum Kiri Baru (New Left) libertarian Jepang, untuk menghindari penggunaan kekuasaan sebagai langkah garda depan terhadap masyarakat. Ia mencoba membuat film-film yang merupakan pemberontakan terhadap sinema, bahkan terhadap sinema avant-garde (Centeno, 2012). Bahkan, kritik terhadap wacana yang melekat pada sinema Terayama begitu ekstrem sehingga sering disalahartikan mengambil posisi relatif, sampai-sampai sikap subversifnya didefinisikan sebagai adaptif terhadap sistem yang berlaku oleh setiap penulis (lihat Morita, 2006, hlm. 58).

Kontribusi yang menentukan dalam interpretasi ini adalah pernyataan dari Terayama sendiri, yaitu bahwa tujuan dari karyanya adalah “untuk merevolusi kehidupan nyata tanpa harus menggunakan politik” (dalam Sorgenfrei, 2005, hlm. 270). Namun, kita harus menghindari kesimpulan bahwa penekanan pada kritik terhadap wacana ini berarti sikap Terayama adalah apolitis. Justru semangat untuk merevolusi kehidupan nyata, menggunakan seni untuk melampaui seni itu sendiri dan memberikan dampak pada masyarakat, di situ posisi politik Terayama berada.

Masyarakat dan Kaum Terpelajar di Throw Away Your Books, Rally in the Streets

Throw Away Your Books, Rally in the Streets adalah film panjang pertama Terayama, yang dirilis pada tahun 1971 pada saat gejolak politik yang dipimpin oleh kaum Kiri Baru Jepang telah mencapai puncaknya dan menuju kemunduran. Fakta bahwa Terayama tidak bergantung pada perusahaan produksi besar, tetapi memproduksi filmnya bersama Art Theatre Guild (ATG) dan memfasilitasi pendekatan sinematografi secara radikal yang menantang keterlibatan penonton dan malah memancing keterlibatan subjektif. Pada tingkat tertentu, film ini dapat dilihat sebagai sebuah korelasi dari ideologi gerakan politik Kiri Baru, terutama hubungan antara kaum terpelajar dan masyarakat. Hal ini tercermin dalam perlakuan eksplisit terhadap masyarakat dalam beberapa adegan dan hubungan implisit antara sutradara dan penonton, serta dalam sudut pandang sinema dan wacana secara umum.

Pertama, sehubungan dengan perlakuan eksplisit terhadap masyakarat yang dibuat oleh Terayama dalam Throw Away Your Books, Rally in the Streets, kita harus mempertimbangkan peran karakter utama, Kitagawa Eimei dan hubungannya dengan dunia di sekelilingnya. Sampai pada batas tertentu, Kitagawa ingin mewakili visi sutradara untuk memproyeksikan citra orisinil dari masyarakat, yang tidak terkontaminasi oleh wacana ideologis. Ia adalah karakter eksistensialis, yang digerakkan bukan oleh alasan atau ide, tetapi oleh keinginan dan ketakutan, tenggelam dalam kebingungan yang terus-menerus dan terganggu oleh krisis identitas yang mendalam. Sepanjang film, terdapat beberapa adegan dengan episode-episode pertunjukan politik dan wacana revolusioner yang mencerminkan ‘musim politik’ tahun 1966-1971 (Furuhata, 2013) di Jepang.

Meskipun demikian, potret ini kontras dengan kehidupan Kitagawa, yang mengembara tanpa tujuan yang jelas, tidak mengekspresikan keyakinan ideologis dan tidak bergabung dengan gerakan atau aksi politik apa pun. Terayama tidak memproyeksikan gambaran ideal tentang bagaimana seharusnya karakter utama, tetapi keterasingannya, yang merupakan kekuatan pendorong tindakannya. Seperti halnya sektor Kiri Baru Jepang yang paling libertarian yang menekankan keterasingan sebagai potensi aksi politik daripada ideologi yang ditanamkan oleh kaum terpelajar atau pelopor, Terayama mencoba menularkan independensi yang sama (jiritsu) dari masyarakat dalam filmnya melalui Kitagawa. Dengan tujuan ini, film menunjukkan perilaku terasing yang mencolok dari Kitagawa yang berpotensi subversif. Memang, tindakan subversif berpotensi terjadi di penghujung film, dan dengan cara yang tidak tersalurkan dengan baik, individualis dan apolitis: pada suatu hari libur, Kitagawa berjalan di jalan yang ramai sambil menegur dan mendorong para pejalan kaki. 

Peristiwa-peristiwa tersebut membawa rasa frustrasi akibat pengebirian ideologi yang mulai mengambil alih gerakan sosial Jepang setelah tahun-tahun perjuangan dan kekalahan. Terutama setelah berakhirnya pemogokan besar-besaran di kampus-kampus pada tahun 1968-1969, pembaharuan kedua Perjanjian Keamanan Anpo dengan Amerika Serikat pada tahun 1970, dan kemunculan kelompok-kelompok bersenjata yang sangat bengis. Namun, kecemasan dan kehilangan arah itu terbawa dalam Throw Away Your Books, Rally in the Streets dan dapat dipahami sebagai kelanjutan dari Japanese New Wave yang digawangi oleh Ōshima Nagisa, Yoshida Kijū atau Shinoda Masahiro, dan lain-lain, yang telah diproduksi pada tahun 1960-an ketika perjuangan Kiri Baru berada di puncaknya. Para pembuat film ini termotivasi oleh ‘krisis kebenaran’ (Standish 2011, hlm.50).

Sebagai anak-anak selama perang, mereka telah ditanamkan gagasan bahwa mereka adalah pelayan kaisar dan mereka harus mengabdikan hidup mereka kepadanya; ketika Jepang kalah perang, pihak berwenang kemuian mengatakan kepada mereka bahwa nilai-nilai yang telah mereka pelajari selama ini adalah salah dan bahwa perdamaian dan demokrasi adalah barang yang paling berharga; ketika ketegangan meningkat selama Perang Dingin, pihak berwenang  yang sama mulai secara terbuka bertindak menentang prinsip-prinsip demokratis dan pasifis yang telah mereka khotbahkan; sementara itu Partai Komunis Jepang (JCP), yang telah mewujudkan harapan akan kemajuan demokratis di  Jepang, menunjukkan ketidakmampuan untuk mengamankan masa depan yang dijanjikan.

Tetapi Terayama tidak hanya mencoba untuk mengirimkan citra masyarakat yang tidak terkontaminasi melalui karakter utama film, tetapi juga melalui adegan-adegan di mana berbagai sisi kelas pekerja digambarkan. Dalam hal ini, sebuah adegan yang sangat satir menonjol di mana para pekerja Jepang menyanyikan ode homoerotis untuk film laga yang dibintangi oleh Takakura Ken, salah satu aktor paling populer di Jepang pada waktu itu dan menjadi simbol kejantanan. Gambar yang diambil oleh Terayama adalah wajah kelas pekerja yang menebus kekurangannya dalam melakukan tindakan sehari-hari, kerumitannya, kesepian, kurangnya akan tujuan, ketakutan, kepengecutan, dan anonimitas, dengan keinginan untuk menyaksikan aksi ekstrem dan kekerasan di layar yang dilakukan oleh pahlawan yang hipermaskulin.

Paralel dengan itu, perlu ditampilkan di sini sebuah sindiran terhadap kelas pekerja dan apa yang ianalisis oleh Žižek dalam bukunya The Pervert’s Guide to Ideology (2012) tentang film-film awal sutradara Ceko, Milos Forman pada tahun 1960-an. Žižek percaya bahwa ejekan Forman terhadap rakyat jelata, lebih dari sekadar tanda arogansi intelektual, merupakan perlawanan terhadap tekanan ideologis dari Uni Soviet terhadap Cekoslowakia, karena kekuasaan Soviet dianggap sebagai gambaran mistis dari kelas-kelas populer yang secara paradoksal digunakan untuk menindas mereka. Dengan cara yang sama, kita dapat melihat bahwa Terayama menyindir rakyat jelata dalam pemberontakan terhadap citra ideal masyarakat yang memuaskan kepentingan kaum kiri institusional Jepang.

Ada satu adegan, di mana seorang perempuan diwawancarai tentang berbagai hal dengan sangat ilustratif. Pewawancara menyelingi pertanyaan-pertanyaan sepele dengan pertanyaan lain yang lebih bersifat intelektual, menempatkan mereka semua pada tingkat yang sama. Di satu sisi, kita memiliki efek merelatifkan nilai dan keyakinan terhadap seseorang: sebuah wawancara dengan seorang perempuan yang tampaknya memiliki kemampuan intelektual terbatas, diberi pertanyaan seperti “efek negatif apa yang bisa ditimbulkan dari sebuah bacaan kepada masyarakat” dan “bagian mana yang kamu sembunyikan ketika kamu telanjang” seolah-olah mereka memiliki totalitas kesadaran yang sama. Melalui cara ini semua pengalaman memperoleh nilai yang sama. Di sisi lain lain, untuk jawaban seperti “apa buku terbaik yang pernah Anda baca”, ia menjawab “Kitab Suci”, untuk pertanyaan “majalah apa yang menurut Anda terbaik”, ia menjawab “Playboy”, dan untuk “apa pendapat Anda tentang ‘Capital’ karya Marx”, ia menjawab bahwa ia tidak tahu itu.

Sekali lagi, film ini bergerak menjauh dari gambaran ideal dari masyarakat tertentu. Selain itu, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, hal pertama yang ia ungkapkan adalah keinginannya untuk menari; ia menawarkan diri untuk mengajari pewawancara beberapa gerakan tarian dan ia mengekspresikan kekecewaannya saat pewawancara menolaknya. Demikian juga, ia juga menyarankan agar pewawancara lebih menaruh perhatian pada pertanyaan yang iajukannya dan tidak hanya membacakannya keluar. Hal ini mematahkan hubungan sepihak antara subjek pengamat (pewawancara, intelektual) dan subjek yang ia amati (orang yang diwawancarai, masyarakat), serta membentuk citra masyarakat yang rentan terhadap tindakan spontanitas.

Film ini juga merelatifkan nilai dari seseorang dan pengalaman mereka dengan menggambarkan sebuah tim sepak bola, dan terutama pemimpinnya, Omi. Ia ditampilkan sebagai orang yang menguasai dunia, berpengalaman dalam berbagai mata pelajaran, mampu mengembangkan refleksi transendental dan memiliki pengetahuan tentang budaya lain. Ia adalah seorang pria yang telah mengadopsi nilai-nilai dan adat istiadat dari Eropa dan Amerika Serikat, hidup untuk dirinya sendiri tanpa ikatan keluarga, dan ia mengajarkan Kitagawa tentang cinta yang bebas, kehidupan komunal, dan fungsi keluarga yang sudah usang.

Meskipun demikian, justru pria modern dan kosmopolitan inilah yang memiliki perilaku paling patriarkis, sampai-sampai bergabung dengan anggota tim lainnya dalam tindakan pemerkosaan beramai-ramai terhadap saudara perempuan Kitagawa. Sebaliknya, Kitagawa, yang tidak memiliki semua pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan seperti Omi, tidak cocok dengan budaya patriarki tim sepak bola, dan hanya karena alasan ini, pada kenyataannya, ia tidak cocok dengan tim sepak bola itu sendiri. Terayama menunjukkan bahwa intelektualitas, modernitas, dan westernisasi adalah elemen-elemen yang tidak memiliki nilai positif, dan bahkan dapat menutupi berbagai jenis penindasan.

Ada adegan yang sangat simbolis dan meringkas semua perspektif yang ada. Kitagawa mengundang saudara perempuannya ke restoran barat untuk menghiburnya atas pemerkosaan geng yang ialaminya. Adiknya belum pernah ke restoran barat sebelumnya dan ia tidak yakin apakah ia bisa makan dengan peralatan makan ala barat seperti pisau dan garpu. Ia, di sisi lain, telah mengunjungi restoran itu beberapa kali atas undangan Omi. Tidak lama setelah Kitagawa dan saudara perempuannya duduk di meja, Omi muncul secara kebetulan dan memutuskan untuk duduk bersama mereka. Omi tampaknya benar-benar betah dengan kebiasaan gaya Eropa di restoran itu, dan ia menasihati Kitagawa agar ia bisa merasa lebih nyaman dalam suasana itu. Tanpa merasa terganggu sama sekali dengan kenyataan berbagi meja dengan gadis yang baru saja diperkosanya, Omi membenamkan diri dalam pidato tentang bagaimana di Eropa, para pemuda dan pemudi berbagi segala sesuatu dengan bebas di sebuah komunitas.

Sementara itu, di meja lain, seorang pria dengan penampilan terpelajar membacakan sebuah buku untuk seorang perempuan “tentang pengaruh mendalam yang membebaskan yang dapat diberikan oleh buku kepada orang-orang”. Perempuan itu tampaknya tidak tertarik dengan apa yang dibacakannya, sampai-sampai ia tidak bisa terjaga. Di antara para tamu makan malam di kedua meja terdapat hubungan yang ditandai dengan ketidaksesuaian antara kaum terpelajar dan masyarakat, yang disilangkan dengan elemen-elemen yang dikritik oleh Kiri Baru Jepang: ide-ide yang diklaim oleh pelopor tanpa menghiraukan tindakan dan realitas konkret, kemajuan sebagai konsep yang disederhanakan, dan westernisasi dan universalisme yang tidak kritis.

Kedua, selain potret eksplisit dari kaum terpelajar dan masyarakat, Throw Away Your Books, Rally in the Streets juga terhubung dengan sektor libertarian Kiri Baru Jepang dalam hubungan yang terjalin antara film itu sendiri dan penonton. Sektor-sektor ini percaya bahwa sangat penting untuk menumbuhkan subjektivitas (shutaisei) masyarakat, dan untuk melakukannya perlu untuk mempertahankan kemandirian (jiritsu) dalam menghadapi kaum terpelajar, menghindari menempatkan diri dalam posisi berkuasa. Dengan cara yang sama, Terayama menghindari sejauh mungkin menjalankan kekuasaan dan memupuk subjektivitas serta haknya. Bahkan, ini adalah hal yang lumrah dalam Japanese New Wave. Dalam hal ini, sutradara avant-garde lain seperti Yoshida Kijū menunjukkan, apa yang membuat sebuah film politik lebih merupakan bentuk, di mana pembuat film harus memberikan subjektivitas kepada penonton, daripada isi konten filmnya (Noonan, 2010).

Demikian juga, dalam pemahaman Terayama, narasi realis dalam sinema memberikan penonton sebuah sensasi aksi yang palsu dengan mendorong penonton untuk mengidentifikasi dan hampir menyatu dengan dengan pengalaman karakter utama. Namun pada kenyataannya penonton hanya duduk secara pasif di kursi. Oleh karena itu, Terayama mencoba membalikkan efek tersebut, membuat penonton merasa terlibat secara aktif saat menonton film, dan dengan demikian menyoroti kepasifan yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari di luar bioskop. Sebaliknya, penonton disajikan dengan serangkaian gambar berantakan yang harus mereka lengkapi dengan refleksi mereka sendiri, dan dengan demikian mereka menjadi terlibat sampai tingkat tertentu saat film terungkap.

Selain kekacauan naratif, film ini juga memupuk subjektivitas penonton dengan membuat jarak antara mereka dan film itu sendiri melalui penjelasan poin-poin pengungkapan yang khas dari Japanese New Wave (Standish, 2011, hlm.31-32). Dengan penjelasan poin-poin tersebut, sang sutradara menyerang posisi nyaman penonton sebagai pengamat, dengan terus-menerus mengingatkan mereka bahwa ia tidak sedang menampilkan potret realitas yang objektif, melainkan konstruksi film yang subjektif. Jarak antara karya sebagai ciptaan dan penonton adalah terjemahan film dari independensi masyarakat dalam hubungannya dengan intelektual. 

Terayama menggunakan berbagai cara artifisial untuk membuat poin-poin pernyataannya menjadi eksplisit. Film ini dimulai dengan satu menit tanpa gambar di layar, di mana beberapa suara campuran terdengar: beberapa bisikan, suara sutradara melalui megafon dan, kemudian, suara dari apa yang tampaknya menjadi film berjalan. Kemudian, karakter utama muncul, meskipun pada titik ini kita tidak tahu apakah ia adalah karakter Kitagawa Eimei, atau aktor Sasaki Eimei; faktanya bahwa keduanya memiliki nama yang sama adalah konsisten, tujuan Terayama adalah untuk menghindari kepasifan penonton.

Dengan melihat ke arah kamera, ‘Eimei’ menyapa para penonton dengan sikap yang menentang, menyerang yang tidak ikut terlibat dan imunitas mereka: “Apa yang yang sedang kalian lakukan? Kalian semua duduk di sana menunggu di sekitar bioskop yang gelap. Tidak ada yang akan dimulai.” Saat ia berbicara, suara film yang sedang diputar masih terdengar, tapi karena kita tidak bisa melihat mesin, kita tidak tahu apakah itu kamera, proyektor atau keduanya. Jadi, dengan melihat adegan ini, kita bisa merasa berada pada posisi seseorang yang sedang membuat film dengan kamera, mengedit dengan proyektor di sebelahnya, atau memproyeksikannya di bioskop (Ridgely, 2011).

Adegan lain dalam film ini juga bermain-main dengan ambiguitas di antara berbagai peran, untuk mencapai efek yang sama, yaitu eksplisitasi poin-poin pernyataan. Contohnya, dalam adegan di mana tim sepak bola difilmkan di kamar mandi, kamera berkabut dan tiba-tiba tangan juru kamera masuk ke layar untuk membersihkan lensa dengan kain. Atau yang lainnya, ketika dua anak muda hippies terlihat merokok ganja di jalan, dan pria yang memotret meninggalkan kamera di tanah dan pergi untuk duduk bersama mereka dan mengambil beberapa lintingan. Namun sekali lagi, di akhir film, semua yang terlibat dalam produksi muncul, dan di antara mereka, aktor yang memerankan karakter utama menyapa para penonton, dan seperti pada adegan pertama: berpidato tentang sinema.

Cara lain dalam artifisialisasi adalah penggunaan filter warna yang berbeda untuk adegan film. Pada dasarnya, film ini menggunakan warna-warna berikut ini: hijau untuk syuting adegan hubungan keluarga Kitagawa, magenta untuk adegan saat Kitagawa melarikan diri dari kehidupan nyatanya melalui imajinasi dan fantasinya, dan, untuk adegan yang menunjukkan peristiwa di jalanan, kehidupan di restoran dan rumah bordil, atau tim sepak bola, semua ini difilmkan dalam warna penuh. Namun, di sepanjang film ini juga terdapat adegan hitam putih yang mewakili masa lalu keluarga Kitagawa sebelum Perang Dunia II, dan adegan berwarna merah atau biru yang mewakili kenangannya sendiri.

Fitur lain yang patut dicatat adalah teatrikalisasi (penggunaan topeng, pertunjukan di jalan, latar surealis, pakaian dan riasan teatrikal, akting yang berlebihan, estetika yang penuh dengan simbolisme), adegan musik, dan penyisipan foto serta teks pada layar. Terayama mengganti beberapa klip video di sepanjang film, sebagian di antaranya menampilkan kombinasi semua perangkat yang ada. Contoh yang bagus adalah klip video yang berada di sebelah kiri. Dimulai dengan kutipan pada layar: “Bahkan jika saya tahu bahwa kiamat akan terjadi besok, saya akan menanam pohon apel.”

Kemudian, beberapa adegan surealis muncul di mana unsur-unsur kehidupan modern dan apa yang tampak seperti kehidupan primitif disandingkan, semua ini dengan estetika teatrikal yang tumpang tindih di lokasi nyata: seorang perempuan dengan wajah dicat putih duduk di atas kain, yang lain hampir telanjang dan bersama anak-anaknya; seorang pria dengan wajah dicat putih juga dan dengan rambut yang sangat panjang, semuanya berbagi atap bangunan kota dengan ayam-ayam, dibungkus dengan asap kemerahan. Demikian juga, ada pergantian gambar-gambar yang difilmkan dari lanskap kota yang terdiri dari bangunan-bangunan beton dan foto-foto nisan dari pemakaman. Sementara itu, kita bisa mendengar lagu yang diputar di gambar belakang: “Agustus 1970. Aku melahirkan seorang anak. Tidak ada yang memberiku izin. Agustus 1970. Aku memanggilnya Jenla. Tidak ada yang memberiku izin. Agustus 1970. Perempuan lain hamil. Tidak ada yang memberikannya izin.”

Kombinasi formal dalam klip video dari elemen-elemen teater, musik, pergantian foto dan sisipan teks yang disebutkan di atas berkontribusi dalam menciptakan jarak antara film untuk menjaga independensi penonton. Sebaliknya, konten video klip secara simbolis mengkritik gagasan tentang kemajuan dan kekuasaan yang linear. Dalam beberapa hal, video klip ini menyampaikan gagasan bahwa, tidak peduli seberapa jauh sejarah maju dan gaya hidup berkembang, manusia pada dasarnya sama: mereka secara intrinsik terhubung dengan perkembangan alami (kelahiran, prokreasi, kematian) dan kehidupan sehari-hari dari ikatan keluarga. Dan lirik lagu tersebut, yang menyoroti fakta bahwa tidak ada izin yang diminta untuk dilahirkan, bereproduksi, dan memberikan identitas pada anak melalui sebuah nama, tampaknya mengungkapkan fakta bahwa dalam bidang yang saling berhubungan antara alam dan kehidupan sehari-hari inilah yang paling sulit untuk dipaksakan. Namun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa Terayama adalah seorang pencinta kehidupan perkotaan yang bertentangan dengan sudut pandang nostalgia akan realitas dan pencarian akan masa lalu yang orisinil.

Terakhir, watak sinema Terayama yang tidak mementingkan diri sendiri harus disebutkan. Meskipun Terayama bertujuan untuk tidak menggunakan kekuasaannya sebagai sutradara terhadap penonton dan tidak menjadikan filmnya sebagai objek konsumsi yang mendorong kepasifan, tujuan ini pada akhirnya tidak dapat direalisasikan. Ini hanyalah sebuah sikap filosofis-politis yang menggunakan sarana budaya dari kaum terpelajar atau seniman yang pada akhirnya melawan sarana itu sendiri, untuk menjamin tindakan dan kebebasan maksimal dari penonton atau masyarakat. Bukan berarti semua jenis wacana dihindari atau didelegitimasi, melainkan bahwa wacana dilihat bukan sebagai sesuatu yang memiliki nilai pada dirinya sendiri, melainkan sebagai alat yang memperoleh nilai maksimalnya jika ia menyangkal dirinya sendiri dalam mengejar pengalaman aktual. Dalam pengertian inilah kita harus membaca pernyataan Terayama berikut ini:

Ketika aku membuang buku-buku dan berdemonstrasi di jalanan, aku berpikir untuk mengubah kota menjadi buku… Dengan meninggalkan buku-buku cetak di ruang kerjaku dan berjalan ke setiap jalan-jalan di kota ini, buku secara paradoks mulai memiliki makna yang lebih besar dan lebih luas dalam pemikiranku (Terayama, dalam Morita, 2006, hlm.54).

Karena, dari sudut pandang ini, wacana harus digunakan secara mendasar dalam mengejar pengalaman aktual masyarakat, Terayama bermain dengan kemungkinan bahwa teks menjadi bagian dari kota dan terintegrasi. Itulah sebabnya mengapa sepanjang film, tidak hanya lirik dari beberapa lagu yang diperdengarkan, mengapa juga kutipan-kutipan dari beberapa penulis seperti Majakovsky, Hughes, Marlaux dan Terayama sendiri ditampilkan di tempat-tempat umum seperti trotoar, toilet, atau pasir di lapangan sepak bola. Pada satu titik dalam film ini, seorang gadis di atas tangga menulis kata-kata berikut di dinding dengan kapur putih: “Kota adalah sebuah buku yang terbuka. Tulislah di marginnya yang tak terbatas.” Aksi di jalanan, dan bukan sekadar penolakan wacana, bagi Terayama adalah hal yang membuat seni menjadi bermakna. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana Terayama yang sangat kritis terhadap gerakan politik. Pada saat yang sama melalui sinema ia menyerukan kepada para mahasiswa yang dimobilisasi selama tahun 1970-an untuk tidak mengisolasi diri mereka sendiri di dalam kampus-kampus yang diduduki, tetapi untuk menyebarkan pemberontakan mereka (Ridgely, 2011).

Judul film ini merupakan pernyataan dari niat yang sama. Seperti yang dicatat oleh Ridgely (2011), judul ini mirip dengan pesan yang disampaikan oleh narator novel André Gide dalam novel The Fruits of the Earth (Les Nourritures Terrestres) yang disampaikan kepada pembaca: “Buanglah buku saya.” Ini adalah pesan yang mengasumsikan paradoks dari otoritas penulis (novelis atau sutradara) melalui media (novel atau film), tetapi juga untuk menekan nilai ajaran dan otoritas pengarang serta otoritas dan media, yang dapat menumbuhkan indepedensi pembaca-penonton. 

Bagi Terayama, menonton film tidak bisa menjadi tindakan politik yang substansial, betapapun avant-garde-nya karya tersebut dan betapapun hal itu mendorong subjektivitas penonton. Pergi ke bioskop, bagaimanapun juga, adalah duduk di kursi dalam kegelapan, untuk sementara waktu menekan hubungan dengan orang lain, mengurung diri dan mengasingkan diri dari jalanan. Pandangan sinema terhadap sinema itu sendiri diekspresikan secara eksplisit dalam pidato berikut yang dibuat oleh Kitagawa, karakter utama, di akhir film:

Jika Anda memikirkannya, sebuah film hanya bisa ada di dalam kegelapan sinema. Dunia film berakhir saat lampu menyala; dunia film lenyap begitu saja. […] Bahkan dunia Polanski dan Ōshima Nagisa dan Antonioni, semuanya lenyap saat Anda menyalakan lampu. Menurut Anda, apakah Anda bisa menayangkan film di sisi bangunan pada siang hari? […] Saya menyukai Humphrey Bogart. Saya menyukai Cinemascope, pengambilan gambar di kota, adegan cinta… Saya menyukai Mr. Sukita, juru kamera; Mr. Terayama, sutradara; Mr. Usui, asistennya. Seluruh dunia itu, tapi aku tidak mencintai sinema. Selamat tinggal. Selamat tinggal, sinema.

Dalam film tersebut muncul interpretasi yang mungkin dapat melambangkan fungsi sinema yang melenyapkan diri seperti yang dipahami Terayama. Elemen ini adalah pesawat terbang yang belum sempurna yang ditenagai oleh tubuh Kitagawa, yang harus menahannya dengan lengannya dan berlari ke depan untuk membuatnya lepas landas. Pesawat terbang bertenaga manusia muncul dalam adegan yang difilmkan dengan filter monokrom magenta, yaitu, adegan di mana sang tokoh utama mencoba melarikan diri dari kenyataan. Demikian juga, huruf judul film yang muncul di awal, juga berwarna magenta, pada latar belakang monokrom hijau, warna adegan kehidupan keluarga Kitagawa.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sinema dan pesawat terbang bertenaga manusia melalui hubungan antara warna judul dengan warna filter adegan-adegan saat Kitagawa mencoba terbang dan melarikan diri (Ridgely, 2011). Seperti halnya ia menggunakan dunia imajinasinya, pesawat terbang bertenaga manusia, untuk melarikan diri dari realitas kehidupan sehari-hari yang terasing, dari sudut pandang Terayama, sinema juga merupakan dunia imajiner yang pada akhirnya melarikan diri dari kenyataan. Simbol pemusnahan diri muncul di akhir film, tepat sebelum Kitagawa berpidato mengucapkan selamat tinggal pada sinema, ketika ia merenungkan bagaimana pesawat terbang bertenaga manusia itu terbakar.

Kesimpulan 

Terlepas dari isinya yang membingungkan dan tidak adanya pesan yang jelas, serta kritik implisitnya terhadap wacana dan ideologi, jika kita mempertimbangkan konteks historis di mana Throw Away Your Books, Rally in the Streets dibuat dan hidup berdampingan dengan  pendekatan yang relatif sama yang berasal dari arus paling libertarian dari gerakan Kiri Baru Jepang, dapat disimpulkan bahwa ini adalah sebuah film politik dan bukan sekadar artistik atau eksperimental.

Sama seperti kaum Kiri Baru Jepang yang paling libertarian cenderung menggunakan sudut pandang politik eksistensialis yang menempatkan tindakan subjektif di atas wacana dan menganggap keterasingan sebagai kekuatan pendorong mendasar dari tindakan tersebut, bukan ideologi yang ditanamkan ke dalam masyarakat oleh seorang avant-garde, Terayama juga menggunakan sikap filosofis- politik yang serupa melalui sarana sinematografi. Alih-alih menawarkan kepada penonton gambaran ideal tentang bagaimana seharusnya subjek politik, Terayama menunjukkan melalui karakter-karakternya keterasingan yang dari sudut pandang paradigma eksistensialis ini, menggerakkan masyarakat; ia menunjukkan keinginan, ketakutan, disorientasi dan rasa frustrasi mereka, pengalaman mereka tanpa memandang keyakinan, nilai-nilai yang jelas, dan rencana-rencana yang rasional.

Pada saat yang sama, Terayama sejauh mungkin menolak posisi intelektual avant-garde di sepanjang film, melalui cara artifisial, bahwa apa yang dimaksud dengan penonton adalah menonton bukanlah sebuah kebenaran objektif dan tertutup, melainkan sebuah konstruksi subjektif yang terbuka bagi refleksi dan imajinasinya sebagai subjek aktif. Dengan mempertimbangkan perspektif ini, wacana yang berasal dari avant-garde adalah sesuatu yang secara intrinsik dan pada akhirnya menjauhkan masyarakat dari tindakan subjektif, kontradiksi yang tersirat dari fakta bahwa Terayama berusaha menumbuhkan tindakan subjektif penonton justru melalui sarana diskursif seperti sinema, dihadapkan pada sarana film itu sendiri: bisa dikatakan bahwa Terayama, sebagai sutradara, menjadikan sinema melawan sinema itu sendiri.

Referensi

Andrews, W., 2016. Dissenting Japan. A History of Japanese Radicalism and Counterculture

from 1945 to Fukushima. Londres: Hurst Publishers.

Centeno, M., 2012. Who Can Say that We Not Live Like Dogs? Retrospectiva de Shuji Terayama. Contrapicado. Escritos Sobre Cine. Retrieved 15 August 2017 from www.contrapicado.net. 

Furuhata, Y., 2013. Cinema of Actuality. Japanese Avant-Garde Filmaking in the Season of Image Politics. Durham and London: Duke University Press.

Havens, T.R.H., 1987. Fire Across the Sea. The Vietnam War and Japan. Princeton: Princeton

University Press.

Morita, N., 2006. ‘Avant-Garde, Pastiche, and Meia Crossing: Films of Terayama Shūji’, Waseda Global Forum 3: 53-58.

Noonan, P., 2010. ‘The Alterity of Cinema: Subjectivity Self-Negation, and Self-Realization in Yoshida Kijū’s Film Criticism’, Review of Japanese Culture and Society 20: 110-29.

Ridgely, S.C., 2011. Japanese Counterculture. The Antiestablishment Art of Terayama Shūji.

Minneapolis: University of Minnesota Press. 

Sorgenfrei, C.F., 2005. Unspeakable Acts: The Avant-Garde Theatre of Terayama Shūji and

Postwar Japan. Honolulu: University of Hawai’I Press.

Standish, I., 2011. Politics, Porn and Protest. Japanese Avant-Garde Cinema in the 1960s and

1970s. New York: The Continuum International Publishing Group.

Ferran de Vargas adalah kandidat doktoral di Universitat Autònoma de Barcelona. Makalah ini didasarkan pada penelitian untuk disertasi doktoralnya La Nūberu Bāgu como correlato artístico de la Nueva Izquierda japonesa, dan didukung oleh Research Group GREGAL (2017 SGR 1596). Ia dapat dihubungi di ferrandevargas.com/contact.

Diterjemahkan oleh: Galeh Pramudianto.

Desain oleh: Shafa Salsabilla

 

Sehari-hari beraktivitas di sekolah dan menyukai ‘s’ lainnya: sepak bola, soto, sop, sayur asem, sastra dan sinema sesekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top