Semesta Sinema Edwin dan Politik Keterasingan
Setiap kali menonton film Edwin, ada perasaan keterasingan yang membekas. Perasaan itu muncul ketika usai menonton debut film panjangnya, Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), yang membahas bagaimana kehidupan minoritas dalam struktur naratif abstrak, ataupun film panjang terbarunya, Kabut Berduri (2024), yang membahas perjalanan detektif Sanja dalam menumpas misteri pembunuhan di perbatasan Kalimantan-Malaysia. Keterasingan ini hadir mengingat Edwin menaruh karakternya dalam situasi yang genting, seolah menekan karakternya sedikit demi sedikit ke pojok selama film berlangsung. Situasi genting ini baik dalam bentuk merasa asing dengan dunia nyata seperti di Kebun Binatang (2012), atau merasa terpojok dalam penekanan relasi kuasa domestik dalam Posesif (2017).
Selain perasaan keterasingan, semesta sinema Edwin kerap membahas sesuatu yang lebih luas, yaitu konteks politik yang lebih makro. Seperti dalam Aruna dan Lidahnya (2018), yang mungkin saja terlihat seperti film wisata kuliner, namun, jika ditelaah lebih dalam, Edwin menyiratkan betapa bobroknya korupsi dan sengkarut birokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021), yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan dengan judul yang sama, membahas masyarakat patriarki yang menelurkan maskulinitas beracun dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Mania Cinema berkesempatan melakukan sesi wawancara dengan Edwin melalui daring pada 7 Agustus 2024. Edwin membahas perihal caranya membingkai perasaan menjadi minoritas yang terasa asing ke dalam film-filmnya. Lalu membahas bagaimana politik, zaman dan sinema akan selalu hidup berdampingan, sebab ia meyakini bahwa sinema harus dibaca sesuai dengan zamannya.
Karakter utama di film-film Anda kerap menghadapi perasaan keterasingan kontras, menjadi gagasan utama dalam film. Apa ini hal yang disengaja?
Sepertinya tidak disengaja, dan saya rasa tidak ada alasan spesifik mengapa kebanyakan karakter utama di film-film saya itu terasa terasing. Dalam menciptakan karakter, saya tidak pernah melakukan kategorisasi seperti itu.
Bagaimana dengan Babi Buta yang Ingin Terbang (2008)? Karena menurutku ada perasaan keterasingan yang cukup kuat di sana.
Bisa jadi, sih. Tapi, keberangkatan cerita film itu tidak berasal dari keterasingan, lebih mengarah kepada perasaan dan memori waktu belia tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Di film itu saya ingin menawarkan perasaan menjadi minoritas, karena ya, minoritas mungkin bisa dipahami dari definisi kamus, tapi saya rasa hal itu belum tentu bisa dirasakan oleh semua orang.
Selain perasaan keterasingan, saya merasakan bahwa gaya tutur Anda cukup berubah yang dari awalnya cenderung abstrak di beberapa film pendek, menjadi memiliki bentuk/form-nya sendiri di beberapa film panjang terakhir. Bisa diceritakan mengenai proses ini?
Setiap film saya memiliki bentuknya tersendiri, tergantung mengikuti dengan kebutuhan tiap filmnya saja. Di Babi Buta yang Ingin Terbang itu berangkat dari perasaan-perasaan abstrak saya, jadinya terasa lebih abstrak dan tidak membutuhkan naskah formal tiga babak yang ajeg. Kalau film lainnya tentu perlu karena cenderung melibatkan banyak orang. Saya rasa naskah formal tiga babak yang ajeg ini menjadi semacam panduan selama proses pembuatan film.
Di karya film pendekmu sebelum Babi Buta yang Ingin Terbang itu kerap terasa lebih abstrak ketimbang karya terbarumu, jadi apa yang memengaruhi hal ini?
Duh, apa, ya? Sudah lupa juga sebenarnya! Haha. Soalnya kamu membahas kerjaan yang umurnya sudah dua puluhan tahun lebih! Walaupun sudah lupa, saya rasa pasti ada pemicu atau alasan spesifik yang memotivasi saya membuat film pendek tertentu. Tapi, apapun alasannya, itu biasanya berangkat dari keinginan untuk berkeksperimen pada bentuk film. Penyebabnya di masa itu saya baru awal belajar film, jadi kebanyakan coba-coba saja, tidak berorientasi pada gagasan atau bahkan, pesan moral yang ingin disampaikan. Intinya, kemauan untuk berekesperimen yang dikombinasikan dengan anggaran produksi yang minim saat itu. Jadi, ya, selama uangnya ada dan syutingnya tidak terlalu membebankan kru dan pemeran, ya sudah, langsung bikin saja!
Berarti lebih mengarah kepada intuisi dan insting, ya,?
Hmm, ya, bisa dibilang begitu. Lebih mengarah kepada mood atau suasana hati saat itu. Misalnya, ketika proses pembuatan A Very Slow Breakfast (2002), itu berangkat hanya dari keinginantahuan saya mengenai gaya teknik film slow-motion. Saya hanya berpikir secara praktis saja di kala itu, karena proses pembuatan film slow-motion membutuhkan gulungan film seluloid yang ekstra. Saya jadi berpikir untuk membuat film ini sederhana saja: sebuah keluarga yang sedang sarapan di suatu ruangan. Ruangan itu juga mengambil dari studio kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di kala itu.
Selain keinginantahuan saya terhadap teknik slow-motion, saya juga penasaran apakah saya bisa membuat film tanpa dialog dan hanya dengan latar musik saja.
Ada beberapa artikel ulasan yang mengartikan film tersebut sebagai alegori dari keluarga disfungsional. Berarti ketika membuat itu, belum ada visi untuk ke sana?
Belum, kami hanya fokus untuk membuat suasana keluarga sarapan, saja. Tidak ada pernyataan awal bahwa yang dilakukan keluarga ini adalah disfungsional. Di film ini capaiannya berfokus pada teknis, bukan gagasan. Soalnya pada saat itu, pembuat film atau khalayak umum cukup malas kalau misalnya ingin membuat film slow-motion karena alasan anggaran yang banyak dihabiskan untuk gulungan film seluloid. Di film ini, sederhananya ingin menunjukan bahwa bisa, kok, kami membuat film slow-motion dengan anggaran yang tidak mahal. Begitu, kali, ya?
Anda berkuliah di IKJ saat itu lebih familiar dengan medium film seluloid ketimbang video, ya?
Iya, khususnya film seluloid 16mm. Karena saat itu medium video jauh lebih mahal ketimbang seluloid. Kamera dan alat-alat penunjang film seluloid juga sudah disediakan di kampus. Belum lagi karena kami dari kampus film, terkadang dapat potongan harga untuk gulungan film seluloidnya. Biasanya itu dari Kodak, dari stok lama mereka yang tidak laku dan dijual kembali dengan harga yang murah.
Sebelum berkuliah di IKJ, Anda juga pernah kuliah desain di Surabaya. Apakah di sana sudah familiar dengan film dan memegang kamera film seluloid?
Belum pernah. Baru familiar dan memegang kamera ketika berkuliah di IKJ. Soalnya tidak ada mata kuliah yang mengharuskan memegang kamera film. Mungkin ada beberapa mata kuliah seperti fotografi, tapi, ya itu tidak intens.
Anda sepertinya cukup intens menggeluti medium film seluloid. Dari film-film pendek awal sampai ke dua film panjang pertama menggunakan film seluloid. Anda juga menginisiasi Lab Laba Laba, sebuah lab eksperimentasi penggunaan film seluloid. Hal apa yang membuat Anda seintens dan setertarik itu dalam penggunaan film seluloid?
Mungkin daya tariknya adalah dari sifat seluloid yang cukup mekanis dan bisa dipegang secara fisik. Saya cukup takjub saat pertama kali melihat proses seluloid itu berjalan. Dari awalnya melihat negatif filmnya, ketika film itu terputar dan merekam, dan pada akhirnya ketika film itu disunting dan bisa ditonton. Saya rasa ada daya magisnya sendiri dari proses mekanis film seluloid itu. Dan, saya rasa mungkin ini adalah alasan utama mengapa saya bisa suka film, saya hanya ingin melihat proses mekanis dari film seluloid itu.
Terlepas fakta ketika medium video digital datang dan mempermudah pekerjaan, pengalaman pertama saya dengan film seluloid tidak bisa dilupakan. Beberapa sineas mungkin menyukai medium film seluloid karena bentuk gambarnya, tapi, saya tidak, saya lebih mengarah kepada ide mekanik dari suatu media rekam yang bisa membekukan waktu dalam proses mekanik yang unik ini.
Wah! Anda tampak begitu antusias dengan medium tersebut, ya. Tapi, 3 film panjangmu, yaitu Posesif (2017), Aruna dan Lidahnya (2018), dan Kabut Berduri (2024) itu menggunakan medium kamera digital. Jadi, bagaimana perasaannya dalam menggunakan kamera digital?
Ya, ngga apa-apa, sih. Bagi saya mau digital atau seluloid itu hanya pilihan medium saja. Saya tidak mau memaksakan dan idealis seperti dulu yang harus merekam film dengan kamera seluloid. Tapi, ya, jika ada pilihan dalam menggunakan kamera seluloid, saya akan memilih itu. Di Posesif (2017) itu kan ada rentang sekitar 5-6 tahun dari film saya sebelumnya, Kebun Binatang (2012). Di Posesif saya lebih fokus untuk bekerja dengan struktur naratif yang lebih populer dan dikenal lebih luas secara umum. Di situ saya juga belajar mengeksplorasi akting yang dramatis pada Posesif. Di film sebelumnya juga ada elemen akting, tapi tidak sekuat di Posesif karena sifatnya lebih dramatis.
Kamera digital itu lebih masuk akal untuk kebutuhan film yang seperti itu. Tidak perlu khawatir dengan stok gulungan film yang habis karena ada stok hardisk yang banyak untuk merekam akting. Di Aruna dan Lidahnya juga seperti itu, karena saya mengeksplorasi dialog yang terdengar natural tapi masih sesuai dengan naskah. Jadi, saya rasa dengan logika seperti itu, kamera digital lebih bekerja dan masuk akal untuk kebutuhan filmnya.
Di masa ketika Anda menggunakan medium kamera digital, Anda kerap mengerjakan film yang memiliki narasi populer/arus utama. Apakah ada siasat tersendiri untuk meramu struktur narasi semacam itu?
Tentunya ada. Harus ada kesadaran dalam film dengan struktur narasi populer seperti ini, elemen sebab-akibat dan cerita yang bisa ditakar logika itu adalah kuncinya. Jadi, harus fokus dalam mengembangkan elemen sebab-akibat itu, sih. Selain itu, untuk narasi populer itu saya lebih mengeksplorasi daya akting para pemeran. Mengembangkan ekspresi, gestur, dan gaya beraktingnya. Eksplorasi ini berguna dalam mengembangkan dramaturgi yang ingin diciptakan dalam film.
Berbicara soal dramaturgi, tokoh utama adalah sentral penentu dramaturgi suatu film. Anda sering menjadikan perempuan sebagai tokoh utama di hampir semua film, mengapa demikian?
Saya rasa perspektif perempuan jadi menarik karena mereka adalah minoritas. Karena saya tumbuh menjadi minoritas, saya merasa bahwa cerita-cerita dari masyarakat kelas minoritas itu terasa dekat dan nyambung saja sama saya. Saya bisa cukup relate dengan cerita dari masyarakat minoritas yang ada di Indonesia. Rasa kedekatan ini yang mungkin membuat saya ingin bercerita dari perspektif minoritas dan memudahkan dalam menuturkan ceritanya. Tapi saya tidak ingin hanya berfokus pada perempuan saja, mau laki-laki atau gender apapun, jika sudut pandangnya bergelut pada konflik minoritas saya akan merasa terhubung.
Sebagai laki-laki, bagaimana Anda merasa terhubung dengan karakter perempuan di film-film itu? Karena karakter perempuan di film-film Anda cukup terasa kompleks dan multi-dimensional.
Kembali ke pendekatan minoritas tadi, sih. Jadi selama membahas bagaimana perempuan menghadapi posisinya sebagai kelas minoritas, saya akan tetap merasa terhubung dengan karakternya. Kalau urusan apakah karakter perempuan ini representatif tetapi saya laki-laki, itu selalu bisa didiskusikan dengan kolega kerja saya yang juga banyak dikelilingi oleh perempuan. Saya selalu berdiskusi ke Meiske Taurisia, selaku produser saya mengenai keterwakilan itu. Ia selalu mengkritisi dan memberi saran mengenai karakter perempuan yang saya tulis.
Jika berbicara mengenai kehidupan minoritas, secara tidak langsung akan membahas mengenai relasi kuasa. Di film Anda, relasi kuasa kerap hadir secara domestik di Posesif, abstrak di Babi Buta yang Ingin Terbang, dan mengakar di masyarakat seperti di Seperti Dendam, Rindu Harus dibayar Tuntas (2021). Apakah hal ini disengaja?
Saya tidak pernah sengaja untuk mengarah ke arah relasi kuasa. Bahkan, selama duduk di bangku kuliah pun, istilah ini masih tidak terlalu familiar di pemahaman saya. Tapi saya rasa, hal ini terjadi secara natural saja karena ketika kami membahas kehidupan sebagai minoritas, mau tidak mau kami akan membahas hubungan kuasa di antara subjek dan dunianya.
Saya rasa film memiliki kemampuan untuk menciptakan gagasan yang lebih luas ketimbang apa yang saya inginkan. Karena, selagi membuat film pemahaman akan gagasan dari film yang ingin saya kerjakan itu hanya sekitar sepuluh persen saja. Sepuluh persen ini akan saya manfaatkan dengan sedemikian mungkin supaya menghasilkan sesuatu yang maksimal. Sisanya akan saya serahkan kepada penonton. Misalnya, cerita saya selalu berangkat dari perasaan menjadi minoritas, ketika ada penonton yang menganggap bahwa ini soal relasi kuasa, berarti itu sudah berada di tangan penonton, bukan di saya lagi. Bagi saya, inilah yang membuat efek dari film itu terasa magis.
Apakah ketertarikan Anda mengenai kehidupan mayoritas merembet ke ketertarikan pada suatu hal yang memiliki elemen politik seperti di film terbarumu, Kabut Berduri (2024)?
Ya, pasti, saya rasa semuanya berkaitan. Ketika membahas suatu topik, saya rasa topik utama tersebut akan merembet ke hal-hal lain, termasuk tentang politik. Bagi saya politik adalah elemen paling penting yang berada dalam masyarakat. Mau peduli atau tidak peduli, aktif atau tidak aktif, politik akan selalu hadir dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dalam merumuskan tokoh dan konflik untuk di film. Selain membahas bagaimana karakternya, kita juga harus memahami bagaimana konteks politik pada latar film dan pada latar ketika film itu dibuat.
Politik akan berpengaruh sampai ke ranah personal, walaupun kami tidak membahas mengenai film tentang politik secara eksplisit, tapi, secara implisit dampak itu akan terasa. Cukup tidak mungkin rasanya ketika membuat tokoh tapi tidak bersentuhan dengan politik yang ada pada semestanya.
Sineas juga perlu membuat keberpihakan yang politis terhadap kondisi zamannya. Saya rasa, tokoh yang ada di film itu sama juga seperti sineas, sama-sama manusia. Jadi, sineas harus sadar bahwa politik itu berperan penting dari yang mikro seperti di domestik rumah tangga hingga ke makro yang berpengaruh kepada masyarakat luas. Ketika sang sineas sudah memiliki kesadaran akan betapa radikalnya politik hadir di kehidupan keseharian masyarakat, maka elemen politik itu akan hadir pada tokoh-tokoh yang ada di filmnya.
Berarti dalam hal ini, aspek politik atau yang makro itu memengaruhi kompleksitas ke film-film Anda, ya?
Iya, betul. Saya rasa sinema adalah salah satu medium yang bisa merekam zaman, masyarakat dan juga tentunya, politik di zaman itu. Hal ini harus disadari dari yang merasakan film, baik pembuat film dan penonton film. Kontekstualitas politik itu tergantung pada zamannya, ketika menonton Kabut Berduri di 2024, maka penonton akan menggunakan perspektif zaman dan pengalaman politik dari tahun ini. Namun, ketika penonton di tahun 2050 menonton film tersebut, penonton akan menggunakan perspektif yang berbeda dari tahun 2024 karena politik pada zaman itu berbeda dengan zaman sekarang.
Jadi semacam kapsul waktu?
Bisa dibilang begitu. Soalnya, bagaimana manusia membaca film itu tergantung dengan zaman di mana ia menonton suatu film. Misalnya, saya pas kecil suka nonton Predator (1987), merasa terhibur saja rasanya dulu pas kecil. Tapi, ketika saya sudah dewasa, menonton film tersebut meninggalkan bekas yang berbeda. Misalnya perspektif saya terhadap Amerika Serikat, militerisme dan lain-lain. Zamannya sudah berubah dan perspektif saya juga sudah berubah. Jadi, membaca film harus disesuaikan dengan zamannya.
Untuk Kabut Berduri, kalau tidak salah itu inspirasinya berasal dari hasil riset seorang antropolog, Dave Lumenta bertahun-tahun lalu. Bagaimana proses kemunculan ide inspirasi yang berasal dari hasil riset yang kemudian diejewantahkan dalam bentuk naskah film?
Dari awal ketika membaca hasil penelitian Dave Lumenta, saya sudah tertarik dengan gagasannya. Kala itu, hasil penelitiannya masih berbentuk foto dokumentasi. Hasil dokumentasi ini sudah ada sejak ia masih kuliah, jadi fotonya itu dari sekitar tahun 1990-an sampai pertengahan 2000-an. Mulai saat itu, ketika berjumpa dengan Dave, saya selalu membahas mengenai hasil risetnya, dan mencita-citakan suatu saat membuat sesuatu dari hasil riset ini. Akhirnya, impian itu baru terwujud sekarang.
Ngomong-ngomong soal Dave Lumenta, ia menggubah musik Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Di film itu, musiknya terdengar cukup “tradisional”, dengan mengikuti pakem musik dangdut. Di Kabut Berduri, Dave juga ikut serta lagi dalam menggubah musik, tapi, musiknya tidak terdengar “tradisional”, mengapa demikian?
Terkait hal tersebut, sebenarnya saya hanya mengikuti konsep genre detektif, saja, sih. Walaupun begitu, ada juga, kok, elemen Kalimantan atau Dayak dalam musiknya, tapi tidak bersifat etnis yang tradisional. Kami sangat menghindari penggambaran yang eksotis untuk film ini, baik yang hadir dalam corak ragam kebudayaannya. Jadinya, untuk musik, saya hanya memberi arahan yang sesuai untuk genre film detektif kepada Dave.
Untuk menghindari penggambaran yang eksotis, dibutuhkan riset intens, selain dari hasil riset Dave Lumenta, cara apa yang Anda dan kru lakukan untuk menghindari penggambaran ekostisme tersebut?
Intinya, sebisa mungkin untuk tetap setia pada hasil risetnya Dave, berusaha untuk tetap objektif. Sebenarnya, genre film detektif ini cukup membantu untuk saya menghindar dari elemen eksotisme. Genre detektif itu cenderung menggunakan logika sebab-akibat, bergerak menggunakan insting-investing, semua hal memiliki intensi yang jelas, sehingga tidak ada elemen-elemen yang dibuat asing. Saya rasa, eksotisme terjadi ketika ada sesuatu yang asing, dan belum sempat diproses atau dipelajari tapi menarik untuk ditampilkan. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya riset, tapi di produksi kami, risetnya saya rasa sudah cukup. Namun karena tim produksi kami dari Pulau Jawa, perspektif kami juga berasal dari sana. Tentunya ada rasa takjub ketika melihat alam Kalimantan yang indah, tapi saya pikir rasa ketertakjuban itu tidak perlu dibawa ke film.
Film ini memiliki hubungan dengan gerakan komunis PARAKU di Kalimantan. Ketika meriset, Anda lebih fokus kepada sejarah PARAKU atau masyarakat di perbatasan Kalimantan-Malaysia sana?
Tentunya saya ada membaca mengenai sejarah PARAKU, walaupun film ini tidak menceritakan sejarah PARAKU sebagai konflik utama, tapi signifikansi PARAKU pada pelengkap cerita bisa dibilang cukup kuat. Namun, saat meriset saya lebih fokus tentang bagaimana masyarakat perbatasan wilayah ini hidup dan bermasyarakat pada umumnya. Tentang bagaimana mereka berbicara, berkeseharian dan saya jadi tahu kalau mereka ini cukup menghindar dengan jalan raya pada siang hari, karena aspal di jalan raya bikin kaki mereka kepanasan. Mungkin hal-hal seperti itu yang saya lebih perhatikan demi kepentingan film juga.
Membahas mengenai kebiasaan masyarakat, di film, sosok Ambong seperti disakralkan. Apakah pada kenyataannya sosok juga demikian?
Sebenarnya bukan disakralkan, tapi lebih dikenal. Masyarakat cukup dekat dengan sosok Ambong. Memang, pada awal sebelum riset, saya mengira sosok Ambong ini seperti didewakan dan saya kira masyarakat seperti ada hubungan spiritual dengan sosok ini. Ternyata tidak. Sosok Ambong lebih seperti urban legend saja. Ada yang mempercayai ia bisa menghilang, jalan di air dan bisa di dua tempat dalam satu waktu bersamaan. Sosoknya terasa dekat dan membaur bersama masyarakat.
Walaupun begitu, istilah Ambong di film ini adalah bentuk fiksi dari sosok aslinya. Hal ini sengaja kami lakukan demi kebutuhan film. Sosok aslinya adalah Bong Kee Chok, atau dipanggil dengan “Bong”. Bong Kee Chok sendiri adalah salah satu tokoh penting PARAKU.
Sosoknya jadi dikenal sebagai urban legend karena bagaimana sukarnya ia ditemukan oleh militer Indonesia ketika pasca 1965 itu. Bong Kee Chok ini sosoknya ada dan nyata, ia tidak dihadirkan sebagai sosok magis seperti hantu layaknya di film. Ia masih hidup dan tanggal di Malaysia (red: Bong Kee Chok meninggal pada 6 Febuari 2023 di Malaysia). Terakhir kali saya baca berita mengenainya, ia pernah bertemu dengan Hendro Priyono di suatu tempat.
Karena juga, Kehadiran PARAKU juga dibilang menarik. PARAKU sendiri dipersenjatai oleh militer Indonesia di kala orde lama untuk melawan kemerdekaan Malaysia. Namun ketika Orde Baru hadir, militer Indonesia kemudian menumpas PARAKU karena paham komunisnya. Ironis juga kalau dipikir-pikir, awalnya didukung oleh negara tapi akhirnya ditumpas oleh negara juga.
Bagaimana Anda menyisipkan PARAKU sebagai elemen penting dalam film tapi tetap fokus pada cerita detektifnya?
Sejujurnya, awalnya saya bingung bagaimana cara memasukkan elemen komunis atau PARAKU itu ke dalam film. Saya rasa istilah “komunis” tidak lagi menjadi istilah yang lumrah di telinga masyarakat awam, setidaknya di lingkungan saya. Kita sudah jarang mendengar orang menyisipkan kata “komunis” ketika sedang nongkrong di kedai kopi. Tapi ketika saya meriset film ini, tepatnya di perbatasan wilayah Kalimantan dan Malaysia itu, saya melihat ada sebuah container bercorak loreng tentara. Kemudian, saya bertanya kepada anak-anak kecil yang sedang bermain di sana, mereka menjawab, “ini ditemukan dari hutan dan diangkut ke sini, katanya ini dulu untuk siksa komunis!”. Ketika saya mendengarkan itu, saya rasa wajar saja untuk membahas komunis dalam film ini.
Dari semua film Anda, ada banyak aspek politik dan sejarah yang hadir di dalam filmmu. Menurutmu, seberapa penting aspek ini dalam kehidupan sehari-hari?
Saya tidak bisa bicara untuk penonton, tapi setidaknya bagi saya, politik itu sangat penting. Masih banyak hal yang belum terjawab mengenai sejarah dan masa lalu kita. Saya cukup tertarik menjadi orang Indonesia, karena dari banyak suku dan etnis yang ada di sini, saya masih tahu sedikit mengenai hal itu. Dan, saya selalu tertarik untuk menceritakannya pada suatu saat. Semoga saya masih punya waktu dan tenaga untuk menceritakan kisah-kisah masa lalu yang belum sempat diceritakan. Semoga ya!
Ditulis dan diwawancara oleh: Galih Pramuditho
Desain oleh: Bagus Pribadi
Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.
Leave a Reply