Mania Cinema

Perlawanan Sinema Eksperimental Han Ok-hee dan Kaidu Club

Artikel ini diterjemahkan dari tulisan milik Jesse Cumming, dengan judul Together We’re Willing to Take Any Risk: The Films of Han Ok-hee and Kaidu Club, terbit di Cinema Scope pada 23/09/2019

“Ada dua prasangka dalam sinema: membuat film adalah pekerjaan laki-laki dan film harus menghibur. Kami, sebagai pihak luar, akan menghancurkan bias ini.” Han Ok-hee, 1974

Pada tahun 1974, sekelompok mahasiswa Universitas Perempuan Ewha yang bergengsi di Seoul membentuk kolektif film feminis pertama di Korea Selatan, Kaidu Club. Dipimpin oleh Han Ok-hee, dan beranggotakan pelukis Kim Jeom-seon, juga akademisi dan seniman Lee Jeong-hee, Han Soon-ae, Jang Myo-sook, dan Wang Gyu-won, yang terlibat dalam ragam  partisipasi selama lima tahun berdirinya klub. Sesuai dengan sebutan “Club”, grup ini berkomitmen untuk mempromosikan dan memproduksi sinema eksperimental, yang saat itu masih berada di tahap awal di Korea Selatan.

Kedua elemen itu pun menandakan debut resmi Kaidu Club pada Juli 1974, di saat mereka mengadakan festival film eksperimental pertama di negaranya, di atap pusat perbelanjaan Shinsegae di Seoul, menampilkan film mereka dan juga film dari rekan-rekan mereka, seperti Kim Jum-sun, Yi Jeong-hee, dan sineas Amerika Ed Emshwiller. Acara dengan jenis serupa diterapkan kembali di tahun 1975 dan 1977, dengan lebih memfokuskan karya produksi mereka sendiri, dan menjadikannya sebuah acara festival singkat namun penting dalam sejarah perfilman Korea.

Kaidu Club adalah satu dari beberapa perkumpulan seniman dan pembuat film yang mengisi ranah budaya Korea Selatan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, termasuk kolektif seni visual seperti The A.G. (atau Avant-garde), Shin Jun Group, dan Fourth Group. (Yang terakhir termasuk Kim Ku-lim, sutradara The Meaning of 1/24 Second, film pendek 1969 yang kerap dianggap sebagai film eksperimental pertama Korea Selatan.) Perkumpulan film yang lebih berdedikasi termasuk pelopor awal Cine-Poem dan afiliasi Kaidu Club, Moving Image Research Group, yang memamerkan proyek-proyek awal Han pada tahun 1973, setahun sebelum pembentukan resmi Kaidu Club dan festival film eksperimental.

Sifat Kaidu Club yang tidak ajeg dan bersifat lintas disiplin—yang sempat menggunakan nama Kaidu Experimental Film Research Society, untuk menandakan proyek mereka yang lebih akademis—tercermin dalam karya sinematiknya. Di saat filmografi mereka terdapat banyak karya kolektif, kebanyakan proyek Kaidu Club dirilis di bawah nama Han, dengan anggota lain yang berkontribusi di luar pusat produksi. Rope (1974) adalah salah satunya, disutradarai oleh Han dan diputar pada festival tahun 1974.

Kebanyakan proyek dari Kaidu Club membahas tema perpisahan dan pengasingan, namun Rope (1974) adalah salah satu karya Han yang paling teknis dan formal, dibuat dari animasi single-frame dari objek eponim yang dikoreografikan di atas selembar kertas di studio. Tali yang dimanipulasi—yang bisa diartikan sebagai tali gantungan, tali pusar, atau pita film—selalu diiringi bermacam objek lain yang bergerak-gerak (dayung, jala, panci, sepatu, bola sepak, payung, tangga, dan lainnya), juga bagian tubuh pembuat film dan bayangannya. Film ini juga menggunakan potongan dari rekaman dokumenter yang diambil di jalanan Seoul, digabungkan dengan montase asosiatif yang menyenangkan, seperti memotong adegan dari jaring ikan ke adegan kios pasar, atau close-up tali menjadi ular hidup. Momen akhir film ini sangat intens, dengan pergerakan kamera yang kacau dan kabur, dengan noda cat biru yang mengapung di permukaan rekaman hitam-putih. 

Kaidu Club muncul kurang dari lima tahun setelah The Meaning of 1/24 Second (1969) karya Kim Ku Lim. Jejak semangat dan eksperimentasi tajam dari film Kim yang dinamis terlihat jelas dalam Rope (1974) dan sejumlah film pendek Han dan Kaidu Club—khususnya pendekatan cepat dalam merangkai dan menyandingkan elemen, hubungan ambivalen dengan kota Seoul yang sedang mengalami modernisasi, dan gaya bebas yang khas dan hasil karya sendiri. Gaya ini menggabungkan tema industri, seni, budaya, politik, dan perdagangan melalui perpaduan dokumenter, animasi, dan percikan narasi yang surealis.

Gaya dan teknik khas film eksperimental kerap kali digunakan pada film-film awal Han, namun film pendek 2minutes40seconds (1975) (yang sebenarnya berdurasi lebih dari 10 menit) lebih condong ke arah dokumenter. Sepanjang durasi, para pembuat film menyusun montase asosiatif yang menampilkan berbagai momen dalam cerminan kehidupan dan budaya kontemporer Korea Selatan, dengan tema utama pembagian Korea saat itu yang masih relatif baru. Seperti film Han lainnya, penyuntingan dilakukan dengan cepat, dan elemen tradisional seperti kuil, doa, seni, pertukangan kayu, dan lainnya, disandingkan dengan hal-hal yang biasa, seperti hewan, olahraga, anak-anak bermain, juga gambar lokasi konstruksi dan simbol modernitas lainnya.

Film ini juga menampilkan sentuhan estetika avant-garde tradisional, seperti komposisi hampir abstrak dari bahan bangunan dan pantulan cahaya di air, atau permainan teknis dengan fokus dan tingkat pencahayaan. Tanpa dialog, film ini diiringi musik yang menggelegar dan kadang foley yang cukup intens. Salah satu motif yang berulang adalah pagar kawat berduri, dan setiap kemunculannya memberi jeda pada aliran gambar yang cepat, meskipun hanya sesaat. Sebagai film yang dimaksudkan untuk menghormati warga yang bermimpi tentang persatuan Korea Utara dan Korea Selatan, hasil akhirnya terasa pas karena bersifat bertahap, dengan susunan mozaik yang muncul sebagai kapsul waktu kaya makna, melampaui nilai dari sekadar kumpulan bagian-bagiannya. 

Hole (1974) merupakan salah satu karya Kaidu Club yang paling dikenang dan menjadi bukti pendekatan mereka yang beragam dalam pembuatan film. Latar belakang seni lintas disiplin grup ini terlihat jelas di awal film, yang menunjukkan detail lukisan abstrak sebelum beralih ke narasi bebas tentang seorang pemuda yang melarikan diri dari sel penjara ke kota besar yang akhirnya memutuskan untuk kembali. Alih-alih menggunakan dialog atau narasi suara, desain suara film ini memadukan komposisi musik elektronik, surf rock, psychedelic funk, efek suara napas berat, dan efek audio lainnya.

Secara visual, film ini sama dinamisnya, terutama dalam cara menggabungkan dan memodifikasi bermacam gaya sinema eksperimental dari berbagai era menjadi sesuatu yang unik, termasuk manipulasi materialis tahun 1960-an dan 1970-an, dan permainan teknis lainnya seperti solarisasi, sudut kamera miring (Dutch angles), serta gambar tangan yang menjulur melewati dinding, yang mengingatkan pada film Ménilmontant (1926) karya Dimitri Kirsanoff atau psikodrama Hollywood tahun 1940-an. Walau ada yang menduga bahwa Han dan grupnya mungkin terinspirasi oleh karya eksperimental maksimalis dari sineas Jepang seperti Terayama Shuji dan Matsumoto Toshio, pengaruh Barat dalam film ini terlihat jelas di akhir film dengan tulisan (“FIN”). Hal ini mencerminkan pengaruh budaya asing yang ada di tempat pemutaran lokal saat itu, yang sejarahnya telah diteliti oleh cendekiawan seperti Oh Junho, Park Nohchool, dan lainnya.

Kelompok penonton film dan intelektual di Seoul yang menghadiri pemutaran film di lembaga-lembaga budaya utama—seperti Goethe-Institut, Pusat Kebudayaan Perancis, dan Layanan Informasi Amerika Serikat—tidak lebih resmi dibandingkan kolektif film terorganisir lainnya yang aktif saat itu. Pemutaran-pemutaran ini memberi akses penting dan berpengaruh terhadap sinema seni internasional. Diskusi tentang Kaidu Club, aktivitas, dan karya seni mereka dapat dilihat dalam konteks budaya film Korea tahun 1970-an, yang sering disebut sebagai “dark ages” atau “masa kegelapan” dalam sejarah sinema Korea, terjepit di antara masa keemasan tahun 1960-an dan gerakan New Korean Cinema atau Sinema Korea Baru tahun 1990-an.

Dekade ini sangat ditandai oleh kebijakan budaya diktator Park Chung-hee, yang telah menjadi presiden Korea Selatan sejak tahun 1961. Dengan pengukuhan kekuasaan Park pada tahun 1973 melalui Konstitusi Yu-shin, undang-undang sensor negara ditulis ulang dan diperkuat, yang mengarah pada pembatasan konten dan pemeriksaan yang lebih ketat terhadap skrip dan film. Kebijakan ini juga memengaruhi standar pameran komersial pada era tersebut, dengan pembatasan pada film asing serta film pendek independen, yang memaksa perlu adanya tempat pemutaran alternatif seperti pusat-pusat budaya yang disebutkan di atas, kafe, dan banyak lagi. 

Terlepas dari apakah popularitasnya dapat dikaitkan dengan peran penting Goethe-Institut atau tidak, beberapa ahli mencatat bahwa Manifesto Oberhausen 1962 memiliki pengaruh penting bagi grup dan seniman di kancah perfilman Seoul tahun 1960-an dan 1970-an. Manifesto ini ditulis dan ditandatangani oleh sejumlah sineas Jerman, seperti Alexander Kluge, Edgar Reitz, dan Haro Senft, sebagai kritik terhadap sinema komersial nasional mereka. Meski sering salah dikutip dengan frasa “cinema’s papa is dead” (dalam artian, sinema yang lama sudah mati, mereka hanya percaya pada sinema yang baru) penting untuk dicatat bahwa kesalahpahaman ini juga masuk ke Korea. Slogan tersebut memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip Han dan Kaidu Club, yang menentang dominasi sinema mainstream patriarkis dalam budaya film Korea. Penolakan ini juga secara tegas diarahkan pada “Chungmuro,” istilah yang merujuk pada industri film komersial domestik Korea, mirip dengan “Hollywood.”

Secara khusus, tahun 1974 terbukti menjadi tahun yang penting dalam sejarah perfilman Korea, tahun di mana bentuk-bentuk gaya yang berbeda dapat dikenali dan akan mempengaruhi sisa dekade ini serta perkembangan sinematik nasional di kemudian hari, khususnya dalam hal representasi perempuan. Di satu sisi adalah perilisan film Heavenly Homecoming to Stars (1974) karya Lee Jang-ho, yang pada saat itu merupakan film Korea terlaris sepanjang masa.

Sebuah catatan penting dalam genre “hostess films” yang mendominasi industri komersial tahun 1970-an— “hostess” yang berarti “pelacur”—film ini memiliki hubungan yang sama dengan film Barat genre  “wanita yang jatuh” beberapa dekade sebelumnya, yang plotnya biasanya penuh dengan kekerasan seksual dan akhir yang tragis. Penelitian Yu Sun-young tentang sinema “zaman kegelapan” menunjukkan bahwa “hostess atau pekerja seks mencapai 87,5% dari seluruh karakter perempuan di film yang diproduksi dari tahun 1971 hingga 1979.” Walau reputasi film Lee dan beberapa film hostess lainnya telah berubah seiring waktu—dengan pujian dari beberapa kritikus karena dianggap memiliki kesadaran kelas— film-film tersebut, industri yang membuatnya, dan kebijakan yang mendukung dominasinya menjadi sasaran kritik Kaidu Club.

Salah satu film Han Ok-hee yang diproduksi di masa akhir keanggotaannya dengan Kaidu Club berjudul Untitled 77-A (1977), sebuah potret diri jenaka namun penuh makna yang menggambarkan seniman sebagai sosok kreatif yang terhambat, sekaligus salah satu karyanya yang secara gamblang menonjolkan tokoh utama perempuan. Film ini dimulai dengan Han di studio gelap, memotong film 35mm dengan gunting lalu menyambung, merakit, dan memproyeksikannya. Proyeksi film ini banyak berisi cuplikan bernuansa kuning dalam bentuk kolase impresionistik. Seperti film sebelumnya, terdapat gabungan rekaman observasi tentang pejalan kaki, seniman, dan olahraga, namun kali ini juga menampilkan Han dan pembuat film lainnya di tengah keramaian, dengan kamera yang diarahkan ke mata atau diletakkan di pangkuan Han sembari ia duduk di alun-alun kota.

Di antara kilasan cepat ini, film terus kembali menampilkan ke Han di studionya, membungkus gulungan seluloid di tubuhnya dan memainkan gunting, termasuk menggunting secara dramatis di depan sinar proyektor dalam semacam pertunjukan sinema pseudo-expanded. Akhirnya film ini berubah menjadi mengerikan, ketika gunting tersebut menusuk dinding putih dan menghasilkan aliran misterius yang berubah menjadi cipratan darah palsu. Jika film ini menampilkan rasa kegelapan, frustrasi, dan klaustrofobia yang juga menginformasikan Hole (1974) dan elemen-elemen 2mintutes40seconds (1975), momen-momen terakhirnya berfungsi untuk memecah suasana, sembari ruangan yang gelap diterangi dan Han bergabung dengan seorang kolaborator yang tersenyum untuk mengucapkan satu-satunya kata dalam film (dalam bahasa Inggris): “Cut!

Walau terpecah pada akhir tahun 1970-an, pengaruh dan pentingnya  Kaidu Club terlihat jelas pada kebangkitan sinema tahun 1980-an dan 1990-an pasca-Park Chung-hee, era yang tidak hanya menjadi saksi kemunculan generasi baru pembuat film feminis, tapi juga berkembangnya praktik dokumenter yang penting. Demikian pula, dasar yang ditetapkan oleh grup ini menjadi cikal bakal bagi Small Film Festival pada pertengahan tahun 1980-an dan EXiS Experimental Film and Video Festival yang masih ada hingga sekarang.

Han sendiri sempat berpindah ke Jerman pada tahun 1980-an untuk melanjutkan studi pascasarjana, dan akhirnya kembali ke Korea Selatan untuk lanjut berkarya di dunia film. Meski tidak pernah bergabung ke dunia arus utama Chungmuro yang ditentang oleh grupnya, karya Han di tahun 1980-an dan 1990-an lebih berfokus pada ranah industri dan komersial, yang berpuncak pada film IMAX berjudul Running Korean (1993), dibuat sebagai film promosi untuk Taejon Expo tahun 1993. 

Jelas jauh dari sifat kasar dan eksperimental sebelumnya, film ini menunjukkan kualitas yang sama dengan film seperti 2minutes40seconds (1975) dalam hal penonjolan terhadap seni dan budaya Korea. Hal ini terlihat dari cuplikan pertunjukan musik penuh warna dan juga karya kerajinan tangan lainnya. (Satu adegan bahkan meniru pembukaan dan penutupan film sebelumnya, yaitu seorang biksu Buddha yang membunyikan lonceng besar). Jika modernitas dan perkembangan yang muncul di karya-karya Han sebelumnya terasa ragu-ragu dan ambivalen, di film ini Han menggunakan montase untuk menghubungkan teknik cetak tradisional dengan ilmu komputer modern dan perkembangan teknologi lainnya dalam gaya yang sangat membanggakan; bahkan perayaan seni Korea juga diperbarui, dengan karya tekstil dan tembikar yang tampil bersama Nam June Paik yang  kekanak-kanakan ketika memainkan patung “TV Cello” media campurannya.

Pada adegan terakhir sebelum seorang pelari dan matahari bersinar, Han kembali menampilkan ansambel drum dengan kamera terfokus pada pusaran tiga warna Taegeuk di tengah kulit drum, yang menambahkan warna kuning (melambangkan kemanusiaan) pada warna biru dan merah di bendera Korea Selatan. Desain ini, dengan maknanya tentang keseimbangan, sangat cocok untuk Han sebagai seniman yang telah lama mendukung karya kolaboratif dan menciptakan harmoni dari elemen-elemen yang tampaknya bertolak belakang.

Jesse Cumming ialah kurator, penulis dan peneliti. Ia turut serta dalam program Weavelenghts pada Festival Film Toronto sebagai salah satu asisten kurator. Beberapa tulisannya sudah dimuat dalam publikasi seperti: Cinema ScopeThe Brooklyn RailMUBI NotebookFilmmaker MagazineHyperallergicCanadian ArtAnother GazeC MagazineBerlin Art Link dan lainnya. Ia mengambil pendidikan magister pada jurusan Komunikasi dan Budaya di Universitas York.

Diterjemahkan oleh: Shanya Putri

Desain oleh: Leonard Dimas

Lulusan Pendidikan Bahasa Inggris yang tumbuh dan besar di Pekanbaru. Sejak masa sekolah sudah gemar menonton film dan membaca buku. Saat ini sedang mengelola toko buku daring independen (Instagram @shanlibrary), sambil terus berbagi ulasan dan rekomendasi bacaan melalui akun Instagram @shanreads. Selain itu, cukup menggandrungi seluruh rilisan solo dari mantan anggota One Direction.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top