Mania Cinema

Sorry We Missed You : Kapitalisme dan Keluarga.

Pertengahan tahun ini, mediasosial diramaikan dengan viralnya rumor eksploitasi perusahaan pengiriman barang pada kurir mitra. Rupa-rupa kenelangsaan dipublikasikan mulai dari pelanggan menyebalkan dalam pengiriman cash on delivery, penurunan insentif yang diterapkan perusahaan, hingga aksi mogok kerja dan implikasinya pada ketepatan waktu barang untuk sampai.

Narasi negatif pada konsep “mitra” perusahaan ini selalu membawa saya pada film Sorry We Missed You, yang disutradarai Ken Loach. Bercerita tentang Ricky Turner, seorang kelas pekerja di Newcastle Inggris yang mencoba peruntungannya dalam bekerja dengan zero-hour contract, di mana pekerja mitra, yang dapat menentukan jam kerjanya sendiri dan berpenghasilan sesuai pekerjaan yang diselesaikan. Kemiskinan dan tekanan lingkungan kerja membuat kehidupan keluarganya renggang. Istrinya Abby, dan kedua anaknya Seb dan Liza terpengaruh langsung secara finansial dan psikologis.

Loach yang dikenal dengan penggambaran realis kelas pekerja dalam filmografinya, berusaha mengeksplorasi kecacatan sistem ekonomi ini. Ia membawakan kemiskinan dalam suasana depresif tanpa sekalipun memaksakan kesedihan kepada penonton, menangkap realita keseharian manusia yang memang nyatanya menyedihkan. Konstruksi penggambaran realis ini membuat karyanya menjadi autentik.

Ilusi Kewirausahaan

Film dibuka dengan eksposisi pekerjaan Ricky oleh Maloney, mandor pengirim barang. “Pengirim barang tidak dipekerjakan, mereka ikut serta. Pengirim barang tidak bekerja untuk perusahaan, mereka bekerja bersama perusahaan. Tidak ada kontrak kerja, tidak ada target performa. Tidak ada gaji, tapi pembayaran.” Eksposisi ini diatas kertas terasa seperti sebuah preposisi ide bisnis. Ricky tidak bekerja dengan jam yang ditentukan. Ricky adalah seorang pengusaha waralaba. Membeli mobil pengantar barang merupakan sebuah modal yang harus ia gelontorkan untuk memulai bisnisnya. Narasi ini meyakinkan Ricky bahwa ia bekerja untuk dirinya sendiri. Ilusi Kewirausahaan ini pada akhirnya dihadapkan oleh banyak beban berat yang harus ditanggung oleh kurir pengirim barang.

Pemindai yang berfungsi sebagai peranti dalam cerita, merupakan barang yang dipinjamkan perusahaan kepada Ricky. Benda ini mengatur alamat, daftar pekerjaan yang harus dilakukan, juga menjadi alat pelacak keberadaan paket. Pemindai ini menyimpan ketepatan waktu kurir dan data pelanggan. Pemindai mengatur pekerjaannya, jam kerjanya, juga target kerjanya. Alat ini pada akhirnya mengaburkan definisi kewirausahaan dalam pekerjaannya. Ricky yang semula yakin ia bekerja untuk dirinya sendiri, sekarang menyadari bahwa dirinya bekerja untuk pemindai tersebut.

Pemindai menjadi alegori pemegang modal atau si kapitalis. Ia tidak berwajah, berlindung dibalik nama perusahaan. Ia tidak peduli apa yang pekerja lalui, ia hanya ingin tugas yang tertera selesai. Dalam sebuah adegan, Ricky terpaksa dibawa ke rumah sakit karena mengalami pembegalan paket dijalan. Ia harus membayar biaya perawatannya sendiri, juga harus mengganti rugi barang hilang yang tidak punya asuransi. Pemindai yang dipinjamkan kepada Ricky hancur, sehingga ia juga harus membayar biaya ganti rugi.

Cerita pembodohan pekerja ini dikemas dengan subtil, seakan-akan apa yang disajikan dalam layar menjadi realita mutlak. Kamera ditempatkan jauh dari karakter, menggunakan lensa panjang. Pergerakan kamera juga dibatasi kepada panning simpel. Loach mendorong perasaan “objektif” kepada penonton. Karakter terlihat jauh, dan kecil. Penonton ditempatkan sebagai peneropong dari jauh, menyaksikan kelicikan nyata si kaya dan kepelikan hidup si miskin. Kamera tidak dibiarkan masuk kedalam dialog diantara karakter. Mencegah penonton menghidupi kenelangsaanRicky, dibatasi cukup menyaksikan tanpa bisa melakukan apapun untuknya. Meskipun penonton dihadirkan sebagai pengamat, keberpihakan Loach tetap jelas.  Loach seakan memberikan kita teropong dan memaksa kita menyaksikan titik yang ia inginkan, mengisolasi titik lain yang tidak mendukung penceritaannya.

image

Kerja, Kerja, Kerja, Keluarga?

Sadar tidak sadar, ilusi ini telah masuk dalam sela-sela hubungan keluarganya, menggerogitinya sampai habis. Secara literal dan figuratif Ricky bersekutu dengan setan, menjual keharmonisan keluarga demi status tidak resmi sebagai wirausahawan. Dijanjikan glamornya kemadirian, juga kebebasan untuk menentukan kapan dan kemana ia bekerja. Semua kemungkinan buruk terbang menggocek kepalanya. Pada akhirnya realita lapangan yang membuatnya babak belur.

Ricky pernah jadi seseorang yang nyaman secara ekonomi. Ia berkeluarga dan memiliki rumah cicilan yang ia yakini akan lunas seiring waktu. Hingga keuangannya hancur bersama dengan resesi ekonomi tahun 2008. Sejak saat itu, Ricky hidup mengontrak bersama keluarganya, bekerja untuk bertahan hidup. Sampai pada akhirnya Ricky menemukan konsep kerja mitra ini. Dengan pekerjaan barunya, Ricky menjajikan kehidupan yang lebih layak kepada keluarnganya. Sepanjang film, Abby, Seb, dan Liza tidak diperlihatkan memiliki kekhawatiran pada kondisi ekonomi keluarganya. Ironisnya, mereka bahagia dalam kesederhanaan. Namun, semua berubah, ketika Ricky
memutuskan untuk mengambil bagian dalam bisnis zero-hour contract.

Abby terpaksa menjual mobil yang ia gunakan untuk bekerja demi memberikan Ricky modal mobil van pengantar barang. Imbasnya, untuk berangkat kerja Abby terpaksa naik transportasi umum dan menghabiskan sepanjang hari di jalan. Abby menjadi orang tua yang semu, yang tidak dapat hadir dalam apapun. Abby tidak punya waktu untuk merawat keluarga, dalam banyak scene ditunjukkan bahwa Abby hanya dapat berkomunikasi pada Liza dan Seb lewat voice mail yang ditinggalkan. Abby yang ironinya adalah seorang perawat orang tua, perlahan-lahan mulai gagal dalam merawat relasi keluarganya. Dalam banyak scene ditunjukkan keretakkan emosi Abby.

Liza dipresentasikan sebagai anak bungsu yang polos. Ia menderita Insomnia, dan ketidakhadiran orang tuanya tidak membuat jam tidurnya lebih baik. Liza mengemban tugas sebagai seorang ibu akibat absennya Abby. Liza menjadi lem terakhir yang terlalu dini dipaksa untuk merekatkan keluarga. Dalam satu adegan, Liza bahkan menyembunyikan kunci mobil Ricky. Motivasinya adalah agar Ricky bisa berhenti bekerja dan keluarga Turner menjadi keluarga yang utuh sekali lagi.

Seb tergambar sebagai anak sulung yang tidak mengerti keadaan keluarganya. Film seakan-akan membuatnya sebagai lawan tanding bagi Ricky. Perilaku destruktif Seb seringkali berkontribusi pada kerenggangan keluarga Turner. Seb seorang seniman graffiti memilih untuk berada dijalan daripada menghabiskan waktu di sekolah. Jika digali lebih dalam, karakter Seb dapat dibaca sebagai anti-tesis karakter Ricky. Ricky dan Seb sama-sama mengerti dampak sistem kapitalisme pada kemiskinan mereka. Yang berbeda adalah cara 2 karakter ini  enghadapinya. Ricky digambarkan sebagai seorang pekerja yang jatuh dalam dunia kerja yang eksploitatif. Ia tahu kehidupan tidak adil dan satu-satunya jalan adalah bekerja. Ricky sangat terstruktur dan displin. Ia bekerja 14 jam sehari tanpa mengeluh.

Di sisi lain, Seb adalah seorang seniman dengan jiwa bebas. Ia mengerti bahwa pekerjaan ayahnya hanyalah hidup dalam sistem yang mengeksploitasi. Seb menjadi seorang pribadi pemberontak. Menolak sekolah, juga menolak menjadi seorang Ricky. Dinamika karakter yang bersebrangan ini disatukan diakhir film. Dalam scene pasca Ricky babak belur di rumah sakit, Ricky memaksakan diri untuk bekerja. Seb berusaha semaksimal mungkin mencegahnya, berkata bahwa Seb hanya ingin Ricky berhenti bekerja menjadi kurir lepas, Seb ingin semuanya kembali seperti semula.

Ricky meyakinkan dirinya bahwa ia bekerja keras demi keluarganya. Kemandirian ekonomi dirasa menjadi kunci membahagiakan keluarga. Nyatanya, diakhir film, ketiga karakter berada pada titik terendah, semua akibat Ricky dan ambisinya. Ia bukan bekerja demi keluarganya, ia bekerja demi egonya.

image

Loach dan Kelas Pekerja

Sorry We Missed you membahas secara ekstensif bagaimana perusahaan menggunakan ilusi entrepreneurship untuk memploroti kurir demi keuntungan sebesar-besarnya. Pekerja tidak diberikan biaya libur, tidak diberikan asuransi kesehatan, tidak diberikan asuransi kecelakaan kerja, dan tidak difasilitasi membentuk serikat pekerja. Ricky memikul beban yang seharusnya dipikul oleh perusahaan dan mengorbankan keluarganya dalam proses ‘rags to riches’ yang ia konstruksi di kepalanya.

Sejalan dengan arah politiknya, Loach kerap menggambarkan bagaimana kapitalisme bekerja  dalam rupa-rupa bentuk. Kemiskinan struktural lewat Kes (1969), ironi buruh yang tidak bisa menikmati hasil kerjanya lewat Riff-Raff (1991), perlawanan terhadap janji palsu sistem tunjangan kesehatan lewat  My Name Is Joe (1998) dan I, Daniel Blake (2016), Ken Loach tidak berhenti menyajikan keberpihakan kepada pekerja yang tertindas dan menyajikan seluruhnya secara jujur.

Cerita soal kelas pekerja tidak hanya digambarkan dalam realitas sosial di Inggris. Indonesia juga mengalami cerita kelas pekerja serupa. Salah satunya, Viriya Singgih, seorang wartawan Project Multatuli melakukan eksperimen sosial dimana ia menjajal pekerjaan sebagai kurir mitra Shopee Express. Ia mempublikasikan essay tentang pengalaman pahit manis menjadi seorang pekerja mitra, khususnya kurir barang. Terdapat banyak pararel dari esai Singgih dengan cerita Ricky. Aplikasi Shopee yang menilai kinerja kurir menjadi subtitusi tracker. Interview kerja terasa seperti briefing dengan ketidakadaan persetujuan jalan tengah. Tidak sebandignya usaha dengan hasil kerja. Ketidakhadiran jaminan kerja.

Keharusan mengganti produk yang hilang dan rusak. Kesialan-kesialan yang dialami Ricky dan Singgih menjadi refleksi bahwa Kapitalisme ada dimanapun, dengan bentuk yang sama. Seluruhnya memiliki dampak yang cukup menjengkelkan bagi teman-teman pekerja yang menjadi penopang bentuk ekonomi. Lewat Sorry We Missed You, Loach memotret eksploitasi kapitalisme dalam ekonomi digital. Sorry We Missed You menjadi rekaman adaptasi kapitalisme yang semakin pandai mengibuli kelas pekerja. Entah dalam selimut Zero-hour contract, atau dengan nama yang lebih bersahabat seperti pekerja mitra, sistem ekonomi yang masih dikuasai sekelompok individu akan selalu merundung
pekerja kecil.

Sorry We Missed You | 2019 | Sutradara: Ken Loach | Pemeran:  Kris Hitchen, Debbie Honeywood, Ketie Proctor, Rhys Stone | Negara Asal: Inggris| Durasi: 101 menit

Mas-mas biasa yang suka sinema

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top