Mania Cinema

[Dunia Icha] Love: Bukan Sekedar Film Porno Estetik

Beberapa waktu lalu aku sempet ngeliat tanggapan teman-teman sinefil tentang video di YouTube, konten dongeng alur film yang nyeritain tentang alur satu film dan dikasih judul yang ‘mengundang.’ Dengan diksi-diksi yang eeeggghhh 18+ menjijikkan, tapi sebenarnya familiar buatku. Kayak genjot misalnya. Kecuali serabi lempit. Anjir lah aku baru denger diksi gituan.

Parahnya, film-film yang dijadikan konten itu bukan bergenre drama erotis atau film syur yang seolah-olah jualannya cuma adegan seksnya. Clickbait banget. Seolah ingin mengalahkan video-video Atta Halilintar di channel YouTube yang bergelimang clickbait dari zaman dia masih bujang sampai sekarang udah nikah.

Nah karena konten dongengin alur film itu cukup meresahkanku juga, aku jadi mikir kenapa channel-channel
YouTube
itu nggak nyeritain film drama erotis aja sekalian? Bukan, bukan Fifty Shades of Grey (2015), itu nanggung. Bukan juga 365Days (2020), yang adegan enak-enaknya bentrok sama lagu-lagu pengiring adegannya yang anjeeeer itu lagu siape faaak ngerusak momen vulgar aja. Tapi film… Love (2015), yang lahir dari seorang Gaspar Noé, om-om mesum dari Prancis yang biasa menggeluti film-film erotis fantastis adegan seksnya bikin mendesissssss.

Love (2015) adalah film erotis kontroversial dari sang sutradara, yang tanpa malu-malu menampilkan adegan seks
sebagai bumbu cerita. Atau dalam kasus film ini, adegan seks adalah bahan utamanya. Jor-joran. Pas nonton bikin ngerasa berlumur dosa berlipat ganda karena adegannya kelewat terbuka. Seolah mengolok-ngolok film erotis serupa yang para pemainnya masih pakai daleman atau adegan enak-enaknya di-shoot cuma dari atas atau bahkan dari belakang. Film ini saking jor-jorannya, sempat kuanggap sebagai film porno estetik, yang memperluas cakrawala akan seks layaknya buku  Homo Deus yang memperluas cakrawala akan ilmu pengetahuan (dan pedekate). Sekaligus berdampak negatif buat anak polos kayak aku. Bikin aku jadi phobia threesome. Aku mikir kenapa para kreator konten dongeng alur film itu nggak nyeritain film ini aja?

Mungkin ada kali ya. Cuman nggak keangkat. Atau mungkin memang nggak ada? Secara nyeritainnya rada susah akibat alur filmnya ini nggak runut. Maju mundur saaay kayak dua karakter utama filmnya. Maju mundur melancarkan hentakan keras antaradua alat vital. Yang biasanya ngehasilin bunyi pok-pok-po—

OKE CHA STOP CHAAA NGGAK USAH DIKASIH TAU JUGA BUNYINYA KAYAK GIMANAAA.

So, di hari yang Fitri ini, aku tergerak buat nge-review film kotor yaitu Love (2015). Full spoiler. Aku gagal menjaga izzah dan ma’ruahku. Dosaku dimulai dari 0 lagi dengan nge- review film ini. Kayaknya. Sialan. Semua gara-gara konten dongeng alur film!!!!!!!!

Sebelumnya aku udah pernah nonton film ini sih, dan aku pernah review juga di blogku tapi dalam bentuk tulisan wawancara dengan orang yang udah nonton. Waktu itu aku nggak ngerasain emosi kedua tokoh utamanya selain pas mereka lagi melakukan pergulatan kelamin. Ketika mereka lagi ngobrol seperti manusia pada umumnya, aku nggak ngerasain emosi apa-apa. Vibe mereka sebagai pasangan bahagia, pasangan yang lagi berantem, pasangan yang
lagi bersedih, itu nggak nyampe ke  aku. Aku mikir film ini nggak ada rasanya. Cuma sekedar film porno yang estetik dan artsy, dengan sinematografi yang indah dan tegas. Warna filmnya yang didominasi dengan warna merah membuat film ini terkesan seksi bukan hanya karena adegan buka-bukaannya. Pun dengan adegan selain adegan seks, yang indah padahal sederhana. Contohnya adegan berantem dimana dua tokoh utama debat kusir di mobil tapi terlihat indah padahal cuma siluet mereka berdua. Gils nyeni banget!!!! Belum lagi dengan para pemainnya
yang good looking. Memanjakan mata sampai bikin celana mendadak ketat karena si ‘adik’ terbangun dan ingin berdiri. Bahkan menakutkan buatku karena banyak penampakan tititnya si karakter utama. I know, penismu tinggi besar gemuk, Mas Karl Guzman. Tapi ya nggak EJAKULASI DEPAN KAMERA JUGAAAAAA.

Terus tentu aja adegan threesome-nya yang menyeramkan itu. Aku mikir apa enaknya threesome sih? Udah harus berbagi pasangan, capek, bagi-bagi tugas… Maka dari itu aku nggak terhubung sama film ini. Hingga aku bilang film
ini nggak ada rasanya. Aku suka Gaspar Noé. Aku suka Irreversible (2002), yang sekaligus aku benci. Itu adalah bukti aku ngerasa terhubung sama Irreversible. Sedangkan sama film ini? Tapi… itu pemikiranku beberapa waktu lalu. Karena pas aku nyoba nonton lagi, aku ngerasain hal berbeda. Yang aku sendiri heran kenapa aku baru sadar sekarang. Aku auto keluar dari barisan orang-orang yang ‘sinis’ sama film ini.

Love bercerita tentang Murphy (Karl Guzman, mantan suami Joe Kravitz, salah satu perempuan terseksi di dunia), yang udah berkeluarga dengan istri dan anak yang masih kecil. Di pagi awal tahun baru, Murphy dikejutkan dengan telpon dari ibunya si mantan. Tahun baru tapi dijejelin kenangan lama. Murphy pun jadi terkenang akan Electra (Aomi Muyock), sang mantan. Yang putus sama dia akibat dia ngehamilin Omi (Karla Kristin). Perempuan yang jadi
rekan threesome dalam semalam sewaktu mereka masih pacaran. Perempuan yang sekarang jadi istrinya dan ibu dari anaknya. Kentara banget Murphy nikah sama Omi karena terpaksa. Dia cintanya sama Electra. Dia nggak bisa moveon.

Murphy mengajak para penonton untuk ambyar bersamanya dalam kenangan-kenangan semasa pacaran sama Electra. Ya film ini 80%-nya adalah momen-momen kebersamaan mereka berdua, yang sebagian besar diisi dengan adegan bercocok tanam alias ngewe dalam berbagai gaya. Sedangkan 20%-nya adalah resiko yang harus ditanggung dari perbuatan menghamili Omi. Bahaya threesome. Kamu bisa selingkuh dan diputusin pacarmu.

Yaaa tapi itu pemikiranku dulu. Setelah nonton ulang, ternyata lebih dari itu. Ternyata nggak perlu kehamilan Omi untuk bikin Murphy dan Electra putus. Murphy memang bangsat dari sananya jauh sebelum ketemu Omi. Hubungan mereka udah lama nggak sehat. Sebelum ada Omi, mereka udah berantem. Sebelum ada Omi, Murphy memang suka celap-celup ke cewek lain, tapi selalu balik ke Electra. Mereka punya banyak alasan untuk putus selain karena Omi. Aku jadi kasihan sama Omi karena dia masih belasan tahun plus dinikahin karena terpaksa pula. Aku juga kasihan sama Electra yang dikhianatin dan sekarang nggak tau nasibnya gimana. Entah bunuh diri atau tenggelam dalam obat-obatan terlarang. Okelah ide buat threesome itu dicetuskan sama Electra, tapi itupun karena ditanya Murphy. Kalau Murphy nggak nanya, nggak bakal kejadian. Kalau Murphy-nyaprofessional cukup threesome aja nggak usah ngewe lagi sama Omi, nggak bakal kejadian Omi hamil. Hhhhhhh keseeeeel.

Gils. Aku mulai ngerasain ada emosi di film ini. Aku udah kayak ibu-ibu yang suka reflek ngatur plot sinetron pas lagi nonton. Harusnya begini, harusnya begitu. Aku juga mulai ngerasain kalau film ini bukan sekedar film dengan
referensi enak-enak yang berlimpah. Di mana ada handjob, blowjob, missionary, doggy style many style (dari
nungging, baring sampai berdiri), threesome, cowgirl alias woman on top, restroom attendant, sampai enak-enak
dengan transgender. Benih-benih aku memandang film ini bukan hanya sekedar itu pun tumbuh.

Aku jadi ingat kalau aku pernah baca entah di mana aku lupa, yang jelas itu tentang selingkuh bagi cewek dan cowok itu beda. Selingkuhnya cowok bisa ke mana-mana tapi hatinya tetap milik pacarnya dan ujung-ujungnya balik lagi ke pacar. Sedangkan kalau selingkuhnya cewek itu pakai hati, jarang ada yang bisa balik lagi ke pacar. Itu omong kosong buatku, sampai akhirnya aku nonton film ini dan jadi kepikiran. Jangan-jangan memang kayak gitu? Jangan-jangan itu yang terjadi sama Murphy?

Dengan berlandaskan udah ada rasa sama film ini, aku menyimpulkan kalau… ya. Murphy kayak gitu. Pun dengan Electra yang pengen threesome. Mungkin itu bentuk cinta yang tulus melihat pasangan dibahagiakan orang lain versi Electra. Omi yang legowo ngeliat suaminya masih galauin mantan di saat anak mereka lagisakit, mungkin juga bentuk cinta. Omi cinta keluarga kecil mereka, karena kontra sama aborsi. Omi sendiri lahir dari kehamilan yang nggak diinginkan,btw. Dia bersyukur dia nggak jadi diaborsi dan tentu aja, dia nggak mau anak hasil kondom sobeknya Murphy diaborsi.

Bentuk cinta lain yang aku dapatkan adalah kecintaan Murphy pada impiannya sebagai sutradara. Murphy sendiri adalah sinefil dilihat dari poster-poster film di kamarnya. Salò, orthe 120 Days of Sodom (1975), M (1931), The Birth of a Nation (1915), Taxi Driver (1976), dan Freaks (1932). Murphy juga menyebutkan 2001: A Space Odyssey (1968) sebagai film favoritnya di obrolan pedekate wasweswos fafifunya dengan Electra. Dia bilang pengen bikin film dengan sudut pandang seksual, yang menyeret aku ke pemikiran kalau Murphy ini kok kayak Gaspar Noé.. Ditambah nama mantannya Electra itu Noé. Nama anaknya Murphy itu Gaspar. Pas aku obok-oboktrivia film ini, namanya Lucile mantannya Murphy itunama istrinya GasparNoé yaitu Lucile Hadzihalilovic. Nama Murphy diambil dari nama belakang ibunya, yaitu Nora Murphy. Terus 2001: A Space Odyssey (1968), ternyata adalah film favoritnya Gaspar Noé. Alasan Karl Guzman direkrut jadi Murphy, awalnya karena ditanya film favoritnya apa terus dijawab Enter the Void, filmnya Gaspar Noé tahun 2009.

Sampai sini aku mikir kalau GASPAR NOÉ NARSIS BANGET ANJEEEEEEEEEER. Semuanya yang ada di film ini berkaitan sama diaaaaaa. Gilssssssssss. Film ini bentuk kenarsisan yang sungguh absolut.

Lama-lama aku jadi mikir kalau… oke. Itu bukan narsis. Itu mungkin bentuk cinta. Gaspar Noé sebegitu cintanya sama film ini, sampai sebenarnya terbuatnya Irreversible (2002) karena pengen brojolin film ini. Gaspar Noé passionate memuncratkanpemikiran-pemikiran soal kalau cinta dan seks sungguh berkaitan itu lewat film ini. Gaspar Noé menikmati julidan-julidan pedas soal film ini dengan bilang, “Saya menikmatiulasan-ulasan itu.  Kau akan merasa lebih senang dengan ulasan yang lebih menghina dibanding yang bagus. Ulasan yang bagus membantu filmnya tetap ada, namun yang memberikan ulasan jelek membantu mendapat semacam rencana balas dendam, dan bersemangat untuk film selanjutnya.”  Begitu sabda Gaspar Noé, seperti yang kukutip dari artikel CNN.

Gaspar Noé mengekspresikan dirinya lewat film ini. Melakukan hal yang disuka. Yang bikin aku mikir kalau film ini Gaspar Noé mencintai dirinya sendiri dengan berkarya lewat film ini. Love (2015) bukan soal Murphy, bukan soal Electra, bukan soal Omi, bukan soal titit ejakulasi depan kamera. Film ini soal Gaspar Noé. Film ini adalah bentuk percaya pada apa yang diyakini, nggak peduli kata orang karena yang dia pedulikan adalah rasa
senangnya. Gaspar Noé bersenang-senang dengan ide film ini dan eksekusinya. Film
ini bentuk menolak insecure. Film ini ternyata soal… self love.

Ternyata di balik banyak hal-hal negatifnya, film ini sepositif itu. Ketika  Murphy membuat Omi positif hamil, Gaspar Noé membuat pikiranku akan film ini dari negatif jadi positif. Film ini bukan ngajarin soal seks. Tapi soal self-love. Aku jadi tersadar kalau aku harus bisa seyakin dan se-passionate Gaspar Noé kalau mau ngelakuin sesuatu.

Oke. Ini film bersih untuk Idul Fitri. Nggak jadi film kotor. Karena self-love itu termasuk bentuk rasa syukur. Allah
mencintai hamba-Nya yang pandai bersyukur kan?

Desain : Nona Damanik

Love | 2015 | Sutradara: Gaspar Noe| Pemeran: Aomi MuyockKarl Glusman, Klara Kristin | Negara Asal: Perancis, Belgia | Durasi: 135 Menit  | Produksi: Les Cinémas De La Zone

 

Perempuan melankolis yang nulis review film karena buat kedok aja supaya bisa curhat di tulisan. Mengharapkan dia bisa menulis intelek sama dengan mengharap Gaspar Noe menggarap film religi. Budaknya film-film romance, komedi, dan… erotis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top