Mania Cinema

Klub Sinema Sisifus: Perfilman, Salatiga, dan Batu Berguling.

“Pada medio 2018, sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam komunitas film kampus di Salatiga menggelar pemutaran film-film produksi mereka. Namun setelahnya, mereka harus dihadapkan persyaratan birokratis jika tetap ingin menjalankan kegiatan. Karena jengah, mereka kemudian memisahkan diri dari kampus dan berganti nama. Mereka menyebut kelompoknya itu Klub Sinema Sisifus”

Pasca Orde Baru tumbang, Salatiga diterpa gelombang teknologi kamera digital yang dapat digunakan untuk merekam video. Hal tersebut menjadi titik awal lahirnya komunitas film. Perfilman yang mulanya bermuara di bioskop seperti Reksa, Salatiga Theatre, dan Atrium menjadi menyebar ke beberapa penjuru kota. Ekosistem berusaha dibentuk mulai dari produksi, ekshibisi, pendidikan, dan apresiasi.

Pada dekade pertama, corak produksi film didominasi oleh komunitas kampus dan ekstrakulikuler pelajar seperti XFILIS, STILL, Qariyah Thayyibah, Finger Kine Klub, PopCorn, COFILA, Commedia, dan lainnya. Hal ini karena pengaruh dari bagian pendidikan dan apresiasi film disokong oleh kampus seperti UKSW dan IAIN Salatiga yang memiliki beberapa program studi media dan film. Setelah tahun 2010an, bermunculan komunitas di luar kampus yang aktif dalam produksi film seperti Blackmonk Film, Next Project, Edelweis Film, Rajut Sinema, Laboratorium Eksperimen Film Sinemulakra, dan Militia Picture.

Ekshibisi film di Salatiga memiliki sejarah pemutaran film bioskop sejak 1930 hingga 2007an. Sejauh ini tercatat ada tiga bioskop yang pernah berdiri pada masa kolonial Hindia Belanda; RexBioscoop, Omnia Bioscoop, dan Tijgre Bioscoop. Gitanyali dalam bukunya Blues Marbabu (2011) menuliskan bahwa di masa transisi antara Orde Lama dengan Orde Barubioskop Rex merupakan jantungnya Salatiga. Bioskop Rex terletak persis dipertigaan yang ramai dan satu jalan dengan gedung-gedung pemerintahan. Tidak jauh dari situ, terdapat bioskop Ria yang bergaya art deco.

Hal itu menunjukan bahwa Bioskop Rex adalah satu-satunya bioskop yang dapat bertahan dari masa kolonial, baru kemudian berganti nama menjadi Bioskop Reksa ketika pertengahan masa Orde Baru. Disusul berdirinya bioskop-bioskop lainnya seperti Salatiga Theatre, Madya, dan Atrium. Beberapa film barat ditayangkan di bioskop Reksa,seperti Flash Gordon (1980), Superman III (1983), American Ninja (1985), sementara untuk film-film Indonesia seperti Gepeng Bayar Kontan (1983), Bangunnya Nyi Roro Kidul (1985), Ari Hanggara (1985).

Bioskop Reksa pernah menjadi tempat pemutaran film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) bagi pelajar SD hingga SMA di Salatiga. Memasuki era Reformasi, bioskop ini justru mengalami krisis. Masalahnya muncul VCD/DVD serta siaran TV swasta yang menggantikan fungsi bioskop sebagai tempat hiburan. Selain itu, untuk mendapatkan film Indonesia yang baru, bioskop Reksa harus menunggu 2-6 bulan setelah bioskop jaringan di kota-kota besar selesai memutarnya. Berdasarkan kurun waktu tersebut, VCD/DVD bajakan sudah beredar. Hal tersebut membawa dampak tersendiri pada jumlah penonton di bioskop. Setelah 2007, bioskop Reksa sudah tidak lagi beroperasi.

Bersamaan dengan munculnya teknologi digital, ekshibisi film di Salatiga diramaikan dengan kemunculan layar tancap di kampung-kampung. Namun, kehadiran VCD/DVD film bajakan berikut dengan alat pemutarnya yang murah menjadi tren sekaligus akhir bagi era bioskop dan layar tancap. Menonton film yang awalnya adalah kegiatan di ruang publik bergeser menjadi aktivitas privat di rumah. Bioskop berhenti beroperasi dan kegiatan layar tancap sudah tidak dapat dijumpai lagi. Namun kesunyian tersebut tidak berlangsung lama.

Komunitas mengambil alih ekshibisi perfilman. Tahun 2011 muncul KOFIS (Komunitas Film Salatiga) yang memiliki semangat untuk menayangkan film-film independen, terutama film-film lokal. Program mereka seperti “Masih Ada Layar Tancap” yang digelar tahunan dalam rangka Bulan Layar Tancap Nasional berupaya untuk memperkenalkan film pendek pada masyarakat. NoDisk (Nobar Diskusi) adalah agenda tiap dua minggu sekali untuk mendiskusikan karya komunitas di publik. Pelajar Bicara Film adalah inisiasi untuk memperkenalkan film pendek ke siswa-siswi SMP dan SMA dengan harapan menarik minat mereka. Sedangkan Bioskop Darurat adalah suara keresahan mereka atas minimnya etalase film pendek di kota tersebut.

Pada tahun 2012, Finger Kine Klub dari FEB UKSW pernah menggelar Salatiga Film Festival atau SAFFEST pertama yang menghadirkan beragam film panjang dan pendek, fiksi dan dokumenter untuk ditayangkan serta dikompetisikan. Festival ini dirayakan setiap satu tahun sekali sebagai program wajib mereka dengan variasi program seperti lokakarya produksi film dan temu komunitas. Agenda ini dimanfaatkan bagi pembuat film untuk mendapatkan referensi film yang memengaruhi teknik dan gaya bercerita. Sementara KOFIS dengan segala program pemutarannya harus berhenti pada tahun 2013, gelaran SAFFEST hanya dapat berlangsung hingga tahun 2019. Finger Kine Klub kemudian mengadakan kompetisi film fiksi pendek dan fokus pada produksi karya video. Sedangkan KOFIS sudah tidak mengadakan pemutaran sama sekali.

Komunitas film di Salatiga memang memiliki kendala paling berat dengan daya tahan (durability) dan keberlanjutan (sustainbility). Disana jarang ada komunitas film yang dapat bertahan hingga lebih dari lima tahun, pun jika ada terdapat masalah soal regenerasi atau transfer pengetahuan. Pondasi dari ekosistem film di Salatiga waktu itu adalah kampus dan sekolah yang menjadikan komunitas film sebagai tempat singgah atau taman bermain sebelum kemudian mempunyai pekerjaan yang serius. Sangat sulit kala itu untuk membayangkan dapat hidup dari film.

Tongkat estafet ekshibisi kemudian diteruskan oleh Klub Sinema Sisifus yang melakukan program pemutaran pertama mereka pada November 2018. Kenapa kami mengambil nama Sisifus? Melihat dari pola yang ada, komunitas film di Salatiga seperti mendorong batu besar hingga ke puncak. Namun batu tersebut berguling kembali hingga dasar. Albert Camus dalam Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas (1999: 154) menuliskan “Para dewa telah menghukum Sisifus untuk terus-menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung; dari puncak gunung, batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri. Mereka beranggapan, dan anggapan itu benar adanya, bahwa tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna dan tanpa harapan itu.” Camus menambahkan bahwa yang menjadikan mitos tersebut tragis adalah, Sisifus sadar apa yang dia lakukan. Pada awal pembentukan klub sinema ini, kami menyadari bahwa membuat komunitas film memiliki peluang tinggi dalam mengulangi masalah yang sudah-sudah. Hanya saja, seperti kata Camus, kebahagiaan dan absurditas adalah dua anak kembar yang tidak terpisahkan.

Klub Sinema Sisifus awalnya berdirisebagai komunitas yang fokus pada ekhsibisi film. Tujuan utamanya adalah mempertemukan film dengan penonton, khususnya film-film lokal Salatiga. Ini juga merupakan dukungan terhadap sineas yang sering bingung ketika filmnya hendak ditayangkan ke publik. Kemudian seiring berjalannya waktu, acara yang diadakan Klub Sinema Sisifus menjadi ajang untuk saling temu dan berbagi antar pembuat film dan penikmat film. Melalui acara semacam itulah akhirnya komunitas perfilman yang sempat tercerai berai kembali memiliki wadah. Setiap sebulan sekali terdapat sebuah program bernama “Bertancap Layar” yang menayangkan film-film Salatiga kemudian mendiskusikannya bersama.

Selain itu, beberapa program lainnya menyajikan film-film pendek dari luar Salatiga dan mengangkat isu tertentu. Misalnya program “Pentas Orang-orang Kalah” menampilkanfilm yang menceritakan tentang kekalahan tokoh utama dalam menghadapi konfliknya. Setelah itu terdapat program “Bioskop Rumahan” yang berusaha membawa suasana nobar di rumah seorang warga. Ada juga program “Manuver Sinema” sebagai respon atas terbatasnya kegiatan yang melibatkan keramaian karena pandemic Covid-19.

Setelah Klub Sinema Sisifus melakukan kegiatan selama dua tahun, lahir banyak kemungkinan baru dalam membentuk ekosistem perfilman di Salatiga. Komunitas film menjadi lebih giat dalam produksi karena sudah tersedia layar untuk menayangkan karya mereka. Apresiasi muncul pada karya komunitas yang mulai dibicarakan oleh media-media lokal. Program-program tersebut akhirnya juga membuka akses film yang selama ini sukar untuk didapatkan oleh penonton di Salatiga, terutama film-film alternatif. Terjalinnya kerja sama antara penyelenggara acara dengan pemilik kafe atau bar yang mutual. Dukungan dari kelompok seni lainnya seperti teater, seni rupa, musik, dan lainnya memungkinkan memperluas jaringan kesenian di kota ini.

Meskipun efek dari adanya bioskop alternatif tersebut terasa begitu cepat, ada beberapa hal yang masih dibutuhkan untuk melengkapi ekosistem yang kami harapkan. Ekosistem ini berjalan tanpa dukungan pemerintah kota dan mengandalkan solidaritas antar komunitas. Selain itu problem terkait kuantitas dan kualitas pada produksi film juga masih menjadi hambatan, sehingga program semacam Bertancap Layar terkadang tidak dapat terselenggara karena belum adanyafilm baru yang ditayangkan.

Tahun ini, Klub Sinema Sisifus mulai menginisiasi beberapa siasat untuk lebih membangkitkan ekosistem perfilman seperti penelitian, pengkajian dan pengarsipan yang fokus pada sinema Salatiga. Penelitian terhadap sejarah sinema, kegiatan menonton film, dan catatan mengenai geliat komunitas film di Salatiga mulai dikumpulkan agar dapat dipelajari. Apresiasi seperti kajian dan kritik film Salatiga mulai dilakukan. Kami juga mengumpulkan film-film yang diproduksi oleh komunitas. Barangkali film yang sekarang dianggap biasa saja akan lebih menarik dan dapat dibicarakan sepuluh tahun kedepan.

Arsip-arsip film Salatiga yang masih banyak yang berserakan dan sudah banyak yang hilang karena sudah tidak tahu mau diapakan lagi. Beberapa masih dapat ditemui di Youtube atau Facebook. Rencana peningkatan ekosistem ini perlu tenaga dan waktu yang besar, terutama jika hanya mengandalkan kami. Partisipasi dari komunitas, penonton, dan elemen lainnya sangat dibutuhkan di sini. Harapan Klub Sinema Sisifus adalah suatu ekosistem yang dapat berjalan dengan sehat di Salatiga. Impian dalam mendesentralisasi sinema nasional pelan-pelan mulai dibangun.

Sesekali kami memandang puncak gunung itu, tentang bagaimana jadinya nanti jika kami mencapai sana. Ada kalanya kami diam termenung. Memandang bongkah batu di depan mata. Lalu mendorongnya kembali dengan susah payah. Kami percaya, masalah komunitas film soal daya tahan(durability) dan keberlanjutan (sustainbility) selalu hadir. Itulah batu kami. Kami juga yakin bahwa selalu ada kemungkinan terburuk. Tentu saja, sejak awal berdiri kami membayangkan bahwa kami akan bubar. Namun sekali lagi, seperti kata Camus: bayangkan Sisifus yang bahagia!

Desain : Hotman Nasution

 

Kurator dan programmer Klub Sinema Sisifus. Sedang berupaya untuk melakukan pengembangan sinema di Salatiga sembari menghabiskan waktu luang dengan menonton filem, membaca, menulis, dan mendengarkan lagu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top