Sami Blood: Menyoal Konflik Identitas Budaya dan Pencarian Jati Diri Baru
Identitas budaya, menurut Ennaji (2005) dalam Multilingualism, Cultural Identity, and Education in Morocco, merupakan bagian dari identitas diri suatu individu yang terkait dengan kebangsaan, etnis, kelas sosial, kepercayaan, maupun berbagai macam kelompok sosial lainnya yang terikat kuat dengan budaya tertentu. Identitas budaya, selain merupakan karakteristik individu, juga merupakan karakteristik kelompok sosial tertentu yang memiliki kesamaan budaya.
Peran identitas budaya cukup besar dalam membentuk konsepsi diri yang utuh sebagai bagian dari masyarakat. Identitas budaya yang kita anut dan kemudian miliki berperan besar dalam keseharian, bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dan bagaimana masyarakat memandang kita. Sebagian diri kita didefinisikan berdasarkan identitas budaya. Namun, bagaimana jika justru identitas budaya kita adalah hal yang paling ingin kita lepaskan dan jauhkan dari diri kita dan kemudian muncul keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan identitas budaya baru? Kurang lebih, begitulah garis besar film Sami Blood (2016).
Mengenal Masyarakat Sami dan Konfliknya.
Masyarakat Sami adalah sekumpulan penduduk asli Finno-Ugrik yang mendiami daerah Sápmi yang mencakup bagian utara Norwegia, Swedia, Finlandia, dan semenanjung Kola di Rusia. Mereka memiliki total populasi sekitar 80.000 orang dan sembilan ragam bahasa yang terancam punah, dengan rumpun Finno-Ugrik. Penggembalaan rusa dan domba merupakan mata pencaharian yang sangat umum di antara masyarakat Sami. Hingga hari ini, masyarakat Sami kerap mengalami diskriminasi oleh masyarakat perkotaan Norwegia, Finlandia, dan Swedia karena stigma bahwa masyarakat Sami memiliki etnisitas, kebiasaan, dan budaya penggembalaan rusa serta budaya nomaden yang mereka anggap primitif dan terbelakang. Salah satu alasan lainnya mengapa diskriminasi terhadap masyarakat Sami terus berlangsung ialah karena pada abad ke-17, mereka menolak melepaskan kepercayaan tradisional mereka (yang meliputi shamanisme, animisme, dan politeisme) dan menolak mengubahnya menjadi agama Kristen.
Hal tersebut mengakibatkan ancaman denda, penjara, bahkan hukuman mati. Di Swedia, pada 1800-an hingga 1970-an, akibat premis yang mereka konstruksi sebagaimana populasi Sámi dianggap “terbelakang” dan “tidak beradab”, terjadi Kristenisasi paksa, pemisahan sekolah masyarakat Sami dan masyarakat perkotaan Swedia, dan pelarangan penggunaan bahasa lokal Sami –seringnya dengan paksaan dan kekerasan. Masyarakat Sami diakui keberadaannya di Swedia pada 1977 sebagai masyarakat adat. Dengan demikian, masyarakat Sami seharusnya menerima perlindungan khusus dan diberikan hak bawaan di bawah hukum Swedia. Perwujudan hak-hak tersebut merupakan bagian dari kewajiban Swedia untuk menghormati hak asasi manusia. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa prasangka dan konsepsi rasis telah menjadi ciri kebijakan Swedia terhadap masyarakat Sami selama bertahun-tahun. (Pikkarainen & Brodin, 2008).
Pada film Sami Blood yang disutradarai oleh Amanda Kernell ini, secara spesifik, fokusnya ada pada masyarakat Sami berbahasa Sami Selatan yang berbasis di Swedia Utara (Lapland). Alur utama film ini berkisar seputar seorang gadis Sami yang tinggal di Lapland pada 1930-an bernama Elle-Marja (Lene-Cecilia Sparrok). Selama alur berlangsung, kita dapat menyaksikan bagaimana Elle-Marja mencoba melepaskan diri dari identitas Sami yang ia miliki sejak lahir akibat opresi dan marjinalisasi yang dialami masyarakat Sami, karena mereka dianggap lebih “rendah” dan “primitif” dibandingkan masyarakat perkotaan Swedia. Ia ingin diterima dan dianggap setara dengan masyarakat urban Swedia. Oleh karenanya ia melakukan banyak hal demi menjauhkan dirinya sendiri dari identitas budaya Sami, termasuk mengganti namanya menjadi Christina (yang lebih terdengar seperti nama orang Swedia pada umumnya dan bukan nama orang Sami). Ia juga berkelana ke salah satu kota besar di Swedia yaitu Uppsala, dan memulai hidup baru di sana.
Ketika film dimulai, kita akan mendapati seorang perempuan tua bernama Christina (Maj Doris Rimpi) yang kemudian meninggalkan Uppsala untuk menghadiri pemakaman adiknya di Lapland. Setibanya di Lapland, ia menyatakan sebuah klarifikasi bahwa ia berasal dari Swedia Selatan dan ia penutur asli bahasa Swedia, dan bukan bahasa Sami Selatan. Kemudian, alur cerita mundur ke 1930-an di mana ternyata identitas Christina sebelum ia mengganti nama dan memulai hidup baru di lingkungan urban Swedia merupakan Elle-Marja, seorang gadis asli Sami yang tinggal di Lapland bersama ibunya (Katarina Blind) dan adik perempuannya, Njenna (Mia Erika Sparrok).
Ketika Elle-Marja berusia 14 tahun, ia dan adiknya dikirim ke suatu sekolah asrama yang dikelola Swedia untuk anak-anak Sami di Lapland, di mana mereka mengalami opresi sistemik secara terang-terangan oleh institusi. Mereka diharapkan hanya berbicara dalam bahasa Swedia dan tidak diperbolehkan menuturkan bahasa Sami Selatan. Tak hanya itu, mereka menjalani pemeriksaan rasial secara brutal; mereka disodok dengan kaliper seperti kelinci percobaan di laboratorium. Meski belum terkonfirmasi apakah penggunaan kaliper untuk pemeriksaan rasial ini benar-benar terjadi pada masyarakat Sami di Swedia pada 1930-an, fenomena pemeriksaan rasial menggunakan kaliper ini benar-benar terjadi pada penghuni Kamp Konsentrasi pada dekade yang sama. Kemudian, perihal pelarangan penggunaan bahasa Sami bagi masyarakat Sami di dunia nyata ialah benar adanya, terutama di Norwegia dan Swedia. Hal ini disebut dengan “Norwegianisasi” dan “Swedifikasi”. Ini merupakan kebijakan resmi yang dijalankan pemerintah Norwegia dan Swedia kepada masyarakat Sami dengan tujuan mengasimilasi penduduk asli yang tidak berbahasa Norwegia atau Swedia ke dalam populasi Norwegia atau Swedia yang seragam secara etnis dan budaya. (Minde, 2005).
Di samping itu, Elle-Marja dan adiknya juga mengalami perundungan oleh anak-anak perkotaan Swedia yang merendahkan etnisitas mereka. Para tenaga pengajar di sekolah berasrama tersebut juga terang-terangan memberi tahu Elle-Marja bahwa ia tak akan bisa melanjutkan pendidikan di Swedia. Hal itu karena menurut mereka kapabilitas kognitif masyarakat Sami “tidak setara” dengan masyarakat perkotaan Swedia –di mana pemisahan sekolah antara masyarakat Sami dan masyarakat perkotaan Swedia ini betul-betul terjadi pada keseharian dunia nyata (lihat paragraf 3). Terlepas dari apa yang dikatakan orang-orang sekitarnya itu, bahwa Elle-Marja tak akan sanggup menjalani hidup baru di lingkungan urban Swedia, ia tetap memberontak dan memutuskan untuk berkelana ke Uppsala demi memulai hidup baru.
“Membunuh” Sami di dalam Diri.
Sami Blood merupakan sebuah karya yang amat berani dan menerobos tradisi, mengingat hingga saat ini, belum banyak karya seni —baik itu berbentuk musik, sinema, atau sastra— yang menyuarakan perlawanan terhadap opresi sistemik yang dialami masyarakat Sami. Film ini menunjukkan bahwa marjinalisasi terhadap penduduk asli suatu daerah masih kerap terjadi hingga saat ini, dan bahwa identitas merupakan sebuah konsep yang cair dan dapat berubah-ubah seiring dengan waktu, kepentingan, atau preferensi.
Menurut sudut pandang Stuart Hall (1996) pada esainya yang berjudul Cultural Identity and Diaspora, identitas mengalami transformasi konstan, melampaui ruang dan waktu. Hal ini ditunjukkan melalui kisah Elle-Marja yang mencoba melepaskan diri dari identitas lamanya dan mulai beradaptasi dengan identitas baru yang ia pilih —suatu bukti bahwa identitas dapat bertransformasi sesuai dengan kepentingan maupun keinginan pemilik identitas tersebut. Secara umum, Elle-Marja dapat beradaptasi dengan cukup baik dalam masyarakat Swedia perkotaan. Namun, terdapat beberapa kekagetan budaya yang dialami Elle-Marja ketika memasuki kurikulum sekolah Swedia di Uppsala. Antara lain, ketika ia tidak bisa mengikuti kecepatan gerakan pada pelajaran senam di sekolahnya.
Dengan melepaskan diri dari akar Sami yang ia miliki sejak lahir dan merangkul identitas baru yaitu “Christina si warga urban Swedia Selatan”, ia secara otomatis juga mengubah identitas budayanya akibat rasa malu dan inferior yang ia miliki terhadap budaya Sami yang melahirkannya. Secara fisik, sebenarnya perubahan penampilan Elle-Marja tidak terlalu drastis, hanya mungkin ia jadi menggunakan pakaian yang lebih modern dibanding pakaian tradisional Sami yang disebut Gákti –yang selalu ia kenakan ketika masih di Lapland. Namun, perubahan identitasnya lebih berkisar seputar bagaimana ia perlahan meninggalkan bahasa Sami yang merupakan bahasa ibunya untuk beralih ke bahasa Swedia.
Hal yang dialami Elle-Marja ini, pada ranah kajian budaya dan antropologi sosial, dapat disebut juga dengan cultural cringe atau cultural alienation, di mana terdapat masalah inferioritas yang terinternalisasi pada diri seseorang sehingga ia mendevaluasi, mengabaikan, atau meninggalkan budaya mereka sendiri yang mereka anggap inferior. Dalam Sami Blood, elemen krisis identitas budaya yang ada tersampaikan dengan jelas dan representatif –tercermin dari bagaimana Elle-Marja sebelum memutuskan mengganti identitas dan berkelana ke Swedia merasa asing di lingkungan Sami maupun Swedia; ia tidak lagi ingin mengidentifikasi dirinya sebagai orang Sami, namun juga tidak cukup diterima di lingkungan Swedia.
Bagi saya pribadi, mempelajari berbagai macam budaya, adat, dan kebiasaan dari berbagai daerah selalu menarik. Oleh karenanya, detail-detail kecil yang disuguhkan film ini amat membuat saya terpukau; mulai dari kedwibahasaan ketika Lene Cecilia Sparrok beralih menuturkan bahasa Sami Selatan ke bahasa Swedia dari waktu ke waktu dalam aktingnya, hingga persembahan nyanyian joik asal budaya Sami yang kerap muncul di berbagai adegan, termasuk ketika Elle-Marja dan adiknya sedang mendayung perahu.
Sami Blood menjadi penting bagi siapapun yang tertarik mempelajari budaya-budaya baru bagi mereka. Jika siapapun yang menonton film ini belum mendalami budaya Sami maupun Eropa Utara secara menyeluruh, tidak masalah. Film ini dapat menjadi film pengantar perihal identitas budaya Sami, yang idenya bisa menjangkau masyarakat secara umum. Bagi masyarakat Indonesia sekalipun, penting mempelajari lebih lanjut tentang penindasan budaya (tak hanya Sami, namun juga masyarakat-masyarakat adat lainnya seperti masyarakat Maori di Selandia Baru dan sebagainya). Hal itu karena mengakui privilese kita jika kita termasuk dalam ras dan etnisitas mayoritas di suatu negara (seperti menjadi Jawa stereotipikal di Indonesia, haha) ialah hal yang perlu lebih sering diterapkan.
Sami Blood | 2016 | Sutradara: Amanda Kernell | Produser: Lars G. Lindström |Pemeran: Lene Cecilia Sparrok, Mia Erika Sparrok, Maj Doris RImpi, Julius Fleischanderl, Hanna Alström | Negara Asal: Swedia | Durasi: 113 menit | Produksi: Nordisk Film Production
Seorang jurnalis musik dan kolumnis yang berbasis di Jakarta, Indonesia dengan gelar sarjana yang terkonsentrasi pada program studi Sastra Jerman di Universitas Indonesia. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media, baik lokal maupun internasional, termasuk Whiteboard Journal, Magdalene, Tuonela Magazine, Sunstroke Magazine, Metal Temple, V13, Ephemere Review, dan Warning Magazine. Kurang lebih keranjingan seri video game Metal Gear Solid dan musik apapun yang mengandung distorsi.
Leave a Reply