Mania Cinema

Imaji Berbentur Realita: Represi Sosok Perempuan dalam Karakter Femme Fatale

Dominic Maenon dalam bukunya yang berjudul Femme fatale Cinema’s most Unforgetable lethal ladies menjelaskan, sosok femme fatale pertama kali muncul dalam sinema pada 1915 dalam film A fool there was dengan karakter femme fatale vampire yang diperankan oleh Theda Bara. Film tersebut merupakan film pertama Theda bara sebagai bintang film. Menon, dalam bukunya, Evil by design: The Creation and Marketing of Femme Fatale, menjelaskan femme fatale sebagai refleksi dari bentuk ketakutan pria terhadap gerakan emansipasi dan dominasi perempuan.[1] masih berkaitan dengan pendapat theorist lainnya yang menganggap femme fatale sebuah bentuk dosa mendasar yang disebabkan oleh perempuan. Menurut Hanson, Helen, dan Catherine O’Rawe dalam The Femme Fatale: Images, Histories, Contexts, perempuan pertama yang dianggap sebagai femme fatale berdasarkan alkitab ialah Hawa.[2] Cerita yang sangat populer di mana Hawa dianggap membujuk Adam untuk berbuat dosa, dan Adam menjadi pria pertama yang mulai membuat alasan kepada Tuhan bahwa Hawa menyebabkan dirinya berbuat dosa tersebut. Femme fatale juga menjadi simbol ketakutan pria gerakan kesetaraan, sebagai istilah lain dari impotensi produktivitas pria dalam ruang publik. Sesuai dengan imperialis kontemporer, perempuan dianggap menguasai kapabilitas pria. Pada akhirnya, femme fatale adalah sebuah simbol dari sosok yang melintasi batas-batas isu atau wacana tertentu megenai perempuan.

Leann Bishop dalam esainya yang berjudul Show Her It’s a Man’s World: How the Femme Fatale Became a Vehicle for Propaganda  berpendapat, kemunculan  femme fatale lainnya, ditandai pada Perang Dunia II, berawal dari kepentingan perang. Ketika pada masa peperangan itu para pria di kirim ke medan perang, termasuk para pekerja baik itu pekerja pabrik, konstruksi, bahkan pegawai kantor.[3]Wanita telah memasuki dunia kerja secara massal, peran perempuan yang pada kala itu menggantikan berbagai pekerjaan pria, menciptakan sosok perempuan yang independen mereduksi maskulinitas sebagai pekerja. Posisi perempuan sebagai pekerja ini juga tak lain berkat salah satu upaya pemerintah pada masa itu yang menyebarkan poster iklan berisi ajakan bagi para wanita untuk bekerja. Poster tersebut digunakan untuk menambah rasa percaya diri perempuan pada saat. Sebab itulah femme fatale diklaim sebagai sebuah manifesto dari wanita independen dari tahun-tahun perang.

Ketika posisi perempuan berada dalam ruang publik, dia menjadi mata uang; maka dari abad kesembilan belas semakin terjadi perbedaan antara figur aktris, pelacur, dan femme fatale. Sama seperti istilah femme fatale yang disebut membahayakan, adanya perempuan dalam sebuah ekosistem merupakan sebuah ancaman. Bentuk independensi perempuan bukanlah menyajikan citra yang positif, namun malah membuat entitas femme fatale dipahami secara tradisional sebagai karakter wanita yang secara sadar atau tidak sadar menggoda yang memikat protagonis pria ke dalam bahaya dan menghancurkannya. Dia memiliki kekuatan dan pesona seksual yang tak tertahankan untuk mengarahkan nasib para pria agar tunduk pada pesonanya. Setelah terpesona oleh wanita ini, pria tidak bisa lagi membebaskan diri dari mantranya dan menjadi sasaran kematian lagi kehancuran. Pandangan tersebut menyudutkan wanita yang pada era tersebut sedang berjuang mendapatkan haknya, dan merefleksikan ketakutan pria terhadap wanita yang mulai bergerak melawan sistem yang ada.

Hal ini mulai memuncak ketika gelombang feminisme kedua yang disebabkan oleh ledakan ekonomi setelah Perang Dunia II (1939-1945). Istilah gelombang feminisme kedua mengacu pada kegiatan yang melibatkan gerakan feminisme pada periode 1960-an hingga 1980-an akhir. Gerakan ini juga mengedepankan perubahan terhadap eksploitasi seks perempuan dalam gambar dan film, di mana karakter perempuan dalam film selalu digambarkan memiliki tubuh yang seksi dan menggoda para pria. Era ledakan ekonomi pasca-perang pada akhir 1940-an menjadi sebab dari inferioritas dan sebab kebencian terhadap perempuan. Kaum perempuan diuntungkan dari periode pertumbuhan ekonomi ini. Karena sebagian besar pertumbuhan pekerjaan terjadi di sektor jasa, maka perempuan mendapatkan pekerjaan di kantor dan toko perkotaan. Keuntungan itu yang membuat pria merasa terancam dan membuat sosok femme fatale dalam film-film noir sebagai pengingat akan ancaman wanita yang sedang terjadi.

Pada film Scarlet Street  (1945) karakter Chris (Edward G Robinson) yang merupakan seniman pemula dimanfaatkan oleh perempuan bernama Kitty (Joan Bennet)), di mana Kitty menjual karya Chris atas namanya untuk bersama dengan kekasihnya John (Dan Duryea) Pada film tersebut karakter Kitty sebagai femme fatale, digambarkan sebagai sosok penggoda dan pembawa kehancuran bagi korbannya. Penggambaran Kitty dimaksudkan untuk memperingatkan akan ancaman wanita terhadap pria. Kitty juga digambarkan dengan fisik yang menarik, sehingga selain diperingatkan akan bahayanya gerakan feminisme, penonton pria juga didukung untuk mengobjektifikasikan tubuh wanita.

Kedudukan perempuan sebagai tenaga kerja memiliki jumlah yang cukup besar dengan pria. menyumbang lebih dari 50 persen angkatan kerja pada era 1990-an. Ketika perempuan memiliki peran sebagai tenaga kerja, mereka berusaha untuk menyesuaikan posisi mereka dalam berkarier serta peran tradisional mereka sebagai istri dan ibu. Hal tersebut tentu menimbulkan konflik atas perubahan peran perempuan dalam rumah tangga, maupun lingkup yang lebih luas di masyarakat.

Pada film Psycho (1960), Marion (Janet Leigh) sebagai karakter femme fatale mencuri uang dari tempat ia bekerja, dan membuat Norman (Anthony Perkins) yang jatuh cinta kepadanya berubah menjadi ibunya yang membenci karakter femme fatale yang merayu Norman. Pada film ini karakter femme fatale digambarkan memiliki pekerjaan, namun menyebabkan banyak masalah bagi para pria. Seperti bosnya sendiri, detektif yang terbunuh dan Norman yang berubah menjadi sosok ibunya, karakter femme fatale bahkan mati dalam film ini, menggambarkan kebencian pria terhadap gerakan feminisme akibat perkembangan ekonomi pada masa itu.

Sejalan dengan representasi peran perempuan pada realita dan kondisi di era-era tersebut, perempuan tidak lagi dipandang sebagai objek seksualitas semata, melainkan memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Dalam film, dianalogikan bahwa perempuan adalah penggerak cerita, bagian dari motivasi-motivasi tokoh dalam melakukan aksinya. Namun, femme fatale tetaplah digambarkan dengan kompleksitass citra yang negatif, karakternya yang menggoda, penuh tipu muslihat, memiliki hubungan romantis dengan laki-laki,  kekuatan tak terkalahkan dari kaum laki-laki dan banyak versi lainnya.

Pada film Vertigo (1958) di mana dalam film tersebut karakter Medelaine (Kim Novak) sebagai karakter femme fatale menipu detektif pria bernama John (James Stewart), yang dibuat terobsesi dengan Medelaine . Karakter Medelaine dibentuk berdasarkan male gaze si pembuat film, sehingga John mewakili penonton terobsesi dengan Medelaine berdasarkan bentuk tubuhnya.

Perkembangan karakter femme fatale juga masih sering menyudutkan sosok perempuan yang diibaratkan sebagai monster penuh dengan ancaman serta tindakan mematikan. Pada film The Blue Gardenia (1953), karakter Norah (Anne Baxter) yang dituduh sebagai pembunuh karakter Harry (Raymond Burr) dianggap sebagai monster yang dicari dan harus ditangkap karena telah membunuh seseorang setelah melakukan kencan bersamanya. Meskipun belakangan diketahui mantan kekasih Harry, Rose (Ruth Storey) yang sebenarnya membunuh Harry. Namun sepanjang film penonton mendapat kesan karakter Nora adalah pembunuh yang manipulatif. Segala bentuk pengibaratan sebenarnya juga masih terikat dengan norma-norma konvensional yang mengikat maupun konservatisme. Sehingga dominasi perempuan seringkali diinterpretasikan sebagai bentuk imoralitas.

Pada film Get Out (2017) karakter Rose (Alisson Williams) sebagai karakter femme fatale digambarkan di awal film sebagai orang yang baik dan tidak akan mungkin melakukan kejahatan apalagi terhadap pacarnya Chris (Daniel Kaluuya). Namun sepanjang film Rose berubah menjadi sosok yang manipulatif terhadap pacarnya, ia mengajak Chris untuk bertemu orang tuanya hingga akhirnya Chris masuk dalam jebakan Rose dan keluarganya. Chris pada akhrinya dalam bahaya. Dominasi Rose terhadap Chris berubah menjadi sesuatu yang tidak bermoral untuk dilakukan. Film ini menggambarkan Rose sebagai sosok yang memiliki karakteristik feminisme modern di awal  film dan di akhir film Rose yang sebenarnya muncul. Dalam sinema modern seperti contoh di atas konvensi mengenai sosok femme fatale masih digunakan.

Keberadaaan femme fatale selama ini dipahami sebagai sebuah bentuk karakter “perempuan” dengan citra yang buruk. Eksistensi tokoh-tokoh perempuan yang dianggap mematikan ini selalu disudutkan sebagai bentuk yang buruk. Tidak seperti kebanyakan tokoh laki-laki yang sebenarnya bisa memiliki peran yang sama, konteks mematikan jika disandang laki-laki ini bakal dianggap sebuah keberhasilan dan kekuatan. Tentu akan bernilai sebaliknya, jika hal tersebut dilakukan oleh seorang perempuan. Padahal jika ditinjau lebih jauh ada saja oposisinya, peran dengan konteks yang sama juga banyak dilakukan oleh laki-laki. Misalnya sosok laki-laki yang playboy namun memiliki citra yang kuat digambarkan dalam film The Wolf of Wall Street (2013). Kesuksesan Jordan Belfort (Leonardo DiCaprio) dalam menaklukkan Wall Street dan tokoh-tokoh wanita yang dijadikan sebagai bentuk piala bergilir sebagai apresiasi atas kesuksesannya.

Contoh yang lain seperti film Batman Begins (2005), Bruce Wayne yang memiliki persona playboy namun prestasinya sebagai seorang superhero menjadikan sikap tersebut adalah sebuah kompromi atas keberhasilan serta popularitas Batman. Berbeda dengan Kill Bill (2003), Beatrix Kiddo (Uma Thurman) yang ditampilkan sebagai perempuan dengan aksi bela diri mendapatkan ancaman dan serangan secara intens oleh Bill (David Carradine). Pada adegan terakhirnya, alasan dari adanya ancaman dan serangan yang dilakukan oleh Bill ini dijelaskan melalui dialog mereka sehingga dapat dipahami bahwa Beatrix merupakan wanita simpanan Bill yang membangkang. Bagaimanapun adegan aksi heroik yang dilakukan oleh Beatrix seolah tidak ada artinya.

Seperti yang kita pahami, karakter laki-laki yang memiliki konteks negatif selalu disepakati dan ditolerir karena dibingkai atas segala bentuk kontribusinya. Konsep seperti ini merupakan budaya yang mengakar, dalam film-film femme fatale, konstruksi terhadap kejahatan perempuan diuraikan melalui banyak detail agar perempuan terkonstruksi sebagai sosok yang negatif. Sedangkan film-film dengan dominasi maskulin terkadang hanya menghadirkan bentuk negatif dengan porsi yang lebih terbatas.

Catatan kaki:

[1] Menon, E.K. Evil By Design. 2006. hlm 95 – 96

[2] Hanson & O’Rawe. The Femme Fatale : Images, Histories & Contexts. 2010. Hlm 3.

[3] Bishop, Leann. Show Her It’s a Man’s World: How the Femme Fatale Became a Vehicle for Propaganda. USA. 2019. hlm 10

 

Penulis: Latifah Yanwar

Desain: Shafa Salsabilla

Mahasiswa film Institut Kesenian Jakarta. Biasa dipanggil Ipe. Nomaden. Banyak minat dalam seni, menulis dan hobi mengkoleksi pernak-pernik kerajinan tangan dan terkadang juga membuatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top