Mania Cinema

Melintasi Sejarah Sinema Horor Jepang sebelum Gelombang J-Horror

Diterjemahkan dari artikel milik Dominic Holm, Cinematic Genre: J-Horror before J-Horror terbit pada 30 Oktober 2020 di Broadly Specific

Secara historis, Jepang dan genre horor selalu berkelindan satu sama lain. Entah itu berupa tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut, karya seni, cerita rakyat dari zaman dahulu kala, pentas teater dari Kabuki dan Noh, atau yang lebih kontemporer seperti sinema; tak dapat dipungkiri bahwa budaya horror Jepang adalah salah satu yang berpengaruh dalam warisan horor di dunia.

Sadar atau tidak sadar, tak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Jepang merambah ke genre horor, atau pada budaya pop secara umum. Perlu diingat, ada masanya ketika Amerika Serikat memproduksi ulang film horor Jepang tahun 1990an yang bagus menjadi jelek dan menjamur pada masanya. Maraknya produksi ulang film horor Jepang dari Amerika Serikat inilah sebuah pengingat betapa berpengaruhnya film horor Jepang di kala itu. Gelombang film horor ini lebih menekankan pada atmosfer dan rasa pengekangan pada film ketimbang elemen kejutan dan darah pada film slasher horor Amerika Serikat yang menjamur pada rentang 1970-1990an. Gelombang film horor Jepang ini kemudian disebut dengan J-Horror. Ringu (1998, Hideo Nakata) adalah film pertama yang memicu rasa penasaran penonton Barat akan produksi film Jepang. Setelah itu, bermunculan lagi film-film horor Jepang populer yang turut mengamini dalam ‘Gelombang Baru’ ini, seperti Audition (1999) milik Takashi Miike yang terkenal atau Ju-On: The Grudge (2002) oleh Takashi Mizu adalah beberapa contohnya. Secara personal, Pulse (2001, Kiyoshi Kurosawa) adalah film favorit saya dari gelombang ini, Kepiawaian Kurosawa dalam mengeksplorasi potensi teknologi dalam mengisolasi kita, hal yang membuat saya suka akan film ini.

Bagaimanapun, Jepang sudah memproduksi mahakarya horor jauh sebelum meledaknya gelombang horor pada tahun 1990-2000an. Mahakarya horor sebelum pecahnya gelombang horor  yang akan saya bahas lebih dalam pada artikel ini. Banyak motif dan konsep dalam gelombang horor J-Horror sudah ada dan dilestarikan pada abad ke-20 dan seringnya dalam cerita rakyat pada zaman dahulu kala. Tubuh pucat, sosok hantu perempuan dengan rambut hitam yang urakan, realita horor dari pikiran dan hati manusia dan ketakutan akan perkembangan tekonologi adalah beberapa hal (dan lebih banyak lagi) yang ditemukan dalam film horor jepang sebelum J-Horror. Film-film ini juga memanfaatkan pengekangan diri ketimbang eksesnya.

Saya akan menyusun film ini secara historis berdasarkan tahun edarnya, membuat ceruknya menjadi sepuluh film yang menjadi sorotan pribadi. Dalam daftar ini saya mencoba menghadirkan film-film dengan ranah yang variatif, dari yang cult, terkenal sampai film yang terpendam dalam radar sinema horor dunia. Dalam daftar ini, saya akan menyampingkan film kaiju (monster Jepang) sebagaimana jenis film ini menjadi sub dalam genre horor. Kendati begitu, hemat saya, film kaiju memiliki ranah dan bahasan sendiri.

Momjigari (1899, Shibata Tsunekichi)

Menyebut film ini sebagai horror tentu sedikit berlebihan, namun saya merasa film ini patut disertakan dalam eksplorasi dan pemahaman akan akar sinematik horror Jepang. Momijagari (Maple Leaf Viewing dalam bahasa Inggris) merupakan film jepang tertua yang  bertahan dan keberadaannya diketahui—meskipun Jepang sudah membuat film selama dua sampai tiga tahun sebelum film ini. Film itu yakni dua film hantu, Bake Jizo dan Sbinin no sosei yang dibuat pada 1989; dua karya awal ini tidak selamat dan hanya meninggalkan Momijgari sebagai awalan artikel ini.

Film ini merupakan rekaman dari dua pemeran kabuki yang menampilkan adegan dari naskah teater kabuki, Momijgari di mana judul ini diadaptasi dari naskah teater tersebut. Di adegan ini, seorang yokai menyamar menjadi putri, namun identitas aslinya diketahui oleh seorang samurai. Mereka berdua bertarung, dan sang samurai menang.

Bagi yang tertarik dengan sejarah Jepang mungkin akan mengetahui bahwa samurai yang disebutkan sebelumnya adalah Taira no Koremochi, dan ini tak hanya sekali kita menjumpai klan Taira dalam artikel film ini. Momijagari jelas tidak menyeramkan, tapi cukup menakjubkan untuk mengetahui bahwa sejak awal penemuan medium film oleh Lumiere bersaudara, mereka langsung  meresponnya dengan membuat sebuah film naratif ketimbang merekam kehidupan sehari-hari mereka. Untuk menambahkan pencapaian tersebut, mereka bahkan sudah mengeksplorasi dalam ranah supranatural dan cerita rakyat dalam upaya awal merespon medium film. Eksplorasi akan ranah supranatural bisa dilihat dalam Momijigari yang menghadirkan kehadiran seorang hantu, dan dua film hilang yang sudah saya sebut sebelumnya juga mengenai hantu. Dapat dilihat bahwa horor sudah menjadi pijakan dan jiwa dari lanskap perfilman Jepang sejak awal keberadannya.

A Page of Madness (1926, Teinosuke Kinugasa)

Film ini memiliki eksplorasi horor yang berbeda jika dibandingkan dengan Momijigari atau beberapa film hebat yang muncul setelah film ini. Film ini memilih untuk fokus bermain dalam meneror pikiran ketimbang berkaitan dengan hal mistis. Film ini sendiri sebenarnya dinyatakan hilang sampai 45 tahun kemudian ditemukan kembali oleh sutradaranya sendiri di ruang penyimpanannya pada 1971. Hasilnya akan cukup menarik untuk melihat persamaan film ini dengan film yang rilis setelahnya, mengetahui bahwa sineas generasi selanjutnya kemungkinan besar belum menonton A Page of Madness.

Film bisu ini menceritkan tentang seorang pria yang dipekerjakan sebagai pembersih di rumah sakit jiwa, tempat di mana istrinya menjadi pasien. Sang pria mengambil pekerjaan ini karena ia merasa bertanggungjawab atas penyakit mentalnya dan harus berada di dekatnya. Ini bukan pertamakali film mengeksplorasi pikiran atas jiwa yang sakit dan menambahkan horor sebagai suatu pengalaman sinematik; Robert Weine sudah melakukannya pada 1920 dengan mahakarya horor, The Cabinet of Dr. Caligari yang sudah ada enam tahun sebelumnya dan tampaknya Kinugasa terinspirasi dari sana. Kendati begitu, kedua film tampak berbeda dalam mengekspresikan rasanya meski memiliki persamaan tema.

A Page of Madness dikenal sebagai film bisu dengan kurangnya penggunaan teks takarir sebagai pelengkap deskripsi adegan, melainkan bertumpu pada imaji yang ditampilkan sebagai tumpuan utama pada narasinya. Hasilnya adalah gaya impresionistik yang kental di film ini, di mana dimanfaatkan untuk menggali penonton secara dalam ke pikiran subjek film. Film ini tidak memiliki subjek yang mengerikan, namun bagaimana penggunaan kamera dalam menciptakaan dan mendistorsi semesta film yang dihadirkan. Hal ini menciptakan sebuah efek seolah kita, sang penonton juga ikut merasakan apa yang dirasakan oleh subjek film selama berada di rumah sakit jiwa. Film ini dikenal karena penggunaan masker noh, yang hanya muncul sekali dalam satu sekuens dan membuatnya menjadi ikonik di horor Jepang.

Ugetsu (1953, Kenji Mizoguchi)

Kenji Mizoguchi ialah salah satu sutaradara yang dihormati dalam dunia sinema. Nama dan karyanya akan terus hidup bersama sutaradara besar Jepang lainnya seperti Akira Kurosawa, Yasujiro Ozu, Mikio Naruse, dan Masaki Kobayashi. Sementara itu, Ugetsu menjadi film horor dengan sisi yang lebih ringan jika kita sandingkan dengan konteks zaman sekarang, membuatnya menjadi diskusi atas pencetus dalam penggunaan horor sebagai tema yang mengambil dan menyadur cerita rakyat tradisional, dan ini terus berkembang dalam film horor setelahnya.

Ugetsu menceritakan tentang dua pria, keduanya meninggalkan istri demi nafsu dan ketamakan mereka sendiri. Salah satu pria ingin menjadi samurai, dengan sengaja meninggalkan istrinya untuk menjadi samurai dan sementara yang satunya dirayu oleh arwah hantu dari seorang putri yang sudah mati. Ugetsu menampilkan sebuah semesta di mana yang supranatural terasa sangat nyata, sang pria hanya bisa merasakan rasa ngeri selama perjalannya di sungai yang diselimuti kabut (Adegan yang kemudian diberikan homage atau penghormatan oleh Martin Scorseese di Silence (2016)  atas Ugetsu). Film dengan tema yang memiliki sosok hantu perempuan menjadi populer digunakan sejak rilisnya film ini. Selain itu, perayuan terhadap pria penuh nafsu dari arwah yang menakutkan sudah menjadi tradisi naratif dalam cerita rakyat jepang, sesuatu yang tidak diragukan berakar dari pengaruh Agama Budha dan Shinto Jepang, di mana memiliki cerita spiritual atas kejatuhan dari orang yang mendahulukan hawa nafsu atau dosa lainnya.

Sudah sangat jelas kelihaian Mizoguchi dalam membangun salah satu drama manusia yang kuat dengan menggunakan supranatural—atau horor—sebagai wadah untuk masuk ke dalam semesta yang ia coba suguhkan. Sosok hantu dalam film ini sangat jelas bertujuan menanamkan rasa takut, tapi alih-alih menggunakan cara klise, Mizgoguchi mencoba mengeksplorasi perjuangan perempuan dalam pemerintahan feodal Jepang dalam cara yang relevan baik dalam zamannya maupun zaman sekarang. Mizoguchi selalau dikenal sebagai sosok yang humanis, film ini mungkin tampak menampilkan drama, tapi jika drama tentang opresi manusia bukan dinilai sebagai horor, maka saya tak tahu apa itu.

Onibaba (1964, Kaneto Shindo)

Film ini akan cukup menarik bila diputar bersama dengan A Page of Madness karena kesamaan dari penggunaan topeng Jepang sebagai visual yang mencolok. Jika A Page of Madness lebih fokus pada meneror dengan horor pikiran yang fokus pada permainan psikis penonton, Onibaba cenderung menitikberatkan pada horor itu sendiri dengan sedikit menambahkan aspek supranatural.

Saat menonton film ini, cukup mudah mengalir dalam gambar dan sinematografi yang disuguhkan, seperti karakter yang mengalir dalam padang ilalang dalam latar film ini. Kisah putus asa dari dua wanita; seorang ibu dan menantunya berusaha keras untuk keluar dalam kondisi melarat di tengah kecamuk perang Jepang pada abad ke empat belas. Kembalinya seorang prajurit lokal memercik konflik mengerikan dari nafsu dan kecemburuan seksual pada kedua perempuan ini, dan penemuan atas samurai dan topeng hannya yang mengerikan itu membuat kejadian kian tambah buruk.

Film ini berpijak pada takhayul Budha Jepang dan ajaran Shinto, dan disadur secara longgar dari tamsil Budha dengan judul yome-odoshi-no-men di mana Kaneto Shindo dengar pertamakali ketika dia masih kecil. Latar Onibaba fokus pada rawa yang dikelilingi oleh padang ilalang, ini membentuk suatu labirin yang tidak berakhir; menghasilkan perasaan klaustropobik yang ditegaskan oleh tata kamera milik Kiyomi Kuroda. Film ini juga terkesan sensual dan cenderung erotis, di mana hanya menambahkan kesan realis pada horornya.  Kendati begitu, kekuatan supranatural berperan kuat dalam pengembangan cerita film ini.

Kwaidan (1965, Masaki Kobayashi)

Masaki Kobayashi dikenal sebagai sutradara yang fokus pada drama sosio-politik seperti The Human Condition (1959), Harakiri (1962), dan Samurai Rebellion (1967). Kwaidan cukup kontras dan berbeda dibanding film-film di filmografinya. Pengambilan gambar berlokasi di studio besar, film ini berpusat pada elemen supranatural dalam cerita rakyat Jepang dan mengambil fokus pada penekanan horornya. Diadaptasi dari empat cerita pendek horor Lafcadio Hearn dan membuat film ini menjadi empat bagian film pendek, yang membentuk suatu keutuhan antologi bernama Kwaidan. Saya akan memberi empat sinopsis dari masing-masing film pendek:

The Black Hair—Seorang samurai meninggalkan istri tercintanya demi perempuan dari keluarga kaya, yang mana ini menciptakan sebuah malapetaka.

The Woman of the Snow—Dua pengrajin kayu terjebak di badai salju, di mana mereka dihantui oleh yuki-onna yang mengerikan.

Hoichi the Earless—Seorang biksu buta bernyanyi tentang kisah perang Dan-no-ura yang bertarung melawan klan Taira dan Minamoto saat akhir dari perang Genpei. Satu malam ketika sang biksu bermain biwa, ia dikunjungi oleh seorang samurai yang meminta sang biksu bersamanya pergi ke rumah tuannya untuk melakukan pembacaan doa.

In a Cup of Tea—Seorang samurai melihat wajah asing menoleh ke arahnya di secangkir teh; ia lanjut meminumnya dan terjadi hal yang aneh.

Kwaidan meraih suatu yang menakjubkan untuk film horor: harmonisasi keindahan dan ketakukan. Betul, konten film ini membuat bulu kuduk berdiri, namun sinematografi Yoshio Miyajima penuh dengan kemegahan dan tata artistik yang dilukis secara gaya surealis membuat Kwaidan menyerupai sesosok raksasa anggun yang penuh teror. Jangan pula durasi 3 jam menjadi penghalang untuk menonton film ini, karena film ini adalah film antologi. Kalian bisa menonton satu film dan kemudian film lainnya di hari yang berbeda. Film ini pelan, menghantui, dan dramatis. Jangan mengharapkan adegan kejutan, tapi haraplah sebuah cerita pilu yang akan selalu menghantui dan terngiang di kepalamu.

Kuroneko (1968, Kaneto Shindo)

Empat tahun setelah Onibaba, Kaneto Shindo merilis Kuroneko, film yang sama-sama menegangkan, meskipun yang satunya bertumpu kuat pada elemen supranatural. Film ini mengambil latar pada periode Heian yang dimulai dengan adegan pemerkosaaan dan pembunuhan dari seorang ibu dan menantunya. Beberapa waktu kemudian, dua hantu perempuan dikabarkan bergentayangan dan merayu samurai pada kematian di makam bambu dekat gerbang Rashomon (sebuah gerbang populer di Jepang). Seorang samurai muda dan baru naik jabatan dikirim untuk menemui roh itu dari gubernurnya.

Hal pertama yang muncul dalam pikiran saya ketika memikirkan film ini adalah kepiawaian menggunakan cahaya dan bayangan sebagai pembeda antara yang hidup dan mati. Mayoritas adegan film dibungkus dengan suasana kegelapan yang suram, hal ini sangat berguna dalam menekankan cahaya hantu yang muncul dari belukar bambu. Atmosfir seram dari Kuroneko serasa menembus dari luar layar dari awal sampai akhir, lebih terasa seperti sebuah mimpi ketimbang film. Beberapa adegan terasa sangat surealis, pun gubahan musik diciptakan cukup menyeramkan walaupun minimalis.

Jangan salahkan saya jika kamu takut melihat pohon bambu dan kucing warna hitam ketika menonton Kuroneko.

Horrors of Malformed Men (1969, Teruo Ishii)

Untuk film ini, saya bingung mulai dari mana. Horor gila besutan Teruo Ishii mungkin akan menjadi film paling aneh yang pernah kamu tonton. Film dimulai dengan yang simpel namun juga menarik; seorang pria yang ditahan dengan cara yang salah di rumah sakit jiwa, terus menerus mendengar sebuah kidung dan ia lupa akan memori dirinya sendiri. Pria ini melarikan diri, mencari sumber suara kidung itu. Pencariannya megakhirinya pada keluarga misterius di pesisir Jepang, seorang tiruan yang mirip dia, dan sebuah pulau asing. Meskipun mungkin film ini terasa dimulai seperti A Page of Madness dan bertransformasi pada gaya film detektif, film ini kemudian berubah lagi dan menjadi salah satu film aneh, ‘murahan’ yang pernah saya tonton. Saya rasa perpindahan adegan dan atmosfir ini tidak disengaja oleh sang sineas.

Film ini dengan tanpa henti memberikan alur cerita yang tak bisa ditebak dari awal sampai akhir. Jika hal ini diberlakukan pada film lain, hal ini akan menjadi kelemahan pada film, tapi tidak dengan film ini. Tidak dipatok pada aturan struktur dan penggarapan film manapun, film ini seperti mencoba untuk menjadi aneh dari awal sampai akhir dan tidak peduli akan seberapa aneh akhir dari film ini. Hal ini, menurut saya yang membuat film ini enak untuk dinikmati. Kendati begitu, film ini tetaplah film horor, meskipun dengan penggabungan acak dari beberapa varian genre, film ini masih akan menyeramkan dan kemungkinan akan membuatmu tidak nyaman setelah menontonnya. Film ini dibintangi oleh Teruo Yoshida yang sebelumnya hadir dalam film Yasujiro Ozu, An Autumn Afternoon yang memiliki gaya yang 180 derajat berbeda dengan film ini.

Shura (Demons) [1971, Toshio Matsumoto]

Pertengahan abad kedua puluh ditandai dengan bertumbuh suburnya film jidaigeki samurai (film drama yang berlatar pada periode sejarah tertentu) seperti Seven Samurai (1954), Harakiri (1962) dan Throne of Blood (1957). Namun, semakin lama, kualitas dari jenis film ini semakin mengalami penurunan. Film samurai yang bagus tentu masih ada dan tetap diproduksi (Seperti Ran [1985] misalnya), sampai sekarang, salah satu contohnya dengan film Killing (2018) besutan Shinya Tsukamoto. Bagaimanapun, di era temaram untuk fim jidaigeki samurai, muncul sebuah film Garapan Toshio Matsumoto dengan Shura yang rilis pada 1971 yang menjadi salah satu mahakarya terakhir dalam periode film jidaigeki samurai.

Pada hakikatnya, Shura adalah film horor paling mengerikan di bawah payung jidaigeki. Mengikuti cerita tragis mengenai Ronin ke-48 yang ingin balas dendam setelah dikhianati. Perjalanan Ronin menuju balas dendam membuatnya jatuh ke jalan yang suram. Suasana film ini sedikit mengingatkan saya dengan film The Sword of Doom (1966), di mana keduanya bergantung pada cara ekspresi sinematik yang gelap dan penggunaan bayangan yang secara efektif memberi efek menekan penonton pada film. Tak hanya itu, kedua film juga menjadikan ronin yang mengenakan topi Jerami khas ronin pada masa itu. Berbeda dengan The Sword of Doom yang masih berpaku pada struktur naratif konvesional jidaigeki, Shura memiliki pendekatan berbeda dengan penggunaan horor yang kuat ketimbang struktur naratif konvensional  jidaigeki pada umumnya.

Pembatasan penggunaan cahaya dan musik pada karya ini suatu pilihan yang brilian. Matsumoto memanfaatkan penggunaan suara lonceng yang terdengar mengerikan, keheningan sunyi yang tiba-tiba dipecah oleh isak tangis bayi, atau suara pria yang tersedak saat tenggelam, semuanya digubah dengan begitu menyeramkan dan terasa begitu suram.

Toshio Matsumoto ialah salah satu pencetus film eksperimental Jepang. Dia hanya membuat empat film panjang, namun katalog film pendeknya yang lebih eksperimental dan bersifat avant-garde. Shura bukanlah karyanya yang paling eksperimental, tapi gaya tutur ini cukup cocok dalam semesta film Shura dan menambah aura kengeriannya. Film ini diadaptasi dari naskah teater kabuki, kamikakete sango taisetsu, yang cukup jelas di mana film ini menggunakan struktur ‘panggung’ seperti panggung teater dan penggunaan musik tradisional Jepang dalam beberapa adegan.

Judul Shura diambil dari Bahasa sanskerta, asura yang menggambarkan iblis dalam kepercayaan Hindu atau Budha; judul yang sangat cocok. Saya tidak lelah mengatakan bahwa Shura adalah film berat dan melelahkan setelah menontonnya. Saya merasa seperti bukan orang yang sama setelah menontonnya. Tidak ada hal yang baik untuk ditemukan di film ini; tidak ada harapan, kebajikan atau perasaan senang. Hanya kegusaran, kematian dan darah. Persis serasa seperti neraka.

Atman (1975, Toshio Matsumoto)

Pada tahun 1970an hingga 1980an, Jepang memiliki era keemasan pada film horor yang dianggap janggal, bertempo pelan dari sutradara yang dianggap sebagai legenda pada era di mana gelombang baru yang dikenal sebagai J-Horror belum lahir. Meskipun begitu, dekade ini mulai melahirkan film yang memiliki eksperimentasi, transisi, dan eksplorasi yang kuat. Kita kembali ke Toshio Matsumoto, dengan film pendek avant-garde yang saya rasa perlu diapresiasi lebih.

Berpatok pada durasi 12 menit, Atman adalah contoh sempurna tentang bagaimana kamera, gubahan musik, dan sebuah subjek bisa berkolaborasi menjadi suatu keutuhan. Narasi yang menceritakan sebuah alur yang pakem tidak hadir dalam film ini. Film hanya berfokus pada subjek yang menggunakan topeng hannya yang mengerikan. Kamera mengelilingi subjek ini dengan intens, dengan teknik zoom yang membuatnya terasa layaknya denyut jantung. Gubahan musik dari Toshi Ichiyanagi yang masuk membuat kekacauan dan menambahkan kehebohan yang kuat. Bayangkan satu adegan dalam Onibaba dan diperpanjang menjadi 12 menit dalam perasaan seperti mimpi buruk, begitulah perasaanmu saat menonton film ini.

Atman adalah contoh ekstrem dari bagaimana perasaan horor yang sangat sukar diungkapkan, namun bisa dirasakan. Adapun judul dari Atman perlu ditinjau ulang. Dalam kepercayaan Buddha, gagasan dari ‘Atman’ adalah bagaimana keberadaan eksistensial diri yang permanen, yang sudah menyatu dengan jiwa. Sang Buddha menolak konsep ini dan menegaskan bahwa konsep ‘diri’ di sini bersifat cair, berubah-ubah; tidak ada ‘aku’ dalam kasus ini. Film ini mungkin menjadi refleksi tentang konsep Atman dan kecanduan yang merugikan diri kita sendiri. Subjek yang berdiri sendiri, tidak bergerak, kamera lah yang menekan pada pengalaman seperti mimpi buruk yang terikat kuat. Cukup terasa seperti dihipnotis, namun terasa tidak nyaman.

Mungkin ini adalah cerminan dari fiksasi tentang kemanusiaan dalam Atman, sebuah konsep yang cukup sulit untuk diterapkan di diri sendiri, terutama di Barat. Fiksasi dan peneguhan diri ini mungkin tidak cocok untuk kita, seperti yang ditampilkan dalam tutur kamera yang bikin tidak nyaman dan penggunaan topeng hannya yang membuat tidak nyaman. Saya berasal dari latar belakang Barat, saya melihat bahwa bahasa Inggris tidak akan hidup tanpa kata seperti me, you, we; sebuah kata yang bertumpu pada kesadaran diri, menunjukan keberadaan dari konsep Atman. Berbeda dengan bahasa Jepang yang kata ganti preposisinya bersifat mandiri seperti watashi, anata, dll. Saat berbicara bahasa Jepang, kita sebagai pembicara bisa memulai pembicaraan tanpa menggunakan kata ganti itu. Sungguh sangat bertolak belakang dengan konsep Atman karena dalam ajaran Buddha, konsep fiksasi diri seperti Atman ini ditolak. Jepang berpijak pada ajaran Budha, jadi masuk akal.

Atman adalah sebuah pengalaman mengerikan tapi juga menakjubkan. Sangat cocok ditonton saat tengah malam dalam keadaan lampu yang mati.

Tetsuo: The Iron Man (1989, Shinya Tsukamoto)

 

Penggabungan elemen cyberpunk dengan horor merupakan sebuah kombinasi yang terbaik sekaligus aneh dalam film garapan Shinya Tsukamoto ini. Tsukamoto ialah salah satu auteur favorit saya, gaya khasnya yang unik, brutal dan cukup sukar untuk diimitasi. Saya sangat menyarankan pembaca untuk masuk ke dalam karya-karyanya. Film ini sukses besar dan dinobatkan secara cult oleh para penggemarnya, dan menjadi karya pertama yang menjadi pengenalan saya terhadap gaya khasnya yang aneh.

Tetsuo: The Iron Man dimulai dengan seorang pria penyuka baja (metal fetishist) [diperankan oleh Tsukamoto], di mana pria ini gemar memasukan baja ke dalam tubuhnya sendiri. Secara ironis, pria ini berubah menjadi mobil dan dikendarai oleh seorang pria (Tomoro Taguchi). Sang pria kemudian mulai mengalami perubahan badannya menjadi baja, daging dan darahnya diselimuti dengan baja, seperti mesin-mesin yang menjalar. Banyak hal yang aneh sampai mengarah ke seksual terjadi saat kamera merekam transformasi ini.

Tetsuo adalah sebuah horor cyberpunk yang canggih namun menyeramkan. Sebuah film yang berfokus pada bahwasanya manusia menggunakan mesin untuk mengendalikannya dalam hal baik, jangan sampai mesin menggunakan manusia, atau mesin mengendalikan manusia. Ketakukan akan fokus pada film dijahit dengan baik dalam film ini. Film ini adalah eksplorasi dari bagaimana ketakukan manusia akan mesin, dibungkus dalam horor dan teknologi, terasa seram namun juga canggih.

Dominic Holm, seorang yang mencintai semua hal berbau Jepang. Ia pertamakali dikenalkan oleh film-film karya Akira Kurosawa, Yasujiro Ozu dan Masaki Kobayashi di kelas filmnya. Setelah itu, ia mulai menyusuri kebudayaan jepang, khususnya budaya pop mulai dari film, musik, video gim, sampai ke sejarah dan bahasa Jepang. Beberapa tulisannya dapat ditemukan di Sabukaru Online dan Broadly Specific.

Diterjemahkan oleh: Galih Pramudito

Desain oleh: Shafa Salsabilla

 

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top