Mania Cinema

Menilik Identitas Modern dalam Sinema Kontemporer Turki

Diterjemahkan dari buku Turkish Cinema: Identity, Distance and Belonging oleh Gönül Dönmez-Colin, pada bab 6 dengan judul A Modern Identity or Identity in a Modern World. Diterbitkan pertama kali oleh Reaktion Books, cetakan pertama tahun 2008.

Bagaimana seniman muda mendekati pergeseran nilai-nilai masyarakat dalam gerakan yang konstan, untuk mempertahankan tempatnya di dunia modern tanpa harus menghilangkan identitas yang mereka miliki? Apa yang mereka pikirkan ketika mereka menatap indahnya matahari terbenam di balik cakrawala yang tercemar polusi dari gereja-gereja Bizantium dan masjid-masjid Ottoman? Apa mereka membaca tentang kematian, fenomena penghilangan, dan kejahatan yang belum terpecahkan di koran harian? Apa mereka bergabung dengan mayoritas yang bisu dan hidup dari hari ke hari tanpa pengharapan terhadap keakanan yang lebih baik? Atau apakah mereka megasumsikan adanya tanggung jawab yang dipikul sebagai seniman untuk mencitrakan masyarakatnya dan melalui kepekaan kreatif membuatnya lebih menghormati individu-individunya, tanpa memandang jenis kelamin, agama, ras, atau kesetiaan politik?

Sinema kontemporer Turki yang muncul pada akhir 90an adalah pencarian model ekonomi, estetika, dan tematik baru dalam penafsiran identitas Turki sebagai sebuah bangsa dan individu di dalam dunia modern. Dari film art-house hingga film box-office, perhatian utama dari film kontemporer Turki serupa: pengangguran, usaha untuk bertahan hidup di kota besar, pencarian jati diri dalam masyarakat yang berubah, ancaman terhadap ruang fisik dan/atau mental dan atmosfer yang memunculkan perasaan ketakutan dan ketidakberadaan ketika dihadapkan dengan pertanyaan yang berhubungan dengan identitas: kebangsaan, sosial, religius, politis, dan seksual.”Fiksasi tematik ini dapat dilihat sebagai respons terhadap kegelisahan yang berkembang di masyarakat Turki seputar pertanyaan-pertanyaan tentang identitas dan kepemilikan setelah kudeta militer tahun 1980″, kata Asuman Suner, yang menekankan fakta bahwa kebijakan-kebijakan neoliberal pada tahun 1980-an telah mengarah pada reformasi teknologi, terutama di sektor informasi dan komunikasi, dan mempermudah jalan integrasi Turki ke dalam sistem kapitalisme, namun juga mengakibatkan melebarnya jurang pemisah tingkat disparitas pendapatan. Ditambah dengan perang saudara yang telah berkecamuk di bagian tenggara melawan gerilyawan Kurdi, ‘pertanyaan-pertanyaan tentang kepemilikan dan identitas dalam masyarakat Turki telah menjadi tempat emosi yang intens dan saling bertentangan, yang dimanifestasikan dalam semakin populernya diskursus nasionalis di satu pihak, dan meningkatnya sinisme, dan ketidakpercayaan pada hubungan komunitas dan identitas kolektif di pihak lain’. dan ketidakpercayaan terhadap hubungan komunitas dan identitas kolektif di sisi lain [[1]]

Lulusan sekolah film atau produk tradisional dari sistem cantrik-dan-guru, para pembuat film dengan semangat baru ini sudah tidak asing dengan tradisi sinematik, namun mereka juga berkesempatan untuk mempelajari sinema Barat, tidak hanya teori dan estetika, tetapi juga mode produksi dan pemutaran alternatif. Derviş Zaim, Nuri Bilge Ceylan, dan Zeki Demirkubuz, yang telah memasuki industri ini dengan film-film improvisasi tentang kehidupan sehari-hari masyarakat biasa, adalah pelopor film-film independen beranggaran rendah di sinema Turki.

Poin penting adalah bahwa sinema kontemporer Turki (yang disebut Sinema kontemporer terbarukan Turki oleh beberapa kritikus, untuk tidak mengacaukan perkembangan ini dengan Sinema kontemporer yang dimulai pada tahun 1970 dengan The Hope karya Güney atau yang baru tren di bioskop tahun 1980-an) bukanlah nouvelle vague dalam bahasa Prancis dalam arti yang sebenarnya. Ada kesamaan yang jelas dalam hal dominasi auteur pada mise-en-scène, praktik-praktik sinema yang refleksif, sebuah penjarakan yang disengaja untuk menghindari identifikasi dari penonton, subversi genre, penggunaan penyuntingan yang kontra dengan poin yang ada serta penggunaan metode elipsis, perhatian pada pengerjaan kamera dan naskah (acap kali ditulis langsung oleh pembuat film) dan penggunaan aktor profesional dengan hemat, namun sinema kontemporer Turki bukanlah sebuah ‘gelombang’. Jalur yang dipilih oleh setiap pembuat film adalah unik bagi mereka, terlepas dari titik temu tematik dan artistik serta kesamaan dalam mode produksi.

Derviş Zaim menyebut generasinya sebagai ‘pembuat film aluvionik’: mereka mengalir ke arah yang sama, tetapi keterkaitannya mengambil bentuk yang berbeda; mereka bekerja ‘secara independen tetapi juga sejajar satu sama lain, mirip dengan endapan aluvium yang bersama-sama membentuk aluvion menjadi satu kesatuan. Kadang-kadang, mereka bersatu, dan kadang-kadang menyebar, seperti halnya aluvium’. Analogi ini, menurutnya, sangat tepat untuk menggambarkan dinamika dan keragaman kelompok ini, yang mengejar gaya yang berbeda dan berbagai bentuk produksi, pembiayaan, dan distribusi.[[2]]

Film debut Zaim, Tabutta Rövaşata (Somersault in a Coffin) [1996], dapat dianggap sebagai penanda kemunculan periode baru dalam sinema Turki. Film ini direkam dalam 24 hari, meskipun proyek ini telah ada selama delapan tahun. Anggarannya sangat kecil; para aktornya, kecuali dua orang, bukan aktor profesional. Keaslian Somersault in a Coffin terletak pada cara film ini menggabungkan neo-realisme, fiksi ilmiah, dan fantasi. Narasi, dialog, dekorasi, dan aktingnya sangat sederhana. Nuansa sufi dari musik latar belakangnya tidak mengganggu tetapi efektif dalam membangun suasana film. Pendekatannya yang bersahaja dan minimalis merupakan penangkal tradisi hiperbolis dan teatrikal dari sinema komersial Yeşilçam.

Mencoba membuat film ‘tanpa-anggaran’ lebih sulit daripada membuat film debutnya Somersault in a Coffin, menurut Derviş Zaim, yang mendapatkan ide untuk proyek underground ini ketika mengambil kursus di London. Ia ingin menceritakan kisah tentang seorang tokoh yang ia kenal: seorang pencuri berhati emas yang mencuci mobil-mobil yang ia curi sebelum mengembalikannya ke tempat ia mencurinya. Aktor teater terkenal Ahmet Uğurlu mengajukan diri sebagai pemeran utama; Tuncel Kurtiz yang terkenal di dunia internasional (The Herd) menerima peran pendukung sebagai Reis; tempat nongkrong para nelayan di sepanjang Bosporus menjadi latar belakangnya, dan begitulah film bergaya gerilya pertama Turki lahir, sebuah film yang merepresentasikan “estetika dari sebuah kekurangan” menurut Zaim. [[3]]

Judul asli film ini menggunakan istilah sepak bola, rövaşat, yang berarti tendangan salto, yang digantikan dengan ‘jungkir balik’ (sommersault) dalam judul bahasa Inggris. Keduanya tidak mungkin dilakukan di dalam ruang tertutup peti mati. Dari cara pembuatannya hingga watak para tokohnya terhadap kehidupan, film ini bercerita tentang pendobrakan batas batas. Apa yang membuat Mahsun dan orang-orang di sekitarnya menjadi karakter yang dramatis karena mereka mencoba membangun keseimbangan dalam hidup mereka – memiliki rumah, tempat tinggal, seseorang untuk dicintai – dalam kondisi yang tidak memungkinkan, namun memiliki kemampuan untuk menolak keseimbangan ini dan segala sesuatu yang terlihat normal atau rasional. [[4]]

Mahsun (yang ironisnya berarti kuat dan kokoh dalam bahasa Turki Utsmaniyah)[[5]] tinggal di jalanan dan mencuri mobil untuk menemukan tempat yang hangat untuk tidur dan untuk memuaskan kerinduannya akan teknologi tinggi. Mahsun tidak memiliki rumah, masa lalu, dan tentunya masa depan. Hidupnya terombang-ambing antara mobil-mobil yang ia curi (tempat berlindung dari malam-malam dingin di Bosporus) dan kantor polisi (tempat ia dipukuli dan disiksa). Keduanya adalah ruang yang sesak, tetapi dunia luar juga tidak memberikan kelonggaran. Suatu hari, ketika ia menyaksikan kru televisi yang sedang merekam film di depan benteng Rumelihisarı yang dibangun oleh Penakluk Sultan Mehmet II selama pengepungan Konstantinopel, ia mengetahui bahwa burung-burung merak, yang dianggap sebagai simbol kemakmuran dan keberlimpahan oleh Utsmaniyah, dibawa dari Iran ke benteng tersebut oleh Mehmet II sebelum pengepungan, namun setelah ia meninggal burung-burung tersebut perlahan-lahan menghilang. Presiden Turki, Süleyman Demirel, menerima 50 ekor burung merak sebagai hadiah dari presiden Iran dan memutuskan untuk menyumbangkannya ke benteng sebagai bagian dari kebijakan baru untuk menghiasi landmark bersejarah kota untuk menarik wisatawan. Bagi Mahsun, burung merak menjadi simbol cinta dan keindahan yang tidak akan pernah bisa ia raih. Cinta dan keindahan yang sesungguhnya datang dalam bentuk seorang wanita muda bernama Fulya, seorang yang terbuang seperti dirinya yang secara teratur menggunakan heroin di kamar kecil çayhane (kedai teh di tepi pantai tempat Mahsun bergaul dengan teman-teman nelayannya). [[6]]

Kapal-kapal pesiar yang mengarungi arus Bosporus dengan musik keras yang mengganggu malam hari tidak menyadari keberadaan para tunawisma di pantai. Di pintu masuk benteng, turis Jepang mengambil foto, tapi ketika Mahsun mencoba melewati gerbang, dia dihentikan oleh penjaga. Sekarang dia membutuhkan tiket. Ketika kota ini terlibat dalam perlombaan global untuk pariwisata, orang-orang seperti Mahsun ditolak. Dia harus menunggu malam untuk melompati pagar. Dalam pengasingannya, burung merak menjadi satu-satunya penghubung Mahsun dengan dunia luar; ia dapat mengekspresikan dirinya hanya melalui burung merak. Dia curhat kepada burung itu, menceritakan semua masalahnya, tetapi ketika dia lapar, dia memutuskan untuk memakannya. Ironi ini sangat jelas. Nasionalisme yang mengibarkan bendera tidak mengenyangkan perut! [[7]]

Kisah ‘pelanggaran’ Mahsun sampai kepada teman-temannya di kedai teh melalui layar televisi, yang telah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat biasa, terutama pada tahun 1990-an dengan menyebarnya saluran-saluran televisi swasta, membuat yang privat menjadi publik dan memperlebar jarak antara drama manusia dengan perasaan manusia dengan pengulangan yang acuh tak acuh dan monoton tentang kejahatan dan teror, baik yang bersifat global, nasional, maupun individual. Dalam adegan ini, televisi terdengar tetapi tidak terlihat oleh penonton. Dalam bidikan sudut tinggi yang menekankan kerentanan mereka, para karakter melihat ke arah penonton yang menyaksikan dengan takjub drama absurd dari seseorang yang sudah dikenal yang diceritakan dengan cara yang faktual, jauh, tetapi juga menghakimi. Penyiar mengulangi pernyataan Mahsun di kantor polisi: ‘Saya menganggur, saya lapar, jika mereka tidak menangkap saya, saya akan memakan burung merak. Kemudian dia menambahkan: ‘jika Anda ingin tahu detail ceritanya, tetaplah bersama kami. Kami akan kembali setelah iklan.’[[8]]

Istanbul, menara-menara, jembatan-jembatan, puncak-puncak bukit, dan pantai-pantai di Bosporus, merupakan bagian integral dari hampir setiap film, seperti yang telah disebutkan di bagian Pendahuluan. Bosporus adalah tempat bagi orang kaya untuk memanjakan diri di restoran dan bar yang mahal. Namun dalam Somersault, Bosporus bukanlah sekedar dekorasi. Kedai teh, tempat nongkrong yang biasa dikunjungi anak muda sebelum tahun 1980-an, seperti yang dikenang oleh kritikus Sungu Çapan, berubah menjadi blok semen;[[9]] pengunjung tetapnya hanyalah seorang pecandu heroin, beberapa nelayan, dan Mahsun yang putus asa yang belum membayar 600 gelas teh yang ia minum selama tiga bulan, sebuah pengingat akan kebijakan ‘rags to riches’ Turgut Özal yang memperlebar jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Kamera sering kali menyandingkan bidikan jembatan gantung yang menghubungkan dua benua, simbol modernitas yang dibanggakan oleh banyak orang Turki, dengan orang-orang miskin yang sedang menggigit sepotong roti kering di tengah dinginnya malam, yang disajikan dalam warna abu-abu yang mencekam. Mahsun mencoba memberontak terhadap pemaksaan masyarakat yang mengkotak-kotakkan individu berdasarkan status kelas mereka; gaya hidup Fulya adalah reaksi terhadap masyarakat yang menstandarisasi individu. Bagi mereka yang tidak termasuk, Bosporus yang dingin dan kejam, di mana seorang pria bisa mati kedinginan (nelayan Sarı), adalah pengingat pahit akan pengucilan mereka.

Pesona legendaris Istanbul yang telah menjadi inspirasi bagi banyak film dan puisi digantikan dengan suasana ketakutan dan teror dalam film-film generasi baru. Unsur teror yang menggarisbawahi narasi Somersault mencerminkan masyarakat yang telah mengalami teror rezim militer dan perang saudara dan menjadi kebal terhadap tragedi berkat media massa yang agresif yang memilih persaingan rating daripada etika profesional. Kejahatan yang dilatarbelakangi perasaan impulsif, gambar-gambar grafis kecelakaan lalu lintas setiap hari, atau penindasan dan kekerasan etnis kini telah merambah ke dalam ruang pribadi yang sudah dikenal (seperti ruang keluarga), berkontribusi pada ketidakpedulian kolektif dan menciptakan karakter seperti Musa dalam Yazgı / Fate karya Zeki Demirkubuz, yang tidak bisa lagi menunjukkan reaksi. Kekerasan yang terjadi di sebelah rumah (tetangga yang memukuli majikannya) atau di luar jendela (gambar kabur orang miskin yang sedang memulung di kegelapan sementara mata Musa terpaku pada layar televisi) tidak jauh berbeda dengan kekerasan di televisi yang bisa ditonton sambil duduk di sofa yang nyaman. Ini adalah bentuk ‘penderitaan orang lain’.

Tiga film Zaim berikutnya, Filler ve Çimen / Elephants and Grass (2000), Çamur / Mud (2003), dan Cenneti Beklerken / Waiting for Heaven (2006), menunjukkan upaya untuk berdamai dengan masa lalu dan ingatan kolektif sebagai cara untuk menafsirkan masa kini, meskipun pertanyaan mengenai identitas dan rasa memiliki merupakan inti dari semua karyanya. “Keasyikan dengan sejarah dan ingatan, yang terkait erat dengan isu-isu identitas berdasarkan kewarganegaraan, gender, ras, dan orientasi seksual, merupakan salah satu indikasi utama dari “fin de milenium”, yaitu krisis budaya dan ekonomi yang sering kali terselubung di dalam gagasan tentang “berakhirnya sejarah”, menurut Marcia Landy, meskipun “seperti yang telah diperingatkan oleh Derrida, kita mungkin tidak sedang menyaksikan akhir dari sejarah, tetapi lebih pada akhir dari gagasan-gagasan historisitas yang dipuja-puja dan tradisional” [[10]]. Elephants dan Grass and Mud mendekati dua isu yang sangat politis dalam sejarah Turki baru-baru ini, yaitu organisasi kriminal di dalam negara, yang diidentifikasi sebagai ‘deep state’, dan trauma pemisahan pulau Siprus bagi para penduduknya. Kedua film ini dimulai dengan tentara Turki yang sedang melenturkan otot-ototnya: parade militer di Elephants dan para prajurit yang menerima pengarahan harian dari komandan di pulau Siprus. komandan di pulau Siprus dalam Lumpur. Dalam film yang terakhir, ironisnya, seorang veteran ‘Operasi Perdamaian 1974’ (invasi pulau oleh  tentara Turki) pingsan sebelum khotbah selesai sementara kamera memberikan kita sekilas lambang Atatürk yang terkenal, ‘Betapa bahagianya orang yang yang mengatakan bahwa saya orang Turki!”, tergantung di pintu barak.

Elephants didasarkan secara lepas pada skandal ‘Susurluk’ pada tahun 1996 ketika sebuah kecelakaan lalu lintas di dekat kota dengan nama tersebut mengungkap keterlibatan pemerintah dan polisi dengan mafia dan elemen ilegal lainnya. Mantan wakil kepala polisi Istanbul; pemimpin Grey Wolves (sebuah organisasi pemuda nasionalis yang kejam), seorang buronan yang dihukum karena perdagangan narkoba dan pembunuhan; dan seorang ratu kecantikan yang menjadi pembunuh bayaran mafia tewas dalam insiden tersebut. Seorang anggota parlemen yang juga merupakan kepala dari sekelompok besar penjaga desa di bagian tenggara, di mana perang berkecamuk melawan gerilyawan Kurdi, terluka. Beberapa pistol, peredam suara, dan narkotika ditemukan di dalam mobil. Fakta bahwa mereka bepergian bersama mengungkap hubungan antara pasukan keamanan, politisi, dan kejahatan terorganisir, dan mengakibatkan pengunduran diri Menteri Dalam Negeri dan penangguhan kepala polisi Istanbul. Namun, isu tentang apa yang kemudian dikenal sebagai ‘deep state’ tetap menjadi isu yang hangat, seperti yang terungkap dalam kasus-kasus lain, termasuk pembunuhan jurnalis Armenia, Hrant Dink.

Judul film ini mengacu pada pepatah lama ‘ketika gajah menginjak, rumput pun menderita’. Dengan menggunakan karakter fiksi, narasi film ini dibangun di sekitar seorang atlet wanita bernama Havva Adem (Hawa-Adam, yang melambangkan ‘setiap orang’), yang membutuhkan sponsor untuk mengikuti lomba lari maraton yang akan datang. Jika menang, ia akan menggunakan hadiah uang untuk operasi saudara laki-lakinya, yang harus duduk di kursi roda setelah menginjak ranjau ketika bertempur dengan gerilyawan Kurdi selama masa wajib militer.

Havva bekerja di sebuah studio ebru (bahasa Farsi yang berarti awan), mempraktikkan seni Ottoman, yaitu seni memahat di atas kertas. Kehidupan Havva, seperti tetesan air di dalam pot marmer, diarahkan seolah-olah disentuh oleh kekuatan yang lebih tinggi. Pada akhirnya, dia mencoba melakukan hal yang mustahil. Saat salju turun, ia melakukan ebru di kolam studio, yang bertentangan dengan sifat dasar seni. “Mungkin ebru tidak bisa dilakukan di bawah salju, tetapi demi kebebasan, kita harus terus mencobanya. [[11]]

Film ini dipenuhi dengan labirin plot-sub-plot yang terkadang membingungkan penonton (politik, mafia, PKK, bom bunuh diri, perdagangan narkoba Kolombia, badan intelijen rahasia, Alevis), namun film ini merupakan manifestasi penting dari kontribusi sinema terhadap pelestarian ingatan kolektif,[[12]] yang untuk itu Zaim menggunakan beberapa simbol, termasuk penghapus, yang memberikan kemampuan untuk melenyapkan kesalahan, namun juga dorongan untuk mengulanginya.

Perang di Siprus dan pemisahan pulau tersebut setelah invasi Turki pada tahun 1974 merupakan isu penting yang tidak didekati oleh para pembuat film Turki dengan cermat dan dari sudut pandang orang Siprus. Seperti yang telah disebutkan di bab Dua, pada saat invasi, Yeşilçam mengeksploitasi subjek ini untuk membuat melodrama perang nasionalis yang meninggikan prestasi tentara, tetapi tidak ada upaya yang dilakukan untuk menceritakan kisah-kisah rakyat yang tercerabut. Mud karya Zaim, seorang Siprus-Turki, adalah film fiksi pertama yang menggarisbawahi trauma orang-orang yang tergusur dan menjadi korban dalam sebuah pertandingan politik. Melalui kiasan tanah, lumpur, dan kurungan, Mud mencoba menceritakan kisah sebuah pulau di mana identitas etnis, yang dimanipulasi demi keuntungan politik, mengakibatkan bentrokan yang mematikan. Zaim menggunakan berbagai mode narasi yang berbeda dengan cara yang sesuai dengan karakter pulau tersebut, di mana realitas terus berubah. Takdir dan kehendak bebas, tema utama dari Elephants, juga merupakan hal yang mendasar dalam Mud. Film ini memenangkan penghargaan UNESCO di Festival Film Venesia, namun mendapat ulasan yang beragam di Turki. Menurut kritikus lokal Elif Genco, seperti halnya Elephants and Grass, Mud menunjukkan ketidakmampuan Zaim untuk berpolitik, “kecuali jika tidak mampu berpolitik tentang subjek yang telah disajikan sebagai kebuntuan sejarah dan digunakan untuk menyuburkan kebencian juga merupakan sebuah metafora”. [[13]]

Film keempat Zaim, sebuah drama periodik, Cenneti Beklerken / Waiting for Heaven (2006), adalah sebuah perumpamaan yang menggunakan masa lalu untuk memahami masa kini dan pertanyaan tentang identitas dalam konteks modern dengan mengekstrapolasi dikotomi seni Timur versus Barat. Tema-tema tentang ingatan individu dan kolektif, jarak emosional yang tercipta akibat kehilangan, dan pencarian identitas ketika nilai-nilai bersifat fana juga menonjol dalam film ini.

Eflatun adalah seorang miniaturis yang tinggal di Istanbul pada abad ketujuh belas, yang saat itu merupakan ibu kota Kekaisaran Ottoman. Ketika putranya meninggal, untuk melestarikan gambar yang realistis Dia menggambar wajah anak laki-laki itu dalam tradisi Barat, bertentangan dengan tradisi yang diajarkan kepadanya oleh para gurunya. [[14]] Alih-alih hukuman atas pelanggarannya, dia dikirim oleh wazir dalam sebuah misi untuk menggambar potret Danyal, sang penantang takhta, dengan gaya Barat, sebagai bukti pemenggalan kepalanya. Dengan sekelompok pengawal istana, Eflatun memulai perjalanan yang sulit ke jantung Anatolia, yang dilanda pemberontakan, sementara muridnya, Gazal, disandera untuk memastikan kepulangannya. Pertemuan dramatis Eflatun dengan sebuah lukisan yang mirip dengan Las Meninas / The Maids of Honour (1656), karya agung Diego Velázquez,[[15]] merupakan titik balik. Dia memahami bahwa perbedaan budaya bukanlah alat untuk konflik, melainkan untuk memperkaya kedua budaya. Zaim menggunakan titik temu antara seni Barat dan seni lukisan miniatur Timur sebagai kiasan untuk Turki dan keuntungan uniknya, secara geopolitik dan sosial, untuk menggabungkan dua budaya yang beragam dan terkadang berlawanan.

Film ini menggabungkan seni miniatur secara estetis ke dalam seni sinema Barat. Menurut Zaim, seni miniatur tidak memiliki kedalaman, cahaya, dan bayangan. Miniaturis tidak mencoba untuk mencapai kesan akan perspektif atau ilusi optik tiga dimensi. Figur atau objek tidak pernah tumpang tindih atau menyembunyikan satu sama lain. Waktu dan ruang bersifat cair. Sebuah tempat yang digambarkan dalam satu miniatur akan digambar ulang pada miniatur berikutnya, dengan warna dan bentuk yang berubah. Pada gambar berikutnya dari lokasi yang sama, objek dapat ditambahkan atau mungkin hilang. Peristiwa yang diketahui terjadi pada waktu yang berbeda atau di tempat yang berbeda, dapat digambar secara bersamaan. Karakteristik ini mungkin tampak bertentangan dengan sifat sinema; tetapi banyak fitur seni miniatur yang tak ternilai dalam hal potensi kontribusinya terhadap bahasa sinematik. [[16]]

Dalam film ini, seni ilusi cahaya, bayangan, dan kedalaman dari Barat digabungkan ke dalam seni Timur. Hingga Eflatun memulai perjalanan, warna-warna seni miniatur menjadi dominan; selama perjalanan, gaya pencahayaan Barat digunakan dan pada akhirnya, kita kembali ke warna merah murni dari miniatur tersebut. Bayangan, gua, dan cermin adalah kiasan untuk Plato dan nama tokoh utama adalah terjemahan bahasa Turki dari nama filsuf tersebut. Ruang dan waktu tidak dapat ditentukan. Selama perjalanan pertama, saat konvoi berkendara menuju sebuah batu, kamera turun dan kita melihat gua-gua; ruang yang berbeda muncul di setiap gua dan narasi yang berbeda terjadi. Dalam rangkaian mimpi, gubuk tempat Eflatun menghabiskan masa kecilnya masuk ke dalam frame. Ketika Eflatun menatap cermin, alih-alih bayangannya sendiri, ia justru melihat bayangan Pangeran Yakub yang ia temui di gurun. Dalam perjalanan pulang, Istanbul pertama kali muncul dalam bingkai karavan, kemudian masuk ke dalam bingkai yang sebenarnya. Ketika Eflatun berhadapan langsung dengan lukisan Barat yang menyerupai Las Meninas, ia menyadari bahwa konsep ruang dan waktu juga tidak pasti di sana. Lukisan itu juga menggambarkan cermin dan waktu dan ruang yang tercermin dalam cermin berbeda dengan yang digambarkan dalam lukisan itu sendiri. Menghadapi fitur seni Barat ini membuat Eflatun mengevaluasi kembali keyakinannya tentang perbedaan budaya dan titik temu. Zaim menekankan bahwa film ini tidak menentang budaya yang berbeda untuk menunjukkan bahwa mereka adalah ‘yang lain’, tetapi mencoba menunjukkan bagaimana budaya yang berbeda saling memperkaya satu sama lain. Hal ini diperluas hingga ke identitas pribadi para karakter: Eflatun adalah seorang Kroasia yang memeluk Islam; Leyla, seorang budak perempuan yang yang terlibat dengan Eflatun memotong rambutnya dan mengambil kepribadian laki-laki untuk alasan keamanan. Zaim berpendapat bahwa pertanyaan mendasar tentang identitas tidak dibahas di Turki. Alasan utama dari sikap diam tersebut adalah ‘etos paranoia yang berasal dari trauma yang dialami Turki dari abad kesembilan belas hingga abad kedua puluh selama masa transisi dari kekaisaran ke negara-bangsa. Perbedaan antara “kita” dan “mereka” telah menjadi sangat jelas sehingga membuat dialog menjadi sangat sulit. [[17]] Sentimennya senada dengan para pembuat film lainnya (Ataman, Ustaoğlu, Öz, Çelik, dan pengarsip Özgüç), yang menyatakan bahwa ‘pertanyaan tentang identitas adalah hal yang tabu di Turki’.

Untuk menarik perbedaan antara film-film seperti Elephants dan Grass or Mud, yang menggunakan referensi politik secara langsung, dan film-film Nuri Bilge Ceylan dan Zeki Demirkubuz, yang terlihat bersikeras untuk tidak berpolitik, padahal kedua film itu sangat politis, terutama dari sudut pandang cerminan pencarian identitas modern dan tempat untuk menjadi bagian dari dunia modern di mana nilai-nilai terus bergeser. Nuri Bilge Ceylan telah mencatat keluarganya sejak tahun 1995 dalam film-film yang sangat pribadi. Ia memulai debut penyutradaraannya dengan film hitam putih Koza / Cocoon yang berdurasi dua puluh menit, diikuti oleh film pertamanya Kasaba / The Small Town (1997), sekali lagi dalam bentuk hitam putih, kemudian Mayıs Sıkıntısı / Clouds of May (1999) dalam bentuk berwarna, diikuti oleh Uzak / Distant (2002), juga dalam bentuk berwarna, dan İklimler / Climates (2006) yang diambil secara digital. Tiga film panjang pertama, seperti film pendek sebelumnya, dibuat di kampung halaman sang pembuat film; film ini merupakan variasi dari tema yang sama dan semua aktornya adalah kerabat Ceylan. The Small Town dibuat dengan anggaran sebesar $15.000 tanpa bantuan dari pemerintah; Kementerian Kebudayaan tidak akan meminjamkan uang untuk sebuah proyek film hitam-putih tanpa aktor yang layak dibiayai. Karena kekurangan dana, film ini direkam tanpa suara dan disulihsuarakan di studio. Ceylan menyesal karena ia tidak memiliki cukup rol film untuk peyuntingan lebih lanjut; tidak ada lagi stok film seluloid hitam putih yang bisa dibeli di Turki. [[18]]

The Small Town, yang didasarkan pada cerita pendek, Corn Fields, yang ditulis oleh saudara perempuan Ceylan, Emine Ceylan, terinspirasi oleh masa kecil mereka pada tahun 1970-an. Meskipun narasinya mengikuti musim, struktur umumnya adalah siang hari diikuti oleh malam hari. Pada bagian pertama, kita menyaksikan sebuah ruang kelas pedesaan di musim dingin, di mana seorang guru muda melamun sementara anak-anak membaca dari buku pelajaran patriotik tentang aturan kehidupan sosial dan keluarga sebagai inti masyarakat. Sehelai bulu beterbangan, cahaya yang ringan disandingkan dengan atmosfer yang berat di dalamnya. Anak-anak yang terganggu mengamati dunia di luar. Seorang anak laki-laki yang malang datang terlambat dengan basah kuyup oleh salju. Air dari kaus kaki basah yang digantungnya di atas kompor mendesis. Air mata mengalir di pipi seorang anak perempuan ketika gurunya menemukan telur basi di dalam tasnya. Gambar-gambar mengikuti satu demi satu seperti gambar-gambar di galeri. Pada suatu hari di musim semi, perjalanan pulang yang panjang yang dilalui anak-anak setiap hari penuh dengan penemuan-penemuan baru bagi Ali kecil, tetapi adiknya telah tumbuh dan belajar untuk melihat sekelilingnya dari kejauhan.

Bagian kedua dari film ini membangkitkan kenangan Ceylan: masa kecilnya dan malam-malam musim panas yang hangat saat panen jagung ketika ia menghabiskan malam hari di ladang sambil mendengarkan percakapan orang dewasa. Kadang-kadang percakapan itu keras; di lain waktu lembut seperti gumaman dan pengulangan cerita lama yang sama akan meyakinkan anak-anak, kenang Ceylan. Momen-momen pribadi seperti itu akan membawa mereka ke berbagai tahap kedewasaan dengan segala kerumitannya. [[19]]Selama percakapan, yang dipinjam secara bebas dari Chekhov, pertanyaan tentang memiliki tanah air dan kemungkinan untuk kembali, elemen utama dari karya Ceylan, diperkenalkan melalui kisah-kisah kakek Emin (ayah sutradara, Mehmet Bilge Ceylan) tentang petualangannya di tanah asing selama perang dan nostalgia yang ia rasakan untuk rumahnya. Kisah-kisah tersebut memiliki elemen otobiografi bagi Ceylan, yang mencoba untuk tinggal di London ketika ia masih muda. Benih-benih pencarian identitas dan rasa memiliki, pertanyaan-pertanyaan penting dalam film-filmnya, ditaburkan setelah pertemuannya dengan Barat. Segalanya tampak tidak berarti baginya. “Itu adalah hubungan yang sangat eksotis. Barat tidak mau menunjukkan wajah aslinya kepada kami. Namun, perasaan ‘tidak berarti’ akan menghantuinya bahkan di Himalaya seperti halnya kakek Emin dalam The Small Town, yang mengatakan: ‘Ke mana pun Anda melihat, pohon yang sama, awan yang sama…’. Duduk di sebuah kuil Buddha pada suatu hari, Ceylan menyadari betapa ia merindukan rumah. [[20]] Awan Bulan Mei menggemakan sentimen yang sama. Muzaffer menyarankan Saffet untuk tinggal di rumah. “Di Istanbul, Anda tidak bisa membedakan musim… hanya dari jendela toilet kecil. Di Istanbul mereka juga berusaha melarikan diri… Anda memiliki keamanan di sini. Dalam Distant, Mahmut yang kecewa mengatakan kepada Yusuf, yang ingin bekerja di kapal untuk melihat dunia, bahwa ‘semua tempat itu sama saja’.

Para kritikus lokal berbeda pendapat tentang keunggulan The Small Town. Akarsu mengklaim bahwa Ceylan menggabungkan teknik-teknik yang ia pinjam dari para neo-realis dengan pengetahuannya yang mendalam tentang provinsi Anatolia barat untuk membangun bahasa naratif baru yang menampilkan kepekaan lokal. Fakta bahwa ia menggunakan klise-klise dari Antonioni atau Tarkovsky secara berlebihan tidak mengurangi kualitas film ini, karena selain pengetahuan naratifnya, elemen-elemen lain juga bekerja: keahlian artistik yang ia dapatkan selama bekerja sebagai seorang fotografer, kedalaman kepedulian filosofisnya, keberaniannya sebagai seorang seniman, dan aset yang sangat penting yang jarang dimiliki oleh seniman lain, yaitu “keluarga yang sempurna yang mendukungnya dengan sepenuh hati”. [[21]] Bagi Erdem, The Small Town menggunakan karakteristik utama neo-realisme Italia dengan mempekerjakan aktor non-profesional, menampilkan sekuens panjang yang mensimulasikan waktu nyata, memanipulasi gambar yang tidak terkait dengan narasi (‘jika ada narasi’, Erdem mempertanyakan), dan berakhir secara tiba-tiba. Namun, ada perbedaan besar antara The Small Town dan karya-karya besar neorealisme.

Gambar-gambar diam Ceylan mengingatkan kita pada latar belakang fotografinya, tetapi ketika kamera bergerak, sifat amatir dari sentuhan sinematiknya nampak jelas dengan segala kecanggungannya. Sementara neo-realisme menganggap sinema sebagai seni visual dan menghindari dialog, terutama monolog, The Small Town memiliki bagian yang membentang tanpa henti dengan serangkaian monolog yang disajikan sebagai dialog. Sifat dangkal dari percakapan-percakapan ini bertentangan dengan pencarian realisme film ini. Kita tidak bisa mengatakan bahwa The Small Town menceritakan sebuah cerita; ini bisa dianggap sebagai sebuah album foto naratif. album foto. Dengan penyuntingan yang cerdas, film ini bisa menjadi film pendek yang menjanjikan. [[22]]

Dalam Clouds of May Muzaffer (Muzaffer Özdemir), seorang pembuat film independen, mengerjakan proyek-proyek yang tidak dibayar, yang membuat orang tuanya yang sederhana di daerahnya kecewa. Dia kembali ke desa asalnya untuk membuat film (The Small Town) dan mengganggu ketenangan hidup kerabatnya, terutama ketika dia meminta mereka untuk bermain di dalamnya. Sang ayah, Emin Bey (Mehmet Bilge Ceylan, yang berperan sebagai kakek dalam The Small Town), akan kehilangan tanah yang telah ia pelihara selama bertahun-tahun kepada para penambang karena kurangnya kejelian. Sepupunya, Saffet (Mehmet Emin Toprak, juga dari The Small Town), masih belum bisa lulus ujian masuk universitas dan merasa sesak dalam suasana kota kecilnya yang tenang namun sesak. Satu-satunya harapan Saffet adalah Muzaffer, yang ia pikir dapat mencarikannya pekerjaan di kota, tetapi sebaliknya, Muzaffer memanfaatkannya untuk tujuannya sendiri dengan memberinya harapan palsu selama pengambilan gambar, tetapi menjatuhkannya di akhir dengan nasihat yang tidak disukai bahwa ia lebih baik tetap tinggal di tempatnya. (Saffet saat Yusuf tiba di depan pintu Muzaffer/Mahmut di Jauh.) Ali kecil terus memimpikan sebuah jam musik, tetapi sekarang dia telah belajar keterampilan bertahan hidup dengan cara curang. Ibu Fatma (ibu sang sutradara) masih menjadi tumpuan keluarga, meskipun ayah Emin adalah karakter yang lebih berwarna dengan keanehan dan wawasan intuitifnya. [[23]]

Judul The Small Town dalam bahasa Turki, Kasaba, berarti bukan kota dan bukan pula desa; ini menandakan sebuah ruang di antara yang menyinggung pertanyaan-pertanyaan tentang identitas yang muncul di antara para penghuninya yang bukan penduduk desa maupun kota. Terjemahan harfiah dari judul asli Awan Bulan Mei adalah ‘Kebosanan Bulan Mei’. Terlepas dari keindahan pemandangannya, kenormalan, konformis, dan rasa puas diri yang berpusat pada keluarga di kota kecil ini serta keterasingannya membangkitkan rasa klaustrofobia dengan ‘pasangan yang bertengkar dan drama pernikahan, pemilik toko borjuis kecil, tetangga yang berkerudung, dan sore hari di depan televisi’ seperti yang didefinisikan oleh Fredric Jameson, ‘rasa sakit dan perihnya ketidakhadiran di tengah-tengah’, [[24]] yang dirasakan paling dalam oleh Saffet seperti yang terlihat pada adegan-adegan pembuka saat kamera berfokus pada dirinya yang menatap ke luar jendela dengan rasa bosan dan cemas. “Kampung halaman”, dalam kedua film tersebut, muncul sebagai ruang yang menelan dan membatasi cakrawala sosial para penghuninya. Satu-satunya saat Saffet menghargai keindahan kampung halamannya, ia menjelaskan dalam The Small Town, adalah pada pagi hari ketika ia meninggalkannya untuk bergabung dengan tentara. Untuk melihat keindahan “rumah”, tampaknya, diperlukan jarak. [[25]]

Karakter Ali mengingatkan kita pada tokoh Ahmad dalam film karya Abbas Kiarostami,  Khaneh-ye Dust Kojast / Where is the Friend’s House (1987). Dia memiliki niat yang baik tetapi orang dewasa tidak peka terhadap kebutuhannya. Adegan dengan Muzaffer di taman anak-anak yang sedang merenung di ayunan sangat penting. Ali muncul di bidikan berikutnya, tapi hanya punggungnya yang terlihat. Muzaffer memikirkan masa kecilnya dan melihat dirinya dalam diri Ali seperti yang dia katakan kepada ibunya. Nostalgia akan apa yang hilang adalah dilema Muzaffer, yang terputus dari akarnya, yang tahu bahwa tidak ada jalan untuk kembali ke ‘rumah’.

Episode di ruang kelas menyerupai episode The Small Town. Sekali lagi, sistem pendidikan yang hampir tidak mengajarkan sesuatu yang berguna bagi anak-anak (diulang dalam Waiting For the Clouds karya Yeşim Ustaoğlu) diekspos dengan humor. Ketika Muzaffer bertanya kepada Ali tentang apa yang mereka ajarkan di sekolah, dia tidak menjawab apa-apa. Ceylan menyinggung modernitas yang melanggar cara hidup tradisional dengan cara yang lucu melalui ketertarikan Ali pada korek api yang memainkan lambada ketika Anda mengkliknya. Kehancuran alam ketika kota-kota kecil bergerak menuju modernitas secara dramatis dipentaskan dalam episode ketika sang ayah berjalan keluar dari lokasi syuting – seperti gadis kecil dalam film Jafer Panahi, Badkonak-e sefid / The White Ballon (1995) – dan bergegas mengayuh sepedanya menuju hutan yang telah ditandai oleh para pegawai Kementerian Pertanian untuk dihancurkan.

Hilangnya kepolosan dan apa yang hilang selamanya di alam membangkitkan perjalanan waktu. Sang ibu merasa tertekan melihat dirinya terlihat tua dalam video tersebut. Dia bertanya: “Apakah alat ini membuat seseorang terlihat lebih tua? Muzaffer tidak perlu repot-repot untuk bersikap bijaksana: “Tidak sama sekali. “Waktu terus berlalu”, jawabnya. “Kami telah menjadi tua. Perjalanan waktu juga merupakan bagian integral dari The Small Town, di mana Ceylan menyandingkan sudut pandang ‘berbudaya’ dengan ‘alam’ dan merefleksikan dikotomi tersebut. [[26]] Dalam Climates, adegan pembuka berlangsung di antara reruntuhan, yang menurut master Bengali Mrinal Sen, yang telah membuat beberapa film di reruntuhan, memfasilitasi dialog berkelanjutan antara masa lalu dan masa kini. [[27]]

Kritikus Amerika Serikat, A. O. Scott, menggarisbawahi pengaruh sinema Kiarostami pada karya Ceylan dalam istilah-istilah berikut:

Sebuah penghargaan yang luar biasa terhadap lanskap pedesaan, ketertarikan yang tidak sentimental terhadap anak-anak, dan keingintahuan yang tidak mencolok tentang bagaimana realitas film sejajar dan bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari. Tokoh protagonis Ceylan, seorang pembuat film dari Istanbul yang kembali ke kampung halamannya di provinsi kecil untuk membuat film, sedikit mirip dengan insinyur yang terlantar dalam film “The Wind Will Carry Us” karya Kiarostami: orang luar kota yang selalu ingin tahu dan membuat ritme kehidupan pedesaan sedikit tidak teratur. [[28]]

Menurut kritikus Prancis Jean-Sébastien Chauvin, Ceylan, yang tahu cara memanipulasi penonton, memanjakan diri dengan mengkritik diri sendiri melalui Muzaffer, karakter yang tidak simpatik, yang membuat film yang tidak memuaskan siapa pun, dan selain dari gambar-gambar yang memunculkan ‘kerutan ke permukaan’, ia tidak banyak memberikan sesuatu kepada siapa pun, meskipun ia tidak segan-segan menggunakannya untuk kepentingan pribadinya. [[29]]

Sebagian besar kritikus Prancis sangat menyukai Clouds of May. Le Monde memuji film ini karena perjalanannya dari individu ke kolektif, dari dokumenter ke fiksi, dan dari kebohongan ke kebenaran, yang menurut mereka, mirip dengan perjalanan sinema.[[30]] L’Humanité menyebut Ceylan sebagai ‘seorang Chekhov Turki’, dan berkomentar bahwa kekayaan Clouds of May tidak hanya berasal dari jaraknya dengan para tokohnya. Film ini juga berbicara tentang kehidupan desa yang menghilang, kerinduan akan kota besar, dan mimpi-mimpi tentang mainan yang tidak akan meninggalkan anak-anak. “Singkatnya, film ini merefleksikan situasi di Turki saat ini, yang tidak jauh berbeda dengan tempat-tempat lain.” [[31]]

Uzak / Distant melanjutkan tema utama tentang rumah, identitas, dan rasa memiliki yang dieksplorasi dalam The Small Town and Clouds of May. Tokoh utama Mahmut (Muzaffer Özdemir) telah membuat sebuah tempat tersendiri di kota metropolitan yang besar; dalam artian, ia berada di dalam dan di luar. Mahmut jauh dari para wanita dalam hidupnya: mantan istrinya, selingkuhannya, ibunya, dan saudara perempuannya. Dia jauh dari sepupunya yang mengingatkannya pada akar yang dia pikir telah terputus saat mencoba membangun identitas baru di lingkungan perkotaan. Dia jauh dari pekerjaannya, karena memilih jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan materi daripada mengejar impian artistiknya. Dia jauh dari komitmen terhadap manusia: dia memaksa istrinya untuk melakukan aborsi. Dia memperlakukan sepupunya dengan jijik; gundiknya dengan tidak peduli; dan tidak dapat mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada mantan istrinya yang tampaknya penting baginya. Dia juga jauh dari lingkungan terdekatnya. Meskipun apartemennya tampak besar, tempat tidurnya ditempatkan di ruang tamu dan dia tidur di dalam kantong tidur seperti seorang musafir yang sedang melintas.

Film ini dimulai dengan lanskap pedesaan di pagi hari yang diselimuti salju. Sesosok tubuh mungil perlahan-lahan mendekati kamera. Sebuah bus berhenti di kejauhan dan anak muda itu melompat ke dalamnya. Potongan gambar kabur dari seorang wanita yang sedang melepas kaus kakinya. Seorang pria di latar depan mengamatinya, menghela napas, dan melepas sepatunya. Sang wanita menunggu dan sang pria memperhatikan. Dia tiba di tempat tidur. Gambar tersebut diburamkan, sehingga memudahkan penghilangannya dari ingatan setelah tindakan tersebut selesai dan perasaan malu mengendap. Kemudian, dia akan terlihat membersihkan tempat kotor di tempat tidur dengan cara yang jengkel.

Beralih ke pengawas bangunan, seorang pria Anatolia seperti biasanya, yang melihat wanita itu keluar dan masuk ke dalam mobilnya. Tatapannya jelas menunjukkan ketidaksetujuannya karena ‘wanita yang datang dan pergi dalam kegelapan’ bertentangan dengan nilai-nilai tradisional keluarganya. Namun ada sesuatu yang istimewa dari tatapan ini, yang menunjukkan ketangguhan pendatang dari pedesaan untuk beradaptasi dengan situasi baru, atau setidaknya untuk tetap diam. Benturan dua budaya ini terlihat dalam adegan lain, lagi-lagi melibatkan pengawas, ketika seorang penghuni gay paruh baya keluar dari gedung bersama kekasihnya yang masih muda. Ironisnya, pengawas tersebut bersikap baik kepada pria yang perilaku seksualnya bertentangan dengan keyakinan moralnya, namun bersikap dingin dan menghakimi sepupu senegaranya, yang mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan. Pada pertemuan pertama mereka, dia benar-benar menutup pintu baginya.

Fakta bahwa ‘yang liyan’ dari provinsi ini tidak diterima, bahkan oleh orang provinsi lain, terlihat jelas di sepanjang film. Yusuf berperan sebagai sosok yang mengukuhkan prasangka-prasangka tersebut: ia mengikuti para wanita; melecehkan mereka di dalam bus (dengan mata dan kakinya); tidak menyiram toilet; menghisap rokok murahan; meninggalkan sepatunya yang bau di sekitar; lebih memilih penyanyi pop Sezer Aksu daripada Bach, yang belum pernah ia dengar, dan sitkom daripada Tarkovsky, yang menidurkannya. Menghasilkan uang adalah satu-satunya tujuan hidupnya dan, yang terburuk, ia tidak tahu bagaimana membuat jarak antara dirinya dan orang lain. Dia membawa kedekatan yang sesak dari kehidupan kota kecil bersamanya (seperti kura-kura dalam dua film sebelumnya yang membawa rumahnya di punggungnya) ke kehidupan kota yang terisolasi namun pada saat yang sama membebaskan anonimitas kehidupan perkotaan yang telah dipilih oleh sepupunya, Mahmut, untuk hidup.

Sementara Mahmut ‘jauh’, Yusuf ‘berjarak’. Ia diizinkan untuk hidup di kota metropolitan selama ia tidak terlihat. Mahmut membagi apartemen, mendorong Yusuf ke ruang belakang di ujung koridor yang panjang. Yusuf tetap membiarkan lampu menyala dan Mahmut tetap mematikannya, seperti pintu yang terus ia tutup untuk melindungi wilayah rumahnya dan identitas yang ia pilih sendiri. ‘Yang liyan’ harus ditinggalkan di luar. Tetapi dengan mengunci yang lain di luar, seseorang juga mengunci dirinya sendiri. Dalam hal ini, kiasan tikus yang terperangkap di dapur dapat diterapkan pada kedua karakter, meskipun metode masing-masing untuk melenyapkan hewan tersebut cukup berbeda.

Hubungan antara Mahmut dan Yusuf mencerminkan ketegangan antara lingkungan perkotaan dan pedesaan di Turki dan transformasi para intelektual yang telah memilih untuk melayani sistem. Dalam prosesnya, mereka telah menjauhkan diri dari cita-cita mereka. Mahmut, yang dulunya adalah seorang fotografer yang ambisius, sekarang membuat iklan untuk sebuah perusahaan keramik. (Sama seperti beberapa pembuat film ‘terlibat’ di masa lalu yang mengerjakan iklan TV dan serial televisi yang dangkal).

Algan menunjukkan bahwa karakter Yusuf sebagai seorang pengangguran dari daerah yang ditinggalkan dan dirugikan, ditampilkan dengan penuh empati, sedangkan karakter Mahmut adalah egois dan oportunis. Terputus dari ikatan tradisional dan sosialnya, Mahmut selaras dengan sistem ekonomi yang ada. Ketegangan antara kedua sepupu ini, yang dialami secara mendalam di dalam sebuah apartemen di pusat kota, merupakan kiasan yang kuat bagi masyarakat Turki. Sebuah tipe intelektual perkotaan baru tercipta pada tahun 1980-an dengan adanya perubahan sosial dan ekonomi serta hegemoni pandangan dunia neo-liberalis. Para intelektual ‘baru’ ini – jurnalis, propagandis, pengiklan, eksekutif perusahaan, dan ahli hubungan masyarakat adalah beberapa profesi yang khas – merasa otonom dari masyarakat, dan dalam kehidupan nyata memberikan semua kreativitas mereka untuk melayani kapitalisme. Mahmut adalah salah satu dari ‘intelektual baru’ ini. Gaya hidup Mahmut telah disetujui dan diagungkan, sedangkan ‘yang lain’, yang diwakili oleh Yusuf telah direndahkan. Sinema pada masa itu mendukung sudut pandang ini, menganjurkan gaya hidup neo-liberal,[[32]] dan Distant adalah film pertama yang melihat periode ini secara kritis. [[33]]

Dalam sebuah wawancara dengan sebuah surat kabar nasional, Ceylan ditanya apakah krisis identitas intelektual Turki berasal dari terjebak di antara Timur dan Barat, dan apakah berada di persimpangan jalan bisa menjadi sumber kekayaan intelektual. Ia menjawab bahwa lebih dari sekedar terjebak di antara Timur dan Barat, krisis ini berasal dari status Turki sebagai negara Dunia Ketiga; ia tidak berpikir bahwa para intelektual di Argentina atau Meksiko merasakan hal yang berbeda.

Negara-negara terbelakang meniru Barat yang telah memaksakan budaya mereka melalui berbagai cara. Imperialisme telah berhasil membuat negara-negara terbelakang merasa sedikit malu dengan budaya dan tradisi mereka. Pengaruh ini lebih menonjol pada kaum intelektual dunia ketiga yang memiliki kemungkinan lebih baik untuk berkomunikasi dengan Barat. Mereka yang mengasimilasi sudut pandang orang lain melihat adat dan tradisi mereka sendiri sebagai ekstremitas yang diciptakan oleh ketidaktahuan.

Ceylan juga menunjukkan bahwa ia percaya bahwa orang Turki memiliki karakteristik Timur, tetapi gagasan bahwa ‘terjebak di antara Timur dan Barat dapat menjadi sumber kekayaan’ selalu memberinya perasaan sebagai hadiah hiburan. [[34]]

Jika fokus dari tiga film pertama Ceylan adalah mudik dan pelarian dari rumah, Climates adalah tentang pelarian dari rasa membangun ikatan dan kepemilikan pada seseorang. Motif kura-kura, yang digunakan dalam The Small Town dan Clouds of May, sangat penting dalam konteks ini. Di Turki, kura-kura diibaratkan sebagai pengembara yang bepergian dengan rumahnya. Orang mungkin juga berpikir bahwa kura-kura adalah tahanan di rumahnya, ‘kura-kura sebenarnya adalah rumahnya kura-kura sebagai simbol dengan sempurna mewujudkan sisi kenyamanan dan juga sisi yang tidak biasa dari rasa memiliki. Apa yang melindungi dan menghibur juga menangkap dan memenjarakan. [[35]] Hal yang sama dapat diterapkan pada hubungan. Baik Mahmut dari Distant dan Isa dari Climates lebih baik ketika mereka melakukan hubungan seks tanpa keterikatan. Meskipun Mahmut merasakan kekosongan yang muncul setelah tindakan impersonal tersebut, Isa bahkan tidak mengetahui perasaan seperti itu.

Ketidakjujuran dan perselingkuhan merupakan bagian dari narasi dalam semua film Ceylan dan mungkin berfungsi sebagai metafora untuk seni sinema. Bahkan anak kecil Ali belajar pada usia dini bahwa untuk bertahan hidup berarti melakukan kecurangan. Dia diminta untuk membawa sebuah telur di dalam sakunya selama 40 hari tanpa memecahkannya dan jika dia dapat mencapai prestasi ini, dia dapat memiliki jam tangan musik yang dia inginkan. Ketika Muzaffer menyarankan agar dia merebusnya dan dengan begitu telur itu tidak akan pecah, dia menjawab dengan tegas bahwa itu curang. Namun ketika ia benar-benar memecahkannya, ia mencuri telur lain dan menggantinya. Dalam Distant Mahmut memutar rekaman Tarkovsky untuk menyingkirkan sepupu negaranya, tapi begitu Yusuf keluar, ia mulai menonton film porno. Sementara itu, Yusuf menelepon ibunya tanpa meminta izin dari Mahmut. Ketika ibunya bertanya mengapa dia berbisik, dia mengatakan karena Mahmut Abi (kakak laki-lakinya) sedang tidur. Kemudian, Mahmut menuduh Yusuf mencuri jam tangan tua dan bahkan setelah ia menemukannya di laci, ia tidak memberi tahu Yusuf.

Zeki Demirkubuz juga membuat film-film independen beranggaran rendah, namun gayanya berbeda dengan estetika otak Zaim atau refleksivitas visual Ceylan. Ia mendapatkan inspirasinya dari sinema tradisional Yeşilçam yang telah ia alami secara langsung selama bertahun-tahun sebagai asisten sineas yang sudah mapan, termasuk Zeki Ökten. Dalam tradisi ini, dengan neologisme yang licik, ia menceritakan kisah-kisah pribadi yang juga sangat politis. “Film-filmnya membongkar, menguraikan dan mendekonstruksi klise-klise yang lazim di Yeşilçam dan memberikan pukulan fatal pada status quo, yang menjadi ciri khasnya.[[36]]

Demirkubuz dipenjara selama tiga tahun oleh junta karena kepercayaan Marxis dan Maoisnya ketika ia baru berusia tujuh belas tahun. Film pertamanya, C Blok / Block C (1994), yang ia sebut sebagai ‘film atmosferik tentang arsitektur modern’, bercerita tentang ketidaknyamanan yang dirasakan oleh para penghuni blok-blok apartemen besar.[[37]] Pada Festival Film Internasional Istanbul tahun itu, ia menolak penghargaan yang diberikan kepadanya, dengan menyatakan bahwa ia tidak ingin menjadi bagian dari industri yang dapat dengan mudah melupakan kepedihan masa lalu – kekejaman intervensi militer pada tahun 1980 – sebuah industri yang dijalankan oleh ‘dinosaurus’. (Sampai kedatangan Sinema Baru dengan mode produksi alternatifnya, sangat sulit bagi para pembuat film di luar lingkaran yang sudah mapan untuk mendapatkan dukungan finansial. Demirkubuz membutuhkan waktu sekitar delapan tahun untuk membuat Block C.)

Film kedua Demirkubuz, Masumiyet / Innocence (1997), adalah sebuah film perjalanan tapi juga film yang berlatar di hotel. (Genre yang terakhir ini memiliki preseden dalam sinema Turki, terutama dalam film-film generasi menengah, terutama Anayurt Oteli / Motherland Hotel (1987) karya Ömer Kavur, dan Gizli Yüz / The Secret Face (1991)). Ditulis oleh Demirkubuz dan direkam dalam sembilan belas hari dengan anggaran $90.000, film ini merupakan kisah minimalis tentang seorang penyendiri bernama Yusuf yang kehilangan seluruh keluarganya, kecuali saudara perempuan dan saudara iparnya, saat terjadi gempa bumi. Adik perempuannya membencinya karena dia membatalkan rencana kawin lari yang dilakukannya, sehingga membunuh kekasihnya; akibatnya dia dipenjara. Setelah dibebaskan, Yusuf pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, dan takdir mempertemukannya dengan pasangan yang aneh: seorang pelacur bernama Uğur dan mucikarinya, Bekir, yang terus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain sambil membawa anak perempuan bisu Uğur yang bernama Çilem. Tanpa prospek yang lebih baik, Yusuf menjadi bagian dari kehidupan ketiganya dan jatuh cinta pada Uğur yang sinis, dan menjadi germonya setelah Bekir bunuh diri. (Film Demirkubuz tahun 2006, Kader / Destiny, kembali ke masa muda para karakter dan mengisi beberapa kekosongan).

Plot cerita Innocence tidak jauh berbeda dengan melodrama Yeşilçam yang ditonton di TV di hotel-hotel tua: kejahatan impulsif, pria-pria putus asa yang menjadi mucikari wanita yang ingin mereka nikahi, gadis-gadis kecil yang tuli dan bisu, kebetulan-kebetulan yang sulit dipercaya, dan bunuh diri demi cinta. (‘Mereka berbohong untuk membuatmu menangis,’ komentar Yusuf. ‘Tidak mungkin semuanya bohong,’ timpal tamu hotel yang lain). Ketika mengadopsi tema-tema yang sudah tidak asing lagi dari melodrama Yeşilçam yang pernah populer, namun menghilangkan sifat eksploitatif dan sensasionalismenya yang berlebihan, Demirkubuz tampaknya mengatakan bahwa yang penting bukanlah ceritanya, melainkan bagaimana cara bercerita. Penyelesaian masalahnya dengan Yeşilçam tidak berhenti sampai di situ. Filmnya sendiri, C Block, juga muncul di layar TV dan sang pembuat film sendiri termasuk di antara mereka yang menonton. [[38]] Faktanya, orang-orang menonton televisi tanpa henti dalam film-film Demirkubuz. Seperti yang dikatakan oleh Fredric Jameson, dalam sebuah masyarakat yang berubah dari ekonomi petani ke ekonomi industri kapitalis, bersamaan dengan perjuangan melawan kesepian dalam kehidupan urban modern, pervasivitas media telah menjadi masalah yang mendesak bagi Sinema Turki Baru. [[39]]

Demirkubuz melanjutkan melodrama bergaya Yeşilçam dengan Üçüncü Sayfa / The Third Page (2000), sebuah kisah cinta, seks, dan pembunuhan yang biasanya muncul di halaman ketiga tabloid. Tokoh-tokohnya lagi-lagi adalah kaum marjinal yang tertindas oleh masyarakat. Isa dipukuli sebagai tersangka atas hilangnya uang sebesar 50 dolar dari sebuah operasi mafia kecil. Tidak mampu mengatasi pukulan hidup, ia merenungkan untuk bunuh diri, namun malah membunuh pemilik kontrakan yang datang untuk menagih uang sewa yang tertunggak. Maka dimulailah rangkaian peristiwa dalam kehidupan karakter Raskolnikov ini. (Demirkubuz menyebut Dostoevsky sebagai satu-satunya pengaruh dalam kariernya.) Meryem, seorang perempuan desa muda yang telah mengalami berbagai pukulan dalam hidup, menolongnya saat dia diserang oleh preman mafia dan tampaknya cinta akan tumbuh di antara mereka berdua. Namun, Demirkubuz lebih menyukai perubahan dalam naskahnya. Meryem adalah gundik tuan tanah dengan sanksi dari suaminya. Tapi dia senang suaminya sudah mati. Sekarang dia ingin Isa membunuh suaminya. Ketika sang suami terbunuh secara tidak sengaja, Meryem menghilang, dan muncul kembali di apartemen anak laki-laki pemilik rumah, yang merupakan kekasihnya selama ini. [[40]]

Film ini merupakan gambaran realistis dari kehidupan di Turki, termasuk struktur sosial yang goyah dan ekonomi yang rapuh. Pada adegan pembuka, seorang preman mafia duduk di bawah potret Tansu Çiller, perdana menteri wanita pada masa itu, yang masih belum diketahui bagaimana ia memperoleh kekayaannya. Para pemalak yang datang untuk menagih kepada Isa meminta uang dalam bentuk dolar, bukan lira Turki. Semua orang berjalan-jalan dengan kalkulator dan telepon genggam dan semua orang tahu nilai tukar hari itu. Semua orang dipojokkan dan tentu saja, akan membalas, kata Meryem.

Peran media dalam kehidupan sehari-hari di Turki, di mana saluran televisi swasta tanpa batas menyiarkan berbagai program dari acara variety show Italia dan opera sabun Brasil hingga Arab, kembali digarisbawahi dalam film ini. Isa mencari nafkah dengan memainkan peran-peran kecil dalam serial-serial TV; dinding-dinding kamar bujangannya dihiasi dengan poster-poster film para pahlawannya (seperti Cüneyt Arkın dalam Dört Yanım Cehennem / The Mummy, Çetin İnanç, 1982). Sedangkan Meryem, ia adalah seorang wanita yang terjebak di antara tradisi dan modernitas. “Tercerabut dari akarnya, ia terkurung di sebuah apartemen di ruang bawah tanah di mana satu-satunya koneksi ke dunia luar adalah layar TV. Dalam kondisi yang terbatas, opera sabun yang ditontonnya siang dan malam membentuk semua tindakan dan reaksinya. Sering kali tidak jelas apakah dia dapat melihat perbedaan antara kehidupan nyata dan khayalan. [[41]]

Gaya ekonomis dari film Demirkubuz menempatkan semua peristiwa penting di luar bingkai hampir seperti teater tragedi Yunani. Innocence lebih banyak bercerita tentang apa yang telah dijalani oleh para karakternya daripada apa yang mereka jalani sekarang. Dalam The Third Page, seolah-olah narasi memiliki dua wajah: yang terlihat dan yang tidak terlihat. Sebuah perkelahian terdengar di kamar sebelah. Seorang wanita berteriak. Sang pahlawan mengambil pisau dan mendengarkan. Perkelahian itu tidak diperlihatkan. Sutradara mengambil jarak yang disengaja. Wawancara dengan warga biasa di jalan yang mewakili tiga kelompok usia yang berbeda menyela narasi, seolah-olah menghubungkan melodrama permukaan dengan sesuatu yang lebih nyata. [[42]]

Yazgı /Fate dan Itiraf / Confession keduanya dibuat pada tahun 2001 sebagai bagian dari trilogi yang oleh Demirkubuz disebut Karanlık Üstüne Öyküler / Tales about Darkness Fate. Fate, sebuah adaptasi bebas dari L’Etranger / The Stranger karya Albert Camus, selain mengeksplorasi esensi dari perasaan bersalah, juga menjungkirbalikkan nilai-nilai tradisional masyarakat, dan Confession adalah drama yang sangat bermuatan tentang seorang pria yang istrinya berselingkuh. Kedua film ini ‘mendenormalisasi’ mitos-mitos borjuis tentang pernikahan dan keluarga. [[43]] Musa (Serdar Orçin), tokoh utama Fate, adalah seorang pria biasa yang bekerja di kantor bea cukai: ia bangun di pagi hari, sarapan, naik bus ke tempat kerja, makan siang bersama rekan-rekannya, dan pulang ke rumah pada sore hari. Yang membuatnya berbeda dari yang lain adalah ketidakmampuannya untuk menunjukkan reaksi yang diharapkan masyarakat. Dia tidak dapat menunjukkan emosi apa pun ketika ibunya meninggal secara tak terduga; dia bahkan merasa lega dan dia tidak menyembunyikan perasaan ini karena dia percaya bahwa dia harus jujur. Dia menikahi wanita simpanan bosnya ketika dia memintanya dan tetap diam tentang perselingkuhannya. Ketika dia ditangkap karena kejahatan yang tidak dia lakukan, dia tidak repot-repot membela diri. Dia tahu itu tidak akan ada bedanya. Dia bahkan tidak peduli dengan pembebasannya.

Demirkubuz mengklaim bahwa dunia pedalaman Musa tidak berbeda dengan banyak orang lain di masyarakat. Tidak ada yang ingin menderita; tidak ada yang ingin bersedih karena kematian ibu mereka; tidak ada yang ingin disakiti oleh perselingkuhan pasangannya. Beban citra yang bukan milik kita memaksa kita untuk bertindak sesuai dengan harapan. Perbedaannya dengan Musa adalah bahwa ia menolak eksistensi yang terdiri dari status dan identitas yang diasumsikan. ‘Rasa sakit muncul dari ekspektasi, dari citra dan identitas yang kita buat sendiri’. [[44]]

Isu-isu utama dari film-film Demirkubuz adalah tunawisma, baik secara fisik maupun material, jarak (dari jati atau batin seseorang) Tokoh-tokohnya terlempar dari satu kota ke kota lain, seperti dalam Innocence and Destiny, dari satu kelas sosial-ekonomi ke kelas sosial-ekonomi lainnya, seperti dalam Block C, The Third Page dan Confession, atau keluar-masuk penjara, seperti Innocence, Fate and Destiny (2006). Interior yang suram, kamar hotel yang tidak personal, koridor yang gelap, dan apartemen bawah tanah yang suram mengintensifkan perasaan sesak dan terjebak. Kungkungan metafora ada di setiap film yang dimulai dengan Blok C. [[45]] Pintu, yang juga merupakan simbol yang disukai Ceylan, muncul sebagai objek yang ada sehubungan dengan apa yang ada di belakangnya. Ia mungkin melarang jalan, atau mungkin melarang ruangan dalam sistem tradisi dan larangan. Dalam episode terakhir Fate, ketika Musa diwajibkan untuk duduk melalui interogasi tidak resmi oleh kepala penjara, pintu tidak mau menutup, tidak peduli berapa kali ia mencoba. Apakah kepala penjara itu memiliki keinginan rahasia untuk menahan orang-orang yang tidak sesuai dengan norma, yang tidak seperti warga negara pada umumnya yang percaya kepada Tuhan (atau merahasiakannya jika tidak), yang sedih saat pemakaman dan bahagia saat dibebaskan dari kejahatan yang tidak mereka lakukan?

Ambang batas adalah tempat di mana banyak interaksi terjadi, sebagian besar di antaranya dengan kekerasan. Ketika para preman mengganggu Isa di The Third Page, Meryem datang menolongnya di ambang pintu dan membayar uangnya. Dalam Fate, Musa dan tetangganya saling mengenal di antara dua pintu ketika yang terakhir terluka dan berdarah; kekerasan yang dilakukan tetangganya terhadap mantan selingkuhannya dan kedatangan polisi untuk menangkapnya juga terjadi di ambang pintu. Musa mengamati perzinahan istrinya tanpa benar-benar memasuki apartemen, melihat sekilas punggung telanjang istrinya di tempat tidur dan melihat sepasang sepatu kets pria yang tidak dikenalnya di samping pintu (kemudian, dia melihat bosnya mengenakan sepatu kets yang sama). Ketika dia kembali ke rumah setelah dibebaskan dari penjara, dia menyaksikan kehidupan rumah tangga tetangganya di seberang koridor ketika mantan gundiknya membunyikan bel pintu untuk meminta telur.

Karakter-karakter Demirkubuz berubah-ubah, tetapi mereka berputar-putar dalam lingkaran setan. Bekir, yang muncul sebagai seorang pemuda di Destiny, mencoba memutuskan hubungannya dengan Uğur dan menikahi wanita pilihan orang tuanya (seseorang yang mengenakan jilbab), meskipun ia terus kembali ke Uğur, yang tidak menginginkannya. Jauh dari identitas yang telah ditentukan sebelumnya, karakter-karakter ini tidak betah di mana pun. Satu kota terlihat seperti kota lainnya. Faktanya, kecuali untuk Destiny, kota jarang sekali dapat diidentifikasi dalam film-film Demirkubuz. Perpindahan tidak membawa perubahan. Pendakian Meryem dari ruang bawah tanah yang sesak ke apartemen besar di lantai atas yang terang benderang membawanya ke surga semu, di mana ia terlihat seperti karakter dari sinetron yang selama ini ia tonton. Yusuf dari Innocence tidak mau meninggalkan penjara di mana dia telah menghabiskan sepuluh tahun karena tidak ada yang bisa dilakukan dan tidak ada tempat untuk dituju; dia adalah karakter yang mirip dengan Franz Biberkopf dari Fassbinder, yang kepalanya berputar saat pintu penjara ditutup di belakangnya dalam Berlin Alexanderplatz (1980). (Susan Sontag menyebut Biberkopf sebagai salah satu ‘korban kesadaran palsu’ Fassbinder.)[[46]] Faktanya, melodrama Demirkubuz mengingatkan kita pada beberapa film Fassbinder, di mana kehidupan sehari-hari para karakternya berdiri untuk gambar yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri.

Özgüven mengklaim bahwa jalan Demirkubuz dan Ceylan bersilangan di Distant. Di samping narasi Demirkubuz yang sengaja dibuat kasar untuk mengekspos lapisan-lapisannya dan kisah-kisah Ceylan yang dipoles dengan cermat, karakter-karakter Ceylan sangat mirip dengan karakter-karakter Demirkubuz; mereka semua tertipu oleh kota. Perbedaannya adalah karakter Demirkubuz menginternalisasi kekecewaan mereka, yang berubah menjadi kemarahan, sedangkan karakter Ceylan menghayati kekecewaan mereka terhadap kota sebagai sebuah rekonsiliasi yang tragis, dan mungkin yang ‘kasar’ dan ‘halus’ menemukan tempatnya dalam konteks ini. Di satu sisi ada konfrontasi yang terasa dalam bentuk, di sisi lain ada melankolis yang dieksternalisasi dengan ketepatan bentuk.[[47]]

Kepercayaan di Turki modern telah mulai didiskusikan secara lebih terbuka dalam sinema dalam beberapa tahun terakhir. Takva / A Man’s Fear of God (2006) karya Özer Kızıltan (diproduseri oleh Fatih Akın) mendekati masalah ini melalui kisah seorang penyendiri yang sederhana, Muharrem, yang kehidupannya terstruktur dengan baik, yang tersusun dari pekerjaannya yang tidak penting sebagai pembantu pedagang karung, Ali, dan kegiatan keagamaannya, terganggu ketika ia menarik perhatian sebuah sekte agama yang giat, yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan duniawi. Dibujuk untuk masuk ke seminari dan ditunjuk sebagai bendahara, Muharrem menyaksikan penyuapan, nepotisme, dan hak-hak istimewa yang tidak adil, yang mengancam keyakinan agamanya. Tiga godaan yang paling menonjol adalah uang, politik, dan putri syekh, yang bertanggung jawab atas mimpi buruknya. Perasaan terombang-ambing antara dua dunia, di dalam seminari, yang seolah-olah berasal dari zaman lain, dan di luar, dengan gedung-gedung tinggi, mobil-mobil mewah, dan ponsel, mencerminkan dua sisi Turki di mana “modernitas sebagai Westernisme ada secara bersamaan dengan modernitas sebagai Easternisme atau di mana modernitas sebagai universalisme yang tak bertanda hidup berdampingan dengan partikularisme yang sangat bertanda”. [[48]]

Sekte-sekte agama adalah salah satu isu paling kontroversial dalam politik dan kehidupan sosial di Turki. Mengekspos dasar-dasar keagamaan yang kaya merupakan hal yang cukup berani bagi Kızıltan, seorang ateis yang menyatakan diri sebagai seorang ateis yang bekerja dengan para darwis dari berbagai sekte, baik sebagai penasihat maupun peserta. Adegan zikir (zikir, upacara Islam untuk mengulang 99 nama Allah) ketika para darwis berayun-ayun dalam meditasi yang disinkronkan sangat kuat. Di Istanbul terdapat 2.500 rumah ibadah, menurut Kızıltan, dan 25.000 rumah ibadah di seluruh Turki, dengan perwakilan dari setiap lapisan masyarakat, bahkan anggota pemerintahan, [[49]] meskipun tarekat, persaudaraan Islam, secara resmi dilarang oleh Kemal Atatürk pada tahun 1925. [[50]]

Film ini telah sukses secara nasional dan internasional dalam hal penghargaan festival, meskipun penonton lokal terpecah dalam pendapat mereka, satu kelompok menganggapnya sebagai rendisi yang benar dari dilema seseorang dalam hal keyakinannya dan eksposur otentik dari operasi sekte-sekte agama dan kelompok lain menganggap film ini sebagai film yang turis dan orientalis dalam pendekatannya. Setelah pemutarannya di festival film Antalya Golden Orange pada tahun 2006, beberapa penonton merasa bahwa film ini ‘mendukung’ sekte-sekte agama, dan ini dapat memberikan ‘pengaruh buruk bagi kaum muda’. Di sisi lain, beberapa surat kabar yang berorientasi pada Islam memuji film ini karena telah melampaui hal-hal klise tentang Islam. Dalam konferensi pers, penulis skenario film tersebut, Önder Çakar, membela film tersebut, yang menurutnya berusaha menunjukkan pentingnya keseimbangan antara cinta kepada Allah dan rasa takut kepada Allah melalui kehancuran seseorang yang kehilangan keseimbangan ini. [[51]]

Alev Çınar menunjukkan bahwa modernitas di Turki ‘tidak secara eksklusif bersifat Barat atau Timur, tidak asing atau lokal, tidak universal atau partikular, tidak historis atau temporal, tidak lama atau baru, tetapi kadang-kadang bisa menjadi semuanya sekaligus, atau bisa juga muncul dalam ruang ambigu di antara oposisi-oposisi biner ini’.[[52]] Sinema kontemporer Turki telah mengeksplorasi pertanyaan tentang identitas modern dalam masyarakat Turki dan dunia modern yang terus berkembang dengan karya-karya sineas terkemuka yang dibahas dalam buku ini, seperti Zaim, Ceylan, Demirkubuz, Ustaoğlu, Öz, İpekçi, Çelik, Kaplanoğlu dan Pirselimoğlu dan pendatang baru Özer Kızıltan, tapi juga Barış Pirhasan (Adem’in Trenleri/Adam and the Devil, 2006), Reha Erdem (Beş Vakit/Times and Wind, 2006), Ahmet Uluçay (Karpuz Kabuğundan Gemiler Yapmak / Boats Out of Watermelon Rinds, 2006), Ümit Ünal (9, 2002), Turgut Yasalar (Sis ve Gece / The Fog and The Night, 2007), Uğur Yücel (Yazı Tura / Toss Up, 2004) dan Ulaş İnaç (Türev / Derivative, 2005), yang karya-karyanya memiliki keragaman bentuk dan isi serta posisi artistik, namun bertemu pada satu titik mendasar, yaitu pencarian keaslian dan ketulusan dalam merefleksikan masyarakatnya yang kompleks.

CATATAN:

[1]Asuman Suner, ‘Horror of a Different Kind: Dissonant Voices of the New Turkish Cinema‘, Screen, ILV/4 (Musim Dingin 2004), hlm. 307.

[2] Derviş Zaim, ‘Your Focus is Your Truth: Turkish Cinema, “Alluvionic” Filmmakers and International Acceptance‘, dalam M. Christensen dan N. Erdoşan, eds, Shifting Landscapes: Media dan Film dalam Konteks Eropa (Cambridge, akan terbit).

[3] Duygu Durgun, ‘Gerilla tarzı film üretimiyle ‘yoksulluğun estetiği’ [wawancara], Cumhuriyet Gazetei (Desember 1996), hal. 12.

[4] ‘Dursun, Mahsun ve Biz’, Cumhuriyet Dergi, DXXVI (21 April 1996), hlm. 12-14.

[5] Beberapa kritikus Turki merancukan kata ‘Mahsun’ dengan ‘Mahzun’. Kata yang terakhir ini berarti ‘sedih dan murung’ (kamus Ottoman-Turki). Zaim membenarkan ironi yang dimaksudkan dalam penggunaan ‘Mahsun’, dengan menambahkan ‘nama keluarganya “Süpertitiz” (sangat cerewet) juga turut menyumbangkan ironi tersebut’ (11 Juni 2007, melalui surat elektronik).

[6] Sungu Çapan, ‘Gerçek, çoğu kez hayali aşar’, Cumhuriyet Gazetesi (22 November 1996).

[7] Gönül Dönmez-Colin, ‘Tabutta Rövaşata / Somersault in a Coffin’, Cinemaya: The Asian Film Quarterly, XXXVII (Juli-September 1997), hlm. 24-5.

[8]Asuman Suner, Hayalet Ev: Yeni Türk Sinemasında Aidiyet, Kimlik ve Bellek (Istanbul, 2006), hlm. 245.

[9] Sungu Çapan, ‘Gerçek, çoğu kez hayali aşar’, Cumhuriyet Gazetesi (22 November 1996).

[10] Marcia Landy, Cinematic Uses of the Past (Minneapolis, MN, and London, 1996), hlm. 2-9.

[11] Derviş Zaim, wawancara pribadi (Istanbul, April 2007).

[12] Erdal Atabek ‘Filler Çimeni Nasıl Ezer?”, Cumhuriyet (12 Januari 2001), hlm. 13.

[13] Elif Genco, ‘Çamur, Bır Kıbrıs Metaforu’, Yeni Film, IV (Januari-Maret 2004), hal. 4 11.

[14] Gagasan bahwa Islam melarang penggambaran manusia masih diperdebatkan, menurut Zaim: “Beberapa teolog Muslim mengklaim bahwa tidak ada larangan dalam Islam. Negara-negara Islam yang berbeda melakukan pendekatan terhadap masalah ini dengan cara yang berbeda, yang mengimplikasikan bahwa pelarangan tersebut sangat bergantung pada keyakinan pribadi penguasa yang berkuasa. Karena berbagai alasan budaya dan agama, orang Turki pertama kali diperkenalkan pada tradisi lukisan Barat (Renaisans Eropa) baru pada abad kedelapan belas.

[15] Untuk pembacaan yang mendalam tentang Las Meninas, lihat Michel Foucault, The Order of Things (New York, 1973), hlm. 3-16.

[16] Zaim, wawancara pribadi (Istanbul, 2007).

[17] Ibid

[18] Konferensi pers untuk Clouds of May (Berlin, 1997).

[19] Nuri Bilge Ceylan, ‘Ordinary Stories of Ordinary People’, Cinemaya: The Asian Film Quarterly, XLIII (Spring 1999), hlm. 22-3. Ceylan mengulangi bagian ini dalam sebuah wawancara dengan kritikus Prancis Michel Ciment, ‘Nuri Bilge Ceylan: les variations sur un thème me plaisent . .”, Positif, CDLXXXII (April 2001).

[20] Güldal Kizildemir, ‘Pazar Sohbeti: Kasaba’lı Anlam Avcısı’ (wawancara), Radikal (21 Desember 1997).

[21] Hikmet Temel Akarsu, ‘Taşra Kasabasında Sıkışıp Kalmak’, Radikal (27 Juli 2007).

[22] Tuna Erdem, ‘Kişisel Bir Anlatı’, Gazete Pazar (21 Desember 1997).

[23] Gönül Dönmez-Colin, ‘New Turkish Cinema – Individual Tales of Common Concerns’, Asian Cinema, XIV/1 (Musim Semi-Musim Panas 2003), hlm. 138-45.

[24] Fredric Jameson, Postmodernism; or, The Cultural Logic of Late Capitalism (London and New New York, 1991), hlm. 280-81.

[25] Suner, ‘Horror of a Different Kind’, hal. 312.

[26] Hasan Akbulut, Nuri Bilge Ceylan Sinemasını Okumak: Anlatı, Zaman, Mekan, (Istanbul, 2005), p. 20.

[27] Gönül Dönmez-Colin, ‘Mrinal Sen: “Rambling Thoughts” on Unforgettable Masters, Lost Friends, Enigmatic Ruins and Life’, Sinema Asia, XII/1 (2001), hlm. 129-39.

[28] A. O. Scott, ‘He Makes Movies Oddly Like Life; Everyday Mysteries in the Turkish Film, Clouds of May’, New York Times (7 April 2001).

[29] Jean-Sébastien Chauvin, ‘L’oeuf d’Ali’, Cahiers du cinéma, DLV (Maret 2001).

[30] Jacques Mandelbaum, ‘Passage de generations sous une ciel de printemps’, Le Monde (21 Maret 2001).

[31] Emile Breton, ‘Un Tchekhov turc’, L’Humanité (21 Maret 2001).

[32] Di sini Algan merujuk pada gelombang cerita-cerita kecemasan perkotaan pasca-kudeta 1980, yang dibahas dalam bab Satu.

[33] Necla Algan, ‘Türk Sineması’nda tematik açıdan bir kırılma noktası’, Yeni Sinema Dergisi (Musim Gugur Musim Dingin 2003-4).

[34] Aslı Selçuk, ‘Uzak Dünya Turunda’ [wawancara], Cumhuriyet Gazetesi (11 Januari 2004).

[35] Suner, ‘Horror of a Different Kind’, hal. 314.

[36] Gönül Dönmez-Colin, Women, Islam and Cinema (London, 2004), hal. 64-5.

[37] Zeki Demirkubuz, ‘The Art of Story Telling’, Cinemaya; The Asian Film Quarterly, XLIII (Musim Semi 1999), hlm. 20-21.

[38] Gönül Dönmez-Colin, ‘New Turkish Cinema – Individual Tales of Common Concerns’, Sinema Asia, XVI/1 (2003), hlm. 140-41.

[39] Fredric Jameson, ‘A Note on the Specificity of Newer Turkish Cinema’, makalah yang dibacakan pada konferensi Arada/Between: Sepuluh Film Turki Kontemporer, Duke University (20 September 2004).

[40] Dönmez-Colin, ‘New Turkish Cinema’, hlm. 141.

[41] Dönmez-Colin, Women, Islam and Cinema, hal. 66.

[42] Dönmez-Colin, ‘New Turkish Cinema’, hal. 141.

[43] Susan Hayward dalam French New Wave in Cinema Studies: Key Concepts (Oxford, 2000), h. 148.

[44] Nihal Bengisu Karaca, wawancara dalam Semire R. Öztürk, ed., Kader: Zeki Demirkubuz (Ankara, 2006), hal. 48-9 [pertama kali diterbitkan dalam Yeni İnsan, Yeni Sinema, Xıı (Mei-Juni 2002), hal. 160-61].

[45] Olaf Möller, ‘Prison as Metaphor is the Guiding Light of this Turkish Director’s Austere, Literary Vision’. Ulasan Film (Maret-April 2003), hlm. 20-21.

[46] Susan Sontag, “Novel into Film”, Vanity Fair (September 1983).

[47] Fatih Özgüven, ‘Ayak Kokusu’, Radikal Gazetesi (25 Desember 2002).

[48] Alev Çınar, Modernity, Islam and Secularism in Turkey (Minneapolis, MN and London, 2005), hal. 8.

[49] Harian nasional sekuler Milliyet, dalam seri lima bagian berjudul ‘Sekte, Komunitas Agama dan 22 Juli’, membahas beberapa sekte Islam yang berperan aktif dalam politik Turki (10 Juli 2007).

[50]‘Turkey’s Religious Sects: Sheiks, Lies, and Videotape’, Economist (11 Januari 2007).

[51] ‘Takva’ Antalya’da Tartışma Yarattı’ (22 Oktober 2006): www.sinema.com/makale/6-4370/takvaantalya-da-tartisma-yaratti (diakses pada 31 Desember 2007).

[52] Çınar, Modernity, Islam and Secularism in Turkey, hal. 8.

Gönül Dönmez-Colin adalah seorang akademisi film independen yang fokus pada sinema Turki, Iran dan Asia Tengah. Lulusan dari American College di Istanbul dan menerima diploma lisensinya dari Universitas Istanbul, Departemen Filologi. Dia menyelesaikan studi  pasca-sarjana di Universitas Concordia dan McGill di Montreal, Kanada. Dia telah mengajar di Montreal dan Hong Kong dan telah melakukan penelitian lapangan di Iran, Turki, India dan Asia Tengah. Dia telah menulis beberapa buku, diantaranya: Women in the Cinemas of Iran and Turkey: As Images and As Image-makers (2019), The Routledge Dictionary of Turkish Cinema (2014), Turkish Cinema: Identity, Distance and Belonging (2008) dan Women, Islam and Cinema (2004).

Diterjemahkan oleh: Farhan Fefionaldo

Desain oleh: Shafa Salsabilla

 

Sejak belia sudah menyendiri di kamar dengan film dan musik yang dicari di Internet. Mencoba untuk tetap hidup sampai besok, saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana di Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top