Mania Cinema

Distorsi antara Nyata dan Tak Nyata dalam Synedoche, New York

Perlu ditekankan bahwa ini bukanlah resensi film.  Sudah terlampau banyak resensi mengenai Synechdoche, New York (2008) yang dirilis lebih dari satu dekade silam ini. Dari media masa hingga blog pribadi juga mudah ditemukan jika ingin mencari ulasan film ini.

Charlie Kaufman sebagai sutradara film ini memiliki fandom yang lumayan gila. Para fans-nya mengurusi blog berisi apapun mengenai Kaufman. Mirip seperti para penikmat novel Junot Díaz yang berkumpul di satu blog untuk membicarakan The Brief Wondrous Life of Oscar Wao.

Selain dari blog fans-nya Kaufman, kamu bisa surfing ke ulasan Gevi Dimitrakopoulo apabila tertarik melihat Synechdoche, New York dalam kacamata psikoanalisis Lacanian. Semisal saat menontonya kamu merasakan melankolia hidup-tak-tahu-arah, lanjutkan rasa penasaran itu untuk menonton teater absurd tipikal yang biasa terkandung di karya-karya teaternya Samuel Beckett. Dua contoh cara menganalisa film yang suka dituduh sebagai orang-orang sinis sang penguak ideologi politik.

Untuk menghindar dari itu, tulisan ini bukanlah seorang psikiater yang menganggap Synecdhoche, New York sebagai pasiennya. Saya tidak sedang menguak aparatus ideologi yang sedang/selalu mengendalikan produk kultural, meskipun aktivitas tersebut saya yakini sangat diperlukan. Keinginan itu harus dikesampingkan dulu demi menjaga kemurnian teori sinemargghh

Selain tak bisa, saya tak mau memberikan penilaian atau pertimbangan dari unsur-unsur sinema dan aspek teknis. Jika hal itu sering dibilang hanya akan menjerumuskan sebuah film ke antagonisme kata sifat: baik dan buruk, kurang bagus dan agak jelek. Tapi kalau penonton film merupakan subjek penting bagi perfilman itu sendiri, interpretasi saya boleh-boleh saja sedikit nakal. Sambil menunggu perdebatan mengenai cara menganalisa film menemukan ontologisnya; tanpa campur tangan ilmu-ilmu eksternal di luar sinema.

Saya hanya akan membicarakan potongan cerita dalam film Synecdoche, New York. Dengan mengambil kisah setelah pemeran utama, Caden Cotard, mendapatkan Genius Grant dari program beasiswa MacArthur. Memperkecil pembahasan jadi hanya sebatas ruang lingkup proyek teater Caden. Ini alasan kenapa saya tidak ingin menamai tulisan ini sebagai resensi.

Dana hibah itu Caden gunakan untuk membuat mahakarya pentas teater yang mereplika kehidupan New York berdasarkan pengalaman selama ia tingal di sana. Pengalaman seorang Caden yang mengidap penyakit, ditinggal pergi sang istri dan anaknya, perselingkuhan bersama Hazel yang gagal, menjalani hubungan baru bersama Claire yang pada akhirnya berpisah.

Caden menyewa sebuah gedung megah namun terbengkalai. Tempat itu disulap menjadi panggung pentas teater yang ia sutradarai. Sebuah teater yang bercerita mengenai kehidupan New York dalam skala kecil; semacam peta tiga dimensi beserta subjek-subjek di dalamnya dalam kurun waktu tertentu.

Hanya teater yang dapat menghibur seorang Caden dari depresi yang ia idap. Dia berambisi mereflesikan realitas suram yang dideritanya ke dalam sebuah art form teater segamblang mungkin.

Usaha menampakkan kehidupan secara serius dari masalah, peristiwa harian, hubungan antar manusia, hingga kedudukan sosialnya. Karya teater beraliran realisme dari kehidupan Caden yang dalam semesta di luar film terkesan absurd. Caden menyebut teater besar dan nyata ini sebagai simulakra.

Selalu ada proses kuratorial mengenai realitas yang hendak dikemukakan dan yang tidak. Esensi film dalam mengedepankan estetika adalah memilih rekaan dari objek-objek realitas. Pasalnya ilusi realitas yang ditawarkan film juga akan menggiring beragam pemaknaan subjektif dari penontonnya.

Terdapat berlapis-lapis realitas yang tumpang tindih di gedung teater yang Caden sewa. Meskipun beberapa realitas memiliki pencipta dan terpusat kepada Caden, pada akhirnya realitas Caden dan realitas ciptaannya berangsur-angsur lebur jadi tak memiliki perbedaan  mana yang ciptaannya dan mana yang nyata.

Para aktor teater dan Caden sendiri tak lagi memiliki seperangkat individu karena semuanya seketika menjadi pemeran. Seperti realitas para manusia kontemporer yang lebih cocok disebut massa ketimbang masyarakat.

Apa betul semua itu hanya disebut alienasi, saat subjek mengedintifikasi diri mereka dengan selalu merasa  puas dan bahagia oleh realitas yang dibebankan ke hadapannya. Ketika parameter hidup ideal adalah mencapai kepuasaan dan kebahagiaan. Sebelum subjek, realitas telah terlebih dahulu teralienasi.

Dalam teaternya, Caden diperankan oleh Sammy yang telah menguntit kehidupannya sedari film baru dimulai. Karena Sammy begitu penting dalam naskah teater dan kehidupan pribadi Caden, maka haruslah ada aktor yang memerankan Sammy untuk diangkat kisahnya ke drama. Alhasil dibutuhkan aktor yang memerankan Sammy sang penguntit.

Kehidupan Hazel dengan Derek pun diangkat ke pentas sebab hubungan mereka pernah membuat Caden patah hati. Berkat hubungan mereka Caden pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat di gedung tempat Hazel dan Derek sedang berkumpul keluarga. Meskipun pada akhirnya Hazel kemudian berpisah dengan derek lalu menjadi asisten Caden. Terdapat dua Hazel dalam gedung itu.

Hal ini berlaku untuk semua orang yang bagi Caden penting dihadirkan dalam upaya penguakan depresinya di drama teater tersebut.

Namun jika realita ditampakkan secara utuh ke medium artistik tanpa ada reduksi, pertanyaan yang muncul bakal sama seperti pada cerpen On Rigor In Science-nya Borges. Jika realita vis a vis dengan drama tanpa dinding pembeda maka terjadi kebingungan melihat mana yang sedang direpresentasikan dan merepresentasikan. Di mana kondisi ini mempengaruhi sensibilitas menangkap yang nyata jadi mengurang, Baudrillard menyebutnya sebagai hyperreality.

Ketika realitas yang asli dan yang merepresentasikannya sulit dibedakan, sehingga segalanya tampak nyata dan menjadi realitas itu sendiri. Persis saat realita yang telah hilang ini mengalami proses penduplikasian terhadap dirinya, di situlah simulakra dalam pengertian khusus versi Baudrillard terjadi.

Hanya karena sebuah ide lahir dari imajinasi diri, tak berarti imajinasi itu lepas dari preferensi diri, dan preferensi itu tak lepas pula dari jaringan realitas. Maka untuk saya sendiri akan lebih hati-hati menganggap preferensi dan imajinasi itu benar-benar diciptakan oleh kita. Atau jangan-jangan ide itu sendiri merupakan representasi dari keberjarakan kita terhadap apa yang hendak ide itu maksud? Oh, ya, ini jelas fafifu.

Misalnya, ada adegan di mana Caden baru saja berpulang, Claire menanyakan aktivitas yang dilakukan Caden sampai harus pulang larut. Caden sama sekali tak memberi tahu yang sebenarnya ia lakukan.

Peristiwa malam itu diangkat ke naskah drama. Saat latihan mempraktikkan dialog, Sammy yang memerankan Caden di semesta teater menjawab apa yang sebenarnya Caden lakukan sebelum pulang ke rumah kepada Claire, bahwa Caden baru saja membersihkan tempat huni mantan istrinya. Kemudian Claire mengetahui apa yang sebenarnya terjadi malam itu dari seseorang tokoh tiruan Caden.

Contoh lainnya ialah Sammy yang mendalami peran sebagai Caden Cotard tiba-tiba menjalin hubungan intim bersama Hazel yang asli. Tak berselang lama, setting properti replika sebuah bangunan tempat Caden mencoba bunuh diri karena melihat kemesraan Hazel dan Derek baru saja rampung, Sammy dalam semesta film melihat Caden dan Hazel berciuman.

Di replika bangunan tersebut, Sammy mencoba bunuh diri sebelum latihan drama akan dimulai. Perbedaannya jika dulu kala ada beberapa orang yang menahan Caden saat hendak melompat, Sammy sungguh melompat dan mati karena cemburu.

Anekdot miris ini menggambarkan bagaimana representasi yang diciptakan berdasarkan kesesuaiannya dengan realitas, tak lepas dari jerat kekuasaan yang saling kait-mengait di dalamnya. Sesederhana melontarkan pertanyaan siapa –selain pemerena utama dalam film– Caden dalam proyek teater itu, bagaimana ia memilih dan memilah realita yang hendak diangkatnya, kenapa ia mendapat dana sebesar itu untuk proyek teaternya.

Lalu kita disuguhkan oleh para pekerja di proyek teater tersebut suatu tigkat dimana kebutuhan dan tingkat kepuasan yang berperan dalam pemeliharaan kemapanan diperankan bersama bahkan oleh pihak subjugated.

“Yang ada” dan “yang tidak ada” membutuhkan sarana komunikasi untuk menjembatani keduanya. Supaya kebenaran artistik bisa nampak dibutuhkan kebenaran pembanding. Bertolt Brecht dalam fondasi teaternya menyerukan bahwa teater seharusnya mematahkan kesan penonton dengan cerita yang ada di panggung. Bukan empati dan perasaaan, melainkan jarak dan refleksi. Suatu jarak pengasingan pada medan artistik yang diperlukan.

Namun beda hal dengan semangat bahwa film seharusnya disikapi melalui formal-teknis-estetisnya sebuah karya, memotong keterkaitannya dengan kompleksitas realita dan sistem sosial Karena jika hanya dilihat sebagai produk kultural, film hanyalah sebab-akibat dari sesuatu di luar film, katanya.

Saya mohon untuk para sinefil bisa bermurah hati sedikit jika tulisan tanpa keketatan teoritis ini terasa mem-profan-kan sinema. Mereduksinya jadi hanya sebuah kultur dengan dinamika klise dua sisi koin: munculnya kebaruan sebagai respon yang telah mapan dan yang mapan secara birokratis menyesuaikan diri untuk merespon kebaruan. Pasalnya budaya luhur selalu bertentangan dengan realitas sosial dan realitas jarang sekali terganggu oleh cita-cita dan kebenaran budaya luhur.

Sinema sama seperti karya seni lainnya, selalu bertujuan memberi sebuah makna bagi penikmatnya, terkadang pesan tersirat. Menitikkan fokus pada pesan tersirat ini tak pernah menjadi sebuah kesalahan, khususnya bagi penonton yang tidak tahu-menahu teknis dan industri film.

Bagaimana memandang keindahan yang utuh tanpa terpengaruh cara pandang keindahaan yang telah intersubjektif/kultur? apakah anggapan estetika kita terhadap sesuatu benar otentik dan tak terbentuk oleh kondisi sekitar?

Bagaimana jika Caden adalah aparatus budaya dan pekerja di drama milik Caden adalah perfilman. Atau jika Caden adalah Revolusi Industri, apakah perfilman memiliki bentuk yang sama seperti sekarang tanpa keberadaan Caden? Sungguh klasik/ortodoks sekali argumen ini hehe.

Penulis: Rokky Rivandy

Desain oleh: Shafa Salsabilla

Katanya orang bisa dikenal dari musisi/daftar putar yang ia suka. Coba aja iseng,deh: The Weakerthans, First Aid Kit, Gouge Away, Brian Eno, Beach House, Leya, Vein.fm, Liturgy, Downton Boys, Gulch, Japanese Breakfast, Manic Street Preachers, Flowerface.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top