Mania Cinema

Bahasa Sinema, Bahasa Siapa?

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Jurnal Ruang pada Agustus 2020 dengan judul yang sama.

Sutradara asal Prancis, Leos Carax, tidak hadir untuk menerima penghargaan dari Los Angeles Film Critics Association Award, saat filmnya Holy Motors (2012) diganjar sebagai film berbahasa asing terbaik.

Sebagai gantinya, ia mengirimkan pidato penerimaan dalam bentuk film pendek berdurasi kurang lebih satu menit. Montase dimulai dengan aksen kental Carax pada suara latar. “So, I’m Leos Carax, director of foreign-language films,” ia memperkenalkan dirinya.

Bukankah Carax (atau siapapun) sebagai “sutradara film berbahasa asing” sepertinya merupakan pernyataan yang tidak masuk akal? Maksudnya, apa itu sutradara berbahasa asing? Seseorang yang membuat film dalam bahasa yang tidak ia ucapkan?

Pernyataan Carax selanjutnya, “foreign-language films are made all over the world except in America,” disampaikan bukan tanpa dasar. Laporan oleh Institut Statistik UNESCO pada 2013 menunjukkan dominasi bahasa Inggris, mengutip Charles Acland, sebagai “bahasa utama yang paling terlihat dan tersedia di sebagian besar negara.”

Anugerah film berbahasa asing terbaik terasa seperti panggung bagi dominasi dan arogansi bahasa Inggris. Ia semakin membuat kepercayaan “sinema adalah bahasa universal yang melampaui perbedaan linguistik dan budaya” menjadi tak lebih dari sekadar mitos.

Praktik ini dinormalisasi, dan lebih jauh, seakan telah menjadi konsensus bagi sebagian orang yang bahkan tidak menjadikan Inggris sebagai bahasa-ibu mereka. Mereka yang secara sadar maupun tidak, telah berada di dalam kerumunan yang turut memberdayakan kelompok yang sudah berkuasa sembari meninggalkan yang kurang beruntung di belakang.

Lingua Franca Hollywood adalah Bahasa Penaklukan

Lingua franca atau dalam istilah Indonesia yang ironisnya terdengar jauh lebih asing: basantara, merupakan bahasa pengantar di suatu kawasan yang menghubungkan beberapa penutur dengan bahasa ibu berbeda. Sejarah panjang bahasa Inggris sebagai lingua franca di pentas internasional bermula pada abad ke-16. Hal ini tak lepas dari ekspansi kapital, eksploitasi, dan kolonialisme berdalih modernitas dan nilai moral baru.

Pijakan mapan koloni Inggris di beberapa penjuru dunia dan kebangkitan Amerika Serikat sebagai lokomotif ekonomi dunia telah membangun momentum kemenangan bahasa Inggris. Meski Amerika Serikat secara resmi tidak menganggap bahasa ini sebagai bahasa resmi negara, itu tidak menutup kenyataan bahwa supremasi bahasa Inggris telah mengakar dalam bahkan sebelum negara ini didirikan.

Praktik eksklusivisme linguistik ini tersurat jelas pada pidato Theodore Roosevelt pada 1919. Ia menyatakan, “We have room for but one language here, and that is the English language, for we intend to see that the crucible turns our people out as Americans, of American nationality, and not as dwellers in a polyglot boardinghouse.”

Sekolah memaksa anak-anak pribumi Amerika untuk belajar bahasa Inggris dan menghukum mereka yang berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Mereka bahkan harus mengganti nama aslinya dengan nama yang terdengar Inggris.

Sentimen terhadap kekaisaran Jerman di perang dunia pertama dan Blok Poros selama perang dunia kedua dijadikan dalih untuk melarang penggunaan bahasa selain Inggris di beberapa negara bagian. Pengajaran bahasa Jerman—bahasa kedua yang paling banyak digunakan imigran pada periode panjang kolonialisme di Amerika—dihentikan. Sekolah yang didirikan imigran Jepang di Hawaii dibubarkan. Sedangkan budak belian dilarang menggunakan bahasa-ibu mereka sebab pemilik budak takut mereka akan memulai pemberontakan.

Walaupun secara keseluruhan penduduk Amerika Serikat menggunakan setidaknya 350 bahasa, persekusi sistemik menjadi sangat buruk selama periode yang panjang bagi penutur non-Inggris di negara ini.

Sentimen terhadap pelafalan kewarganegaraan di luar konsensus bersama ini juga dibangun melalui sinema. Hollywood memanfaatkan kesempatan absennya kompetitor lain di saat Eropa sedang berada pada posisi terendahnya sebab perang tak berkesudahan. Ia mempromosikan dirinya, salah satunya, lewat film-film perang. Film-film yang telah mereduksi aspirasi demokrasi dan kebangsaan sedemikian rupa sebatas sebagai usaha penaklukan, upaya mobilisasi, serta agenda pembenaran perang.

Selain film-film perang, Hollywood juga membangun layarnya dengan dunia utopis yang terbebas dari ketimpangan kelas dan keresahan atas kondisi finansial. Masyarakat kelas pekerja di Eropa dan Amerika Serikat menyambut baik film-film ini sebagai pelarian dari masalah kehidupan sehari-hari.  Fantasi dan kespektakuleran yang absen pada layar sinema Eropa saat itu telah membentuk nilai tawar dari estetika komersial Hollywood sebagai model konsumsi hiburan yang bahkan mampu bertahan hingga sekarang.

Upaya penaklukan ini juga didukung oleh cara culas Hollywood lewat caranya mengeruk keuntungan maksimal: tenaga kerja non-serikat diupah murah di California pada pergantian abad ke-20, harga tanah yang terjangkau untuk konstruksi infrastruktur, dan oligopoli sistem studio yang terintegrasi secara vertikal (produksi, distribusi, dan ekshibisi dalam satu perusahaan). Kondisi optimal lantas membuat Hollywood leluasa untuk membuat penonton di seluruh dunia terbiasa dengan produk-produknya.

Hasilnya, pola konsumsi penonton film di sebagian besar belahan dunia bersifat homogen. Pada 2013, film produksi Amerika Serikat rata-rata menangkap lebih dari 60% total penonton di seluruh negara kecuali Maroko, Georgia, dan Korea Selatan, di mana pangsa penonton film nasional menjadi mayoritas (>54%).

Sinema dan Penolakan atas Perayaan Banal Peradaban Manusia Dunia Pertama

Pelafalan milik Barat telah diceritakan secara terus menerus tanpa jeda hingga Francis Fukuyama yakin betul (sebelum menjilat ludahnya sendiri pada tahun 2017) bahwa garda terdepan peradaban telah mencapai “akhir sejarah.” Pertanyaannya, narasi dan sejarah siapa—tepatnya—yang selama ini dideklarasikan sudah berakhir?

Di bawah panji “ekonomi pasar bebas” dan “demokrasi liberal” ala Eropa Barat dan Amerika Utara, sebagian besar kebudayaan Barat mungkin telah menghabiskan repertoar mereka. Namun, masyarakat ‘dunia ketiga’, minoritas ‘dunia pertama’, dan mereka yang berada pada kelas yang dipinggirkan secara sosial barangkali baru saja mulai menceritakan dan mendekonstruksi cerita mereka sendiri.

Artikulasi dari penegasan identitas lokal melalui sinema mampu ditarik ke belakang ketika kerajaan-kerajaan di beberapa bagian Eropa mulai berguguran dan negara-negara ‘dunia ketiga’ yang memproklamasikan kemerdekaan mulai bermunculan.

Di Brazil, sutradara dari gerakan cinema novo pernah melawan epos megah chanchadas yang berorientasi semata pada pemenuhan hasrat hiburan. Di tahun-tahun yang sama, hal serupa dilakukan sutradara muda Mesir terhadap tradisi “Hollywood on the Nile.” Dari India, Satyajit Ray misalnya, menangkis konvensi komersial yang lekat pada film-film musikal Bombay (kini Mumbai) yang disebut-sebut sebagai sepupu jauh Hollywood. Sedangkan di Taiwan, kejengahan beberapa pemuda atas popularitas sinema Hong Kong—yang mendominasi bioskop lokal—adalah nasib baik yang akhirnya menempatkan mereka pada peta sinema dunia.

Di Indonesia, gerakan semacam ini pernah mampir sebentar melalui manifesto I Sinema di tahun 1999. Gerakan yang, mengutip Eric Sasono: meski “gagal,” namun telah berhasil membuat para pembuat film di masa itu membayangkan alternatif modus pembuatan film sebagai upaya independensi dari patronisasi negara.

Jauh sebelum itu, film-film dengan semangat idealis tanpa perhitungan komersial sempat muncul sambil lalu pada era pasca-kemerdekaan. Namun, keadaan ini menjadi tak tentu setelah berulang kali digilas film-film laris dari AMPAI (American Motion Picture Association in Indonesia) maupun dari buatan produser Tionghoa.

AMPAI melahap hampir seluruh layar bioskop golongan satu yang didominasi elite perkotaan. Jaringan bioskop kelas dua dan tiga telah lama jadi ring tinju bagi film-film impor berbahasa India, Mandarin, dan Melayu. Sementara itu, film Indonesia ditinggalkan bonyok terkapar di pojokan.

Keadaaan sinema Indonesia yang tidak berkembang baik ini tak hanya disebabkan oleh keterbatasan modal dan infrastruktur, tetapi juga keculasan United States Information Agency (USIA) yang berusaha mengambil keuntungan dari popularitas dan kecintaan Sukarno terhadap Hollywood.

Di dalam Honoured Guest: Indonesian-American Cultural Traffic, 1953-1957, Tony Day menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Presiden ke-34 Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower terhadap Indonesia memang banyak dieksekusi melalui jalur penetrasi film Amerika Serikat. Kerja-kerja politik pragmatis melalui penyebaran “cara-cara hidup Amerika” ini dilakukan agar Indonesia yang belum genap berusia 10 tahun tidak jatuh ke tangan komunis.

Siasat mengirim sineas-sineas untuk belajar sinematografi ke negara-negara Blok Barat—paling tidak untuk periode yang singkat—telah memungkinkan film-film Indonesia turut mendapatkan layar di bioskop golongan satu. Film-film ini kemudian dikritik juga oleh Sukarno sendiri, di mana ia menilai telah tenggelam jauh ke dalam kode-kode sinema Amerika Serikat.

Hal ini lantas dijadikan landasan bagi organisasi-organisasi simpatisan PKI untuk menentang film-film buatan produser lokal yang kebarat-baratan. Bioskop-bioskop golongan dua dan tiga yang didominasi Serikat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis), misalnya, mulai mencekal keberadaan film-film tersebut. Resistensi terhadap imperialisme kebudayaan Barat terus berlangsung dan sempat memuncak tatkala Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) terbentuk pada 1964 dan mendesak pemerintah untuk membubarkan AMPAI.

Sekilas sejarah perfilman Indonesia di atas turut memberi ruang gerak lebih bagi argumen Ariel Heryanto yang menilai bahwa Indonesia tidak pernah mengalami gejala pasca-kolonial. Ia hanya menyisakan gejala kolonial dan anti-kolonial berkelanjutan. Tak mudah untuk membayangkan suara-suara anti-imperialisme Barat menemukan panggungnya sekarang terutama sejak neoliberalisme mencengkeram Indonesia habis-habisan pasca Suharto naik takhta.

Hingga kini, dominasi film-film Amerika Serikat masih terlihat jelas. Estimasi jumlah penonton bioskop Indonesia pada 2019 yang dirilis Bicara Box Office menunjukkan bahwa film Hollywood masih meraup jumlah penonton terbanyak. Penonton lokal pun masih lebih memilih menonton film-film impor. Fariz Fadillah dalam jurnal yang dirilis oleh IJICC berjudul Comparative Analysis of The Competitiveness between Indonesian Movies against International Movie menunjukkan bahwa 82% responden lebih memilih film impor daripada film Indonesia.

Kita memang punya UU No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman yang semestinya membantu film Indonesia lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri. Peraturan ini mewajibkan film Indonesia untuk mendapatkan setidaknya 60% dari total jam penayangan selama enam bulan berturut-turut.

Namun, peraturan ini nyatanya tidak cukup membantu: berdasarkan laporan Pemandangan Umum Industri Film Indonesia (2019), pembuat film Indonesia mengeluhkan pihak bioskop yang masih memberikan slot jam terbatas. Dalam banyak kasus, film Indonesia kerap hanya mendapatkan satu hingga dua jam tayang dalam satu hari walaupun mendapatkan porsi layar yang banyak.

Lantas, apakah monopoli AMPAI di era Sukarno dan monopoli MPEAA (Motion Picture Export Association of America) di Orde Baru mengulangi sejarahnya dalam bentuk yang lain? Atau memang tidak pernah ada pengulangan karena sejatinya sedari dulu memang begitu?

Di lain hal, akses untuk dapat menonton film masih timpang di Indonesia. Berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal Industri Film Indonesia tahun 2017, kurang dari 10% kota di Indonesia memiliki akses ke bioskop. Selain itu, 87% layar terkonsentrasi di Jawa, dan 35% layar berada di Jakarta. Timpangnya aksesibilitas ini paling tidak—untuk sekarang—bisa termaafkan dengan kehadiran berbagai kanal vod di ranah digital. Namun, untuk siapa mereka ditujukan rasanya tak akan jauh dari mereka yang memiliki jaringan internet maupun kemampuan dasar berbahasa Inggris yang baik.

Rasanya, “film berbicara dengan bahasa universal” sudah tak lagi memiliki tempat bagi mereka yang dipinggirkan keadaan. Ketika nyatanya, bahasa yang diucapkan adalah bahasa penaklukan yang meninggalkan mereka di belakang jadi semakin jauh tertinggal.

Referensi:

Ella Shohat & Robert Stam, Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and the media (London: Routledge, 1994)

Douglas Gomery, The Hollywood Studio System (Basingstoke: Macmillan, 1986)

John Izod, Hollywood and the Box Office (New York: Columbia University Press, 1988)

Tessa Dwyer, Speaking in Subtitles: Revaluing Screen Translation (Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd., 2017)

Ditulis oleh: Dwiki Aprinaldi

Desain oleh: Galih Pramudito

Lahir pada 1997, Dwiki ialah seorang copywriter, esais dan kritikus film. Pada 2019, Ia meraih penghargaan lomba artikel film yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan Kebudayaan. Pada 2022, Ia merilis buku pertamanya dengan judul "Gender, Muslim & Sinema", di mana ia meneliti kesinambungan antara heteronormavitas, identitas muslim dan sinema Indonesia pasca-Orde Baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top