Mania Cinema

Kareem Soenharjo: Merayakan Kehidupan bersama Sinema dan Menciptakan Pengalaman Sinematik dalam Musik

Ketika mendengarkan musik Kareem Soenharjo, kita tidak sekadar diajak mendengar, namun juga melihat musiknya. Kareem Soenharjo ialah dalang di balik beberapa rilisan musik terbaik dalam lanskap lokal. Ia menggunakan beberapa moniker: Yosugi adalah topeng yang ia kenakan saat menggubah instrumentasi musik, dalam topeng ini ia telah bekerja sama dengan musisi seperti Hindia dan Rayssa Dynta. BAP adalah topeng keduanya, ia gunakan saat nge-rap. Dan, yang terakhir adalah BAPAK, sebuah band rock eksperimental yang ia nahkodai bersama tiga teman lainnya.

Kareem memiliki banyak wajah dan warna dalam musiknya, ia cenderung pindah dan lompat-lompat dari satu rilisan ke rilisan lainnya. Tak hanya secara aural, secara visual ia juga menarik perhatian. Hampir dari semua rilisannya, ia mengerjakan segala ilustrasi dan tata visualnya. Seperti yang saya sebutkan awal, ketika mendengarkan albumnya, saya jadi teringat dengan visual-visual dalam albumnya. Sebaliknya, jika saya melihat sampul dan visual albumnya, otomatis suara musiknya akan terdengar dengan jelas. Pengalaman audio-visual ini saya anggap sebagai pengalaman sinematik, mengingat cukup jarang menemukan musisi lokal menggubah sebuah pengalaman audio-visual secara utuh.

Saya sudah mengikuti perkembangan musik Kareem sejak lama, lebih tepatnya pada awal 2018, beberapa bulan sebelum ia merilis Monkshood debut albumnya dengan moniker BAP. Dari awal saya sudah paham bahwa ia seorang penggemar film, ia suka berbagi tontonannya, dan sejak akhir 2022, ia tengah dalam proses pengerjaan album ketiganya dan banyak berbagi mengenai tontonannya. Sudah sejak lama saya ingin mewawancarai Kareem dalam segmen Memori Sinema ini, tapi belum ada kesempatan untuk mewawancarainya. Sampai ketika Adib Arkan, seorang teman, berkata, “Lo gamau undang Kareem bahas film di Mania Cinema?”, mendengar itu saya pun tertantang. Adib menambahkan, “Ayolah wawancara dia, doi film guy, banget, men, sayang kalau ga diwawancarai”.

Tanpa basa-basi, saya meminta Adib untuk mengatur jadwal wawancara dengan Kareem, dan akhirnya wawancara ini pun terjadi. Ketika mewawancarai Kareem, saya kaget betapa film cukup penting baginya. Dalam wawancara kali ini, Mania Cinema mengajak Kareem Soenharjo membahas bagaimana film menjadi sarananya untuk mencintai hidup dan merayakan kehidupan. Tak hanya itu, ia juga membahas bagaimana kaitan antara visual dan musik dalam karya-karyanya. Simak dalam Memori Sinema kali ini!

Kamu mengenal musik dari keluarga. Mengenal King Crimson dari Ayah dan N.E.R.D dari Kakak. Apakah keluarga juga menjadi sumber referensi untuk film?

Ya bener, dari keluarga juga, sih, terutama dari kakak. Kakak gua itu film lover banget, men. Kalau gua tiap hari kerjanya nyari musik, kakak gua kerjanya nonton film mulu dari pagi sampai malam. Akhirnya, tahu film-film “aneh” dari dia. Dia sendiri dari dulu udah nonton film-film yang lebih “kritis” kaya Wong Kar Wai gitu, cuma gua rasa kalau lo udah nyobain semua jenis film, pasti ketemu film yang bikin lo nyaman. Jadi kesehariannya dia nonton film-film b movie dan film “gak jelas” lainnya, yang di mana gua juga suka dan doi selalu ngasih tau soal film-film sejenis. Gua sendiri belum sampai ke tahap kaya doi, sih, masih nyari film-film yang kesannya “intelek” gitu, haha. Walaupun gitu, film-film b atau yang sejenis masih tetap jadi favorit gua.

Bisa diceritain gak pengalaman berkesan nonton film bareng Kakak?

Wah, banyak sih, men. Tapi, yang paling berkesan tentu pas nonton film-film b gitu, haha, kocak soalnya. Pengalaman awal nonton film b, kalau ga salah The Toxic Avenger (1984). Itu kalau ga salah rilisan Troma, nah, rilisan mereka itu pada lucu semua filmnya. The Toxic Avenger (1984) itu salah satu film favorit kakak gua, kalau gua sukanya Class of Nuke’ Em High (1986). Lucu gak jelas juga tuh, haha. Bisa dibilang gua itu tumbuh sama film-film b, sejak SMA udah dicekokin film kaya gitu sama kakak. Kakak gua juga udah paham selera gua gimana, jadi suka dicekokin sambil bilang, “eh, reem, tonton yang ini, ini sadis” atau “reem, tonton ini, ada tete-nya nih!” haha. I guess it’s a weird bonding moment sama kakak aja, sih.

Wah, itu respon dari orangtuamu gimana? Soalnya kan film b cenderung menampilkan visual eksplisit yang lumayan kontras, kan.

Orang tua agak mempermasalahkan pas gua masih kecil. Tapi, pas gua udah beranjak dewasa, lebih tepatnya SMA, mereka udah yakin dan paham kalau gua udah ngerti mana yang buruk dan baik asalkan gua-nya gajadi orang yang berantakan aja. And, actually I do like kind of mentality karena orang tua gua masih bisa percaya ama anaknya walaupun media yang dikonsumsi sama anaknya yang gak jelas gitu, haha.

Terkait dengan tontonan, aku sempat cek akun MUBI-mu, yang dibuat tahun 2011. Kamu kayanya sinefil cultured banget zaman segitu udah buat akun MUBI, hahaha.

Jiah, haha, gua gamau disebut sinefil sih, men. Gua cuma suka nonton film aja. Kayak kemarin pas di Bali, kan baru keluar dari kerjaan, jadi ada sisa beberapa hari buat nganggur gitu, iseng aja nonton Everything Everywhere All At Once (2022) terus jadi ketagihan buat nonton film-film lain. Kalau untuk akun MUBI, itu jelas karena pengaruh kakak, dan pas zaman masih pakai MUBI itu gua masih pretentious banget, Gal, haha. Referensi kakak gua luas banget, jadi gua mandang tinggi dia kalau soal kebudayaan. Karena hal itu, gua pengin buat jadi kaya kakak gua. Jadi, gua coba nih buat jadi kaya kakak gua dalam menyukai film-film keren, eh yang ada malah pretentious gitu, haha. Jatuhnya akun MUBI gua itu kesannya masih pretentious sih, gua masih belum jujur dalam selera tontonan gua. Kalau mau lihat selera yang lebih jujur, gua saranin buat cek akun Letterboxd gua.

Tapi, aku kaget melihatmu umur segitu (15 tahun), di entry MUBI-mu isinya tontonan sinefil banget, ada Kieslowski, Seven Samurai, Stan Barkhage. Keren banget sih.

Wah, tapi kalau Kieslowski gua masih suka sampai sekarang, yang The Double Life of Veronique (1991). Bagus banget itu.

Kalau itu tahu dari kakak juga, ya?

Gua cuma tau namanya doang dari doi, tapi filmnya gua cari sendiri, sih. Mostly kegiatan menonton dan yang membentuk selera gua itu kakak. Lagian juga, kayanya karena selera film gua terlalu nyebrang bagi temen-temen gua pada saat itu. Tapi gapapa juga, kan gua ada kakak gua, jadi bisa nonton berdua aja.

Di akun MUBI-mu aku lihat film esensial remaja seperti Scott Pilgrim vs The World (2010) dan 500 Days Of Summer (2008). Menurutku itu film yang banyak dikonsumsi remaja, sih, termasuk aku yang kena juga pengaruhnya. Kamu sendiri terpengaruhi gak sih sama dua film tersebut?

Menurut gua sih ada, men, tapi pengaruhnya yang gak sehat gitu deh, haha.

Wah, hahaha, yang kaya gimana, tuh?

Menurut gua tuh itu film yang harus lo tonton dua kali, men, pas lo masih remaja dan pas lo udah dewasa. Soalnya, the films deals with love, kan, jadi ketika nontonnya pas masih lebih muda, perspektifnya akan ada di diri lo, mikirnya kaya “oh kalau gua jadi Scott rasanya gimana, ya?” gak punya dimensi yang luas gitu. Sedangkan pas gua tonton ulang waktu udah lebih dewasa, gua sadar, baik Summer ataupun Tom itu sama-sama salah, hubungan mereka cukup toxic padahal cuma perkara komunikasi aja, kan? Dua-duanya sama-sama nggak jelas. Kalau untuk konteks Scott Pilgrim, jujur, ending-nya kurang memuaskan, seakan si Scott gak belajar apa-apa tentang obesesinya terhadap Ramona, dan tetap memakan egonya sendiri. Tapi, gua paham sih, medium film terlalu pendek untuk ngejelasin hubungan kompleks itu. Sedangkan, kalau di komik itu cukup dijelasin. Soalnya itu kan ada enam volume, ya Gal, jadi cukup dipadetin ama Edgar Wright. Tapi, walaupun begitu, Edgar Wright cukup berhasil dalam merangkum enam volume komik dalam satu film.

Wow, aku setuju sih mengenai itu. Karena memang ada beberapa film yang ditonton pas masih SMA tapi gak ngerti dan baru memiliki makna tersendiri pas udah lebih dewasa lagi. Kayak tumbuh gitu, memiliki makna yang beda.

Iya, itu maksud gua. Jadi kalau lo mau liat selera dan opini jujur gua terhadap film, cek akun Letterboxd gua aja, akun MUBI gua ga penting banget, soalnya isinya cuma gua menjadi orang yang pretentious.

Sebelum bahas soal fase nonton filmmu yang sekarang, alias fase Letterboxd, aku mau nanya soal selera filmmu. Dalam selera musik, kamu cukup luwes. Bisa dibuktikan dengan setelah Monkshood (2018) yang penuh dengan bebunyian eksperimental hiphop, kamu banting setir jadi memainkan orkes experimental rock/post-hardcore di Miasma Tahun Asu (2020) dengan moniker band BAPAK. Apakah prinsip ini juga berlaku bagi selera film?

Kayanya berlaku juga, deh. Soalnya gua lebih luwes aja kalau soal jenis tontonan yang mau gua tonton. Gua juga gatau kenapa, tapi mungkin karena gua nggak se-kritis itu saat nonton film ketimbang dalam mendengarkan musik. Bisa dibilang kaya beda lapangan gitu, sih, men. Kalau untuk film, gua bisa dibilang enjoyer daripada suatu “siswa”. Sedangkan kalau buat musik, karena gua serius di situ, gua merasa bagian dari “siswa” dalam “institusi” musik, itu men, jadi bisa dibilang gua lebih kritis. Gua sih lebih ke santai aja sih dalam menonton film, soalnya kalau segala hal lo bikin kritis, gak ada hal yang bisa lo nikmati secara manusiawi, men.

Ah, I See, apalagi kalau bahas soal kolom favorites dalam akun Letterboxd-mu itu cukup beragam, ya. Ada film anime Ocean Waves (1993), komedi aneh bin ajaib dari Jepang, Tampopo (1985), drama arthouse naberu begu klasik, Woman In The Dunes (1964) dan romansa menegangkan kontemporer dari Korea Selatan, The Handmaiden (2016). Apakah ada alasan untuk memilih film-film ini sebagai film favoritmu?

Apa, ya, film-film ini cukup menyentuh gua, sih. Nonton film-film ini kaya sebuah pengalaman yang berbeda aja. Kaya Tampopo ama Ocean Waves bikin gua nangis. The Handmaiden sama Woman in The Dunes bikin gua mencintai kehidupan. The Handmaiden is such a great tale, dan bikin gua bersyukur banget buat hidup, kaya dihadiahin sesuatu yang luar biasa gitu, men. Gua nonton itu bareng pacar dan kaya ada penekanan di mana gua ngerangkul orang yang gua sayang di antara cerita cinta tentang dua perempuan, its so engaging banget, kaya selebrasi kehidupan. Kalau untuk konteks Woman in The Dunes itu ngingetin gua ama nyokap dan kakak, sih. Soalnya sejak SMA, yang ngurusin hidup gua itu nyokap dan kakak, dua sosok perempuan yang kuat di hidup gua. Protagonis filmya kan perempuan kuat yang menjalani hidupnya secara independen kendati terbentur ama norma dan budaya yang ada, nah hal itu yang bikin gua teringat nyokap dan kakak. It’s such strong movie about gender dynamics, atau politik gender di masyarakat yang masih konservatif, that’s why I loved the films. Terus musiknya juga bagus banget, men! Gila!

Wow, cukup melankolik sekali. Eh, kalau Tampopo kenapa bisa nangis? Bukannya itu film komedi lucu tolol gitu, ya?

Nangisnya itu bukan karena sedih, tapi karena bangga, men! Nangis terharu gitu. Spesifiknya pas adegan akhir, ketika kedai ramen barunya selesai. Dan, kayak semua orang yang bantu dia dari awal hadir di situ, merayakan keberhasilan Tampopo dengan pencapaiannya. Karakter Tampopo juga digambarkan secara manusiawi gitu, lho, men, kaya memang “manusia” ketimbang karakter dalam suatu film. Gua liat Tampopo jadi ingat nyokap, sih. Gua juga pengin nyokap gua jadi sukses dan bisa merayakan hidupnya kayak Tampopo. Gua nonton film ini pas lagi fase yang buruk banget dalam hidup, dan setelah nonton bikin lebih hopeful aja sih soal kehidupan.

Berarti bisa dibilang kamu punya soft spot sendiri buat cerita tentang perempuan karena mengingat dua sosok yang membesarkanmu ini, ya?

Kayaknya iya, sih. Lebih tepatnya tentang keluarga. Di musik gua kayak lagu White Heron Outro kan gua dedikasikan buat nyokap dan kakak. Hampir di setiap album pasti ada sih nilai-nilai soal keluarga gitu. Gua gak bisa menampik kalau itu pengaruhnya cukup kuat di karya-karya dan kehidupan gua sendiri.

Sebagai seorang musisi yang gemar film, aku penasaran gimana sih kamu menghubungkan musikmu dengan visual dalam sampul album dan publikasi materi yang lain?

Gua nggak pernah berniat untuk membuat visual yang indah, tapi lebih ingin menyiratkan perasaan atau vibe terhadap suatu album. Kalau gua liat sampulnya Monkshood itu terasa aneh dan terasa gak nyaman, makanya gua pilih itu karena memiliki suasana yang sama. Sama juga kaya Miasma Tahun Asu itu juga terasa aneh dan buat gak nyaman, sampulnya itu punya layer-layer tersendiri dan bisa dicerna lama. Gua gak mau sampul album gua kayak nggak punya pengaruh yang kuat—kayak nggak berkesan gitu. Gua nggak mau kayak gitu, pengin nampilin seusatu yang berkesan dan punya perasaan kuat, sih, men.

Tapi, gimana caramu menghubungkan elemen aural dari musik dan visual dari sampul album yang bikin “nggak nyaman” tadi menjadi suatu kesatuan yang utuh? Karena, kalau boleh jujur, mendengarkan albummu kayak pengalaman sinematik—di mana elemen visual dan aural saling menyatu satu sama lain. Setiap aku mendengar albummu, aku selalu mengimajinasikan gambar, warna, dan tekstur yang kamu hasilkan dalam sampul album atau lainnya. Itu gimana sih cara menghubungkannya?

I just make things that makes me feel something aja, sih, Gal, jawabannya segampang itu sebenarnya. Kadang kalau elemen visual sama musiknya cocok, ya udah jadi cocok aja. Memang, sebagai manusia kita mencoba merasionalkan segala hal dengan kemampuan kita, tapi terkadang pada akhirnya itu tergantung sama perasaan sama emosi aja, Gal. Itu mungkin yang buat elemen visual cocok ama musiknya. Jujur, gua gak ada jawaban lain selain itu.

Jadi bisa dibilang karena selera dan rasa yang kuat dan cocok sehingga bisa menghubungkan pengalaman sinematik di musikmu?

Bisa dibilang begitu, tapi secara bersamaan ini masih jadi suatu misteri buat gua, Gal, haha. I just do what feel right aja, gua melakukan apa yang sesuai dengan perasaan gua aja. Alhamdulilah, sejauh ini intuisi gua berhasil divisualisasikan sesuai dengan mood musiknya. Kayaknya cuma itu yang bisa gua jawab, maaf ya, Gal, hahaha. Karena, gua juga sadar atau nggak sadar bisa bikin “pengalaman sinematik” yang kaya lo bilang itu. Soalnya gua berkarya buat gua sendiri, alhamdulilah juga orang-orang pada suka.

Berbicara soal menghubungkan audio-visual, tadi kamu membahas bahwa film membuatmu merayakan hidup. Film Taste of Cherry (1997) jadi salah satu moodboard untuk album barumu. Film itu menurutku tentang merayakan hidup juga, kalau bagimu itu film gimana, sih?

Ketika nonton film itu, kita sebagai penonton hadir di dalam posisi yang sama kayak protagonis. Tapi, bedanya lo masih hidup dan menonton film itu. Menurut gua, dengan fakta bahwa lo masih hidup dan menonton film itu lo udah bisa merayakan hidup lo, sih. You’re still here, man, you’re still alive. Adegan akhir dalam film itu juga ambigu banget ya, antara dia jadi bunuh diri atau enggak. Sampai sekarang adegan akhir itu masih menjadi misteri bagi gua. Cuma, I don’t know, it’s a very beautiful ending, sangat terbuka bagi penonton untuk menginterpretasikannya. Menurut gua, hidup persis kaya ending film itu, karena hidup gak selesai saat lo mati. Akan berlanjut aja tuh hidup. Tentu, lo bisa melihatnya secara sinis atau optimis, tapi apapun itu, hidup akan terus berjalan. Absurd kan? Akhirnya, film ini jadi kayak semacam perayaan keabsurditasan hidup aja, sih, Gal. Life is very absurd and that movie really captures it. I love it, dan buat gua jadi bersyukur akan hidup ini.

Wah, nice insight. Kalau aku pribadi bikin pengin salat dan ingat Tuhan, sih, haha.

Haha, nah itu uniknya! Tiap orang beda dalam mengartikan dan menafsirkan filmnya. Itu aja menurut gua udah absurd juga, sih.

Oiya, tuh film menurutku juga gila sih. Abbas Kiarostami sebagai sutradara berhasil menggambarkan perasaan karakternya tanpa musik dan visual yang kuat. Kalau menurutmu gimana?

Ya bener, tapi itulah intinya, hidup kita juga gak diiringi musik kan? Musik yang mengiringi hidup kita kalau lagi disetel, selebihnya kan enggak. Terus karena sunyi, ada beban dan muatannya dalam kesunyian itu. Gua ngambil frasa the silence is deafening atau kesunyian terdengar sangat kencang. Frasa itu persis nge-gambarin mood film tersebut. Kencang banget kesunyiannya, men! Gua juga bingung cara mengelaborasinya, tapi intinya itu. Seolah lo dipaksa fokus dan mengobservasi segala hal dalam frame film. Lo ga dimanjain, men, di dalam film itu. Gua suka, sih, mentalitas kaya gitu dalam berkarya. Gua rasa, kita sebagai orang Indonesia terlalu dimanjain, men, untuk segala penjelasan akan suatu hal. Dan, film itu adalah contoh baik dalam menggambarkan mentalitas tidak manja dalam menampilkan karyanya. Soalnya gua yakin kalau Kiarostami tahu penontonnya pada pintar dan memahami filmnya. Nah, dalam berkarya, gua juga gitu malas kasih konteks lagu gua, karena gua tahu kalau pendengar gua pintar! Nggak goblok kok pendengar gua, gua yakin itu, I trust you guys!

Bicarain soal moodboard album, aku lihat banyak ada referensi dari visual film, dan belakangan juga kamu sering nge-twit soal film. Jika album pertama banyak mengambil inspirasi visual dari komik/novel grafis, album kedua banyak mengambil inspirasi visual dari lukisan/seni rupa, apakah album ketiga banyak mengambil inspirasi visual dari film?

Sebenarnya film itu jadi kaya semacam “trampolin” di album ini. Lagu-lagunya gak secara langsung terinspirasi dari suatu film, tapi lebih ke pengalaman nonton film tersebut. Ibaratnya kalau film ini jadi lagu, feeling-nya bakalan kaya apa. Kalau nonton film, pasti kita lihat dari mata sendiri dan menelannya sesuai dengan perspektif kita. Sederhananya, gua ingin menerjemahkan dan menafsirkan film-film yang gua tonton kalau jadi sebuah lagu itu gimana.

Ahh, I See. Jadi lebih kayak menekankan pengalaman dari suatu film. Omong-omong, album yang menurutmu punya pengalaman sinematik dan serasa kayak nonton film, itu apa?

Wah, kayaknya Lift Your Skinny Fists Like Antennas to Heaven punya Godspeed You! Black Emperor, deh. Soalnya itu album tiap lagunya lama banget, kayak 20 menitan. Jadi karena aransemen tiap lagunya itu lama jadi ada waktu bagi lo untuk membayangkan adegan demi adegan ketika mendengar lagunya. Itu album kan durasinya lama banget, satu jam lebih, hampir kayak film, terasa kayak ada pembabakannya gitu. Persis kayak film.

Kalau komposer film favorit siapa, ada nggak?

Gua itu suka ama Bernard Hermann, men, spesifiknya gubahan musiknya di Taxi Driver (1976). Gubahan musik Taxi Driver itu simpel tapi ngena banget, men! Gila banget, itu jadi ikonik melodinya. Seolah karya musiknya bisa berdiri sendiri tanpa filmnya. Kalau yang agak kontemporer gua suka The Haxan Cloak, yang kemarin gubahin musik buat Midsommar (2019). Colin Stetson di Hereditary (2018) itu juga bagus banget, gua suka. Gua bingung siapa lagi, palingan buat gua tiga orang itu udah merangkum.

Ryuichi Sakamoto enggak masuk, nih? Haha

Enggak, sih, men. Gua biasa aja, haha. Maaf banget, ya.

Mungkin itu dulu beberapa pertanyaan untuk wawancara ini, ada rencana lain ke depan selain album, mungkin?

Untuk ke depan, gua cuma pengin ngerampungin album ketiga ini aja sih, pengin fokus ke sana. Arahan musiknya agak lebih beda dan bakal lebih “aneh”, semoga, ya, haha. Kayanya bakal rilis tahun depan, jadi kayanya harus bersabar dulu. Pokoknya dengerin aja sih nanti, haha.

Wawancara direkam pada 14 Mei 2023 melalui aplikasi Google Meet.

Terima Kasih kepada Adib Arkan atas perannya dalam memudahkan wawancara ini.

Diwawancarai dan ditulis oleh: Galih Pramudito

Desain oleh: Iqbal Setyo

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top