Mania Cinema

Theo Angelopoulos: Perjalanan Panjang antara Kisah dan Sejarah

Diterjemahkan dari artikel milik Olivier Bélanger, Theo Angelopoulos: On the Road between Story and History, terbit pada Februari 2016 di Off Screen

Melalui karya-karyanya, Theo Angelopoulos menciptakan perpaduan antara peristiwa sejarah dengan membuka ruang bagi sinema. Pada film-film awalnya, beliau memfokuskan film-filmnya ke arah politik, hal ini mengarah pada semacam sentimen Kantian yang luhur—di mana melalui puisi narasi dan kekacauan karakternya, kita dibuat was-was menghadapi konteks sosio-politik Yunani yang masih diteror oleh hantu masa lalunya. Dalam film-filmnya yang berkonsentrasi pada satu atau dua individu ketimbang pada satu kelompok, Angelopoulos memanifestasikan dirinya yang dapat disamakan dengan representasi Heideggerian Dasein (“suatu keberadaan”), di mana karakternya hidup dalam konflik yang lebih ontologis—cakupan konflik dalam filmnya tidak hanya berkutat pada politik. Entah karakternya dihadapkan dengan masa lalu (Eternity and A Day), atau mencari bagian sejarah Yunani yang hilang (Ulysses’Gaze), karakter yang mengisi layar Angelopoulos membawa bobot sejarah modern, dan kadang-kadang, mengingat banyaknya referensi mitologis yang berhamburan di film-filmnya, seperti halnya Yunani kuno, memungkinkan dirinya untuk mengomentari ontologi yang berhubungan erat dengan Sejarah— dengan S huruf besar pada ceritanya. Keduanya yakni hal penting dalam narasi film Angelopoulos.

Jika film awal Angelopoulos semuanya terjadi di masa lalu, hal tersebut tidak menghalangi orang-orang memahami lebih dalam soal politik. Baginya, masa lalu politik rakyat Yunani tercermin dalam identitas mereka saat ini. Cermin yang menembus batas waktu yang ditawarkan Angelopoulos kepada orang-orang sebangsanya adalah sejenis terapi, menilik masa lalu seperti yang sering dilakukan oleh seroang psikoanalis terhadap pasien mereka, tetapi di sini sang pembuat film melakukannya dengan melihat keadaan seluruh lapisan masyarakatnya. Jika Yunani sering dianggap pasif dan apatis dilihat dari sudut pandang politiknya dan bobot sejarahnya yang menyedihkan, film-film Angelopoulos menawarkan tindakan karakternya yang melakukan kebajikan serta tidak menyerah dalam prosesnya mencari kepingan yang hilang.

Sejarah sebagai intisari dalam kehidupan masyarakat

Gilles Deleuze mendefinisikan esensi dari suatu hal sebagai “yang tanpanya, hal itu tidak dapat menjadi sesuatu yang dipahami.”[i] Dalam pengertian tersebut, Sejarah jelas merupakan intisari dari masyarakat kontemporer yang digambarkan Angelopoulos dalam filmnya, karena ia menjembatani masa lalu dengan masa kini dan menyembunyikan beberapa dampaknya yang hanya mampu dipahami oleh hati nurani kolektif oleh para korbannya. Karya sejarawan yang diangkat Angelopous berkaitan dengan pencarian khusus di dalam esensi komunitasnya: masa lalu politik negaranya.

Estetika long-take

Penggunaan long-take pada karya-karya Angelopoulos merefleksikan keinginannya untuk menciptakan keabadian yang mengarah pada kristalisasi durasi yang mengubah masa kini menjadi memori.[ii]Meski film-filmnya bergerak sesuai zaman, cerita dan Sejarah selalu diungkapkan dalam waktu masa kini, sesuai sudut pandang penonton kontemporer, beserta pesan yang aktual. Waktu pada zaman dahulu memungkinkan Angelopoulos untuk mengekstrak “kemurnian waktu” dari filmnya, dan mengembalikan masa lalu pada masa kini.

Pengambilan gambar a la Angelopoulos mirip dengan lukisan romantis. Dalam beberapa hal, lukisan hidup tersebut memiliki sentimen luhur yang disampaikan dengan cara yang lebih teatrikal ketimbang sinematografi, mengisi diri mereka sendiri dalam temporalitas berkat durasi filmnya. Demikian pula, kita dapat menganggap long-take Angelopoulos terinspirasi oleh film Alain Resnais—terutama film Last Year at Marienbad (1961) dan Van Gogh (1948). Cara Angelopoulos melakukan perjalanannya antara garis waktu yang berbeda pada bidikan yang sama, telah menjadi ciri khasnya, mirip dengan teknik yang digunakan oleh Resnais dan Alain Robbe-Grillet, memprovokasi apa yang disebut Deleuze sebagai “pembubaran image-action“.[iii] Tetapi pembubaran kontinuitas naratif klasik tersebut bekerja dengan cara yang berbeda. Dengan Resnais, pembubaran image-action diterapkan untuk kepentingan rekonstruksi waktu, sedangkan Robbe-Grillet, tujuannya adalah menghapus waktu yang bertujuan untuk menciptakan “persembahan abadi”.[iv]Dalam film-film Angelopoulos, hingga pada persembahan abadi tampaknya menjadi hal yang diinginkan oleh sang sutradara, untuk dapat menghadapi Sejarah dengan cerita. Keinginan Angelopoulos untuk menceritakan Sejarah dalam waktu masa kini hanya karena ia menganggap bahwa Sejarah tidak boleh diturunkan ke masa lalu, karena ia adalah penjamin masa kini. Depth of field yang ekstrim dalam pengambilan gambarnya dipergunakan sehingga kisah karakter yang maju dari latar belakang menuju latar depan benar-benar menjadi karakter sejarah yang berpindah dari latar belakang ke latar depan. Nuansa ini sangat penting karena long-take berperan sebagai estafet antara dua momen tersebut: awal dan akhir adegan. Terkadang di antaranya mungkin tampak dangkal pada segi cerita, hal tersebut penting dalam menunjukkan raison d’être of the History (alasan adanya sejarah), karena memungkinkan untuk memahami hubungan antara awal pengambilan gambar (yang berasal dari masa lalu) dan ketika pengambilan gambar pada adegan terakhir (yang berlatar pada masa kini saat kita melihatnya). Oleh karena itu, aspek formal dari perjalanan panjang sinema seorang Angelopoulos untuk mendukung makna sosio-politik, yang mengkritik perbudakan terhadap masa kini serta sikap apatis yang ditunjukkan oleh masyarakat Yunani ketika menghadapi Sejarahnya yang menyedihkan dan tertindas. Durasi filmnya mendefinisikan dirinya yang keras dalam memaknai “keberadaan”.[v] Durasi pengambilan adegan yang dilakukan oleh Angelopoulos memperkuat keinginannya untuk membuat Sejarah tetap bertahan di masa sekarang alih-alih melupakannya dan melepaskannya bersama masa lalu.

Reconstruction (1970)

Karya pertama Angelopoulos—Reconstruction tidak berkutat dengan sejarah Yunani, tetapi hal tersebut menandakan pendekatan investigasinya terhadap masa lalu bangsanya. Sampai pada batas tertentu film tersebut mengusut sebuah kasus pembunuhan yang terjadi di sebuah desa kecil di Yunani, tetapi Reconstruction di mana Angelopoulos menuntun kita untuk melihat lebih dekat dengan orang-orang yang dia filmkan.

Jika Reconstruction menawarkan narasi kontemporer ketimbang menggambarkan era sejarah Yunani, hal tersebut masih mencerminkan kisah (atau sejarah) yang diceritakan, dan film tersebut mendapatkan resonansinya ketika ditempatkan dalam sebuah konteks bagaimana Angelopoulos memperlakukan Sejarah dalam karyanya yang lain. Film dibuka dengan dua rekonstruksi pembunuhan yang berbeda di mana polisi memiliki dua hipotesis tentang peristiwa kejahatan yang terungkap. Angelopoulos merekonstruksi peristiwa dari kesaksian kedua terdakwa, dari dokumen pengadilan, dan dari “fakta” yang diceritakan oleh wartawan yang meliput berita tersebut. Jika ketiga rekonstruksi itu, yang dibuat dari tiga sudut pandang berbeda, mengajari kita lebih banyak tentang cerita ini, kita masih belum bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di rumah tersebut. Angelopoulos ingin menegaskan kembali bahwa dia tidak berpura-pura dalam filmnya untuk mengungkapkan sebuah “fakta” dari kasus tersebut, tetapi hanya menceritakan sebuah cerita. Kita akan melihat di film ini, juga di film-filmnya yang akan datang, cerita tersebut hanyalah sebuah dalih untuk membuat puisi. Hal ini berlaku untuk pengambilan adegan akhir yang panjang, difilmkan dengan kelambanan, di mana kamera tidak diizinkan untuk mengungkapkan “kebenaran”, tetapi sebaliknya memungkinkan penonton untuk menerima keindahan misterius dari intrik cerita[vi] yang dijinakkan serta menerima kekurangannya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah diungkapkan.

Nyatanya, Angelopoulos tidak menghadirkan tiga, melainkan empat sudut pandang dalam filmnya, karena karakter puitis dari gambar-gambarnya adalah sebuah sudut pandang tersendiri. Kamera cenderung tidak melihat secara langsung sebuah peristiwa berita, tetapi melihat Yunani kontemporer melalui komentar-komentar sinematografi yang hadir pada film tersebut. Khususnya, gambar Reconstruction sangat mengutuk desa dan penduduknya yang tidak berpendidikan karena kepatuhan mereka pada profil sosial yang dipromosikan oleh “kediktatoran kolonel” yang merebut kekuasaan Yunani pada saat selama pembuatan film. Catatan sinis tersebut membantu Angelopoulos menjauhkan filmnya dari citra Yunani sebagai surga turis. Sebaliknya, dia menunjukkan kepada kita Yunani yang sebenarnya dengan masalah sosialnya, bukan Yunani seperti yang terdapat pada kartu pos; yang melakukan segalanya untuk menyembunyikan kesalahannya.

Angelopoulos dalam filmnya Reconstruction tidak berpura-pura menulis atau menulis ulang sejarah Yunani. Dia menyoroti poin penting dalam film tersebut dan film yang akan dia arahkan segera setelahnya, Days of ’36 (1972). Dalam dua film ini, semua informasi penting yang berkaitan dengan fakta sejarah dan di mana kebenaran tersembunyi atau ambigu, tidak ditemukan oleh sutradara; dia menjaga jarak dengan penontonnya. Dengan tatapan orang luar dia merekonstruksi kejahatan pada adegan akhir dalam film debutnya, sementara dalam Days of ’36, kita mengikuti penculikan seorang politisi.

The Travelling Players (1975) dan The Hunters (1977)

Kehadiran berbagai era Sejarah Yunani dalam film Angelopoulos berasal dari keinginan sutradara Sejarah untuk memberikan efek terapeutik pada rekan senasib sepenanggungan. Gambar-gambar filmnya mencoba mengungkap masa lalu Yunani yang tertindas dan menyengsarakan oleh konflik politik sepanjang abad ke-20, hingga saat ini.

David Bordwell menulis, Angelopoulos mencoba mengungkap Sejarah bangsanya dengan cara yang mirip dengan penggunaan “dinamika massa yang menelanjangi mata penonton” yang dilakukan oleh sutradara Hongaria, Miklos Jancsò (“Tony and Theo.” Observations on Film Art). Namun, Angelopoulos tidak pernah bermaksud untuk merepresentasikan Sejarah dengan cara yang realistis atau untuk mereproduksinya dengan sesuai, tetapi bertujuan untuk membuat kekuatan dan pentingnya dirasakan melalui gambar dan puisinya. Dalam The Travelling Players, ia menghadirkan sekelompok aktor teater yang melakukan perjalanan melintasi waktu dan mengalami momen-momen penting dalam Sejarah Yunani. Anggota rombongan sekaligus menjadi aktor dan penonton tontonan Sejarah, dan berfungsi sebagai pengganti penonton yang tidak berdaya menjadi saksi besarnya peristiwa konflik tersebut. Keagungan hadir di sini, karena sutradara menempatkan kita di depan fakta sejarah yang memprovokasi sentimen ketidakberdayaan, menyerap penonton dengan kedalaman dan durasi bidikan megah yang hampir sulit untuk dilupakan.

Jika, dalam The Travelling Players, karakter melakukan perjalanan melalui Sejarah, hal tersebut merupakan proses kebalikan yang digunakan dalam The Hunters, di mana Sejarah lah yang mengunjungi karakter tersebut. Sekelompok pemburu menemukan mayat seorang prajurit akibat peristiwa perang yang berakhir dua puluh lima tahun sebelumnya, membangkitkan luka lama terhadap kelompok borjuis kecil yang berkembang dalam masyarakat totaliter. Namun, peristiwa tersebut juga mengobarkan kembali ketakutan akan kemungkinan gerakan revolusioner. Narasi terungkap dalam serangkaian saksi mata di mana setiap karakter menceritakan kisah yang membawa penonton dalam waktu tanpa mengubah tempat. Dengan cara tersebut, Angelopoulos mengedepankan sebuah latar yang dihuni oleh sejarahnya, menampilkan dirinya sebagai seorang arkeolog yang menggali masa lalu dari suatu tempat tertentu.

The Hunters adalah film yang dapat kami anggap fantastis karena skenarionya lebih dari mustahil dan sifat fiktifnya tidak disembunyikan. Turning point perjalanan waktu ke dalam Sejarah seringkali adalah panggung atau di belakang layar sebuah teater. Bahkan jika Angelopoulos memulai dari Sejarah nyata dan konteks politik, realitas ini secara seni diubah menjadi konteks fantastik di mana “yang nyata cenderung kehilangan dirinya ke dalam sesuatu yang imajiner.”[vii] Objek imajiner tersebut, yaitu tubuh seorang prajurit yang masih segar yang mati selama lebih dari dua puluh tahun, tidak sepenuhnya diperlukan pada The Hunters, setidaknya pada level skenario, karena Angelopoulos tidak perlu memasukkan sentuhan fantastis untuk melegitimasi sosok tersebut kembali ke masa lalu. Objek imajiner digunakan untuk melambangkan sesuatu yang tidak nyata, sesuatu yang hanya bisa kita lihat dalam wujud representasi imajiner simbolik, seperti manusia yang kembali dari masa lalu. Kelompok borjuis, dengan mengubur tubuh pemburu, “menyembunyikan yang tidak nyata, yang mungkin tidak ada, tetapi sebenarnya yang ingin mereka kubur adalah ketakutan mereka terhadap masa lalu; yang tidak lain merupakan sebuah penyesalan.”[viii]Oleh karena itu, jenazah dalam filmnya lebih berfungsi sebagai bentuk simbol ketakutan akan masa lalu daripada sebagai penggerak cerita.

The Beekeeper (1986) dan Landscape in The Mist (1988)

The Beekeeper adalah film Angelopoulos yang menyimpang paling jauh dari hubungan cerita/Sejarah, untuk berkonsentrasi pada interioritas karakter utamanya, Spyros (Marcello Mastroianni). Menjelang ajalnya, Spyros sepertinya ingin mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang dicintainya sebelum maut menjemputnya. Jika, di sepanjang narasi, seorang wanita muda mencoba menghubungkannya kembali dengan kehidupan, satu-satunya hubungan yang dapat dia ciptakan dengannya adalah hubungan yang erotis dan berorientasi untuk memuaskan hasrat narsistiknya. Oleh karena itu, mereka juga berkaitan dengan keinginan kematian Spyros, karena kurangnya perhatian terhadap gadis tersebut ketika dia memperkosanya, dia memutuskan untuk melanjutkan proses pelepasan dari kehidupan.

Perlakuan estetik dalam film The Beekeeper juga berbeda dengan film-filmnya yang lain. Jika Angelopoulos masih lebih suka menggunakan long take, hal tersebut digunakan dengan cara lain. Pendekatannya jauh lebih formalis. Bidikan Angelopoulos yang klasik menempatkan dirinya sebagai tablo sejarah yang durasi sinematografinya bertindak sebagai realisasi manusia dan relativitas ceritanya dalam menghadapi Sejarah, dan di mana depth of fields, vanishing point, dan kamera yang bergerak menawarkan kemungkinan mengukur durasinya dan menembus hal tersebut. Dalam The Beekeeper, kamera digunakan untuk mengartikulasikan visual dengan filter berkabut yang berada; di antaranya Spyros dan keinginannya untuk hidup. Dalam konteks ini, kita dapat menafsirkan film tersebut sebagai representasi krisis eksistensial dari seorang sutradara yang mempertanyakan dirinya sendiri, mirip dengan cara Federico Fellini ketika dia mempekerjakan aktor yang sama dalam 8 ½ (1963).

Meskipun estetika Landscape in the Mist lebih sesuai dengan gaya Angelopoulos daripada The Beekeeper, film-filmnya tidak sepenuhnya berbeda. Pertama, Landscape in the Mist tampaknya menegaskan kembali keinginan sang sutradara untuk memasukkan unsur politik sebagai latar belakang ceritanya agar fokus pada kedua individu, baik The Beekeeper dan Landscape in the Mist dapat disebut sebagai road trip movie.

Film-film Angelopoulos sebelumnya juga menampilkan beberapa simbol dan estetika dari road trip tersebut. Karakter dalam film road trip-nya biasanya mendefinisikan ulang diri mereka sendiri melalui tempat mereka berada atau dengan menemukan asal-usulnya dari mana mereka berasal, dan karena itu mencari hal yang paling mendasar. Pencarian ini dimaksudkan untuk memperdalam pemahaman mereka tentang situasi mereka saat ini melalui apa yang mereka pelajari tentang sejarah kehidupan pribadi mereka. Demikian pula, film road trip karya Angelopoulos seringkali cenderung mendefinisikan karakter melalui tempat yang mereka kunjungi, tempat yang seringkali berkaitan dengan Sejarah. Jika tema pelayaran selalu hadir dalam sinema Angelopoulos, akan semakin umum karena sutradara lebih menekankan pada narasi individu yang berhadapan dengan Sejarah daripada berpusat pada komunitas, seperti pada film-film awalnya terdahulu.

Penyajian Para Pengembara yang Puitis

Tema mengembara selalu hadir dalam sinema Angelopoulos. Karakternya sering berkeliaran tanpa tujuan, yang direplikasi dalam respons penonton terhadap film tersebut. Dihadapkan pada kerumitan naratif film (terutama The Traveling Players), penonton yang pada umumnya mencoba memahami segalanya akhirnya menyerah dan mulai mengembara seiring berjalannya film. Seperti yang ditulis oleh Bordwell:

“Kita jarang memahami ke mana arah karakter dalam perjalanan tersebut, atau apa yang mereka lihat sehingga membuat mereka mendekat. Di satu sisi, teknik tersebut mengingatkan pada film thriller atau horor: tunjukkan reaksi dan cari penyebabnya. Tetapi Angelopoulos menciptakan sesuatu menjadi mencengangkan dalam skala yang luar biasa, dari sisi dunia yang belum kita duga sebelumnya, seperti halnya alam yang lebih dekat dengan surealisme.” (Bordwell, “Tony dan Theo”).

Perjalanan karakter Angelopoulos seringkali dihilangkan maknanya, dengan karakter yang hanya merasakan sebab dan akibat kepergiannya selama perjalanannya. Orang-orang yang mereka temui menawarkan semacam kekuatan magis mengenai keberadaan mereka di dunia. Dengan cara ini, lelaki tua dari Landscape in the Mist menemukan cara baru untuk melihat dunia melalui pertemuannya dengan seorang bocah imigran ilegal. Surealisme yang dibicarakan Bordwell mungkin merupakan cara Angelopoulos untuk melampaui realitas karakter yang membatasi dirinya pada batas sudut pandangnya dan mengungkapkan kepadanya keberadaan suatu bentuk perbedaan. Gambaran surealis tentang laki-laki yang melintasi perbatasan negaranya mengungkapkan kepada lelaki tua tersebut merupakan sifat realitasnya yang tidak tersegel, yang diwakili oleh perbatasan Yunani dan kabut yang mencegahnya untuk melihat sisi lain. Demikian pula, kompleksitas yang luar biasa dari The Travelling Players dapat dijelaskan sebagai keinginannya untuk mematahkan visi linier yang kita miliki saat ini—demi visi yang lebih puitis yang akan menyentuh penonton sebagai individu dan membuatnya berpikir tentang hubungannya dengan dunia.

Gambar yang mungkin kita sebut surealis sering muncul pada sinema milik Angelopoulos. Mereka memberikan sentuhan mistis tertentu pada film-filmnya, mungkin untuk memperkuat gagasan imajiner yang sudah ada dalam The Hunters, atau bahkan untuk memberikan dimensi mistis pada film tersebut. Referensi mitologis, bagaimanapun sangat melimpah rujukannya pada film-film Angelopoulos, Ulysses’ Gaze, di mana Angelopoulos menarasikan tentang perjalanan seorang pria yang mencari dokumen Sejarah yang hilang.

Perjalanan dalam Menguak Sejarah

Dalam triloginya yang belum sempat ia rampungkan, Angelopoulos menciptakan perpaduan antara sejarah dan cerita per-orangan. Dalam The Weeping Meadow (2004) dan The Dust of Time (2008), para karakternya sangat dipengaruhi oleh keputusannya dalam masa lalu dan narasinya dimotivasi oleh perasaan karakter terhadap hal-hal yang mereka lakukan dan hal-hal yang mereka tidak lakukan, terkadang dengan konsekuensi yang jauh lebih berbahaya. Jika, dalam film pertamanya, Angelopoulos memperhatikan Sejarah untuk bersaksi tentang pentingnya sejarah politik kontemporer negaranya, dalam film terakhirnya, masa lalu membuktikan bahwa pilihan tertentu dapat memiliki dampak berkepanjangan yang dramatis. Keanggunan dan romantisme yang menjadi ciri khas bidikan Angelopoulos—menggantikan dirinya dengan sentimen Heideggerian, di mana para karakternya akhirnya menyadari keberadaan mereka dan kekuatan tindakan mereka di masa lalu, hari ini, dan masa depan mereka. Entah sebuah keputusan yang diambil sang kekasih belia untuk pergi dalam film The Weeping Meadow atau perpisahan yang disesalkan dan reuni yang terasa sia-sia dalam film The Dust of Time, Angelopoulos bersaksi tentang kecemasan yang dihadapi manusia dengan fakta sederhana tentang keberadaan mereka dan pengaruh mereka terhadap dunia. mengabaikan sinema “sosial” untuk sinema yang lebih berpusat pada individu mungkin merupakan cara bagi Angelopoulos untuk memahami ketakutan banyak warga negaranya untuk terlibat dalam kehidupan politik, serta sinisme mereka terhadap masa depan Yunani. Pada akhirnya, ada kemungkinan bahwa Angelopoulos mengundang penonton untuk menjelajahi film-filmnya, ingin membuat mereka menemukan dan menggerakkan masyarakat Yunani, seperti yang dikatakan Gilles Deleuze, “percaya pada dunia ini” tempat yang mereka jadikan sebagai hunian [ix].

Daftar Pustaka

Amengual, Barthélemy. Théo Angelopoulos, une poétique de l’histoire, in Études Cinématographique, Vol 48.

Borwell, David. “Tony and Theo.” Film Art Observation, Accessed 27 April 2013, Link

Deleuze, Gilles. “Criticism,” L’Image-temps. Cinema 2, ed. de Minuit, coll. 1985

Deleuze, Gilles. Spinoza philosophie pratique, minuit (coll. reprise), 2003, Paris.

Esteve, Michelle. “L’histoire au présent,” in _Études Cinématographique, Vol 48.

CATATAN

[i] “ce sans quoi la chose ne peut ni être, ni conçue.” Gilles Deleuze. Spinoza philosophie pratique, minuit (coll. reprise), 2003, Paris, 98.

[ii]”Le présent devient mémoire, non point passé mort, mais unité mouvante du devenir, totalisation de l’être, de l’individu, du groupe, du monde.” Barthélémy Amengual. Théo Angelopoulos, une poétique de l’histoire, in Études Cinématographique, Vol 48.

[iii] Ibid, 137

[iv] Ibid, 137.

[v]Gilles Deleuze. Spinoza philosophie pratique, 87.

[vi] Terme emprunté à Hélène Tierchant, p. 23

[vii] Michel Estève. “L’histoire au présent,” in _Études Cinématographique, Vol 48 : 88

[viii] Ibid

[ix] “Nous avons besoin d’une éthique ou d’une foi . . . ; ce n’est pas un besoin de croire à autre chose, mais un besoin de croire à ce monde-ci . . . “ Gilles Deleuze. “Critique,” L’Image-temps. Cinéma 2, éd. de Minuit, coll. 1985, p. 225

Olivier Bélanger, ialah seorang kritikus film dan Mahasiswa Master di Université de Montréal. Minat utamanya yaitu sinema Straub/Huillet serta sejarah dan filsafat dalam film.

Diterjemahkan oleh: Mega Fadilla

Desain oleh: Shafa Salsabilla

Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan mencari uang, tidur, membantu orang tua, ibadah dan menonton bila sempat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top