Sailum: Song of The Rustling Lives: Minuman Alkohol Tidak Pantas Mendapatkan Stigma Buruk
Mari bersulang, wahai para leluhur! Tah tabua, tiun tabua!
Beberapa waktu yang lalu, saya menonton video di media sosial yang menampilkan proses penghancuran botol-botol minuman alkohol oleh polisi. Dilindas menggunakan buldoser, ratusan botol minuman beralkohol hancur berkeping-keping. Mengapa hal tersebut dilakukan? Saya bisa mengira bahwa dengan menghancurkan botol-botol minuman yang dianggap membawa petaka itu, masa depan anak-anak muda dapat terselamatkan. Betulkah begitu? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu pembacaan ulang atas minuman alkohol.
Tak lama setelah menonton video penghancuran botol-botol minuman alkohol, saya menemukan film dokumenter yang menyoroti minuman beralkohol. Film itu berjudul Sailum: Song of The Rusting Lives besutan Felix Nesi dan Moses Parlindungan Ompusunggu. Tak ada adegan penghancuran, film ini malah menunjukkan bahwa minuman beralkohol bukanlah minuman yang menyeramkan. Justru melalui minuman alkohol, hasrat spiritualitas manusia terpenuhi secara sempurna.
Hidup dalam kehidupan beragama yang ketat, saya sempat memandang minuman alkohol secara hitam-putih. Apalagi saya pernah disuruh menghapal ayat tentang proses pengharaman minuman alkohol oleh ustaz di pesantren. Ada empat tahap pengharaman alkohol di dalam Al-Quran: alkohol dibolehkan, perintah menjauhkan diri dari alkohol karena lebih banyak efek negatifnya, melarang alkohol pada satu waktu dan membolehkan alkohol pada waktu lainnya dan tahap terakhir adalah alkohol diharamkan secara tegas.
Tak hanya doktrin agama saja, ada satu peristiwa yang menguatkan stigma buruk saya kepada minuman alkohol. Lagi-lagi kejadian itu terjadi di lingkungan pesantren. Teman saya ketahuan membeli minuman beralkohol oleh ustaz. Belum sempat diminum, teman saya langsung diseret ke tengah lapangan asrama oleh si ustaz.
Si ustaz berteriak memanggil seluruh santri putra untuk berkumpul di tengah lapangan. Saya kebingungan. Saya kira ada peristiwa genting yang cukup berbahaya. Ternyata, teman saya yang membeli alkohol dan ketiga santri – orang-orang yang hendak berpesta minuman alkohol- lainnya tengah dihajar habis-habisan oleh si ustaz. Bajingan, kami dianjurkan untuk menyaksikan parade kekerasan di pesantren.
Lewat film ini, saya mendapatkan pandangan lain mengenai minuman alkohol. Tentang bagaimana alkohol memiliki peran penting dalam masyarakat; yang membuatnya bukan sekadar minuman rekreasional. Hal ini membuat segala macam prasangka buruk terhadap minuman alkohol perlahan luruh dalam benak saya, yang pada akhirnya membuat saya tidak menggunakan kacamata kuda. Lebih dari itu, film ini juga membahas bagaimana Felix, sebagai Atoin Meto dengan bantuan Moses merepresentasikan suku dan dirinya secara utuh di dalam layar sinema.
Narator yang Pandai Bercerita
Film dibuka dengan menampilkan suasana gua yang riuh akan suara kelelawar. Lalu, tiba-tiba layar menghitam dan mulailah sang narator – Felix Nesi – membuka kisah tentang sopi ini. Felix bercerita dengan intonasi yang pas, tidak terburu-buru atau terlalu lambat. Dialek khas Timor yang dimiliki oleh Felix menambah citra lokalitas yang hendak ditonjolkan oleh film ini.
Felix membuka film dengan satu kalimat lugas yang mampu menarik minat penonton untuk mengikuti film ini hingga selesai. Simaklah apa yang dikatakan oleh Felix:
“Suatu senja, di akhir 1983, Yohanes Taek Fanu, atau Taek Fanu, atau Am Koto Taek, terjatuh saat mengiris tangkai bunga lontar untuk mengumpulkan nira di ladangnya di pedalaman Pulau Timor”
Penonton dibuat heran. Bagaimana bisa Taek Fanu tiba-tiba terjatuh padahal kegiatan mengumpulkan nira adalah kegiatan yang setiap hari ia lakukan? Mengapa Taek Fanu bisa terjatuh dari pohon lontar? Pertanyaan-pertanyaan lain mungkin akan muncul di benak penonton dan mereka berharap akan segera mendapatkan jawabannya. Tapi, mohon bersabar terlebih dahulu. Film ini masih panjang.
Felix adalah seorang sastrawan. Ia sudah menerbitkan beberapa buku sastra sepert kumpulan cerpen, kumpulan puisi dan novel. Maka, untuk masalah teknik bercerita, Felix adalah ahlinya. Saya pernah membaca dua buku karya Felix, yaitu novel Orang-orang Oetimu (2019) dan kumpulan cerpen Kapten Hanya Ingin ke Dili (2023).
Cerita-cerita yang ditulis oleh Felix selalu menyoal Timor. Cara tutur Felix dalam kedua buku tersebut sama dengan cara tutur Felix ketika menjadi narator dalam film Sailum: lugas dan tidak bertele-tele. Strategi yang dipakai Felix ketika hendak membuka cerita memiliki pola yang sama dengan tujuan menggaet minat pembaca atau penonton semenjak kalimat pertama. Mari kita simak kalimat pembuka Orang-orang Oetimu dan salah satu cerpen dari Kapten Hanya Ingin ke Dili dengan judul yang sama.
Orang-orang Oetimu:
“Satu jam sebelum para pembunuh itu menyerang rumah Martin Karbiti, di malam final Piala Dunia, Sersan Ipi menjemput Martin Karbiti dengan sepeda motornya.
Kapten Hanya Ingin ke Dili:
“Ada perang, Meneer. Jalan terhalang, banyak bom!”
Ketika saya membaca kalimat pertama dari kedua cerita itu dan mendengar penuturan Felix ketika membuka film Sailum, saya merasakan suatu kegelisahan yang genting. Sejak kalimat pertama, saya terhentak dan berhasrat untuk mengikuti kisah Felix hingga tuntas.
Namun, karena ini film, suara dan cerita garapan Felix bukanlah satu-satunya komponen yang mendukung jalannya film. Setidaknya ada 4 komponen yang membentuk sinematik pada film: mise-en scene (warna, staging, latar dan pencahayaan), sinematografi, penyuntingan dan suara. Jika sutradara hanya mengandalkan kekuatan suara dan cerita, apa bedanya dengan podcast atau audio book?
Secara sadar, kedua sutradara ini menampilkan footage-footage mengenai kedekatan orang Atoin Meto dengan sopi. Pada footage-footage itu menampilkan proses pembuatan sopi, orang tua yang sedang meminum sopi serta menyorot sekelompok orang Atoin Meto yang meminum sopi sebelum melakukan ritual adat.
Sosok Felix pun disorot dalam film ini. Felix digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu berbaur dengan warga suku Atoin Meto. Dia berkumpul, mengobrol, dan bercanda bersama warga lainnya. Dilansir dari situs felixnesi.com, Felix adalah seorang penulis dari Kota Insana, Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan suku Atoin Meto, sebagaimana dilansir dari situs warisanbudaya.kemendikbud.go.id, adalah suku bangsa asli Pulau Timor yang mayoritas mendiami wilayah Timor Barat. Maka, kedekatan emosional antara Felix dan Suku Atoin Meto terbentuk karena kedekatan wilayah juga.
Bukan Sekadar Minuman Rekreasional
Keputusan kedua sutradara untuk menempatkan kisah jatuhnya Taek Fanu dari pohon lontar pada pembuka film, memaksa penonton untuk berpikir ulang mengenai minuman alkohol. Pada awal film juga, Taek Fanu diperkenalkan oleh Felix sebagai “petani dan pengiris tuak, penadah nira dan pemasak sopi itu”. Sekiranya penyandingan sopi dengan kisah tragis ini menimbulkan persepsi bahwa minuman alkohol bagi suku Atoin Meto adalah persoalan hidup dan mati. Sopi tidak boleh disederhanakan fungsinya hanya sebagai minuman untuk bersenang-senang.
Apa yang dimaksud dengan persoalan hidup dan mati? Sopi adalah penopang ekonomi suku Atoin Meto. Para petani di Timor biasanya menunggu panen jagung selama berbulan-bulan. Sembari menunggu musim panen, para petani bisa membuat sopi dan menjualnya. Berkat penjualan sopi, beberapa keluarga bahkan bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat perguruan tinggi.
Pada salah satu footage, ditampilkan seorang sarjana muda asal suku Atoin Meto yang tengah menggunakan toga bersimpuh di hadapan periuk penyulingan sopi. Lalu, ia berpose memegang botol sopi. Ia sadar bahwa sopi telah mengakrabkan dirinya dengan pendidikan. Kedua orang tua sarjana muda itu begitu bahagia melihat anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Seperti kita tahu, harga pendidikan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pendidikan menjelma barang mahal yang sulit untuk digapai.
Menurut Tommy F Awuy, seorang filsuf, dalam acara Dialog Sejarah yang bertajuk Minum Kemarin, Mabuk Sekarang: Alkohol dan Kejeniusan Masyarakat yang diselenggarakan oleh Historia, alkohol adalah bentuk kreativitas suatu masyarakat.
Kreativitas yang dimaksud oleh Tommy adalah terletak pada bagaimana masyarakat lokal mengolah sumber daya alam dalam bentuk alkohol. Lalu, lanjut Tommy, proses pengolahan kekayaan alam ini adalah bentuk rasa hormat manusia kepada alam itu sendiri.
Saat pemerintah Indonesia mengumumkan pasien pertama COVID-19, warga suku Atoin Meto merasa ketakutan dan was-was. Menurut Felix, datangnya wabah dari Wuhan, Tiongkok ini membawa serta imaji kepanikan saat masyarakat Timor dilanda peperangan yang cukup mengerikan.
Sama seperti warga dunia lainnya yang ingin selamat dari terjangan wabah ini, suku Atoin Meto menyusun beragam cara agar mereka tidak terjangkit wabah, salah satunya dengan menaikkan persentase kandungan alkohol sopi. Biasanya, kandungan alkohol sopi berkisar antara 35 sampai 45 persen. Warga suku Atoin Meto berhasil menaikkan kandungan alkohol sopi yang akan digunakan sebagai cairan sanitasi menjadi 70 persen.
Proses produksi sopi diperlihatkan kepada penonton dalam film ini. Sesaat Felix menceritakan bagaimana upaya warga suku Atoin Meto bertahan di hidup di tengah wabah COVID-19, kamera menyorot sekelompok laki-laki sedang memasak cairan hasil sadapan pohon nira dalam tungku kedap udara. Uapnya akan berubah menjadi cairan dan dialiri melalui bambu. Sopi sudah siap untuk digunakan.
Dalam film ini, footage-footage yang menampilkan keadaan alam pulau Timor mendominasi jalannya film. Kamera merekam rindangnya pohon lontar, ditambah dengan narasi Felix tentang betapa berharganya pohon lontar bagi kehidupan suku Atoin Meto. Para moyang Suku Atoin Meto sudah bergelantungan di atas pohon lontar untuk mengiris tangkai nira kemudian mengolahnya menjadi sopi beratus-ratus tahun yang lalu.
“Leluhur kami sudah memulainya dan kami akan melanjutkannya”
Sopi juga berfungsi sebagai sarana pemenuhan hasrat spiritual mereka. Kekatolikkan dan kepercayaan lokal berjalan beriringan di sana. Sesudah ajaran katolik masuk ke wilayah mereka, tidak serta merta kepercayaan tradisional ditinggalkan begitu saja. Bahkan, di dalam film itu diceritakan bahwa sopi biasanya dipersembahkan ke altar.
Ketika suku Atoin Meto hendak melakukan ritual adat, mereka meminum sopi terlebih dahulu. Digambarkan pada film tersebut, orang-orang yang sedang menjalankan ritual adat tampak merapalkan sebuah mantra dengan syahdu, merasakan kehadiran para roh leluhur. Mereka percaya, para roh leluhur yang sudah mati, hidup kembali dan bersama-sama meminum sopi.
Di Indonesia, ada sekitar 16 jenis minuman alkohol tradisional hasil distilasi. Sebut saja misalnya arak, tuak, brem, legen dan lain-lain, termasuk sopi. Minuman ini adalah simbol dari spiritualitas dan kekerabatan. Tapi, karena minuman beralkohol mendapatkan stigma sebagai minuman penyebab terjadinya tindakan kriminal, minuman-minuman alkohol tradisional ikut terkena imbasnya.
Hal ini yang membuat Felix geram. Saat kamera menyorot seseorang dari suku Atoin Meto sedang menenggak sopi, muncul narasi seperti ini:
“Walaupun produksi dan konsumsi sopi kerap dipertentangkan dengan undang-undang negara tentang minuman beralkohol ataupun norma agama, bagi Atoin Meto, sopi pertama-tama bukan minuman untuk berekreaksi”
Menyoal Lokalitas: Sumber Kekuatan Film Sailum
Pada sebuah diskusi pameran buku “Patjarmerah Kaget” di Jakarta pada tanggal 5 Juni 2022, Felix mengatakan bahwa seorang penulis yang ingin menyoroti hal-hal yang ada di luar dirinya, perlu usaha ekstra dalam menuliskannya. Bagaimanapun, dia bukan bagian dari tema eksternal yang akan ia tulis. Felix menganalogikan penulis semacam itu sebagai tentara Indonesia yang kebingungan di hutan Timor.
Segala macam cara akan penulis tempuh, salah satunya adalah dengan “mempersenjatai orang lokal, milisi-milisi yang lebih menguasai medan.” Memang, pada akhirnya penulis berhasil merampungkan tulisannya, tapi masalah akan datang setelahnya: “Dan jika kamu memenangkan perang, bukan mereka yang naik pangkat. Hal itu yang dilakukan oleh bangsa kolonial.”
Felix seperti menegaskan bahwa barangsiapa yang mengetahui tentang daerahnya, maka ia lebih berhak untuk menulis tentang daerahnya. Pemahaman warga lokal akan daerahnya lebih komprehensif ketimbang orang-orang luar daerah tersebut. Walaupun segala macam referensi bisa diakses dengan mudah melalui internet, emosi dan perasaan warga lokal lebih kuat dan belum tentu bisa diidentifikasi dengan menggunakan internet.
Felix juga secara tersirat membahas soal keterwakilan. Dalam teori subaltern Gayatri Chakravorty Spivak, yang dimaksud dengan kaum subaltern adalah orang-orang yang suaranya terwakilkan oleh siapapun, entah itu pemimpin ataupun akademisi. Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan dirinya dengan tujuan menguatkan eksistensi diri di dunia. Bisa dikatakan, subaltern menurut Spivak bukan hanya orang-orang tertindas, tapi juga orang-orang yang memiliki keterbatasan akses.
Teori subaltern Spivak termasuk permasalahan pascakolonialisme. Para penjajah yang menancapkan kuku di daerah jajahannya juga mengalirkan wacana dominan dalam tatanan masyarakat kolonial. Secara historis, daerah Timor dijajah oleh Indonesia. Sehingga, pembicaraan mengenai warga Timor selalu terwakilkan oleh Indonesia. Indonesia seolah-olah menjadi juru bicara bagi tanah jajahannya.
Pada film Sailum, Felix dan Moses ingin meretas permasalahan ini lebih jauh. Hal ini terbukti dengan statement Moses mengenai film ini. Moses merancang sebuah film dokumenter yang menekankan kepada subjektivitas reflektif. Felix, seorang Atoin Meto, bercerita mengenai dirinya sendiri. Penyusunan cerita reflektif menjadi kekuatan dari film ini untuk menimbulkan kedekatan yang mungkin juga akan dirasakan oleh penonton. Cerita tidak berasal dari angan-angan atau kisah ajaib, tapi Felix sendiri yang merasakan kesedihan saat ditinggal mati kakeknya, geram ketika sopi direduksi fungsinya, mengingatkan kembali akan nostalgia masa kecil dan lain sebagainya.
Sedangkan subjektivitas reflektif Moses beroperasi melalui pengambilan gambar olehnya. Moses juga adalah bagian dari komunitas adat Batak. Menurut Moses, terdapat banyak kemiripan antara Atoin Meto dan Batak. Mereka adalah masyarakat agraris yang pergi ke gereja dan memiliki budaya minum yang juga sama.
Akhirnya film ini terbebas dari kungkungan cara pandang penjajah yang diskriminatif terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki kesempatan untuk menceritakan tentang dirinya. Akses bagi mereka untuk mengenal diri sendiri terbuka selebar-lebarnya. Tabir kebenaran akhirnya tersingkap. Setidaknya, melalui film ini, tiidak ada lagi prasangka-prasangka buruk terhadap minuman alkohol tradisional dan masyarakat adat itu sendiri.
Artikel ini merupakan luaran dari lokakarya menulis kritik film yang diadakan Mania Cinema dan Sewon Screening dengan program Kelas Bunga Matahari pada 26-30 September 2023.
Sailum: Song of The Rusting Lives| 2023| Sutradara dan Produser: Felix K. Nesi, Moses Parlindungan Ompusunggu| Durasi: 29 Menit| Jenis Film: Dokumenter| Negara Produksi: Indonesia| Produksi: Atmakanta Studio untuk Project Multatuli
Seorang mahasiswa filsafat islam yang sedang berjuang keluar dari jerat kebosanan akademik. lebih suka baca novel ketimbang baca buku filsafat islam. kalau lagi bosen baca, biasanya nonton film. Tapi karena nonton film kelamaan, lebih seringnya dengerin musik
Leave a Reply