Intan Paramaditha : Perempuan dalam Imaji dan Realita Sinema.
Gender merupakan topik yang masih hangat untuk dibicarakan dalam berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali. Dalam ekosistem film sendiri bahkan terdapat teori film feminis yang muncul sejak perkembangan feminisme gelombang kedua yakni sekitar awal tahun 1970an. Teori ini digunakan untuk menganalisis film terutama dalam melihat bagaimana representasi perempuan di dalam film serta stereotip perempuan yang muncul setelah masyarakat menonton film tersebut. Seiring dengan munculnya teori ini, muncul pula berbagai organisasi perempuan dalam film.
Sebenarnya, hal ini tidak lepas dari fakta bahwa perempuan yang terlibat dalam industri film melalui berbagai peran seperti sutradara, produser, penulis, kritikus, programer festival, dan banyak posisi lainnya di industri film masih belum cukup terwakilkan. Dalam industri film hollywood sendiri ada istilah langit-langit seluloid (celluloid ceilling) yang mengacu pada kurangnya perwakilan perempuan dalam perekrutan dan pekerjaan di Hollywood.
Bagaimana pandangan dan kultur atas perempuan di industri film pada akhirnya akan mempengaruhi bagaiamana perempuan berperan dalam ekosistem perfilman, diantaranya dari segi karir, komunitas, serta sekolah film. Paritas perempuaan di ekosistem film terutama dalam hal kesempatan, pembayaran, serta representasi inilah yang masih diperjuangkan hingga hari ini. Setidaknya demikian yang dikutip dari salah satu organisasi yang mengupayakan kesetaraan dan transformasi kultur perempuan dalam film, yakni Woman In Film.
Lebih lanjut, kami melakukan wawancara bersama Intan Paramaditha dalam menggali peran dan permasalahan perempuan dalam film serta bagaimana kondisi film dan perempuan di Indonesia. Intan Paramaditha sendiri adalah seorang alumnus PhD dari kajian sinema di Universitas New York. Fokus studinya mengacu pada gender, seksualitas, politik dan budaya. Sekarang ia mengajar sebagai dosen di bidang kajian film dan media Universitas Macquarie, Sydney.
Simak wawancara kami berikut ini!
Pertama mungkin tentang hal yang paling mendasar dari ‘film dan perempuan’. Sejak kapan, sih, mbak, perempuan dinilai punya peran dalam film?
Kesadaran tentang pentingnya perspektif perempuan sebagai pembuat film menguat seiring dengan berkembangnya teori film feminis di tahun 1970an. Kritikus feminis seperti Laura Mulvey menunjuk bahwa film-film arus utama, dalam hal ini sinema Hollywood klasik, dibuat oleh laki-laki dan menjadikan perempuan sebagai obyek hasrat penonton laki-laki. Karena itu teori film feminis mempersoalkan masalah representasi dan mengadvokasi film-film yang dibuat oleh sutradara perempuan. Di Indonesia sendiri, sebelum reformasi, peran penting buat perempuan sangat terbatas,misalnya sebagai aktor. Munculnya sutradara dan produser perempuan bertepatan dengan keterbukaan wacana gender dan seksualitas di akhir 90-an, serta hadirnya generasi pembuat film baru yang lepas dari tradisi ‘nyantrik’ dengan sutradara senior laki-laki.
Frase ‘dinilai punya peran’ ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Sejak abad 20 sebenarnya perempuan
selalu punya peran. Editor The Man with the Movie Camera karya Dziga Vertov adalah perempuan. Tapi pertanyaannya: siapa yang menentukan nilai? Banyak sekali nama perempuan yang disingkirkan dan dianggap tidak penting dalam historiografi. Dalam beberapa dekade terakhir, peneliti sejarah dan pelaku arsip film berupaya untuk menelaah ulang perempuan-perempuan yang terhapus dari sejarah. Di negara-negara Selata, yang praktik penelitian dan pengarsipannya tidak banyak didukung pemerintah, ini masih menjadi tantangan besar.
Dilihat sudut pandang lain selain teknis, seberapa besar atau pentingnya perempuan berperan dalam membangun ekosistem perfilman?
Harus lebih banyak perempuan berada di posisi pengambil keputusan terkait arah estetika maupun
politik film, baik itu sebagai sutradara, penulis, atau produser. Secara estetika, banyak sutradara perempuan yang menyodorkan estetika feminis baru, merespon hubungan antara gambar dan kamera dari sudut pandang feminis. Sebagai contoh, lihat esai saya tentang Pasir Berbisik di Jump Cut.
Produser perempuan cenderung lebih awas dalam hal representasi gender dan seksualitas. Bagaimana perempuan
ditampilkan dalam film? Sebagai tokoh yang punya agensi atau pelengkap? Mereka juga lebih peka terhadap persoalan relasi kuasa. Apakah perempuan menempati posisi-posisi strategis, atau hanya di-admin-kan saja dalam proses pembuatan film? Beberapa produser, seperti Mira Lesmana, juga sangat berhati-hati soal potensi pelecehan seksual dan memastikan ada code of conduct yang melindungi perempuan. Memang tidak semua pekerja film perempuan mengidentifikasikan diri sebagai feminis. Tapi sulit sekali membayangkan keputusan diambil tanpa dipengaruhi oleh pengalaman, misalnya pengalaman dilecehkan, dianggap remeh, dianggap tidak kompeten, dijadikan obyek seksual. Perempuan yang tidak pernah mengalami semua ini mungkin sangat privileged.
Bagaimana gambaran-gambaran perempuan dalam film selama ini?
Di awal tahun 2000an banyak sekali hal baru dari segi bagaimana perempuan digambarkan. Pembuat film seperti Mira Lesmana, Nia Dinata, dan Nan Achnas menggugat obyektifikasi perempuan dengan menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan kompleks. Sayangnya saya lihat akhir-akhir ini justru obyektifikasi perempuan
dinormalisasi. Ini bisa kita lihat di film Dilan, yang buat saya sangat bermasalah karena glorifikasi maskulinitas militer di dalamnya. Di film itu, tokoh Milea seperti tak punya fungsi apa-apa selain menjadi obyek hasrat laki-laki,
dari yang sebaya sampai guru sekolah. Dia dipandang, ditimbang, dan diukur oleh orang di sekitarnya berdasarkan satu kriteria saja: cantik.
Di satu sisi, kita senang ada pembuat film feminis seperti Mouly Surya yang menghasilkan film
seperti Marlina. Film menyodorkan kritik tajam terhadap sistem patriarki dengan cara yang sangat segar, yaitu
merespon estetika genre Western. Tapi di sisi lain, penggambaran perempuan seperti dalam film Dilan juga makin banyak dan dianggap wajar. Belum lagi kerangka patriarki yang membingkai film-film Islami. Mungkin bisa dibilang kita melihat kemunduran dari segi wacana gender dalam film.
Bicara soal komoditas, apakah kebanyakan film hari ini masih sulit untuk lepas dari konsep “male gaze” sebagai upaya menarik penonton, mbak?
Ya, tentu saja. Contohnya ya tokoh Milea dalam film Dilan tadi. Nilai perempuan – baik itu pacar cantik seperti Milea, maupun tokoh ibu yang mengayomi – selalu diukur dari sudut pandang laki-laki, ‘kan?
Ada tidak, mbak, pengaruh dari perspektif sutradara atau penulis (skrip) perempuan terhadap karya-karya film yang dihasilkan?
Ya, tentu ada. Kita nggak akan punya film yang menyodorkan kritik terhadap poligami dari sudut pandang perempuan kalau tidak ada Berbagi Suami karya Nia Dinata. Kita nggak akan punya film yang bicara tentang kekerasan terhadap perempuan secara demikian subtil kalau tidak ada Pasir Berbisik karya Nan Achnas.
Kenapa, ya, mbak, bicara tentang film dan perempuan rasanya masih tabu untuk dibahas terutama di Indonesia? Mungkin belakangan ini mulai ramai dibahas. Tapi selama ini, kenapa masih kurang? Apa karena sumber daya manusianya?
Tabu menurut siapa? Kalau ada yang menganggap ini isu yang tabu, maka kita harus bertanya: mengapa penyingkiran isu perempuan berlangsung? Kepentingan siapa yang sedang diperjuangkan? Sejak tahun 2000-an sebetulnya selalu ada ruang membicarakan isu gender dalam film. Dulu bahkan ada Festival Film Perempuan. Tapi buat sebagian kalangan, isu ini masih dianggap tidak penting. Ini cara pandang yang mesti dibongkar.
Menurut Mbak Intan, bagaimana keberadaan perempuan dalam film di
Indonesia (yang mencakup semua lini)?
Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, setelah era reformasi, kita punya lebih banyak perempuan yang
menduduki posisi-posisi strategis dalam film. Sebelum itu, sejak tahun 1920-an, perempuan yang menjadi sutradara maupun produser bisa dihitung dengan jadi. Sekarang kita punya Mouly Surya, Kamila Andini, dan produser hebat seperti Meiske Taurisia, misalnya. Pengaruh perempuan di dunia film relatif lebih besar dibanding ranah seni lainnya, seperti teater misalnya. Meskipun ini cukup menjanjikan, tentu saja bias patriarkis masih ada.
Apa yang membuat Indonesia masih kekurangan sosok perempuan terutama
dalam lingkungan filmnya?
Sebetulnya yang menjadi masalah bukan soal kurangnya sosok perempuan, tapi apakah komunitas film dapat
menciptakan lingkungan yang menumbuhkan dan juga aman buat perempuan. Dari Lisabona Rahman dan kawan-kawan, kita tahu pelecehan dan kekerasan seksual masih terjadi di komunitas film. Ini sebabnya mereka bikin kampanye #sinematikgakharustoxic. Selain itu, bias respon atas karya sutradara perempuan kadang sangat berbeda dengan karya sutradara laki-laki. Film Marlina misalnya, meskipun dikagumi banyak orang, menuai kritikan pedas karena banyak orang yang merasa terganggu dengan representasi perlawanan perempuan lewat imaji pemenggalan
kepala.
Menurut Mbak Intan, apa tantangan atau kendala utama perempuan untuk survive dalam ekosistem film ini? Baik nilai-nilai penggambaran yang dimuat dalam karya film maupun dari segi peran perempuan secara teknis?
Keberlangsungan adalah salah satu tantangan. Biasanya, dampak interupsi karier karena punya anak cenderung lebih besar dialami perempuan. Setelah punya anak, sulit sekali buat perempuan untuk kembali ke jalannya dengan mulus, business as usual. Ada sih beberapa perempuan yang tidak mengalami ini, tapi biasanya mereka punya privilege tertentu, misalnya punya keluarga yang bersikap terbuka dan memiliki segala macam infrastruktur ekonomi dan sosial. Kita butuh grant untuk pembuat film perempuan untuk survive secara ekonomi, juga untuk mendorong dia belajar lebih banyak lagi agar karyanya lebih tajam.
Terakhir, kalau boleh kasih saran atau pesan, dong, mbak untuk jadi penyemangat perempuan dalam berkarir di industri film.
Buat saya, di bidang film atau seni lainnya, yang terpenting adalah semangat mempertanyakan tatanan. Kalau
lingkungan kreatif bikin gak semangat atau malah toxic dan mengancam, pertanyakan kenapa kita harus kompromi, lalu cari sekutu dan coba ubah kondisi itu.
(Wawancara ini pernah diunggah di akun Instagram Maniacinema, Mei 2020)
Desain oleh : Hotman Nasution
Alumni jurusan Ilmu Komunikasi yang di tengah kegiatannya sedikit-sedikit nonton, tapi nontonnya sedikit-sedikit.
Leave a Reply