Mania Cinema

Adrian Jonathan : Melihat Lanskap Luas dari Perspektif Kritik Film.

Saya sedikit kesal ketika teman-teman saya melontarkan ledekan “Emangnya kritik film itu gunanya apa sih?”. Ingin saya cabik-cabik mukanya, namun tentu saya urungkan niat itu.
Sepertinya sudah menjadi hal umum bahwa kritik film kurang diminati di Indonesia. Hal ini bisa dilihat ketika ada lokakarya membuat film dan mengkritik film, tentu lokakarya mengkritik film akan jauh lebih sedikit ketimbang membuat film. Atau sederhananya, ketika saya minta untuk anda menyebutkan pembuat film Indonesia, tentu anda akan lancar menyebutkan nama besar seperti : Joko Anwar, Mouly Surya, Hanung Bramantyo atau yang lebih senior, Garin Nugroho.

Namun, Ketika saya meminta anda untuk menyebutkan nama-nama kritikus film Indonesia, tentu
nama besar seperti : Permata Adinda, Afrian Purnama, Eric Sasono, Intan Paramaditha atau yang lebih senior seperti JB Kristanto tidak ada di pikiran anda. Hal ini membuat saya bingung dan mempertanyakan mengapa kritik film di Indonesia kurang diminati? Padahal jika ditilik lagi, kritik film berperan penting dalam ekosistem perfilman. Karena saya ingin menggugurkan rasa
penasaran saya, saya mengajak Adrian Jonathan untuk membahas kritik film dalam spektrum yang lebih luas mencakupi ekosistem, literasi dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Adrian Jonathan sendiri adalah salah satu pendiri Cinema Poetica—kolektif kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film yang berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan tentang sinema untuk publik.  Dari 2007 sampai 2010, mondar-mandir sebagai pengurus program di Kinoki, bioskop alternatif di Yogyakarta. Sempat terlibat di filmindonesia.or.id sebagai anggota redaksi, Festival Film Solo sebagai kurator, dan Berlinale Talent Campus 2013 sebagai kritikus film. Saat ini aktif menulis dan meneliti tentang perfilman Indonesia, serta mengadakan lokakarya kritik film di berbagai kota.

Simak wawancara Mania Cinema bersama Adrian Jonathan berikut !

Mulai dari pertanyaan paling fundamental, Apa itu kritik film?  Soalnya masih banyak yang salah paham mengenai kritik film.

Aku pribadi sebenarnya tak yakin apakah jawaban aku benar atau tidak. Aku juga masih belajar, sih. Tapi dari yang aku baca dan hasil diskusi teman-teman forum lenteng, cinema poetica, rumah film dan yang lain, akhirnya semuanya punya tafsirnya sendiri mengenai apa itu kritik film. Jadi, pada akhirnya aku selalu mencoba mengulik pada posisi pengkritiknya sendiri dalam melihat pijakan atau perspektifnya dalam mengkritik.

Jika kita lihat secara umum, kritik film adalah tanggapan terhadap suatu film melalui tahap intepretasi dan evaluasi. Itu masih umum banget ya, kalau misal kita lihat di beberapa buku kajian film, salah satu contohnya dari filsuf Stanley Cavell yang bilang bahwa kritik itu adalah upaya manusia untuk membagi pleasure. Ketika membagikan pleasure, setidaknya ada 3 aspek yang terjadi : aspek testimonial, aspek retorikal dan aspek evidensial/pembuktian. Pendapat Stanley Cavell mengenai ini aku banyak yang setuju. Tapi, kalau aku baca dan teliti lagi, manusia pada umumnya memiliki hal yang berbeda dalam  menganggap pleasure/ kesenangan
tersebut.

Tiap manusia memiliki perbedaan kebutuhan yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial, kelas,
geografis dan lain-lain. Apa yang dianggap pleasure oleh masyarakat kelas menengah kebawah tentu berbeda dengan pleasure oleh masyarakat kelas menengah keatas. Itu baru kalau kita bicara soal menonton film sebagai pleasure, belum soal kebutuhan menonton film yang lain seperti untuk terapi, fandom, dan lain-lain. Ketika mengetahui bahwa kebutuhan orang terhadap film itu
beragam, aku  menyimpulkan bahwa kritik film itu adalah uji kelayakan. Dan nilai “kelayakan” ini berhubungan erat dengan kebutuhan kita sebagai manusia, karena kebutuhan bisa menentukan nilai layak kita terhadap suatu film.

Nilai kebutuhan ini cukup kuat kaitannya dengan perspektif kita dalam mengkritik sebuah film. Mengkritik film sebagai kebutuhan pengisi waktu tentu akan berbeda dengan mengkritik film
sebagai produk pengetahuan. Aku bisa mengambil kesimpulan bahwa kritik film madalah uji kelayakan yang memiliki metode dan standarnya sendiri, di mana standarnya di sini setidaknya berhubungan erat dengan kebutuhan kita terhadap film.

Jadi, apakah kritik film itu penting? Jika penting, seberapa penting kah?

Tergantung penting untuk apa dulu nih, haha. Karena kepentingan itu sendiri ada ranah tertentu. Secara personal, kritik film penting untuk menajamkan tanggapan kita terhadap suatu film. Kritik sebenarnya cara yang bagus untuk memetakan respon kita terhadap suatu film. Misalnya ketika aku menonton The Act Of Killing (2012) aku merasa terganggu, dan perasaan yang membuat aku terganggu ini kemudian bisa dielaborasi lagi dengan pertanyaan “mengapa sih aku merasa terganggu oleh film ini?”, “di adegan mana yang buat terganggu?”. Dengan begitu aku dapat menajamkan respon terganggu-ku terhadap film tersebut, dari cara-cara sederhana ini dapat diketahui kenapa aku merasa terganggu oleh film tersebut.

Di sisi lain, seringkali aku menjumpai orang yang menyukaisebuah film, mengatakan bahwa  film yang ia tonton bagus, tapi pas ditanya kenapa dia suka dan dimana letak bagusnya film itu, dia kesulitan untuk menjawab. Nah, fungsi kritik film di ranah personal adalah bagaimana gagasan dan respon kita terhadap film bisa ditajamkan lagi dan memiliki landasan jelas.  Kalau dalam ranah komunal atau masyarakat banyak, kritik film bisa mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat.

Hal ini bisa dilihat saat film Tilik (2018) digemari banyak orang. Satu hal yang aku baca terhadap kejadian tersebut adalah kerinduan masyarakat akan kedekatan cerita yang jarang
terjadi dalam khazanah sinema Indonesia. Orang-orang menganggap bahwa realitaibu-ibu naik  truk adalah hal yang dekat dengan mereka, tampaknya hal itu yang menghubungkan mereka dengan film tersebut. Dapat dilihat juga dari tanggapan penonton bahwa mereka gagap menghadapi ketimpangan kota dan desa. Jadi ya kritik film penting untuk melihat cerminan sesungguhnya dari suatu masyarakat dalam menanggapi suatu peristiwa yang ada.

Selain menjadi cerminan suatu masyrakat, kritik film juga berfungsi menjadi suatu catatan sejarah. Jika membahas sejarah, ia tak hanya berkutat pada preservasi film secara fisik. Tetapi sejarah juga membahas bagaimana respon atau gagasan masyarakat mengenai sesuatu hal pada zaman tertentu. Di era pandemi ini aku cukup sering mengulik dan membeli Koran-koran lama yang berasal dari zaman kolonial dan membaca ulasan filmnya. Aku menemukan bahwa di era itu, film yang dianggap ‘layak’ adalah film yang membahasakan ‘Indonesia’, sangat nasionalistik ketika secara konsep tidak ada negara ‘Indonesia’, yang ada Hindia Belanda.

Bisa dilihat bahwa era tersebut memiliki pijakan kritik film politis yang pada tahun 40-50an
sudah berbeda pijakannya, begitu juga dengan tahun selanjutnya. Apalagi di era internet sekarang, pijakan  terhadap kelayakannya udah beda dan beragam banget. Itu semua kan disimpan dalam Koran, kliping, video, tulisan dan lain-lain. Ini jadi salah satu akses untuk mengetahui sejarah berpikir masyarakat.

Jika membahas soal kritik film dalam
perspektif yang luas, maka kita akan membahas soal “Ekosistem”. Menurut Adrian
sendiri, apa itu Ekosistem film?

Kita bisa mulai membedahnya dari kata “Ekosistem”. Kalau dari istilah ilmu biologi, Ekosistem adalah bagaimana suatu lingkungan dianggap sebagai suatu entitas yang terdiri dari banyak komponen, yang interaksinya membentuk sebuah kelanggengan atau keberlangsungan di dalam lingkungan itu sendiri. Jika kita mengadopsi cara berpikir ini ke kebudayaan, maka kurang lebih cara kerjanya akan sama. Salah satu produk kebudayaan yaitu film, bisa dilihat dari cara pikir yang sama. Film terdiri dari beberapa komponen dan pelaku yang interaksinya memiliki dampak
terhadap kelangsungan film itu sendiri. Dampak yang paling mudah dilihat adalah dampak  materil. Hasil dari dampak ini berupa produksi, distribusi, dan eksebisi. Dampak materil itu sendiri adalah hal utama di suatu ekosistem film. Pada umumnya, dampak ini bersifat terukur dan bisa dihitung dengan angka atau statistik. Contohnya seperti jumlah film yang beredar di bioskop, jumlah film yang diproduksi, jumlah tiket bioskop yang terjual pada tahun tertentu dan lain-lain.

Namun, film tidak hanya dinilai dalam sifat materil nan terukur, ia juga bersifat abstrak nan immateril yang nilainya tidak bisa diukur. Contoh sederhananya ketika kamu menonton film dan merasa sedih, apakah kesedihanmu bisa diukur dalam rupiah atau jumlah lainnya? Atau ketika kamu menonton film Mother Dao,the Turtlelike (1995) yang sarat akan pengetahuan mengenai Indonesia di zaman kolonial, apakah nilai pengetahuan itu bisa diukur dalam jumlah rupiah atau
jumlah lainnya? Tentu jawabannya adalah tidak, karena pengetahuan dan emosi adalah dua hal kompleks yang tidak bisa dinilai dalam angka dan statistik. Jika kita mempertimbangkan hal bersifat immaterial seperti arsip, apresiasi dan pendidikan dalam suatu ekosistem film, maka perspektifnya akan luas dan menyeluruh. Jika ke-enam aspek ini, yaitu : produksi, distribusi, eksebisi, apresiasi, pendidikan dan pengarsipan berjalan dengan baik, maka ekosistem film
pun akan berlangsung dengan baik pula.

Ini baru mengenai ekosistem perfilman, yang mana ekosistem perfilman sendiri tidak berdiri
tunggal, ia merupakan bagian dari ekosistem yang lain. Contohnya, ekosistem film adalah bagian dari ekosistem transportasi publik. Karena tanpa ada sistem transportasi yang baik, orang-orang tidak mudah mengakses ke bioskop. Aku pernah buat riset soal ini di tahun 2015-2016an yang membahas bagaimana ketimpangan penonton di daerah Jabodetabek. Kendatipun, hal ini terjadi sebelum maraknya OTT seperti Netflix dan lainnya menjamur di layar gawai kita, ini merupakan sebuah fakta yang pernah terjadi. Di saat itu, 80 % orang menggunakan kendaraan pribadi untuk mengakses bioskop. Tidak heran akhirnya terjadi ketimpangan penonton, karena kebanyakan bioskop di negara ini dirancang dengan logika untuk orang yang memiliki kendaraan pribadi. Saat itu, sedikit sekali bioskop yang langsung terhubung dengan stasiun kereta atau bis. Jadi, tidak heran kenapa saat itu penonton film Indonesia terbilang sedikit karena akses transportasi ke bioskop yang tidak merata. Ini baru bicara mengenai pengaruh ekosistem perfilman ke ekosistem transportasi publik, belum lagi yang lain. Ekosistem film memiliki lapisan sistem yang cukup kompleks dan berkelindan ke ekosistem lainnya.

Apa peran kritik film dalam ekosistem film?

Dari perspektif umum, aku bisa baca dua hal tentang peran kritik film terhadap ekosistem film.
Pertama, ia bisa menjadi tanggapan atau reaksi publik terhadap film. Hal ini tentu erat kaitannya dengan bagiamana publik menerima suatu film. Reaksi penonton bisa berfungsi sebagai dua hal : pertama, ia bisa menjadi evaluasi terhadap pembuat film. Bahan evaluasi ini bisa menjadi gambaran bagi pembuat film tentang bagaimana anggapan publik terhadap filmnya. Entah akhirnya pembuat film itu menerima atau menolak tanggapan tersebut, ia tetap menjadi bahan evaluasi atas reaksi publik terhadap filmnya.

Kedua, seperti yang sudah ku sebut tadi, ia bisa menjadi cerminan bagaimana masyrakat merespon terhadap suatu peristiwa. Meminjam istilah dari J.B Kristanto yang berkata bahwa kritik film adalah sebuah “pertukaran pengalaman”. Setiap penonton atau kritikus pasti memiliki tafsirnya sendiri terhadap suatu film. Karena kritik film adalah menukarkan pengalaman menonton kita terhadap orang lain, dengan cara yang tidak langsung kita sudah berinteraksi melalui kritik tersbeut. Aku jadi ingat perkataan Guy Debord, ia berkata bahwa “Tontonan adalah relasi sosial antar berbagai orang, yang dimediasi oleh gambar/image”.

Nah, aku rasa kritik film cara kerjanya seperti itu juga, ia merupakan interaksi dari satu individu ke individu lainnya dalam bentuk tulisan atau pertukaran gagasan. Mengenai pertukaran gagasan, kita akan bicara bagaimana masyarakat menerima atau terbuka terhadap gagasan baru akan standar kelayakan yang berbeda. Jika misalnya, masyarakat kita terbuka akan standar-standar kelayakan baru dan berbeda, aku rasa akan menjadikan kita masyarakat yang lebih demokratis.

Aku cukup khawatir ketika melihat bagaimana respon masyarakat terhadap standar kelayakan yang berbeda pada kasus film Tilik (2018) kemarin yang terlihat sangat fasis.Dalam menghadapi perbedaan standar kelayakan atau gagasan, harus dihadapi dengan santai,sih, tak perlu bertindak fasis seperti itu. Perbedaan standar kelayakan atau gagasan itu normal dan tidak apa-apa untuk diperdebatkan, tapi tentu dengan cara yang santai dan tidak fasis. Di sini, kritik film juga penting
untuk “labaratorium” kebersamaan kita dalam menghadapi reaksi penonton yang berbeda-beda.

Kedua, kritik film penting di ekosistem film sebagai perspektif penonton. Dalam ekosistem
film, Kritik berada di irisan antara pendidikan dan apresiasi. Kritik film memang merupakan tanggapan subjektif namun ia juga memiliki metodologi yang sudah terverifikasi oleh ilmu pengetahuan. Dua elemen ini yang membuat kritik film berfungsi untuk menantang atau menguji kembali pendapat atau subjektivitas penonton terhadap segala estetika, pengelolaan gambar dan tutur yang ada pada film. Sehingga, tercipta sebuah perspektif penonton dari hasil pengujian
terhadap subjektivitas tadi.

Sayangnya, hal ini belum terlalu banyak dibahas di Indonesia mengingat kurikulum pendidikan Indonesia yang masih berada dalam ranah sempit. Kurikulum pendidikan di Indonesia mengukur literasi hanya sampai tahap baca-tulis, jika kamu sudah bisa membaca dan tulis, kamu disebut sudah berliterasi. Namun, aku rasa itu belum cukup mengingat medium audio visual yang kian mudah diakses. Aku rasa literasi akan audio visual harus ada. Karena audio visual memiliki cara
kerja sendiri dalam memahami makna dari suatu gambar dan suara. Ini kalau kita bicara pada urusan politik yang lebih luas. Namun, perspektif penonton berhubungan dengan bagaimana cara mereka memahami suatu olahan gambar.

Ekosistem perfilman kian berkembang dan beberapa daerah di luar Jakarta sudah mengembangkan ekosistem film di daerahnya sendiri. Apakah kritik film penting dalam spektrum suatu daerah?

Aku rasa tetap penting, karena melihat produksi audio-visual oleh masyarakat di luar Jakarta
semakin pesat. Produk audio visual dari luar Jakarta seperti serial web, film atau film pendek cukup banyak diproduksi beberapa tahun belakangan ini. Contohnya, perfilman Makassar yang beberapa tahun belakang cukup pesat produksinya. Belakangan ini mereka merilis film “Jalangkote Rasa Keju” yang sangat kental dengan budaya Makasar. Karena maraknya produksi audio-visual tersebut, seharusnya ada mediator atau penengah antara masyarakat dan pembuat
film. Kritik film penting untuk menjadi mediator dalam merespon cerminan realitas yang hadir dalam produk audio-visual tersebut.

Contoh kasusnya di ekosistem film Yogyakarta yang cukup pesat. Kritik film penting untuk
mempertanyakan dan menguji lebih dalam mengenai cerminan akan realitas dari masyarakat Yogyakarta. Apakah masih relevan memandang Yogyakarta dalam perspektif angkringan, rindu, dan kenangan? Padahal realitanya, misalnya, ada ketimpangan yang terjadi di Yogyakarta. Nah, di sini peran kritikus film jadi penting untuk menguji kembali akan cerminan realitas yang ada di Yogyakarta tersebut. Hal serupa juga berlaku untuk daerah lain, kendati metodologinya berbeda.

Bagaimana kondisi kritik film di perfilman Indonesia saat ini?

Mulai merangkak dan nampak geliatnya sih, kalau menurutku. Apabila dibandingkan dengan dulu, saat aku baru mengembangkan Cinema Poetica dengan beberapa temanku, itu masih
sedikit sekali. Mungkin sejumlah media internet yang bisa disebut seperti Jurnal Footage dan Layar Perak. Itupun tidak berapa lama kemudian, situs Layar Perak sudah tidak aktif. Kalau di sisi akademisi ada Jurnal Imaji dari Institut Kesenian Jakarta atau Cleo dari Yogyakarta. Lebih dari itu, dari sisi media cetak dipegang oleh Kompas dan Tempo.  Bisa dibayangkan betapa sepi skena kritik film pada saat itu. Kalau sekarang sih udah lumayan beragam, dari lintas medium dan lintas latar belakang. Publik pun mudah untuk menulis ulasan film di akun blog pribadi dan media sosial lainnya. Dari media seperti Tirto dan Kumparan cukup aktif dalam menulis ulasan film. Dan aku senang ketika ada kritik film yang menggunakan perspektif atau kebutuhan dari kelompok tertentu.

Contohnya ada Arisan  Newsletter yang menggunakan perspektif gender perempuan dalam kritik filmnya. Atau, ada teman-teman dari Aceh dan Padang yang menggunakan perspektif kotanya
terhadap kritik filmnya. Meski begitu, fakta bahwa substansi dari kritik tersebut harus dievaluasi dan diperbaiki tidak bisa kita tampik. Masih banyak sekali ulasan film di blog pribadi yang
belum terstruktur dengan benar. Cinema Poetica pun juga perlu mengevaluasi substansi dari apa yang dikritisi di situs tersebut. Namun ini jadi tanggung jawab bersama untuk terus menguji dan mengevaluasi ketajaman analisa kritik film setiap individu dan kelompok.

Jika membahas kritik film, maka kita juga akan memabahs soal literasi film. Apa itu literasi film?

Simpelnya, Literasi film adalah kemampuan dalam memproses informasi lewat medium audio-
visual. Nah, kalau aku elaborasi lagi, apa sih yang dianggap sebagai Informasi? Apakah hanya yang diungkapkan secara tulisan atau oral saja yang bisa disebut informasi?  Di Indonesia, cukup rumit  membicarakan soal literasi film. Karena, apa yang dianggap informasi oleh masyarakat umum  masih sebatas apa yang bisa dilihat, padahal informasi tidak hanya terbatas pada penglihatan inderawi.

Contohnya, ketika suatu film dirubah gambar dan suaranya, maka akan menciptakan informasi yang baru.  Informasi baru ini akan mengubah makna dari film aslinya. Penjabaran ini menjelaskan bahwa film atau medium audio visual dapat dimanipulasi dan menghasilkan informasi baru. Masyarakat Indonesia masih gagap memproses informasi seperti ini. Masyarakat masih menganggap bahwa apa yang terlihat secara empiris adalah informasi yang benar. Sehingga masyarakat belum bisa melihat lebih luas dari segi konteks dan hal yang mendukung informasi tersebut.

Bagaimana peran Kritik Film terhadap literasi film?

Tentunya sangat berperan. Seperti yang sudah disebutkan tadi, salah satu fungsi kritik film adalah mencoba untuk membagi interpretasi atau tanggapan penulis akan suatu film. Dalam penulisan kritik film yang baik, penulis diminta untuk tidak hanya menjabarkan apa yang tampil di dalam layar, tetapi juga diminta untuk menjabarkan apa yang tidak tampil di layar yang berupa konteks film.

Contohnya bisa dihilat di tulisan Raksa Santana soal serial The Queen’s Gambit (2020). Di tulisan tersebut, Raksa tidak hanya menjabarkan apa yang terjadi di layar ;orang-orang bermain catur. Namun, ia juga menjabarkan apa yang tidak ada di layar berupa konteks film. Konteks film tentang bagaimana upaya Beth Harmon untuk membela keberpihakan hak kelompok terpinggirkan, relasi sejarah perang dingin dan lain-lain. Literasi film hadir saat bagaimana menjaga koherensi antara apa yang ada di layar dan tidak ada di layar bisa menjadi suatu kritik argumen yang utuh. Jadi ya saling berkelindan satu sama lain.

Apa relasi dari kritikus film dan pembuat
film?

Aku rasa kritikus dan pembuat film itu bagaikan saudara kandung. Mereka lahir dari rahim
yang sama, yaitu film. Sebagai anak, tentunya kritikus dan pembuat film harus memahami Ibu mereka. Pemahaman akan film ini, tertuang dalam bentuk literasi film. Tentunya, kritikus dan pembuat film harus mempelajari cara kerja dari literasi film. Hal yang menjadi perbedaan antara kritikus dan pembuat film hanya pada metodologi dan hasil akhirnya.

Jika pembuat film memiliki metode membuat film, kritikus film memiliki metode untuk merespon film tersebut. Dan jika hasil akhir pembuat film berupa tayangan atau film, kritikus film berupa ulasan, esai yang mediumnya bisa lewat siniar atau tulisan. Hal yang agak
konyol adalah ketika ada orang yang menganggap bahwa salah satu dari pekerjaan tersebut lebih superior dari satu sama yang lain. Padahal, baik kritikus film maupun pembuat film lahir dari titik pijak yang sama, jalan hidupnya saja yang berbeda.

Mengapa jumlah peminat kritik film lebih sedikit?

Masalah utamanya mungkin di unsur materialitasnya. Jika dibandingkan dengan membuat film, apa yang kamu investasikan dengan apa yang kamu hasilkan, hasilnya nampak dan jelas. Kamu belajar tata kamera, tata suara, naskah dan lain-lain menghasilkan sebuah produk film berbentuk film seluloid atau hardisk. Kalau kritik film, proses investasinya sedikit abstrak. Kamu menonton
ratusan film dan membaca beberapa buku hanya untuk satu tulisan, logika matematika dan hasil materialnya tidak jelas.

Belum lagi, melihat bagaimana negara ini tidak terlalu menghargai produk-produk intelektual seperti kritik film. Dan masyarakat Indonesia yang tidak gemar membaca dan menganggap bahwa kegiatan menulis tidak membutuhkan usaha yang lebih. Padahal, investasi dalam menulis
kritik film itu cukup banyak dan kompleks. Hal ini membuat lingkaran pengetahuan lainnya seperti jurnalistik dan akademik juga sedikit sulit untuk berkembang. Padahal, di Indonesia, kritik film berada pada dua ranah itu, media dan publikasi ilmiah.

Selain itu, perfilman Indonesia pernah mengalami krisis produksi pada tahun 1960-an dan
1990-an. Hal ini membuat kegiatan kritik film sangat sepi karena film yang ingin dikritisi pun jumlahnya hanya segelintir. Wajar kemudian jumlah atau minat terhadap kritik film sedikit, karena diskusi akan film Indonesia itu hanya sedikit. Perfilman Indonesia baru mulai stabil di tahun 2005. Baru mulai beberapa tahun belakangan aku rasa kegiatan kritik film mulai diminati oleh publik, itupun setelah beberapa tahun kondisi perfilman stabil.

Kritik film di Indonesia berupa 50 persen aktivisme dan 50 persen hobi. Hanya sangat segelintir dari ranah professional atau bahkan menganggap kritik film sebagai mata pencaharian. Beberapa nama dari ranah professional mungkin mba Leila Chudori dari Tempo dan Aulia Adam dari Tirto. Mereka pun terdaftar sebagai jurnalis, bukan kritikus film. Kritik film di Indonesia hampir tidak memiliki nilai komersil. Aku sendiri kaget saat aku menulis untuk Criterion dibayar
sepuluh kali lipat ketimbang media besar di Indonesia. Padahal tulisan yang aku buat untuk Criterion, usaha dan investasinya sama ketika aku menulis untuk Cinema poetica atau media lainnya. Dari sini bisa terlihat bagaimana kejomplangan valuasi akan kritik film di dua negara ini.

Aku tidak ingin membandingkan, hanya saja aku ingin memberi contoh bahwa bagaimana negara lain menghargai pekerjaan menulis kritik film. Hal ini membuat kritik film tidak
dianggap berkelanjutan secara finansial oleh kebanyakan orang. Intinya, matrealistik yang abstrak, kurang dihargai kritik sebagai produk intelektual, latar belakang historis akan krisis film dan ketidakjelasan akan keberlanjutan finansial adalah beberapa alasan mengapa kritik film kurang diminati.

Bagaimana menciptakan ekosistem film dan
literasi film yang sehat?

Kalau membicarakan ekosistem yang sehat, sebenarnya kita harus merujuk ke ranah pendidikan, khususnya pendidikan audio-visual. Kalau misalnya masyarakat sudah terdidik dengan baik dengan pengetahuan akan literasi audio-visual yang mumpuni sejak dini, Maka akan menghasilkan penonton film yang kritis dengan argumennya. Dengan begitu, tanggapan penonton akan jauh lebih kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan. Pembuat film pun akan diuntungkan dengan tanggapan atau respon yang kredibel terhadap filmnya. Memang, kedengaran utopis. Namun, jika kita ingin mengambil langkah yang lebih realistis, bisa mulai dari membangkitkan solidaritas kita sesama dari ranah komunitas, industri atau apapun itu.

Solidaritas yang dimaksud adalah bagaimana di dalam suatu komunitas, industri atau yang lain
bisa saling berbagi pengetahuan akan film. Hal yang bisa dicontoh, dari teman-teman komunitas Forum Lenteng yang membuat program “DVD Untuk Semua”. Di program ini, Forum Lenteng mengalihbasahakan film-film penting dari penjuru dunia ke subteks Bahasa Indonesia. Hal ini penting untuk distribusi pengetahuan yang lebih luas lagi agar tidak menimbulkan ketidakmerataan pengetahuan film. Atau yang lain, upaya aku dan teman-teman Cinema Poetica dalam menerjemahkan artikel film di dalam rubrik terjemahan. Distribusi pengetahuan film itu cukup penting, sayangnya negara tidak terlalu acuh akan hal tersebut.

Berharap sama negara tidak ada habisnya. Hal paling maksimal yang bisa kita lakukan adalah menggunakan privilege yang kita punya. Dengan privilege inilah kita manfaatkan menjadi
sebuah karya, dan karya tersebut bisa diakses oleh banyak orang. Itu dulu sih yang bisa kita lakukan selain solidaritas komunal yang tadi sudah disebut. Ya, intinya, berusaha dengan apa yang bisa diusahakan.

Desain oleh : Hotman Nasution

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top