Mania Cinema

Antara Sekop, Telepon dan Kasir Kelontong: 10 Pilihan Film Tentang Pekerja

Bicara soal buruh, saya menolak mentah-mentah definisi buruh yang semata-mata berkonotasi sebagai pekerja kasar yang lebih menggunakan tenaga (otot) ketimbang kemampuan intelektual (otak). Zaman telah berubah, kawand. Tatanan sosial telah berakselerasi, sistem feodalisme sudah berganti menjadi kapitalisme, revolusi fisik bertransisi menjadi perang tagar dalam kicauan Twitter, sementara filsuf seperti Karl Marx dan Friedrich Engels yang telah tiada mendapatkan pewaris layaknya dengan kemunculan tokoh-tokoh cendekiawan baru seperti Fiersa Besari dan Raden Rauf. Maka pendefinisian buruh juga mengalami pergeseran, tak lagi sesempit sebelumnya yang hanya diidentikkan dengan “pekerja kasar”.

Garis demarkasi antara pekerja kerah biru dan pekerja kerah putih semakin kabur. Semua orang yang bekerja di sektor swasta dan mendapatkan upah, baik pada perorangan maupun lembaga tertentu, secara de facto, adalah seorang buruh. Seorang staff yang berbusana rapih dan bekerja di ruangan ber-AC dalam sebuah gedung perkantoran di wilayah Metropolitan hanyalah versi lain dari seorang kuli bangunan yang bekerja sembari menahan teriknya matahari di kawasan kota kabupaten. Kendatipun kontras, hubungan mereka sama-sama dapat dimaknai secara horisontal. Sekalipun kegiatan kerja dan nominal upahnya tak sama, secara status, baik pekerja kasar ataupun pekerja profesional, mereka adalah buruh. Undang-undang (yang sejujurnya saya lupa UU mana) sudah membunyikan landasan definitif: “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun”. Hanya saja, karena kata “buruh” mengalami makna peyoratif dan cenderung merujuk pada golongan yang selalu ditekan di bawah pihak lain (majikan), maka istilah ini kemudian diupayakan untuk diganti dengan sebutan “pekerja”, hingga kemudian kian diameliorasi dengan sebutan karyawan, profesional, freelancer, mitra, dan sejenisnya yang, sebetulnya mah, hanyalah alternatif nama lain dari “buruh” saja.

Mereka sama-sama diperah, dieksploitasi, sama-sama mesti tunduk pada pemegang otoritas tertinggi demi kesepakatan kompensasi (upah), yang kerap kali mencederai banyak hal dalam kehidupannya. Belum lagi jika berurusan dengan iklim kerja yang toksik, desakan kebutuhan materi di zaman neolib yang tidak sebanding dengan kondisi finansial, terjebak dalam kemiskinan struktural, dan tetek-bengek lainnya yang bisa-bisa membentuk sebuah mozaik dalam mengartikan beraneka macam kepiluan yang menyertai para pekerja di tengah cengkeraman borjuasi. Urgensi tersebut, tak jarang dimanifestasikan lewat medium film yang dari hari ke hari semakin membuang sikap malu-malu kucing untuk merespons persoalan aktual yang kian kompleks ini — baik secara tersirat ataupun tersurat. Bagaimana tuntutan dunia kerja mengorbankan banyak hal; termasuk cinta, hingga sikap penguasa yang terlalu blagak budeg untuk mendengarkan aspirasi pekerjanya, berikut kami merangkum film-film yang dapat kalian tonton di hari buruh yang fitri ini. Tidak semuanya spesifik mempersoalkan kehidupan buruh, namun setidaknya dapat membuat kita menyelami dunia kerja yang tak kenal kompromi, syukur-syukur cukup mampu mengobarkan semangat kita untuk berteriak “persenjatai buruh dan tani”.

Turah (2017) – Wicaksono Wisnu Legowo

image

Andai berbentuk syair, Turah adalah elegi yang meratapi keputusasaan akan kemiskinan absolut. Jika dimaknai secara historis, Turah bisa jadi cerminan ketegangan akar rumput masyarakat Jawa pada era 1960-an (yang kemudian diakhiri dengan bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern pada tahun 1965-1966: G30S PKI). Lebih dari segalanya, Turah adalah potret nyata ketimpangan kelas dan kemiskinan struktural yang tak berkesudahan. Bagaimana kerja-kerja eksploitatif bukan dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan napas pada suatu ekosistem, namun kerap menjadi modus penundukan sekaligus penindasan terhadap orang-orang yang lemah, dan hal demikian telah diyakini sebagai keniscayaan. Letaknya di Kampung Tirang, lingkungan yang berdiri di atas tanah timbul di pesisir pantai utara Tegal, diisi oleh wajah-wajah masyarakat pinggiran yang diselimuti asap kemiskinan selama bertahun-tahun lamanya mengabdi kepada juragan Darso — sosok yang mengklaim Kampung Tirang miliknya dan mempekerjakan warga sekitarnya sebagai buruh/budak. Ritus ekonomi yang kelewat batas dan nasib yang tak kunjung mengalami perubahan kemudian membiakkan gejolak amarah dan upaya penentangan kepada sang tuan tanah; meskipun belum tentu menang, yang penting sudi melawan.

Modern Times (1936) – Charlie Chaplin

image

Tiada henti-hentinya saya menyanjung sosok Charlie Chaplin. Karyanya senantiasa humanis sekaligus politis: bukan hanya menyentuh realitas sosial yang problematis lewat kemiskinan sebagai sorotannya, namun juga seakanakan meninju penguasa bajingan secara bertubi-tubi. Background-nya yang berasal dari kalangan bawah seolah memberikannya legitimasi untuk berpihak pada perjuangan rakyat kecil yang identik dengan kelas pekerja dan buruh. Modern Times adalah salah satu dari sekian pretelan Chaplin mengenai isu kelas. Sekuens pembukanya saja sungguhlah superior, memperlihatkan ritme kerja yang beringas di sebuah pabrik manufaktur ketika manusia (buruh) diharuskan untuk sinkron mengimbangi kecepatan mesin pabrik yang berkali-kali dipercepat demi melaju produktivitas. Tekanan kerja tersebut, kemudian diolah menjadi punchline menyegarkan dalam adegan berikutnya manakala Tramp (karakter yang diperankan Chaplin) mendadak hiperaktif selayaknya orang kesurupan dan menciptakan kekacauan pada seisi pabrik. Menyaksikannya, saya merasa berdosa telah melampiaskan gelak tawa yang sangat kencang.

In the Mood for Love (2000) – Wong Kar-wai

image

Berlatarkan Hong Kong pada dekade 1960-an, masa ketika industrialisasi berjalan sedemikian masif, Wong Kar-wai menggagas kisah romansa yang terjalin di antara dua tetangga lewat kesadaran modernitas yang kuat. Memang, In the Mood for Love berpusat pada keanggunan asmara platonik di antara Mr. Chow (Tony Leung) dan Mrs. Chan (Maggie Cheung). Namun, hulu dan hilirnya berada tepat menyasar pada basis kerja masyarakat modern dalam lanskap urban industrial, yang semakin menggerus kebutuhan akan ruang nan intim. Mr. Chow sebagai representasi kelas pekerja, buruh berdasi yang berdandan necis, memijakkan plot cerita dengan tandas manakala tuntutan dunia kerja jurnalistik mengintervensi waktu dan ruang privatnya sehingga memicu ketidakhadiran istrinya (dan juga suami Mrs. Chan yang juga diperbudak kesibukan). Tersirat sistem dunia kerja yang bahkan tak mengenal ketetapan waktu (tidak otoritatif), dampak dari neoliberalisme yang senantiasa membisikkan budaya konsumtif sehingga kian meringkus lebih banyak lagi nilai (ruang dan waktu) dari sang pekerja demi kebutuhan ekonominya, dan pada akhirnya, sosok seperti Mr. Chow diposisikan sebagai precariat, yang tak ubahnya menjadi simbol dari proletariat (kelas pekerja) yang berada pada kondisi rentan.

Indonesia Calling (1946) – Joris Ivens

image

Pertama kali tergugah akan dokumenter berikut karena insight dari Profesor Ariel Heryanto yang sempat menukil bahwasanya Indonesia tidak merdeka sendiri, kemerdekaan Indonesia tak lepas dari kontribusi bangsa tetangga. Sampailah saya menyaksikan film yang disebut-sebut sebagai film awal yang merekam gagasan kemerdekaan ini, yang mana partisipasi serta signifikansi dukungan serikat pekerja di Australia dalam jalan menuju kemerdekaan Indonesia ditampilkan secara patriotik; pengetahuan yang bahkan belum pernah saya dapatkan sebelumnya dalam kurikulum sejarah maupun dongeng turun temurun dari kakek buyut saya yang paling lantang membicarakan sejarah. Ikatan solidaritas yang singset di antara buruh lintas-negara di Australia termaktub lewat aksi pemboikotan dan mogok kerja demi menentang agresi militer Belanda yang ingin berlayar ke Indonesia. Pemboikotan ini menyebar ke seluruh pekerja pelabuhan dan membuat lebih dari 550 kapal besar Belanda yang memuat amunisi persenjataan terbengkalai. Momen ini menjadi perhatian luas hingga mendapat dukungan dari para elit Australia, pemimpin partai, sampai serikat-serikat buruh, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Black Armada. Buruh-buruh dari Cina, India, dan Australia dipotretkan sebagai pahlawan, namun bangsa kita rasanya terlampau malu untuk mengakui ironi kepahlawanan lintas-negara berikut secara eksplisit dalam teks sejarah karena ditakutkan mencemari rasa chauvinisme yang tinggi, mungkin?

Sorry to Bother You (2018) – Boots Riley

image

Enaknya sinema tuh seperti ini, deh. Kita bisa concern mengenai segala wacana yang penting untuk diperbincangkan secara khusus dengan cara apapun: serius maupun bercanda, silahkan saja selama tidak tuna acuan. Di sini, Boots Riley mengiris-iris lapisan cerita yang mempunyai beragam wajah: kapitalisme, perbudakan, dan rasisme — serta memadukannya sebagai konsep hibridasi yang sempurna dalam memelesatkan kritik mahadahsyat kepada tatanan sosial (societiehhh). Premisnya sederhana saja, Sorry to Bother You membuka rajutan kisah lewat pekerja kulit hitam bernama Cassius (Lakeith Stanfield) yang menjadi telemarketing sukses karena kelihaiannya mengadopsi suara kulit putih untuk menarik perhatian pelanggannya (yak, ironi memang). Karirnya meroket sementara kawan-kawan seperjuangannya membentuk perserikatan untuk menuntut upah dan jam kerja yang layak. Namun, semakin Cassius dekat dengan hierarki status paling atas, ia mendapati konspirasi janggal dalam dunia kerjanya ketika atasannya, Steve Lift (Armie Hammer) mendiskusikan keinginan untuk membentuk dunia kerja yang baru. Tepatnya, dunia kerja yang lebih absurd untuk dapat mengubah tenaga manusia setara dengan tenaga kuda; tidak manusiawi, namun sempurna bagi sistem industri yang eksploitatif. Semakin durasi berjalan, gema schadenfreude semakin nyaring, apa yang layak dan tidak layak ditertawakan menjadi kabur, closure yang kian mempertegas balutan satir nan absurd semakin membuat mulut kita secara mau tak mau meresponsnya dengan “bajingan ngopo iki”.

Marsinah: Cry Justice (2001) – Slamet Rahardjo

image

Perjuangan buruh saat ini hanyalah catatan kaki dari apa yang harus ditanggung Marsinah kala menjelma sebagai (saya sebetulnya geli memakai istilah ini) poster girl dalam memperjuangkan nasib buruh pada saat aspirasi buruh hanya dianggap pemanis mulut semata dan rakyat kita sedang diselimuti ketakutan akan rezim otoriter ala Soeharto; bapak presiden yang senantiasa menghiasi semesta per-meme-an di media sosial. Masyarakat online masa kini boleh saja leluasa melakukan ejekan-ejekan jahat untuk mengkritisi bobroknya Orba dahulu kala. Namun perlu digarisbawahi, bahwa hal demikian tak lebihnya seperti menggarami lautan: tegas, definit, tidak berisiko. Sebaliknya, pada masa Orba, jangankan mengejek, menyuarakan perbedaan pendapat, mengkritisi penguasa, menagih sustainabilitas publik, atau bahkan menjadi aktivis yang vokal sekalipun akan mengancam keselamatan nyawamu. Marsinah, mempunyai nyali yang cukup untuk melakukan hal tersebut, dan kisah tentangnya diabadikan ke dalam film semi-dokumenter berikut. Agak tak dinyana, ini bukanlah film biopik yang menarasikan kehidupan Marsinah lewat sudut pandangnya, melainkan semacam “mentahan” fragmen dalam mengobservasi sesosok Marsinah (dan kekejian Orba) melalui sudut pandang Mutiari. Ketokohan Marsinah seolah dimisteriuskan, memberi jarak kepada penonton untuk senantiasa mengaguminya, sehingga kian menjauhkan diri dari kubangan klise yang acapkali menjebak formula film sejenis: romantisasi.

Stachka (1925) – Sergei Eisestein

image

Sebelum Battleship Potemkin yang ikonis itu, Sergei Eisenstein, sineas pelopor montase asal Soviet, telah lebih dahulu meniupkan napas sosialisme yang mengharumkan lewat debutnya yang berdaya ledak ini. Diuraikan lewat enam chapter, Stachka tampil dengan tegas dalam menampilkan versi retelling dari Revolusi Rusia pada tahun 1905, yang mana demonstrasi buruh berakhir menjadi pemandangan kematian dan penyiksaan tiada tara yang dilakukan oleh pihak militer. Mulai dari pencambukan dan pembantaian para pekerja, brutalisme yang mempertontonkan seorang anak kecil naif yang dilempar dari lantai atas, tuduhan fitnah yang dialamatkan kepada seorang buruh hingga membuatnya gantung diri, sampai satir mahadahsyat yang memperlihatkan bahwa aspirasi buruh dari secarik kertas tak ubahnya seperti sebuah lap bagi para borjuis yang apatis itu. Sama seperti halnya Vladimir Lenin yang percaya bahwa sinema adalah medium multidimensional yang paling penting (…sebagai alat propaganda) karena dapat menjangkau massa yang lebih masif. Sergei Eisenstein sebagai salah satu seniman kiri juga meyakini kredo tersebut dengan sikap politisnya dalam merefleksikan kolektivisme para buruh yang memiliki perasaan senasib sepenanggungan yang kuat.

Clerks (1994, Kevin Smith)

image

Film ini memang bukan hal yang pertama muncul ataupun dipikirkan dalam benak orang saat membicarakan film tentang pekerja. Bagi saya, Clerks bukan hanya film tentang tongkrongan  gejolak kawula pemuda amerika serikat yang diselingi dengan lelucon seputar kultur pop yang mungkin hanya dimengerti oleh orang yang tinggal di ibukota provinsi. Clerks adalah sebuah potret 24 jam bersama pekerja kelontong yang penuh dengan ketidakpastian dan
terkadang, keabsurdan. Kevin Smith tidak ingin mengasihini penonton dengan kisah pekerja dengan cara banal atau bahkan terlihat seperti romantisme kemiskinan. Sebaliknya, ia menceritakan kisahnya dengan komedi menggelitik dengan sedikit bumbu sarkas. Clerks sejatinya merupakan potret pekerja kelontong umur dua-puluhan di amerika serikat yang sebenarnya tidak ingin memiliki pekerjaan itu, melainkan hanya untuk menyambung hidup.

Errorist of Season (2017, Rein Maychaelson)

image

Dampak perubahan musim di Indonesia tak hanya berdampak pada perbuahan iklim, suhu dan morfologi
dari suatu daerah. Namun, ia juga berdampak tentang bagaimana relasi antara mata pencaharian ekonomi dan perubahan musim. Karena sepertinya tidak ada yang mau makan es krim di hari saat hujan mengguyur selama berhari-hari. Perubahan musim ini memunculkan kemungkinan praktik ekonomi yang baru seperti ojek payung,
atau dalam film ini, ojek perahu karet.

Pulung, seorang pekerja pabrik baru dipecat akibat bahan baku yang naik dikarenakan banjir yang melanda di cina. Errorist of Season menampilkan realita terhadap pekerja yang dipecat dengan mengganti pekerjaan sebagai pengendara ojek perahu karet. Sama seperti Clerks yang tidak menampilkan potret buruh yang banal, Errorist of
Season ditampilkan dengan jenaka dengan komedi satir yang cukup menggelitik. Errorist of Season menyampaikan bagaimana sistem praktik kapitalisme bekerja dengan sistematis; perubahan atau kejadian musim di Cina dapat memengaruhi praktik ekonomi di Jawa.

One Cut Of The Dead (2017, Shinichiro Ueda)

image

Jangan terkecoh dengan paruh awal di film ini yang menyajikan film horror murahan ala film kelas b. Ada baiknya rasa sabar anda dipertebal untuk duduk selama kurang lebih empat puluh menit dalam sajian film horror kelas b itu. Karena setelahnya Shinichiro Ueda memotret tentang bagaimana memilukannya nasib pekerja film di dalam Industri Film. Seorang pimpinan perusahaan televisi meminta seorang sutradara untuk membuat film zombie siaran langsung dalam satu kali take. Hal ini terdengar konyol untuk sang sutradara, namun demi sesuap nasi ia pun mau tak mau mengiyakan permintaan dari pimpinan tersebut demi rating yang tinggi. Film ini menggambarkan bagaimana relasi timpang antara pimpinan perusahaan terhadap para pekerja film. Realita bagaimana keinginan konyol dari pimpinan perusahaan  memeras peluh pekerja film hanya demi jumlah rating dan keuntungan saja tanpa memikirkan keselamatan dan keamanan yang terjadi di dalam set film.

Desain : Nona Damanik

Senantiasa berdoa untuk dijauhi dari golongan o̶r̶a̶n̶g̶-̶o̶r̶a̶n̶g̶ ̶k̶a̶f̶i̶r̶ tujuh setan desa perfilman.

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top