Mania Cinema

Menyelami dan Mengenali Trauma lewat Mysterious Skin

Peringatan: Ulasan ini mengandung unsur mengenai trauma akan kekerasan seksual.

Trauma, Menjadi Dewasa, dan Menemui Kenyataan

Ini kali pertama saya menonton karya Araki dan mungkin bisa jadi tonggak awal dalam menjelajahi karya-karyanya yang lain. Kisah Mysterious Skin (2004) diadaptasi dari novel karangan Scott Heim, bercerita mengenai dua orang yang sangat berbeda namun disatukan trauma masa kecil yang sama. Neil (Joseph Gordon-Levitt) ialah seorang pemuda yang sedari kecil sudah menyadari dirinya punya ketertarikan dengan sesama jenis. Saat Neil beranjak dewasa, ia pun menjadi seorang pekerja seks, di mana ia melayani laki-laki yang berusia jauh lebih tua dari dirinya. Hal itu dilakukannya karena faktor ekonomi yang tak mumpuni. Trauma masa kecil—dilecehkan oleh pelatih baseball-nya—berpengaruh pada diri Neil ketika ia beranjak dewasa. Kekerasan seksual yang dialaminya berdampak pada tendensi merusak dirinya sendiri. Hal itu terlihat setiap kali Neil menjalani pekerjaannya sebagai pekerja seks; Neil bergulat dengan bayangan pedih masa lalunya.

Di sisi lain, ada Brian (Brady Corbet). Ia digambarkan sebagai seorang pemuda yang lugu dan sangat terobsesi dengan UFO. Obsesinya itu dilatarbelakangi dari kejadian yang diyakininya bahwa ia pernah diculik oleh UFO saat masih kecil. Brian memiliki potongan mimpi-mimpi aneh di mana ia bertemu dengan alien, lalu alien tersebut membawanya pergi. Ia juga ingat dalam mimpinya itu ada satu bocah laki-laki bersamanya. Memori Brian akan bocah laki-laki tersebut lah yang membawa Brian melakukan pencarian yang bermuara pada pertemuannya dengan Neil 10 tahun setelah kejadian tersebut.

Secara perlahan, film ini membawa kita pada suatu kenyataan pahit mengenai obsesi Brian terhadap UFO, yang juga berhubungan dengan kejadian memilukan pada masa kecilnya. Hal yang menarik yaitu mengenai cara penggambaran untuk mengaitkan antara ide tentang penculikan oleh alien dengan kekerasan seksual yang dialaminya. Di mana, kaitan antara keduanya bertitik tolak pada adanya relasi yang timpang atau superioritas si pelaku yang mendominasi si korban. Sehingga, apa yang dilihat oleh para penonton; penculikan oleh alien yang diingat Brian semasa kecil merupakan sebuah metafora dari tindakan keji yang dilakukan oleh si pelaku kekerasan seksual. Sedangkan Brian menganggap penculikan oleh alien tersebut hal yang terasa begitu nyata. Selain itu, Brian sering digambarkan mengalami kejang-kejang dan mimisan saat masih kecil setelah dia dilecehkan secara seksual dan hal itu berlanjut hingga ia dewasa. Menurut Evangelos Tziallas dalam artikelnya “Looking Beneath The Skin: The Reconfiguring Trauma and Sexuality”, menyatakan bahwa kejang-kejang dan mimisan merupakan reaksi fisik dan manifestasi visual dari trauma emosional.

Walaupun film ini berkaitan erat dengan trauma masa kecil, tapi Araki sebagai sutradara tak menyuguhkan sebuah cerita balas dendam dua manusia terhadap monster yang sudah menghancurkan hidup mereka. Hal itu meninggalkan lubang hitam dalam diri saya setelah selesai menontonnya, karena seperti yang dikatakan Neil dalam suatu adegan, “Saya memikirkan semua duka, kesedihan, dan penderitaan yang begitu kacau di dunia, dan hal itu ingin membuat saya melarikan diri serta berharap bahwa saya bisa pergi dari dunia ini, bangkit seperti dua malaikat di malam hari dan secara ajaib…. menghilang.” Seolah-olah mereka tak punya pilihan selain menerima trauma tersebut dan menerima kenyataan bahwa trauma itu bagian dari diri mereka yang tak bisa mereka hilangkan.

Ini bukan kisah romantisasi pedofilia seperti yang digambarkan di dalam film Lolita (1998) garapan Adrian Lyne. Dalam film ini, Araki justru berhasil mengarahkan cerita manipulasi seksual ke dalam bentuk kekerasan yang menyisakan trauma begitu dalam. Cara Araki menggambarkan manipulasi seksual menjadi suatu kekerasan bisa dilihat dari bagaimana si pelaku memperlakukan Neil dengan cara yang halus, membuat Neil bahagia, memberikan barang-barang yang Neil tidak bisa dapatkan di rumah. Sebagai anak kecil yang lugu, hal tersebut justru dimanfaatkan oleh si pelaku untuk mengeksploitasi Neil secara seksual. Alih-alih memfokuskan pada hubungan antara korban dengan pelaku kekerasan, Araki justru fokus pada penggambaran karakter korban pedofilia dan bagaimana mereka memproses kekerasan tersebut hingga mereka dewasa. Mulai dari mengira bahwa hubungan antara Neil dan Brian dengan pelatih bisbolnya itu hal yang ‘natural’, hingga mereka menyadari bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan. Proses panjang tersebut bermuara pada penerimaan akan trauma masa kecil tersebut.

Gregg Araki dan New Queer Cinema Movement

Araki terkenal karena keterlibatannya dalam new queer cinema movement. New queer cinema movement sendiri gagasan yang bukan diadopsi oleh sineas, melainkan dari seorang penulis asal Amerika Serikat, B. Ruby Rich. Latar belakang Rich sebagai seorang kritikus sekaligus kurator film membawa dirinya untuk menjelajahi sisi kultural dalam film. Dalam perjalanan kariernya, Rich banyak menulis tentang isu perempuan dalam spektrum film dan juga mengenai Sinema Amerika Latin. Temuannya akan new queer cinema movement sendiri berawal dari pekerjaannya sebagai penulis di Chicago’s Women and Film Festival. Di sana ia bertemu sineas dari komunitas yang termarginalisasi di Kota New York, salah satunya sineas queer. Dari situlah perjalanannya dalam mengadvokasi gerakan queer dalam spektrum perfilman di mulai.

Rich menjelaskan, isu utama yang dibawa dari new queer cinema mengenai pemahaman akan seksualitas; penggambaran marginalisasi tokoh karakter LGBT; dan berusaha mematahkan stereotip LGBT dalam medium film. Susan Hayward dalam “Cinema Studies: The Key Concept”, menyatakan bahwa sebelum adanya gerakan ini, penggambaran karakter LGBT dilakukan dengan citra yang negatif. Mereka juga digambarkan sebagai manusia yang keji atau seperti badut hiburan. Dengan adanya gerakan ini sekitaran 1990-an, sineas queer cinema memasukkan narasi-narasi mengenai seksualitas dan memberikan gambaran estetika yang beragam. Dengan kata lain, tujuan dari gerakan ini bukan hanya mematahkan stereotip, tetapi juga mencapai suatu penggambaran kompleksitas, keragaman dalam tema dan estetika atas kehidupan queer itu sendiri. Film-film yang juga ikut mendukung gerakan ini pada awal 1990-an antara lain; Poison (1991) karya Tod Hayne; RSVP (1991) karya Laurie Lynd; Young Soul Rebels (1991) karya Isaac Julien, Edward II (1991) karya Derek Jarman; dan The Living End (1992) karya Gregg Araki.

Sejalan dengan queer cinema movement yang ditulis oleh Rich, salah satu sineas yang mengadopsi konsep tersebut ke dalam bentuk visual yaitu Araki. Karya-karya Araki atau secara khusus Mysterious Skin ini, menjadi salah satu film yang relevan dengan komunitas queer di Amerika Serikat pada zamannya. Dilansir dari Indiependent, pada 90-an dilakukan pencabutan hak terhadap sinema queer. Peminggiran unsur queer dalam sinema juga diperparah saat krisis AIDS, yang menyebabkan komunitas queer dipandang rendah pada 90-an. Bahkan Senator Jesse Helms secara terbuka melabeli LGBTQ+ sebagai orang-orang yang lemah dan sakit secara moral.

Kendati begitu, Araki justru menggunakan diskriminasi ini sebagai momen untuk menciptakan sebuah semesta sinematik bagi para queer yang merasa kesepian melalui seksualitas mereka, serta mendapatkan rasa kebersamaan melalui suatu karya film. Dalam Mysterious Skin, Araki mencoba menuangkan elemen kompleksitas seksualitas bahwa queer seringkali tidak diuntungkan dalam kehidupan sehari-hari mereka, terjebak dalam garis kemiskinan, dan berusaha bertahan hidup walau berhadapan dengan berbagai stereotip. Sama halnya dengan sosok Neil yang berusaha bertahan hidup di kota besar dan menjalani pekerjaan yang keras sambil menaklukkan kesepian, seksualitas, dan mencari persahabatan.

Dalam kisah dua manusia yang sama-sama terjebak pada trauma masa kecil sekaligus berusaha menaklukan dunia dan kekejaman yang ada di dalamnya ini, Araki membungkus keseluruhan cerita dengan sentuhan penggambaran tokoh queer dengan segala pergulatannya. Dengan adanya karya film-film lain saat ini yang turut menghadirkan elemen seksualitas—Call Me by Your Name (2018), Blue Is The Warmest Colour (2013), Moonlight (2016)—penting untuk melihat relevansi perjuangan para sineas queer saat ini dalam kerja-kerjanya. Seperti Araki yang sejak awal bergulat menghadirkan narasi seksualitas dalam karya film supaya jadi hal yang normal untuk dikonsumsi sehari-hari bahkan diproduksi oleh studio film besar hari ini.

 

Mysterious Skin | 2004 | Sutradara: Gregg Araki | Pemeran: Joseph Gordon-Levitt, Brady Corbet |Negara Asal: Amerika Serikat | Durasi: 108 menit | Produksi: Desperate Pictures, Fortissimo Films, Antidote Films

 

Pekerja hukum sekaligus penikmat film

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top