Apa yang ‘Islami’ dari Film-Film Islami?
Artikel ini diterjemahkan dari tulisan milik Alicia Izharuddin dengan judul What is ‘Islamic’ about Islamic Films? Terbit di Cinema Poetica pada 15/11/2016
Barangkali ada perasaan mual yang dirasakan pembuat film, kritikus, dan penonton tentang label ‘sinema Islami’. Perasaan seperti itu bisa dimengerti karena membuat pagar di sekeliling ‘sinema Islami’ artinya membentuk kesatuan yang sangat artifisial dari sehimpun film yang beragam yang mana itu bermacam-macam sebagaimana ekspresi-ekspresi Islam dan apa artinya menjadi Muslim. Meski penggunaannya acap kali jauh dari kualifikasi, genre dan kategori ‘sinema Islami’ agaknya perlu dibongkar.
Esai singkat ini menunjukkan bahwa ‘sinema Islami’ yang diproduksi industri film Indonesia sah-sah saja disebut ‘Islami’ sekaligus menawarkan agar makna ‘Islami’ secara umum diperluas dan inklusif dalam pembuatan film dan praktik budaya lainnya. Dalam monografi saya yang akan datang, Gender and Islam in Indonesian Cinema (Palgrave Macmillan), saya berikhtiar menciptakan suatu definisi yang sistematis mengenai ‘sinema Islami’ lewat kacamata gender. Melalui analisis tekstual, data arsip, dan wawancara dengan pembuat film, saya menemukan bahwa ‘Islami’ dalam film alih-alih konstan justru seringkali sulit dipahami dan ambigu, apalagi membawa pesan keagamaannya lewat persimpangan gender, kelas, dan bangsa.
Kritikus film yang sinis di Indonesia berpendapat bahwa sebuah film dianggap Islami ketika kerudung Islami menjadi hal penting yang mencirikan karakter utamanya, menyelaraskan suara, suasana hati, dan harapan demi narasi yang sedang berlangsung. Kendati kerudung Islami merupakan sinekdoke Islam di ruang publik, tapi sangat dangkal kalau untuk menandakan film ‘Islami’. Kritikus lainnya menggunakan pendekatan yang lebih berorientasi pada efek dan menyatakan bahwa sinema Islami punya kekuatan mengubah penontonnya. Bagi penonton Muslim, kebajikan film dengan pesan Islami dianggap punya efek didaktik dan mampu mengubah penonton menjadi Muslim yang lebih baik.
Di sisi lain, khalayak non-Muslim, khususnya di dunia pasca peristiwa 11 September, diharapkan mempelajari bahwa umat Islam adalah bangsa yang damai dan demokratis. Meskipun ada manfaatnya, argumen-argumen yang mencakup sinema Islami tak memadai khususnya ketika seseorang mulai mempertimbangkan cakupan subjek dan pandangan ideologis juga politik yang berlawanan yang melekat dalam film-film Indonesia dengan tema-tema Islam. Lebih jauh, ‘sinema Islami’ sebagai didaktisme dan propaganda murni mengasumsikan kepasifan penonton yang ditargetkan. ‘Sinema Islami’ bisa jadi punya efek transformatif bagi penontonnya, tapi maknanya tak selalu sama dengan yang dimaksudkan si produser.
Adegan-adegan dalam ‘sinema Islami’ Indonesia merepresentasikan, tanpa menghakimi, kemurtadan dari agama Islam ke perayaan secara membabi buta atas kesejahteraan Islam (dan kritik yang disebabkannya). Dalam beberapa film, perempuan Muslim berani menantang bias patriarki laki-laki Muslim, sementara film lainnya secara romantis memerankan poligami. Bagaimana kita bisa mengerti keasyikan religius dalam film sembari tetap mempertahankan beberapa hal ‘Islami’ dalam film-film ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya memutar cara dan menemukan kemungkinan jawaban atas Apa itu Islam? Pentingnya Menjadi Islami, di mana mendiang Shahab Ahmed mengusulkan pembaruan Islam dalam aspek non-hukum dan budaya kehidupan Muslim. Sudah terlalu lama dalam kehidupan umat Islam, puncak dari apa yang dianggap ‘Islami’ selalu dimensi legalistik Islam. Pendekatannya istimewa sebagaimana ia mengemukakan argumennya dengan teks-teks laten perihal kebajikan Islam atas minum anggur dan visualisasi hewan dan manusia. Di seluruh sejarah dan budaya yang tersebar di seantero dunia, banyak sekali kontradiksi dalam praktik Islam. Kita harus merangkul inkonsistensi itu dengan “cara konstitusional yang koheren, karena hanya dengan cara inilah kita bisa memetakan realitas kemanusiaan dan sejarah dari kontradiksi internal Islam”.
Layaknya film-film Yahudi, posisi sinema ‘Islami’ terpisah dari film-film lain yang punya pesan-pesan religius seperti The Passion of the Christ atau Ben Hur, yang kebetulan kedua film itu tak disebut ‘film Kristen’ atau bagian dari tradisi ‘pembuatan film Kristen’. Semua film di Indonesia sesuai dengan regulasi produksi demi melindungi warga, agar warga tak mengonsumsi materi yang dianggap menistakan Tuhan menurut hukum Islam. Karena penggambaran visual Tuhan, Nabi Muhammad, anggota keluarganya, dan para nabi lainnya dalam Islam dibatasi, jarang sekali film-film Indonesia berunsur Islam menarasikan yang ilahi, nabi atau bahkan kisah dari kitab Al-Qur’an. Untuk alasan ini, kritikus film Eric Sasono berpendapat bahwa film-film Indonesia dengan narasi kehidupan individu dan komunitas Muslim tak sepadan dengan tipologi film-film Hindu India dan Kristen Hollywood yang berfokus pada Tuhan, nabi, dan kisah dari kitab suci.
Medium film kembali digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan agama sebagaimana fungsinya di awal kemunculan sinema. Memang, di awal kemunculan sinema, ‘Katolik’ sangat mencolok dan ditangkap dalam kutipan terkenal Andre Bazin: “sinema selalu tertarik pada Tuhan”. Tujuh puluh film dengan tema alkitabiah dibuat di AS dan Eropa sebelum Perang Dunia Pertama.
Menurut akademisi film Conrad Ostwald, sinema tradisional itu sendiri semacam agama sekuler: “Bioskop bertindak seperti agama sekuler, dilengkapi dengan ruang sakral dan ritual yang memediasi pengalaman yang berbeda-beda”. Hal ini karena selama pemutaran film-film alkitabiah, bioskop diperlakukan sebagai tempat ibadah. Pada 1908, pemutaran The Life and Passion of the Christ dikecam pendeta New York karena memilih tempat di tempat hiburan ketimbang di gereja. Kritikus dari pemutaran film ‘sekuler’ menyarankan musik organ yang menenangkan dan pembakaran dupa untuk meningkatkan spiritualitas film.
Epos alkitabiah di awal kemunculan sinema jadi sumber film-film yang dibuat dengan mempertimbangkan agama lain. ‘Bapak sinema India’, Dadasaheb Phalke terinspirasi kehidupan Kristus yang berkedip-kedip di layar perak:
Sementara kehidupan Kristus bergulir cepat di depan mata saya, secara mental saya membayangkan dewa-dewa Shri Krishna, Shri Ramachandra, Gokul dan Ayodhya mereka… Bisakah kita, putra-putra India, pernah merasakan melihat gambar-gambar India di layar?
Buah dari inspirasi Phalke yakni film fitur pertama India, Raja Harischandra (1913), berdasarkan Mahabharata Hindu.
Seperti epos alkitabiah sinema awal, secara luas dakwah atau khotbah Islami dianggap sebagai pusat fungsi sinema dan media Islam. Berasal dari istilah Arab da’wa yang berarti seruan atau ajakan, dalam konteks Indonesia dakwah merupakan istilah umum yang bertujuan menyebarkan Islam kepada masyarakat. Meskipun dakwah ditujukan agar non-Muslim mualaf menjadi Islam, istilah ini lebih sering bertujuan memperkuat iman Islam dan membimbing umat Islam agar menjalankan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupannya.
Penggunaan sinema untuk dakwah, bagaimanapun, eksekusinya masih samar. Kendati begitu, hal itu dianut sineas-sineas perintis Indonesia seperti Asrul Sani, Djamaluddin Malik, dan Misbach Yusa Biran yang membuat film untuk tujuan dakwah. Para ulama dan ahli tafsir agama acapkali cenderung mendefinisikan film dakwah dengan artian sebagaimana adanya, yaitu tak memiliki unsur-unsur ‘amoral’ sinema Hollywood dan keasyikan sinema Indonesia seperti horor, supernatural, dan yang menampilkan perempuan erotis.
Dalam esainya pada 1965 berjudul ‘Film sebagai dakwah’, pembuat film terkemuka Usmar Ismail mendesak pembuat film lain untuk ‘menjadikan film sebagai media perjuangan (nasional) dan media untuk dakwah Islam’. Film-film dakwah, tegasnya, tak perlu bersifat religius atau komersial seperti film laris Hollywood pada 1956, The Ten Commandments, melainkan harus menegaskan umat Islam sebagai subjek Tuhan.
Sementara rekan seangkatan Usmar Ismail, Asrul Sani, berpandangan lebih kritis. Sani berpendapat, semua film dakwah yang dibuat pada masa Orde Baru dan masa sesudahnya dilakukan dengan pendekatan yang sesat. Bagi Sani, film-film dakwah Indonesia disibukkan dengan Islam dogmatis dan ritualistik yang dimaksudkan menggantikan peran kyai atau pemuka agama. Dia bahkan menolak istilah ‘film Islami’, dengan alasan bahwa “semua film yang melampaui permukaan kehidupan itu [sebenarnya] film religi”.
Visualisasi sinematik kisah-kisah religi yang dibuat dengan tujuan didaktisme moral sangat meyakinkan hati bahwa film bisa dijadikan sebagai pendidikan, spiritual, dan yang terpenting, sumber kebaikan moral yang akan diserap ‘massa’. Film-film yang mengandung pesan-pesan religi biasanya diawali dengan kutipan-kutipan dari kitab suci, khotbah, gambaran suatu bangunan suci, yang keseluruhannya mengisyaratkan bahwa sesuatu yang sangat bermoral bisa dipelajari dari menonton film tersebut. Menantang semua teori klasik terkait sekularisasi dan menarik kembali agama ke ranah privat, agama di abad ke-20 dan ke-21, yang kini dikemas ulang dalam format yang lebih populer dari sebelumnya (beberapa orang menyebutnya dikomodifikasi) punya jalan tersendiri mencapai kesadaran publik dengan cara yang lebih cerah, lebih berkilau, dan lebih banyak iterasi seluler.
Sampai kapan sinema akan tetap jadi ritual di abad ke-21? Jumlah penonton bioskop kian berkurang seiring munculnya kebiasaan menonton di rumah melalui kaset video, televisi, dan internet. Bioskop bukan lagi satu-satunya tempat di mana orang bisa memandang gambar-gambar spektakuler dan memperoleh kisah-kisah kepahlawanan moral. Seperti orang-orang yang tersesat akan pesta panjang, iman, dan sinema sama-sama bertahan menjanjikan pengalaman yang cukup mendalam dan misterius. Dalam kuk jihad sehari-hari dengan misi global terorisme, cinta suci dengan kekuatan uang yang menggoda tapi merusak jiwa, ‘sinema Islami’ mampu menjawab teka-teki spiritual pemirsanya baik yang terjadi setiap hari serta yang mengubah dunia. Seperti genre lainnya, ada penangguhan waktu dan ruang, dan dibentuknya hubungan langsung antara pemirsa dan pemasok kebenaran moral yang berbinar.
Alicia Izharuddin, Bergabung dalam Studi Perempuan pada Program Agama di Harvard Divinty School dan sebelumnya pernah menjadi Dosen Senior di University of Malaya. Alicia tertarik dengan topik seputar gender dan Islam, dan memmiliki banyak publikasi terkait topik tersebut. Gender and Islam in Indonesian Cinema adalah buku pertamanya. Termasuk pertama dalam jenisnya, buku ini menampilkan gambaran bagaimana film dibuat secara ‘Islami’. Lewat film-film Islami, sineas bercerita tentang bangsa lewat kemelut politis, kultural dan spiritual dalam mencoba untuk bangkit sebagai tokoh utama di dalam dunia Muslim.
Diterjemahkan dan desain oleh: Bagus Pribadi
Penulis Mania Cinema. Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis dan penerjemah lepas.
Leave a Reply