Mania Cinema

The Gleaners and I: Memungut Sisa-Sisa Kemanusiaan dalam Genggaman Kamera

Kita seringkali mendengar istilah “life imitates art”. Saya rasa kalimat tersebut sangat tepat dengan topik yang diangkat dalam dokumenter The Gleaners and I (2000). The Gleaners and I dibuka dengan mengkisahkan lukisan karya Jean-Francois Millet (1857) yang berjudul, Les Graneuses,   (The Gleaners). Tidak dapat disangkal memang bahwa lukisan karya Millet ini tidak sepenuhnya hasil imajinasi, melainkan lukisan yang terinspirasi dari realitas sosial masyarakat Perancis pada abad tersebut.

Lukisan tersebut berisi mengenai tiga perempuan yang sedang meringkuk, memungut sisa batang gandum. Batang gandum tersebut merupakan hasil sisa setelah ladang selesai panen. Namun, jika ditelaah secara seksama, lukisan itu tidak hanya menggambarkan tiga orang perempuan yang sedang memungut sisa gandum, melainkan juga menggambarkan kondisi masyarakat kelas pekerja pada kala itu. Di belakang dapat dilihat terdapat tumpukan gandum dengan jumlah sangat banyak. Pertanyaan yang muncul adalah jika Perancis memiliki sumber gandum yang begitu melimpah, mengapa masih ada masyarakat yang perlu memungut sisa-sisa gandum?

Lukisan “The Gleaners” (1857) oleh Jean-François Millet

Hal di atas yang menjadi alasan timbulnya kritik negatif dari kalangan kelas sosial menengah ke atas di Perancis pada saat lukisan ini dipamerkan pada 1857 silam. Lukisan itu menimbulkan ketakutan pada kalangan kelas sosial menengah ke atas akan kesadaran masyarakat Perancis terhadap glorifikasi kalangan pekerja kelas bawah, sekaligus menjadi tanda bahwa masyarakat Perancis dibangun atas kerja keras pekerja kelas bawah.

Dokumenter garapan Agnes Varda ini mencoba mengangkat kisah para gleaners di era modern. Dengan segala modernisasi pada abad 21 dan segala kesadaran akan kesejahteraan sosial di masa modern, kegiatan gleaning masih terus dilakukan oleh sebagian masyarakat di rural Perancis. Dikutip dari rilis pers The Chicago Reader, Varda menyatakan dokumenter ini berangkat dari untaian emosi yang ia rasakan ketika dihadapkan dengan para gleaners di era modern yang sering ia temui di acara TV dan juga kecintaannya terhadap seni lukis. Dalam rilis pers tersebut, Varda menegaskan yang menjadi pemantik penggarapan dokumenter ini adalah “how can one live on the leftovers”.

Praktik gleaning sendiri sudah diakui dan dilindungi dalam konstitusi Perancis sejak 1554 di bawah kepemimpinan Raja Henry IV. Menariknya, dalam film ini Varda mewawancarai seorang pengacara yang bernama Mr. Dessaud untuk memberikan penjelasan bagaimana praktik gleaning dianggap bukan hal ilegal untuk dilakukan hingga saat ini. Mr. Dessaud menjelaskan, gleaners hanya diperbolehkan untuk melakukan praktik gleaning saat panen sudah selesai, dan gleaning dimulai dari terbitnya matahari sampai matahari tenggelam (French Criminal Law Article  R26.10).

Gleaning dan Maknannya dalam Kehidupan Sehari-Hari.

Pada dokumenter ini, Varda menyajikan para gleaners sebagai subjek utamanya. Gleaners ini datang dari berbagai kalangan yang juga memiliki alasan serta tujuannya masing-masing dalam melakukan gleaning (memungut). Alasan tersebut antara lain yakni untuk tujuan memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan sampai dengan alasan gaya hidup. Para gleaners tersebar di penjuru negeri Perancis, mulai dari gleaners di perkebunan kentang yang memungut sisa-sisa kentang yang dianggap “tak layak jual” bagi si tukang kebun, pemahat yang memahat dari barang bekas, sampai dengan gleaners di daerah urban Perancis yang mengambil sisa-sisa bagian dari alat elektronik untuk   dijual kembali.

Sisa-sisa kentang pada perkebenunan di rural Perancis seringkali dibuang begitu saja oleh pengelola kebun karena tidak berhasil melewati proses evaluasi kriteria tertentu untuk dijual di toko kelontong. Oleh sebab itu, gleaners pada umunya ialah orang-orang yang “memanen” sesuatu dari apa yang orang lain tolak. Dari fakta yang disajikan oleh Varda, rupanya memberikan gambaran apa yang orang lain anggap sebagai “sampah” sebetulnya adalah sarana utama nutrisi bahkan sebagai pendapatan bagi orang lain. Terutama bagi mereka yang terjebak di garis kemiskinan. Di tengah hingar bingar negara Perancis dengan berbagai penggambaran kemewahan yang menyertainya, sampah atau sisa makanan menjadi bagian guna bertahan hidup bagi mereka.

The Gleaners and I juga turut menggambarkan bahwa kegitan gleaning yang dilakukan di masa modern tidak hanya dilakukan karena alasan ekonomi. Dengan menumpuknya jumlah sisa bahan makanan di Perancis pada kala itu, menimbulkan keprihatinan bagi beberapa kalangan masyarakat akan dampaknya terhadap lingkungan, yang akhirnya menyebabkan mereka melalukan praktik gleaning kendati mereka pun memiliki penghasilan yang cukup dan pekerjaan yang layak. Fenomena tersebut kerap kali disandingkan dengan istilah food waste atau food loss. Dilansir dari U.S Food Waste Challenge, food waste merujuk kepada makanan yang sejatinya layak untuk dikonsumsi, tetapi secara sadar dibuang pada fase eceran atau konsumsi, sedangkan food loss sendiri adalah makanan yang datang dari bahan pangan seperti sayuran atau buah-buahan yang masih mentah namun dibuang begitu saja. Fenomena food waste/loss ini menjadi dampak buruk bagi lingkungan dan bumi lantaran sisa makanan tersebut akan meninggalkan jejak gas rumah kaca.

Hampir tidak mungkin untuk tidak merasa marah terhadap Pemerintah Perancis atas keadaan tersebut. Namun, yang Varda lakukan selain memberikan pemantik terhadap diskusi tanggung jawab Pemerintah Perancis dalam menangani penumpukan limbah/waste, Varda juga membuka ruang percakapan tentang bagaimana kita sebagai manusia berinteraksi dengan benda-benda disekitar kita agar lebih bijak dalam menggunakannya dan mengelola limbah/waste.

Menggenggam Sinema, Merefleksikan Diri terhadap Subjek

Diskursus The Gleaners and I tidak terlepas dari bagaimana Varda menggunakan teknik kamera digitalnya.  Teknik kamera digital genggam (handycam) yang digunakan Varda saat ini sering kita jumpai pada konten “vlogging”. Dengan teknik tersebut, Varda mengatakan bahwa terdapat persamaan antara gleaners yang menjadi subjek dalam filmnya dengan Varda sebagai sineas, di mana kedua proses tersebut sama-sama melibatkan proses gleaning. Varda menjadi gleaners yang mengambil gambar di sepanjang filmnya dengan lensa kameranya. lebih dari itu, Varda  melakukan gleaning untuk mencari kisah dan emosi dari kehidupan orang lain guna penggarapan filmnya. The Gleaners and I juga menjadi medium bagi Varda untuk membagikan isi hatinya mengenai persepsi waktu. Varda turut membahas konsep digital camera sambil merefleksikan bagaimana dia merepresentasikan dirinya melalui kamera. Di salah satu scene, Varda mengambil potongan video tangannya sendiri yang mulai mengeriput sambil berkata “my hands keep telling me that the end is near”.

Adegan yang menunjukkan tangan Varda sambil merfelksikan dirinya dalam film

Dilansir dari salah satu wawancaranya bersama Melissa Anderson, Varda menyampaikan alasan mengapa dirinya tertarik untuk membuat karya dokumenter mengenai gleaners, karena penemuannya atas digital camera, khususnya Sony DV CAM DSR 300. Pada sesi wawancara tersebut, Varda menyampaikan, dalam proses pembuatan dokumenter ini melalui digital camera, Varda merasa banyak melontarkan pertanyaan kepada para gleaners dan juga membuat mereka mengungkapkan bagian dari kisahnya, sampai-sampai Varda turut merasa bahwa dirinya pun harus mengungkapkan sesuatu dari dirinya. Oleh sebab itu, dengan gaya vlogging, Varda menunjukkan tangannnya yang mulai menua—sebagai bentuk pengungkapan dirinya di depan digital camera. Kendati refleksi Varda sebagai sineas terhadap kegiatan gleaning dijadikan fokus sampingan, refleksi ini cukup penting jika dikaitkan dengan fokus sentral dalam film. Refleksi Varda berguna untuk memutus jarak dirinya dengan subjek dokumenternya dan menentukan keberpihakan Varda dalam dokumenter ini.

Bagaimana sensitivitas Varda terhadap The Gleaners and I juga sangat penting ditelaah. Ruby Rich mencoba membandingkan The Gleaners and I dengan dokumenter garapan Marc Singer yang berjudul Dark Days (2000). Dark Days secara spesifik membahas mengenai pengalaman Marc Singer saat di Manhattan dan bertemu dengan kelompok masyarakat tunawisma yang hidup di bawah terowongan subway. Antara Dark Days (Marc Singer) dan The Gleaners and I (Agnes Varda) sama-sama membawa isu society’s margins, tetapi pendekatan yang digunakan Singer dan Varda, keduanya cukup berbeda. Menurut Rich, pada Dark Days, Singer menekankan pada perbedaan antara “kita” dan “mereka” (tunawsima), sedangkan Varda justru menjembatani antara perbedaan itu. Pendekatan yang digunakan Varda adalah dengan memberikan narasi bahwa dirinya dengan subjek dokumenternya berada di posisi yang sama—Varda sebagai sineas pada hakikatnya adalah juga seorang gleaners.

Melihat kecenderungan Varda dalam menututurkan filmnya, mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa Varda tidak hanya ciamik dalam menciptakan sebuah cerita, namun juga merupakan sineas yang humanis. Pendekatan humanis Varda secara sempurna tergambarkan pada The Gleaners and I yang berpusat pada cerita-cerita para gleaners yang seiring perjalanannya menemukan refleksi bahwa Varda pun adalah seorang gleaner. Seperti yang disampaikan oleh filsuf H.J Blackham, humanisme adalah konsep yang berfokus pada perbaikan kondisi sosial manusia dengan meningkatkan otonomi dan martabat semua manusia. Oleh sebab itu, tepat rasanya untuk mengatakan pendekatan Varda dalam dokumenter ini begitu humanis melalui usahanya untuk memanusiakan kelompok gleaners dan mendefinisikan kembali apa dan siapa yang paling penting dalam kisah ini—yang tidak lain adalah para gleaners itu sendiri. Selain itu, pendekatan humanis Varda terlihat dari bagaimana penyampaiannya yang mendorong para penontonnya untuk mendengarkan dan merasa tergabung dalam percakapan dengan para gleaners, alih-alih menghakimi hal yang mereka lakukan. Varda berusaha untuk membuka mata dan pikiran penontonnya untuk mengakui dan menerima kelompok gleaners yang seringkali diabaikan masyarakat.

The Gleaners and I secara tidak langsung membuktikan bahwa aktivitas gleaning pada lukisan karya Francois Millet beratus-ratus tahun lalu masih menjadi pembahasan yang relevan hingga saat ini. Berbagai periode masa telah dilewati dan berbagai revolusi telah dilakukan. Namun, nyatanya permasalahan yang masih muncul tidak hanya mengenai pemenuhan kesejahteraaan sosial, melainkan juga muncul masalah-masalah baru lainnya yakni menumpuknya limbah/waste. Varda membantu kita untuk menyadarkan akan hal itu melalui dokumenternya yang akan dan terus menjadi peninggalan setelah akhir hayatnya.

The Gleaners and I| 2000 | Sutradara: Agnes Varda| Pemeran: Agnes Varda| Negara Asal: Prancis| Durasi: 108 menit | Produksi: Ciné Tamaris

Pekerja hukum sekaligus penikmat film

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top