Mania Cinema

Ketika Mata Mendengar: Eksplorasi Terhadap Seluk-Beluk dan Dinamika ‘Film Sosial’ Iran

Artikel ini diterjemahkan dari tulisan milik Keyvan Manafi dengan judul The Ethics of the ‘Listening Eye’: Exploring the Critical Excesses of Iranian ‘Social Films’. Terbit di Senses of Cinema pada September 2013

‘Film Sosial’ (Film-e ejtema’i), suatu aspek dunia perfilman Iran yang dipahami sebagai film-film yang kental dengan nuansa sosio-politik serta nuansa narasi yang realistik, telah menjadi bagian yang krusial dari industri sinema Iran pasca revolusi sejak 1980an. Penelahaan atas permasalahan yang tergolong sensitif terhadap kehidupan sosial di Iran, film sosial ini pada umumnya cenderung menuai berbagai kontroversi dari tahap awal produksi ataupun melalui proses politisasi oleh pihak rezim dan bahkan penonton sendiri. Akan tetapi, sedikitnya perhatian dari dunia akademisi menjadikan film sosial ini sebagai suatu aspek sinema yang perlu dikaji lebih lanjut, kendatipun film-film sosial jarang dikenal sebagai suatu praktik sinema yang umum. Memang, hanya beberapa film yang termasuk dalam kategori film ini yang telah dieksplorasi lebih lanjut seperti soal nilai-nilai auteurisme yang terdapat dalam film-film tersebut [1], serta bagaimana film sosial ini menjadi salah satu titik krusial dalam pembentukan estetika realis yang dapat ditemukan dalam genre ini. [2]

Dalam tulisannya yang mengkaji mengenai subjek film sosial ini, Saeed Zeydabadi-Nejad mendefinisikan terminologi film sosial sebagai eksplorasi ‘isu dan fenomena sosio-politik pasca revolusi’, dengan sejumlah topik di dalam film tersebut mengkaji persoalan seperti ‘keadilan sosial, kondisi pasca peperangan Iran-Iraq, peran agamawan dalam masyarakat Iran, serta realita dalam isu perempuan dengan menanyakan bagaimana dunia perfilman Iran menghadapi opresi yang di mana pemerintahnya sendiri merupakan pelaku atas kendali tersebut.’ [3] Dari tulisannya sendiri, Zeydabadi-Nejad menggambarkan dirinya sebagai seseorang peminat aspek politik dari dunia perfilfiman ini yang di mana ia mengupayakan berbagai penelusuran yang mendalam terkait konteks tersebut.[4] Namun dibalik keberhasilannya dalam menelaah konteks politik film-film sosial, saya memberikan argumen bahwa segala bentuk studi terkait film sosial juga seharusnya membahas genre sinema ini dari segi etika; karena studi apapun yang tidak mempertimbangkan implikasi etika dari film ini akan menimbulkan suatu resiko adanya kontradiksi atas tujuan yang terkandung di dalamnya, yaitu dengan adanya keterlibatan terhadap nilai-nilai tak kasat mata dalam pendekatan sinematik yang begitu kental dalam kalangan masyarakat.[5] dalam hal ini, seluruh bentuk studi film sosial yang mewarnai ruang lingkup politik harus mempertimbangkan persoalan pembaruhan atau keberbedaan serta menyinggung segala seluk beluknya dengan ‘distribusi yang tidak rata dari privilese naratif’.

Sebelum masuk ke dalam inti argumen ini, pertama-tama saya akan membela signifikansi aspek etiko-politik dari film-film sosial terutama dalam situasi dimana kehidupan masyarakat kelas bawah di Iran yang diselimuti dengan marginalisasi dan opresi rezim pemerintah menjadi subjek utama dalam fim tersebut. Keadaan miris yang dihadapi oleh masyarakat kelas bawah mengakibatkan tidak adanya representasi yang kuat terhadap kalangan masyarakat yang ada. Alhasil, kisah hidup mereka tidak akan terekspos dan didengar jika tidak ada individu yang memiliki status sebagai ‘intelektual yang memiliki privilese’ yang dapat bersaksi atas penderitaan mereka..

Di sisi lain, saya akan mempertanyakan segala bentuk romantisasi belaka dari kisah-kisah ini dengan memperkenalkan aspek pembaruan, yang di mana instrumentalisasi sinema yang diangkat dari aktivisme sosio-politik dengan kepentingan untuk menggambarkan disparitas sosial dibanding instrospeksi terhadap tradisi dan ketidakadilan sosial dalam film sosial tersebut, menciptakan suatu simbiosis subjek-objek yang justru sangat kontradiktif terhadap nilai sosial yang ingin disampaikan. Menciptakan suatu narasi dari kaum kelas bawah tanpa mempertimbangkan dinamika kekuatan yang tidak seimbang yang sangat melekat dalam aspek film tersebut mengimplikasikan adanya kemungkinan untuk menciptakan komunitas yang tidak adil; terutama karena menyediakan wadah bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan atau hak untuk merepresentasikan diri mereka telah berhadapan dengan resiko penggunaan sewenang-wenang atas perbedaan yang mereka miliki. Dalam argumen yang saya sampaikan ini, jika film sosial ini bertujuan untuk meraih situasi komunitas yang adil untuk ke depannya, resiko-resiko yang demikian perlu dipertimbangkan.

Akhir kata, sebagai sarana untuk menyampaikan argumen saya dengan jelas, saya akan melibatkan suatu analisis terhadap film Close-up [6] dan Crimson Gold [7], dua film sosial dominan dalam membentuk estetika realis yang menjadi kunci vital dalam menciptakan kritik terhadap aspek opresif dari genre ini, yang di mana pada saat bersamaan memberikan sanggahan bahwa narasi yang disampaikan melalui layar lebar sangat identik dengan konsep ‘mata yang mendengar’. Menurut Emmanuel Levinas, istilah ‘mata yang mendengar’ ialah rasa prihatin dan penuh perhatian mendengarkan kisah yang harus diabadikan[8] sebagai upaya untuk memberikan representasi terhadap mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menceritakan kisah mereka. Mata mendengar, dan tanpa  adanya penghakiman mendengarkan[9] kisah tersebut tanpa menjatuhkan validasi dibalik narasi yang disampaikan. Ide mata yang mendengar pun mengesampingkan tradisi subjek-objek melalui ‘penangguhan penghakiman dan moralitas’. [10] Namun dibalik gambaran argumen tersebut, ide ini tidak akan bisa terjadi sebelum ‘mata’ berhasil menerima posisinya dalam siklus tradisi tersebut dan mempertanyakan visi mengenai keberbedaan yang telah berkesinambungan di dalamnya.

Film Sosial dan Komunitas Masa Depan

Dalam film Close-up, Hossain Sabzian memainkan peran dirinya sebagai pengangguran yang sangat mencintai dunia sinema hingga ia terjerat masalah oleh pihak hukum karena menirukan gaya sutradara Mohsen Makhmalbaf; sedangkan dalam film Crimson Gold, Hussein (Hossain Emadeddin) adalah pengantar pizza dan seorang mantan prajurit dalam perang Iran-Iraq yang sedang dalam masa pemulihan dari luka akibat peperangan tersebut. Karakter yang mereka perankan ini merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Iran yang termarginalisasi yang disebabkan tidak hanya karena kondisi kemiskinan yang mereka hadapi, namun juga ketidakmampuan mereka dalam menceritakan pengalaman hidup mereka untuk diketahui oleh masyarakat yang memiliki privilese, Dengan pertimbangan tersebut, kedua film ini dapat dipandang sebagai film sosial yang secara khusus didedikasikan sebagai bukti atas perjuangan serta penderitaan mereka yang ceritanya belum terdengar dan justru diperparah akibat ketidakmampuan untuk menyampaikan kisah mereka.

Diantara aspek utama dari film sosial yang akan ditelusuri lebih lanjut dalam artikel ini ialah keterkaitan terhadap persoalan pembaruan, kompleksitas manusia[11], serta ruang lingkup masyarakat. [12] Terinspirasi dari Aristoteles, Hannah Arendt memahami manusia sebagai hewan-hewan politik yang berkemampuan untuk menyampaikan pemikirannya, serta melihat manusia tersebut sebagai pihak yang memiliki potensi untuk menciptakan ruang publik yang mengundang individu lainnya untuk mengabadikan perbuatan yang pernah dilakukan sebelumnya. [13] Dengan mempertimbangkan peran masyarakat kelas bawah dalam menyampaikan suaranya serta kontribusi mereka dalam konstruksi ruang publik tersebut bahkan dalam rangka untuk mengenang opresi yang menimpa mereka, sangat perlu bagi kita untuk memperhitungkan apa yang terjadi jika ada suatu kelompok yang tidak dapat memasuki ruang ini serta berpartisipasi dalam pengenangan tersebut. [14] dalam hal ini, keberadaan individu atau kelompok yang memiliki privilese menjadi kunci yang krusial dalam menyalurkan penderitaan yang dialami oleh mereka yang termarginalkan sehingga menjadi narasi kultural yang disaksikan oleh banyak orang. Dalam menghadapi realita ini, menciptakan wadah narasi bagi mereka yang belum sempat untuk direpresentasikan menjadi tujuan utama bagi orang-orang yang mewarnai dunia perfilman sosial ini; terutama jika melihat konsep ruang lingkup masyarakat yang dicetuskan oleh Judith Butler sebagai suatu hal yang terdiri atas apa yang tidak dapat dipertunjukkan dan didengar[15], jalan untuk menuju komunitas masa depan ini memang selalu berputar kepada persoalan visibilitas.

Mempertimbangkan lebih lanjut mengenai keterkaitan dari konsep kompleksitas manusia dan representasi, sebaiknya perlu bagi kita untuk mempertanyakan apakah kesaksian ini memang menjadi jalan yang utama untuk menyediakan wadah representasi bagi kelas bawah tersebut tanpa menghilangkan situasi kehidupan mereka yang tidak familiar atau dengan kata lain, menunjukkan aspek ‘kemanusian di ruang lingkup yang tidak disangka kendatipun disertai dengan segala kerapuhan dan kenyataan pedih dari narasi tersebut’. [16] Sisi representasi yang dipertanyakan ini justru semakin memiliki problema mendalam ketika kita mempertimbangkan bahwa kehidupan masyarakat Iran pasca revolusi dilekati oleh regulasi rezim yang sangat ketat sehingga mendapatkan suara serta realita rakyat kelas bawah dalam bentuk yang dapat direpresentasikan menjadi suatu hal yang hampir mustahil untuk dilakukan.[17] Meskipun demikian, tetap diperlukan adanya kacamata yang jelas dalam menghadapi kesulitan dalam persoalan ini yaitu konsepsi manusia sebagai suatu subjek yang tidak dapat direpresentasikan, namun menjadi bagian inti dari apa yang membuat representasi tersebut sebagai hal yang mustahil. [18]

Di balik hambatan yang dihadapi, bukan berarti bahwa kita harus secara keseluruhan menghindari representasi atas mereka yang membutuhkannya. [19]  justru sebaliknya, manusia pada umumnya sangat ‘menyertai hambatan yang menyebabkan representasi tersebut mustahil untuk dilakukan’ dan disjungsi yang demikian terkandung dalam konsep kemustahilan tersebut. Ada sesuatu yang ‘sangat memikat dari hal-hal yang mustahil untuk direpresentasikan’, dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses ini dipahami sebagai suatu hal yang ‘membatasi keberhasilan dari segala aksi representatif’. [20] Sesuatu yang mustahil untuk didengar harus direpresentasikan, karena mereka yang tidak didengarkan penderitaannya berkemungkinan untuk terjebak dalam siklus kekerasan yang semakin parah. [21] Meskipun demikian, mewadahi narasi yang tidak mungkin direpresentasikan mengindikasikan bahwa representasi tersebut telah mengalami kegagalan. [22]

Dalam hal ini, menjelajahi etika dari mata yang mendengar dalam film sosial Iran menyebabkan perlunya kajian, yang di mana setiap narasi tersebut dievaluasi berdasarkan kualitasnya dalam mewadahi kisah orang-orang yang tidak terdengar tanpa mengubah narasinya secara sewenang-wenang. [23] Diantaranya yaitu dengan indikator apakah film-film sosial tersebut menarasikan realita kehidupan yang dialami oleh rakyat kelas bawah tanpa menutupi perbedaan mereka. Terlebih lagi, film sosial ini dapat dipandang sebagai suatu sarana yang menggambarkan suatu kemungkinan komunitas di masa depan yang di mana keberbedaan dari pihak yang termarjinalkan tersebut dapat mendorong mereka untuk menuntut hak yang mereka miliki tanpa stigma negatif terhadap keberbedaan antara yang termarjinalkan dengan komunitas mereka. Jika berbagai kisah yang menjadi kesaksian atas kehidupan yang dialami oleh rakyat ini didasarkan pada humanisme kontemporer dan bertujuan untuk menciptakan visi dari komunitas yang dapat terbentuk di masa depan, maka kisah-kisah yang ada akan lebih baik jika tidak memiliki konklusi, karena ‘untuk mencapai keterbukaan suatu komunitas terhadap heterogenitas dari kehidupan manusia maka komunitas tersebut tidak akan dapat mencerna pemahaman mendasar tentang apa makna dari eksistensi seorang manusia’[24] oleh karena itu kesaksian yang digunakan sebagai kritik atas kegagalan suatu komunitas dan sebagai bentuk upaya untuk melahirkan komunitas yang baru, pada hakikatnya diinspirasi oleh apa yang kita kenal sebagai ‘etika kemurahan tangan; daripada mengupayakan untuk memberikan lampu sorotan terhadap mereka yang tidak terlihat oleh masyarakat, lebih baik jika kita mempelajari terkait bagaimana kita dapat mengenal dan mengakui setiap perbedaan yang tidak bisa disatukan. [25]

Melawan Belenggu ‘Kebajikan’

Konseptualisasi ‘mata yang mendengar’ berputar kepada persoalan heterogenitas dalam kehidupan manusia dan komunitas yang dibayangkan, justru menunjukkan suatu kontradiksi terhadap familiaritas dan konklusi dari narasi yang ingin dicapai. [26] Gagasan ini tidak bertujuan untuk memperbaiki segala bentuk kekurangan suatu pihak maupun mengkategorikannya sebagai suatu subjek yang dapat dengan mudah disampaikan serta tidak mengikuti tradisi subjek-objek tersebut. Justru sebaliknya, konsep ini berusaha mempertanyakan keberbedaan dari relasi yang terdapat di dalamnya. Dengan mempertimbangkan implikasi etis dari suatu konklusi, dapat dikatakan bahwa keberhasilan dari ‘konsep mata yang mendengar’ terdapat dalam kegagalannya untuk mencapai apa yang dideskripsikan oleh Jean-Francois Lyotard sebagai wujud ‘kebajikan’[27], yaitu antara lain ialah yang meliputi nilai-nilai: ketertiban, keharmonisan, familiaritas, representasi, komunikasi, serta konklusi. Tentunya aspek representasi pada umumnya adalah wujud perwakilan dari suatu subjek. Namun, dengan mengupayakan tercapainya representasi sejati, ide yang disematkan dalam wujud utuh tersebut menutup kemungkinan bagi kita untuk mempertimbangkan kegagalan serta ketidaksempurnaan atas representasi yang dilakukan. Jika kita menggunakan representasi tersebut sebagai sarana untuk mempertunjukkan subjek yang dinarasikan secara keseluruhannya, maka kita tidak akan berhadapan dengan risiko hambatan yang mengakibatkan gagalnya representasi yang ingin dicapai.[28] Dalam hal ini, untuk ‘mengakui segala perbedaan yang tidak bisa disatukan’ dan untuk melestarikan kisah mereka yang tidak dapat direpresentasikan, maka dapat dikatakan bahwa film sosial harus menjadi ruang representasi bagi kehidupan mereka yang berada di kelas bawah tanpa menggambarkan narasi tersebut ke dalam kanvas kebajikan.

Persepsi Lyotard mengenai realisme dapat dilihat sebagai suatu hal yang sangat frontal. Ia menyatakan bahwa realita bukanlah suatu hal yang diketahui secara natural, yang di mana realita tersebut justru ‘dilahirkan dari nilai serta kepercayaan yang terkandung dalam suatu budaya tertentu’, dan seni realisme menjadi ‘ujung tombak yang berperan besar ketika suatu budaya terlibat dalam proses pembentukan aspek realitanya sendiri’. Lyotard menghubungkan realisme dengan pemahaman mendasar mengenai representasi (yaitu dalam hal ini ialah nilai-nilai yang melekat pada wujud kesejahteraan), dan menekankan bahwa tujuan dari seni realisme adalah untuk memetakan konsepsi dunia dari ‘sudut pandang yang dapat dipahami, dan sebagai jembatan bagi penerimanya untuk mengenal realita yang disampaikan’, seni realis menganut pemikiran yang identik dengan ‘pemahaman yang terjadi secara spontan’, dengan membentuk ‘narasi mengenai dunia’ dengan menjaga keberlangsungannya dari potensi kritik ataupun perubahan. [29] Dengan demikian, realisme membingkai kenyataan kehidupan dengan merujuk kepada familiaritas, sehingga menutup kemungkinan yang mengarah kepada hal-hal yang tidak mungkin untuk direpresentasikan.

Dari segi historiknya, wujud kebajikan telah direalisasikan dalam dunia sinema sebagai konsep yang secara umum dikenal sebagai ‘realisme klasik’[30], yaitu sebuah tradisi sinematografi yang memiliki karakterisasi berupa familiarisasi, konklusi dari narasi[31], dan komunikasi.[32] Dalam hal ini, pandangan realisme klasik terkandung dalam relasi subjek-objek dengan menekankan wujud yang membawa keteraturan serta dominasi dalam mengangkat ide-ide seputar instrospeksi dan reifikasi, yang di mana hal tersebut dapat diwujudkan jika realita yang ada disampaikan dalam bentuk objek yang dapat diidentifikasikan.[33] Gaya kehidupan yang demikian, disampaikan melalui representasi bahwa bentuk realisasi dari wujud kebajikan yang dikuasai oleh perekonomian dalam memandang keberbedaan masyarakat sebagai objek konkrit [34] dan merebut kemampuan masyarakat yang berada dalam himpunan tersebut untuk berbicara. Individualitas yang menolak objektifikasi dari setiap perbedaan mengakibatkan tertutupnya kemungkinan bagi individu tersebut untuk mengalami refleksi diri. Serta secara tidak layak mendominasi pihak lain dan menghilangkan identitas orang-orang yang ada disekitarnya sebagai suatu hal yang abstrak.

Aplikasi realisme klasik yang berpotensi untuk menciptakan familiarisasi dan konklusi memberikan peluang instrumentalisasi dunia sinema sebagai media yang dapat memberikan pengaruh yang besar. Oleh karena faktor inilah Filmmaker Iran pada umumnya cenderung berorientasi kepada konseptualisasi yang terdapat dalam realisme klasik. Di sisi lain, rezim di Iran memandang sinema sebagai instrumen yang penting dalam menyalurkan informasi dari ‘atas ke bawah’. [35] Kaum konservatif yang seringkali berdansa dengan superioritas moral yang mereka miliki, mendambai instrumen yang dapat dimainkan dalam rangka menciptakan ideologi dominan. [36] Meskipun demikian, persepsi sinema ini tidak hanya sebatas propaganda ideologi yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Pada umumnya, mayoritas sineas film sosial memahami seni yang disampaikan pada hakikatnya juga memahami sinema sebagai sarana yang dapat digunakan sebagai mediasi antara dua pihak; yaitu antara sutradara sebagai intelektual yang berkebajikan, dengan komunitas objek yang direpresentasikan dalam instrumen berupa film tersebut. Aspek sinema ini digolongkan sebagai cara yang berarti dalam menunjukkan bagaimana fenomena disparitas atau ketidakadilan sedang terjadi dalam suatu komunitas, yang di mana aspek ketidakadilan tersebut menjadi misi utama yang harus dipertunjukkan oleh pihak-pihak untuk memainkan peran dalam menciptakan film sosial. Maka jelaslah pesan tersirat dalam konsepsi ini (dalam hal ini, aktivisme sosial yang diasosiasikan dengan tradisi intelektual memainkan peran signifikan); yaitu apa yang diperjuangkan ialah upaya filmmaker dalam menciptakan wadah melalui sinema untuk menyampaikan pesan yang dapat dipahami oleh penontonnya.

Menurut Zeydabadi-Nejad, berbeda dari film-film industri arus utama, film sosial Iran pada umumnya tidak memiliki akses yang mudah untuk ditonton disebabkan oleh kontroversi dan konten politik dengan sektor perfilmannya. [37] Namun salah satu persoalan yang tidak beliau singgung ialah bahwa penggunaan sinema sebagai sarana gerakan sosio-politik cenderung mempromosikan praktik sinematografi yang tidak refleksif dan kritis terhadap fondasi yang mereka miliki. Tujuan film sosial terkait perihal instrumentalisasi sinema merupakan landasan bagi pembuat film tersebut untuk menciptakan produk bersifat netral, yang mendapat status ‘radikal’ hanya dikarenakan penyampaian  efisien dari konteks politik dan pesan moral yang ada di film mereka. Dalam hal ini, nilai dari suatu karya sangat bergantung dari kapasitasnya dalam menyampaikan pesan-pesan (atau informasi), dan karya yang dicap sebagai karya bagus ialah yang berhasil menyampaikan pesan dengan gaya  ‘ekonomis’[38] dengan tidak menyertakan beberapa hal yakni: estetika, kecuali jika estetika tersebut dapat digunakan dalam rangka menjadikan keindahan sebagai alat penyampaian pesan yang tersirat. Begitu juga terkait aspek dunia yang menyangkut hal-hal seperti pembaruan; seharusnya tidak memiliki implikasi apapun selain fungsinya dalam mewadahi totalitas yang ada. [39] oleh karena itu skema awal[40] dan surplus[41] dari suatu karya seni dipandang sebagai intervensi dari proses penyampaian pesan-pesan yang tersirat dan harus dikoordinasikan, dinetralisasi, dan disederhanakan. Sekali lagi, apa yang dibutuhkan ialah karya seni yang ‘secara spontan dikenal dan mudah dipahami’.

Meskipun demikian, progresivitas intelektual film sosial dengan penggambaran isu sensitif yang kontroversial dapat mengakibatkan penyimpangan dari tujuan yang diinginkan; terutama karena pembaruan tidaklah sekedar pencapaian yang dapat diraih semata dari narasi dalam meunjukkan aspek positif dari suatu komunitas[42]; tetapi dari realita negatif yang melekat didalamnya. Pemujaan terhadap pembaruan mencolok pada dasarnya tercapai dengan adanya kontradiksi terhadap estetika yang disampaikan, dikarenakan kontradiksi tersebut dapat menjadi ruang berguna dalam defamiliarisasi wujud yang rusak dan berlebihan[43] dengan menolak keharmonisan yang ditawarkan dari wujud yang penuh dengan kebajikan[44], kandungan estetika menjadi suatu subjek yang terlepas dari konsepsi tradisional apa yang kita pandang sebagai keindahan[45]; dengan konsep keindahan itu dilihat sebagai indikator kesatuan, keharmonisan, dan kemampuan komunikasi yang di tekan dengan mencari realita yang penuh ‘kebajikan dan ‘kesempurnaan’ dalam rangka melestarikan familiaritas realita yang familiar.[46]

Mempertimbangkan konsepsi yang telah dijabarkan, saya akan memetakan manifestasi dari pendengaran mata dalam tradisi konvensional dari film sosial melalui sejumlah studi kasus dengan menanyakan bagaimana contoh yang tersedia mengedepankan pendekatan non-instrumental terhadap sinema, yang di mana kesinambungan film dengan subjek yang dinarasikan tidak dapat digolongkan sebatas hubungan keberbedaan yang terdiri atas manipulasi subjek atas suatu objek; namun bagaimana mereka yang belum terdengar suaranya direpresentasikan dengan dinamika dominasi dan keterbawahan meunjukkan gangguan dan tradisi realis dari film sosial mengalami problematisasi. Khususnya, saya akan menunjukkan bagaimana Close-up melatari keramahtamahan bagi pihak lainnya dengan menerapkan gaya film realis serta dengan memperkenalkan konsepsi yang berbeda – yang secara lebih kompleks – mengenai realisme berdasarkan pendekatan refleksif terhadap realita pro-filmic. Kemudian, saya akan memaparkan bagaimana Crimson Gold berdansa dengan realisme dalam menciptakan nuansanya ke dalam bentuk yang refleksif dan kemudian membentuk sebuah kondisi berlebih  yang bersangkut paut dengan perekonomian realis dari film sosial. [47]

Close-up: Wadah Bagi Mereka yang tidak Mampu Bersaksi

Dikarenakan kekagumannya terhadap film-film Mohsen Makhmalbaf dan sinema secara keseluruhannya, Hossain Sabzian mengimitasi sutradara ini selagi mendekati keluarga Ahankah yang berstatus sebagai kelas menengah, dengan membujuk mereka untuk  dapat berkolaborasi dengannya dalam apa yang ia sebut sebagai film panjang berikutnya. Ia pun akhirnya gagal dalam menjaga perannya setelah lama kelamaan keluarga Ahankan mulai memahami motif yang disampaikan, sehingga menuntut dan membawa Hossain Sabzian ke pengadilan. Close-up pun mengangkat kisah nyata ini dan merekam adegan-adegan terkait penuduhan Sabzian dan kehadirannya dalam pengadilan yang diambil dalam gaya dokumenter dan instrospektif, serta merekonstruksi kembali adegan/peristiwa yang pernah terjadi sebelum penahanannya dengan gaya klasikal. Terlebih lagi, Sabzian memerankan dirinya dalam film tersebut,  begitu juga dengan Mohsen Makhmalbaf dan Abbas Kiarostami, serta keluarga Ahankhah. Saya akan berargumen bahwa, Close-up berhasil dalam mewujudkan konsep mata yang mendengar dengan bergerak diluar batas kebutaan ruang lingkup etiko-ideologis dari narasi bernuansa klasik dengan jelas menunjukkan tradisi film sosial; keterbatasan  berakar dalam suatu keinginan atas intrumentalisasi sinema yang dimana dengan adanya dorongan terhadap hasrat untuk mencerminkan ketidakadilan sosial, justru menampilkan pihak yang direpresentasikan ke dalam wujud yang tidak dapat dikomunikasikan.

Film ini dimulai dengan upaya seorang jurnalis, Hossain Farazmand untuk mencari informasi yang diperlukan dalam rangka menceritakan kisah hidup Sabzian; suatu narasi yang pada akhirnya dipublikasikan dalam majalah Soroush. Selain itu, keluarga Ahankhah juga menceritakan peristiwa itu berdasarkan versi mereka sendiri terutama terkait kasus hukum atas Sabzian. Namun hal yang lebih penting ialah bahwa Sabzian menolak kedua sisi dari narasi yang disampaikan dengan mengkritik unsur keberpihakan dalam laporan yang didapat. Dengan demikian, upaya Kiarostami yang menjadi plot utama, berputar pada keinginan Sabzian untuk mempresentasikan kejadian berbeda yang tidak terpaku pada keterbatasan dan diskriminasi cerita yang telah disampaikan. Dalam hal ini, permulaan dari plot Close-up ialah tidak adanya privilese naratif, bahwa: tidak adanya fasilitas dan daya bagi Sabzian untuk menceritakan pengalaman individunya yang mengakibatkan dirinya tidak mampu untuk memberikan kontra argumen (atau dalam hal ini, narasi). Jadi Kiarostami memulai cerita dengan hasrat untuk memperjuangkan kisah Sabzian. Oleh karena itu, Close-up menjadi sebuah bentuk narasi dari sisi vulnerabilitas dan kompleksitas sosial yang tersematkan dalam diri Sabzian. Dari kisah hidupya, Sabzian memiliki ciri menonjol yang menjadi identitas terhadap eksistensinya; yaitu identitas yang mungkin tidak dapat dinarasikan dalam cara yang konvensional, namun pada akhirnya tetap eksis. Singkatnya, ia memiliki apa yang dinyatakan oleh Butler sebagai ‘kehidupan yang layak’ dan ‘kematian yang menyedihkan’.

Namun suatu faktor yang lebih utama ialah bahwa upaya Kiarostami juga memiliki target terhadap kemungkinan lainnya yakni: kelahiran narasi alternatif yang tidak dapat disewenang-wenangkan – bahkan termasuk keluarga Ahankhah, audiens pengadilan, serta yang paling penting ialah film itu sendiri. Jadi, Kiarostami berusaha untuk menggunakan hasrat kebajikannya melalui aspek estetika dari narasi yang disampaikan, menghindari risiko kepemilikan satu pihak dengan mempertahankan kisah Sabzian. Dengan demikian, Close-up menjadi studi kasus menarik tidak hanya dari pesan eksplisit yang melekat dalam temanya, namun juga pada perlakuan terhadap narasi dan estetika kisah hidup Sabzian yang mencakup tidak hanya sebatas limitasi film sosial Iran dan warisan normatif dalam sinema realis klasik.

Tidak sama halnya dengan realisme klasik, Close-up tidak bertujuan dalam merepresentasikan karakter dengan psikologis yang telah ditetapkan sejak awal, dan tidak secara keseluruhannya berputar kepada tokoh utama yang mengalami perjuangan untuk mencapai tujuannya. Menariknya, Close-up berawal dari titik kesulitan Sabzian (dalam hal mendekati keluarga Ahankhah selagi menyamar menjadi sutradara Mohsen Makhmalbaf) yang akhirnya berkahir pada kegagalan, dan juga ketimbang memainkan peran yang fungsional dalam menjelaskan peristiwa yang telah berlalu, adegan kilas balik Close-up (yang saya kategorikan sebagai adegan reka ulang) secara sengaja mengesampingkan kejadian tersebut dan memanfaatkan mereka sebagai dalih untuk menceritakan pengalaman Sabzian secara detil dengan latar depan keberadaannya dalam peristiwa yang terjadi; yaitu yang kita akan lihat merupakan suatu aspek yang jauh berbeda dibanding apa yang telah menjadi tradisi dalam realisme klasik.

(FOTO 1: Close-up: dalam salah satu adegannya, Kiarostami mengunjungi Sabzian di penjara dan dihadapi dengan permintaan untuk membantu Sabzian dalam menyediakan narasi alternatif. “sudikah kau untuk menceritakan penderitaan ku?”)

Dengan ini, kita tidak menemukan adanya penderitaan tokoh yang berakhir dengan konklusi dramatis, dan bahkan walaupun perjuangan dan penderitaan memang ada, hal-hal demikian tentunya tidak relevan dalam narasi klasik ini. Usaha Sabzian pada dasarnya tidak berakhir pada titik nyata (atau secara spesifik memiliki wujud yang dapat disentuh), namun ialah untuk menciptakan ruang alternatif yang dapat ia manfaatkan untuk menyuarakan apa yang diinginkan serta menjadi saksi atas peristiwa berdasarkan pengalamannya sendiri. Terlebih lagi, tantangan yang ia hadapi tidak bersifat konvensional seperti film-film pada umumnya, namun lebih kepada tidak adanya privilese naratif yang ia miliki. Narasi yang berjalan dalam film ini tidak mengikuti runtutan kronologi berurutan dari A ke B, dari ketenangan hingga kekacauan yang kembali menjadi situasi sejahtera; namun justru bagaimana ia merepresentasikan dirinya sendiri, dan praktik tersebut tidak dapat dikategorikan dalam bentuk narasi linier apapun. Pada konklusinya, ia tidak berhasil dalam menggapai privilese naratif; justru sebaliknya, secara terus menerus ia tetap menerima kegagalannya dan hak istimewa yang tidak ia miliki sepanjang alur cerita berlangsung. Tentunya, versi cerita miliknya memang disampaikan, namun pihak perantara (Kiarostami beserta kru nya yang mengkontsruksi adegan melalui kamera mereka) yang selalu mendampingi Sabzian mengindikasikan penolakan atas selebrasi non-reflektif dari realisme (penolakan atas perantara) [48], dan juga atas selebrasi belaka dari kebebasan melalui karya seni. [49]

Jika narasi klasik menyediakan relasi dan hiburan kepada audiensnya dengan menghadirkan protagonis yang dapat mengundang identifikasi penonton, maka wajar jika dikatakan bahwa Close-up tidak mendasari identifikasi tersebut sebagai fakta. Sabzian tidak dikarakterisasi dengan ciri khas apapun dari awal alur cerita, dan alur yang dipresentasikan oleh Farazmand dan keluarga Ahankhah (narasi yang ditujukan kepada karakterisasi yang tergesa-gesa), telah kehilangan nilainya dari awal pula. Sabzian justru dicap sebagai tokoh yang tidak familiar dan asing dari alur cerita dan penonton, dan alienasi tersebut menjadi fondasi bagi Close-up secara keseluruhan yakni bahwa: bagaimana pun, kita tetap ingin mendengarkan kisah dari seseorang yang ceritanya tidak dapat dipercaya, yang tidak cukup familiar untuk ditemukan dalam alur narasi yang lurus. Tidak seperti narasi klasik, Close-up tidak menghadirkan fiksasi namun justru defamiliarisasi sebagai pendorong berjalannya cerita.

Meskipun demikian, pendekatan dari plot yang disampaikan Close-up juga tidak lepas dari sejumlah risiko tertentu. Risiko ini berupa kondisi di mana alur tersebut yang memperkenalkan tokohnya, mengalienasi tokoh tersebut, dan pada akhirnya menggapai pembaruannya melalui proses evolusi. Dari kasus ini ada sebuah paradoks yang terbentuk: Kiarostami berusaha untuk membentuk narasi yang nyata dari kisah Sabzian, dan ia melakukannya dengan cara menyediakan ruang alternatif yang sesuai bagi Sabzian untuk menceritakan atau merepresentasikan dirinya. Namun di saat bersamaan, upaya untuk menciptakan ruang alternatif ini justru merupakan usaha implisit untuk menangkap dan menguasai esensi Sabzian. Dalam hal ini, Close-up meletakkan Sabzian dalam jalur yang dapat berakibat kepada pengurangan dan perolehan pembaruan yang dimilikinya; dikarenakan plot narasi seperti Close-up sangat bertujuan untuk memberikan familiarisasi apa yang sebelumnya tidak familiar. Memang, dapat disanggah bahwa eksploitasi ini sebetulnya tidak dapat dihindari yaitu dengan menceritakan suatu subjek yang meletakkan subjek tersebut kepada ruang lingkup makna dan kesadaran, sehingga sejak awal subjek tersebut tidak terhindar dari penggunaan pada batas-batas tertentu, meskipun tidak dalam skala yang besar. Jadi, apa yang dipertaruhkan bukanlah bagaimana kita harus menghindari naratif apapun, namun mempertanyakan bagaimana film seperti Close-up mengakui adanya resiko yang telah dibahas, dan berusaha untuk melintasi limitasi ini dengan pendekatan yang refleksif.

Dalam gaya narasinya, Kiarostami menggunakan nuansa narasi atas kasus hukum, dengan membiarkan Sabzian untuk ‘menceritakan pengalamannya’ tanpa memotong atau ikut campur dalam kisah tersebut. Pertama-tama, Kiarostami menggunakan satu kamera yang dikhususkan kepada Sabzian, dan Kiarostami secara terus terang mengarahkan Sabzian untuk menghadap kamera jika misalnya ia merasa butuh atau perlu mengatakan sesuatu yang umumnya tidak dapat diucapkan dalam konteks hukum. Kamera ini menjadi ruang bagi Sabzian untuk berbicara, dan disaat bersamaan ada semacam jaminan implisit bahwa perkataannya tidak akan dipotong atau dipertanyakan oleh siapapun. Terlebih lagi, Kiarostami menolak adanya penyuntingan konvensional dan memberikan fokus kepada close-up wajah Sabzian, perkataannya, ekspresi, serta reaksinya atas tokoh lainnya. Kita, sebagai penonton yang dididik dan dikondisikan oleh narasi klasik, biasanya akan menyangka diperlihatkannya wajah karakter lainnya, atau paling tidak reaksi mereka. Namun Close-up secara sistematis tidak menyajikan aspek tersebut, dan justru menyuguhkan monolog yang diucapkan Sabzian secara langsung, tidak seperti pada umumnya diinterpretasi melalui reaksi orang lain.

Lebih menarik lagi, Close-up tidak melibatkan satupun pengacara sehingga Sabzian mempertahankan dirinya dalam kasus ini secara independen. Hal ini tentunya menjadi pendekatan refleksif yang menjanjikan bagi konvensi peraturan hukum serta tradisi dominan dari pembuatan film. Tidak ada sama sekali kehadiran mediasi legal serta pengacara yang bertugas untuk menyampaikan kasus Sabzian dalam bentuk narasi hukum; yakni suatu translasi yang dapat menolongnya dalam kasus ini, namun akan mengakibatkan hilangnya kuasa tunggal Sabzian serta keunikan bahasa kesehariannya, tanpa memperdulikan apakah gaya bahasa yang ia gunakan masuk akal atau tidak. Kita memahami suara Sabzian melalui bahasanya sendiri, dan tentunya melalui penggunaan sudut pandang close-up kamera yang digunakan oleh Kiarostami. Jadi, Kiarostami mengakui penggunaan perantara kameranya, namun di saat bersamaan, ia berusaha untuk tidak bergantung kepada mediasi tersebut yang dapat berpotensi atas terjadinya penggunaan semena-mena lainnya. Sekali lagi, dalam beberapa skala tertentu, kisah ini juga menceritakan kisah Kiarostami.

Close-up juga membuahkan pendekatan baru kepada hal yang bersifat temporal, terutama dalam adegan di latar pengadilan. Disini, adegan Close-up mengambil sisi ambigu dalam hubungannya terhadap narasi yang disampaikan. Di satu sisi, Close-up sangat berkesinambungan dengan plot utama, yaitu perjuangan Kiarostami dan timnya untuk menyaksikan kisah utama dari kasus Sabzian. Di sisi lain, penggunaan Close-up secara berlebihan serta penataan latar adegan yang statis, secara tidak langsung mendekontekstualisasi adegan di pengadilan. Justru bertolak belakang dari alur tradisional, latar waktu terjadinya adegan-adegan dalam film ini tidak ditetapkan secara linier seperti yang dapat kita lhat dari selain mengikuti plotnya, kita juga menonton film terpisah yang ditampilkan dalam kurun waktu bersamaan; suatu film yang tidak dapat dicap sebagai familiar dengan kejelasan bahwa kita harus mengikutinya dengan alur yang linier. [50] Lalu, tidak hanya berbicara mengenai hilangnya linieritas dari aspek temporal naratif, namun aspek ruang dari adegan ini juga kehilangan interkoneksivitas dengan ruang diegetiknya. Disini, ada suatu manifestasi dari mata yang mendengar: penonton tidak hanya menyaksikan Sabzian berbicara secara langsung namun juga mengenalnya selagi ia sedang hadir dilayar, tanpa reduksi atas dinamika narasi dan batasan-batasannya.

Aspek signifikan lainnya dari film ini ialah ketika berbicara mengenai fokus, yang dalam hal ini bukan terkait soal konstruksi dunia cerita namun bagaimana cerita itu dikonstruksi. Naratif klasik mengangkat transparansi sebagai prinsipnya, dengan menarik penonton ke dalam alam cerita yang telah dikonstruksi tanpa memaksa penonton untuk menyadari bagaimana konstruksi yang dimaksud tersebut sedang terjadi. Kamera selalu disediakan untuk memasuki realitas dengan merekam apa yang sedang terjadi, tanpa mengindikasikan bahwa segala proses perekaman itu terlibat dalam diciptakannya narasi. Namun, Close-up justru memiliki gaya yang berbeda dengan eksplisit menyadarkan penonton mengenai kehadiran suatu perantara. Tidak ada narasi ‘realis’ dari Sabzian dikarenakan realisme dalam nuansa klasiknya tidak melekat sejak titik ketika Sabzian menolak narasi yang hadir mengenai dirinya [51]; yakni narasi yang bagaimanapun menuntut hak istimewa atas ‘kebenaran’ tanpa mempertanyakan kemungkinan dan validitasnya. Close-up juga dikonstruksi dalam nuansa realis, sehingga secara sadar membentuk narasinya dengan mengupayakan realisme. Tidak diragukan lagi memang ada satu realita pro-filmic yang berperan, tetapi apa yang membedakan Close-up ialah sorotan kompleks terhadap realitanya, bagaimana ia membangun narasi berdasarkan realita tersebut, tanpa menyinggung batas-batas ideologi realis dari dunia sinema – kamera sebagai reproduksi mekanis dari realita ‘objektif’. Faktanya, gaya para-dokumenter [52] yang dipahami sebagai interkoneksi dari gaya dokumenter dengan adegan yang direkonstruksi; mendorong Close-up untuk bermain dengan aspek realisme yang beragam: realita bukanlah apa yang dianugrahkan, namun apa yang (Close-up) upayakan untuk dicapai kendatipun dihadapkan dengan kesadaran atas potensi yang besar akan gagalnya upaya tersebut. [53] Versi realisme dari Close-up mengakui keterlibatan praktik sinematografi dalam menciptakan visi yang berubah-ubah: Close-up bercermin dengan persepsi ini, namun juga bercermin terhadap hubungan dengan seorang individu yang dikategorikan sesuai untuk menjadi subjek dalam medium sinema beserta tradisinya. Dalam hal ini, Close-up mempraktekkan apa yang saya istilahkan sebagai ‘realisme Etis’; yakni realisme yang mendekati realitas pro-filmic, namun di saat bersamaan memperlakukan realitanya sebagai suatu hal yang selalu mewarnai realisme apapun sehingga menjadi tidak dapat dikurangi atau digapai.

(FOTO 2: Close-up: Hossein Sabzian memohon maaf kepada keluarga Ahankhah, seolah reintegrasinya ke dalam komunitas akan membantu penonton untuk membayangkan komunitas yang adil di masa depan)

Meskipun demikian, konklusi cerita mengindikasikan kasus hukum terhadap Sabzian telah ditutup, dan ia telah diberikan pengampunan secara hukum dan secara langsung oleh keluarga Ahankhah. Tentunya, masyarakat ini direpresentasikan sebagai faktor utama dari subordinasi dan marginalisasi Sabzian; namun tetap saja kita memahami bahwa masyarakat ini patut dihargai ketika Sabzian yang pada hakikatnya orang asing, justu berhasil berintegrasi kembali ke dalamnya. Close-up mengakibatkan subordinasi Sabzian ke dalam sistem nilai dari masyarakat yaitu bahwa ia harus memohon pengampunan agar ia dapat diakui sebagai ‘bagian’ dari masyarakat yang telah menyebabkan dirinya dimarjinalisasi, menyudutkannya, tanpa adanya jaminan bahwa reintegrasi ini tidak akan mengulangi siklus pengeluaran tersebut. [54] refleksifitas Close-up tidak seutuhnya dikategorikan sebagai ‘Happy Ending’ yang menciptakan dinamika kekuatan dan nilai masyarakat dalam gaya yang tidak instrospektif, karena tidak perlu adanya penolakan atas permohonan maaf Sabzian yang menutup kemungkinan kesejahteraan bagi Sabzian di luar batas film ini. Memang hal ini menjadi kekurangan ideologis [55]; namun, potensi keseluruhan dari film ini tidak sepatutnya dilihat hanya dari Batasan ini saja.

Crimson Gold: Bagimu Kisahmu dan Bagiku Kisahku

Terdapat suatu keterkaitan yang signifikan dari Crimson Gold dengan Close-up terkait soal refleksifitasnya terhadap tradisi realis filim sosial; namun, di saat bersamaan film ini menjadi representasi dari sebuah pendekatan refleksif yang cukup berbeda. Saya akan memetakan bagaimana signifikansi Crimson Gold mencoba untuk menghadirkan norma dan konvensi realis yang menjadi ciri dari film sosial dalam menunjukkan keterbatasan dengan cara yang menyenangkan. Tentunya seperti yang akan kita saksikan, membawa konvensi ke dalam permukaan menandakan bahwa film ini sangat diwarnai oleh tradisi yang ada; namun gaya bermain serta pendekatan refleksifnya mencegah Crimson Gold sebagai film yang dapat dikategorikan ke dalam tradisi tersebut.

Dalam Crimson Gold, keseluruhan struktur cerita sangat familiar; seroang pria yang dikenal sebagai Hossein sedang merampok toko perhiasan; lalu ketika rencananya mengalami kekacauan ia membunuh seseorang dan bergegas bunuh diri. Alur cerita pun mengalami kemunduran dengan berputar kepada tokoh-tokoh yang terlibat dalam situasi tersebut. Melihat hal ini, narasi yang disampaikan dapat dipandang sebagai upaya untuk mendeskripsikan peristiwa lampau sebelum insiden yang terjadi sebagai konklusi. Selain itu, seluruh adegan dibentuk sedemikian rupa dalam gaya klasik yang jelas-jelas menggunakan gaya penyuntingan beketerlanjutan. Jadi, tidak sama halnya dengan Close-up, Crimson Gold tidak memperdulikan bagaimana menunjukkan teknik-tekniknya; justru sebaliknya, seperti nuansa klasikal, gaya yang digunakan tidak menonjol dan tidak menarik perhatian selagi menyampaikan alur cerita. Layaknya berbagai film sosial lainnya, Crimson Gold merupakan film sosial realis yang menceritakan kehidupan seorang individu yang berada dalam pinggiran lapisan masyarakat. Film ini bertujuan untuk mencapai kebajikan yang umumnya sering sekali dikaitkan dengan film sosial, dan dalam prosesnya film ini memang bertujuan untuk menyampaikan sejumlah pesan-pesan kepada penontonnya. Karakteristik ini pun membuahkan hasil yang positif yang di mana alur ceritanya kurang lebih familiar, dan proses bagaimana narasinya disalurkan bersifat konvensional dan mudah dikomprehensi. Namun apakah Crimson Gold hanyalah suatu reproduksi belaka dari wujud sinematik dominan yang telah familiar bagi kita? Pengalaman dalam menyaksikan film ini dan analisis mendalam terhadapnya mengusulkan bahwa Crimson Gold justru membangun wujud yang familiar; namun yang lebih penting ialah bahwa konvensi dan ekspektasi yang familiar ini secara lincah diletarikan ke dalam permukaannya.

Terkait persoalan pendekatannya atas tokoh-tokoh utama, film sosial berusaha mencapai visinya dengan menggambarkan tokoh yang terdefinisi dengan baik serta mudah untuk direpresentasikan. Karena faktor inilah film ini cenderung berkomitmen untuk menciptakan kesadaran atas hal-hal yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Jadi, jika perhatian utama adalah bagaimana mengenal mereka yang tidak dapat sorotan dalam ruang publik, mereka seharusnya digambarkan sebagai subjek yang familiar, atau setidaknya suatu entitas yang dapat kita raih melalui pola pikir familiar dalam mengenal kemanusiaan; dan mengakui manusia yang hadir di depan orang lainnya memang bergantung kepada sosok karakter atau tokoh yang telah ditetapkan.

Terdapat gaya serupa yang dapat dijumpai dalam Crimson Gold yaitu berupa hadirnya sesosok tokoh yang marjinal; namun, tidak seperti situasi tradisional, Crimson Gold tidak memperkenalkannya begitu saja dan justru menutupi transparansi karakter tersebut dari penonton. Dengan hal ini, Crimson Gold menyorot pertimbangan penting yang ditelantarkan oleh fitur konvensional tradisi fim sosial: defamiliarisasi obsesif dalam permulaan Crimson Gold memang selaras dengan tujuan etiko-politik dari film sosial; dikarenakan defamiliarisasi menyebabkan butuhnya keberadaan naratif yang demikian. Dalam hal ini, yaitu menarasikan dan merepresentasikan seseorang yang belum tentu sosok dan identitasnya familiar – seorang individu yang keberbedaannya disamarkan dan belum dapat digapai -membuktikan kebutuhan eksistensi dan signifikansi etiko-politik representasi tersebut. Terlebih lagi, kebutuhan ini menjadi lebih berarti jika kita mempertimbangkan kaitannya dengan tidak adanya privilese naratif: Hossein merupakan sosok yang tidak familiar dan tidak memiliki akses untuk membuat dirinya dikenal karena tidak adanya sarana yang ia butuhkan untuk menarasikan identitasnya sendiri. Ia tergambar hanya sebagai kelas pekerja yang tidak memiliki ketrampilan lunak (soft skill) ataupun kemampuan akademik. Ia selalu mati rasa akibat pill yang ia konsumsi setelah mengalami luka peperangan dan bahkan tidak mampu untuk melakukan pengantaran pizza tanpa terjadinya kendala. Jadi jelas bahwa Hossein tidak dapat menggunakan suatu wadah yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang baginya untuk menceritakan eksistensinya sehingga ‘film sosial’ ini menjadi saksi atas kisah yang dialami Hossein.

(FOTO 3: Crimson Gold: permulaan alur cerita dimulai dari terjadinya konklusi: atas kegagalannya dalam merampok toko perhiasan. Hossein memutuskan untuk mengakhiri penderitannya dengan bunuh diri.)

Pasca peristiwa di awal cerita, terbentuk suatu wujud familiarisasi dan defamiliarisasi dari sosok Hossein. Dengan fokus terhadap keseharian dan interaksinya sebelum merampok toko perhiasan, Crimson Gold berpedoman kepada aturan konvensional – mengisahkan peristiwa yang terjadi sebelum klimaks alur cerita; namun, seperti yang telah saya sampaikan bahwa pedoman yang demikian turut disertai oleh permainan tertentu. Contohnya, banyak dijumpai relasi yang tidak ada kaitannya antara adegan dan tiap-tiapnya belum tentu bersambung dengan adegan selanjutnya. Pendekatan non-konvensional ini secara signifikan mengintervensi struktur naratif; setiap adegan memiliki peran sebagai fondasi Crimson Gold, namun di saat bersamaan setiap bagiannya tidak dapat di simplifikasi ke dalam totalitas naratifnya. Sebagai pengaruh instrumentalitas film sosial yang realis, penonton kerap mendambakan gambaran lengkap yang tercapai secara singkat dan sedetail mungkin; akan tetapi Crimson Gold secara sistematis berpaling dari harapan tersebut.

Perbedaan pendekatan yang diaplikasikan oleh Crimson Gold ini pada dasarnya dilakukan demi tercapainya hasil yang berbeda: untuk mempresentasikan keseharian Hossein yang tidak istimewa dengan secara sengaja menghindari pelekatan makna spesifik dari kesehariannya. Sesuai pertimbangan terkait pembahasan saya tentang kompleksitas kehidupan, Crimson Gold berupaya untuk mengenal kehidupan Hossein dari sisi paling normalnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa kehidupan marginal yang dipenuhi kesendirian dari Hossein ini hanyalah montase dari momen tidak berarti; dan yang lebih menariknya, film ini tidak mengupayakan agar kehidupan Hossein dikenal melalui narasi dramatis yang sejujurnya sangat asing dari kenyataan pengalaman hidupnya. Dengan demikian, upaya untuk mengenal serta mengakui kehidupan yang mungkin mustahil untuk disaksikan menjadi visi utama dari Crimson Gold sendiri.

Menggarisbawahi diskusi Judith Butler mengenai alokasi dari kerapuhan dan kenestapaan, dapat dikatakan bahwa ruang publik juga terkandung pembatasan ‘aksi berduka’; karena tidak akan adanya duka cita, kecuali jika kesedihan itu terjadi dengan batas-batas tertentu dan dilakukan atas mereka yang telah hidup dan pantas untuk diratapi. Dari persepsi ini, mengisahkan seseorang dapat dipandang sebagai ratapan atas seseorang yang menjadi subjek dalam cerita: narasi yang memandang individu bernama dan berpengalaman yang diakui memiliki jalan kehidupan, dan sebagai seseorang yang hidupnya cenderung pahit dan sulit, serta sensitif atas kekerasan oleh pihak lainnya. Sesuai hal ini, kehidupan Hossein disampaikan melalui narasi dirinya tanpa memperdulikan betapa aneh atau pun pedih kisah yang ia jalankan. Kemudian, kehidupannya termasuk dapat diratapi melalui narasi ini, sebagai sesuatu yang selalu berpacu dengan kematian sehingga dapat dipandang sebagai kehidupan yang telah diratapi. Dari pernyataan Butler, menceritakan mereka yang belum dikenal, mengakibatkan terbentuknya pernyataan: ‘ini akan menjadi kehidupan yang telah berlalu. [56]  Dan sesuai dengan pendengaran sepasang mata: mata mendengar mereka yang berbicara, meskipun tanpa adanya jaminan bahwa apa yang disaksikannya dapat dimengerti atau dikomunikasikan.[57]

Memang, dapat dibantah bahwa meskipun ada semacam keengganan untuk memanfaatkan tokoh utamanya, Crimson Gold secara tidak langsung justru menggambarkan Hossein sebagai korban (korban dari lapisan masyarakat/disparitas/perbedaan kelas). Kenyataannya, Hossein dimanfaatkan dalam rangka menciptakan realita atas sisi gelap dari komunitas yang terdapat di dalamnya: dalam proses delivery pizza, Hossein menjumpai orang-orang yang beragam yang semuanya merupakan pelaku maupun korban dari ketidakadilan sosial. Hossein sendiri pun juga dikatakan sebagai korban, dan jati dirinya sebagai korban semakin diperparah akibat pekerjaannya yang menyebabkan dirinya menyaksikan ketidakadilan sosial eksternal yang memang dirinya tidak terlibat dalam disparitas tersebut. Dari hal ini, narasi yang disampaikan memang menjadi motivasi bagi pemberontakan Hossein karena memang, ia memberontak dari sistem yang mengecap dirinya serta orang-orang yang ia saksikan sebagai korban.

Bantahan atas aspek patologis Crimson Gold ini memang berbobot; namun, secara keseluruhan argumen tersebut mengabaikan pendekatan naratif kepada karakter Hossein. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, Crimson Gold terpaku kepada momen paling sederhana dari hidup Hossein, namun momen-momen ini tidak memberi tahu penontonnya mengenai seluk beluk identitas dan jati dirinya. Sebagian besar dari adegan yang ada seringkali menampilkan Hossein yang sedang melakukan perjalanan menggunakan sepeda motornya. Keseringan kemunculan adegan  serupa menyebabkan aspek ini menjadi gaya estetik yang menjadi kondisi atas terbentuknya keunikan sinematik [58]: kita tidak hanya menyaksikan Hossein dari momen sederhananya, namun juga ketika ia hanya berada dalam suatu adegan tanpa adanya makna tersirat ataupun fungsi naratif yang terkandung di dalamnya. Ia kerap digambarkan sebagai sosok yang ambigu tanpa motif yang jelas. Dibalik penolakan yang sering ia lakukan, ia justru sering merasa khawatir atas kondisi tunangannya. Ia sering direndahkan oleh orang-orang, namun responnya atas perlakuan tersebut tidak jelas. Ia sering mati rasa dan berdiam [59], dan tidak ada indikasi yang dapat ditarik dari ekspresi atau fisiknya yang dapat menjadi ukuran atas apa yang ia rasakan. Namun, narasi yang bersaksi atas kehidupan yang buram tetaplah menjadi kisah yang patut disaksikan.

(FOTO 4: Crimson Gold: mati rasa akibat pill yang ia konsumsi, serta terasingkan dari kehidupan orang lain meskipun adanya interaksi dalam kesehariannya, menjadikan kehidupan Hossein sebagai suatu ambiguitas yang tak terlihat.)

Pada adegan terakhir, Hossein berkesempatan untuk berkenalan dengan gaya hidup kelas atas di saat ia diajak oleh pria kaya raya untuk menyantap sebuah pizza. Hossein mulai menelusuri rumah orang kaya tersebut, meminum anggur mahal, menikmati kolam renang dan seterusnya. Tetapi dibalik tindakan-tindakan ini Hossein tetap tidak menunjukkan wujud ekspresi apapun sehingga menutup kesempatan bagi penonton untuk memahami apa yang ia pikirkan. Pemberontakan yang ia lakukan pasca adegan ini tidak salah lagi memang didorong oleh pertemuannya dengan kehidupan mewah dari orang yang berkomunitas yang sama dengan dirinya. Namun kehampaan ekspresi wajahnya menghambat penonton untuk memahami identitas karakter Hossein. Dalam hal ini, Crimson Gold memanfaatkan dan bergerak di luar bidang narasi konvensional, terutama dengan diutamakannya ekspektasi tertentu tanpa memberikan jawaban yang eksplisit. Hossein hadir sebagai tokoh yang familiaritas, dan defamiliaritasnya berada dalam titik yang sangat seimbang tanpa melebihi satu sama lainnya.

Mungkin, tidak aneh jika dikatakan bahwa Crimson Gold dengan sengaja menutup kemungkinan makna-makna tersirat ataupun yang lebih eksplisit dalam rangka menarik respon dari penonton bahwa mereka tergerak untuk memberikan interpretasi personal masing-masing (seolah-olah sebagai bentuk demokrasi bagi penonton). Namun, tidak sama halnya Crimson Gold. Justru sebaliknya, jawaban dari ekspektasi selalu tersirat dan celah-celah yang kosong dapat dipenuhi dengan mudah jika misalnya kita telah merasa puas dengan penjelasan yang menunjukkan karakter Hossein dalam lensa yang abstrak. Akan tetapi, pesona gaya narasi ini tidak memberikan atraksi yang menarik penonton. Ada sesuatu yang bergerak tidak hanya sebatas mengisi kekosongan: apa yang kita jumpai di sini, ialah mempertanyakan mengenai persoalan pengisian kekosongan di karenakan perlakuan tersebut menutupi celah yang dipandang bahwa suatu bentuk cerita tidak bergantung kepada pengisian celah yang ada. Jadi dapat dipahami bahwa film ini memberikan jawaban layaknya film sosial pada umumnya yang mengupayakan terjalinnya komunikasi; namun, poin yang penting ialah bahwa tidak seperti fitur konvensional, Crimson Gold menarik fungsi dari hadirnya jawaban agar alur yang disampaikan memberikan pengaruh dalam taraf yang berbeda. Intinya, tidak hanya jawaban yang didapat mungkin tidak memuaskan, namun juga aksi menjawab dengan menutupi celah-celah pertanyaan dan interpretasi mulai kehilangan keunggulannya selama film berlangsung sehingga dampak yang ingin dicapai oleh Crimson Gold secara teoritis tidak mungkin tergapai sekalipun kita berusaha untuk memberikan jawaban yang lebih sesuai. Kendatipun terdapatnya fakta bahwa dari permukannya alur cerita ini bergerak secara linier, Crimson Gold tidak memberikan kesempatan bagi penontonnya untuk bergerak sesuai rel linier tersebut karena tidak adanya alur A ke B yang mengizinkan kita untuk memahami sosok dan karakter Hossein lebih jauh, ataupun jalur lainnya yang akan menghantarkan kita untuk lebih mendekat kepada jati dirinya sebagai tokoh utama dari cerita. Dengan demikian, kehadiran linieritas narasi disini tidak terlepas dari interupsi yang terjadi secara konsisten.

Dengan kata lain, Crimson Gold menetapkan kondisi dari apa yang dikenal sebagai ‘pengakuan atas mereka yang tidak disaksikan’; yakni suatu kesaksian di saat seorang individu harus menghilangkan hasrat familiar (dan tidak etis) untuk mengenal mereka yang tidak terlihat secara keseluruhan.[60] Penonton tidak diberikan hak dalam bentuk apapun untuk menjalin koneksi dan identifikasi terhadap karakter di film ini. Justru identifikasi disini terjadi melalui gaya yang berbeda dengan Hossein sebagai tokoh yang bersosok jauh dari penonton; kehidupan dan kematian Hossein diakui melalui disampaikannya sebuah cerita, akan tetapi kisah tersebut tidak merenggut alteritas/perbedaan yang menjadi bagian dari jati dirinya. Cerita ini disematkan sepenuhnya sebagai pengalaman hidup Hossein, dan Crimson Gold jelas-jelas tidak berkeinginan untuk menggambarkan ambiguitas kehidupannya dalam kanvas yang abstrak. Dalam hal inilah Crimson Gold memenuhi perannya sebagai ‘mata yang mendengar’: Hossein yang merupakan perwujudan sejati dari konsep alteritas atau keberbedaan selalu identik sebagai subjek asing dari keseluruhan narasi Crimson Gold – serta juga sebagai sosok yang asing bagi penonton sendiri – sebab kamera sebagai mediator cenderung hanya terpaku pada aspek permukaan sehingga tidak menyediakan penjelasan psikologis yang jelas. Kisah Hossein berjalan di depan mata kita sebagai audiens, namun kisahnya sejak awal hanya dimiliki, dan akan selalu dimiliki olehnya.

Kesimpulan

Salah satu keterbatasan utama dari film sosial ialah dikarenakan promosi eksplisit gambaran ‘positif’ dari kelompok marjinal dalam lapisan masyarakat untuk menangkal minimnya representasi serta aspek representasi negatif. Dalam pendekatan yang identik dengan aktivisme sosio-politik, promosi gambaran positif dipandang sebagai gagasan etiko-politik yang dapat tercapai melalui diutamakannya gambaran alternatif tersebut, seolah-olah dinamika kekuatan yang telah terbentuk tidak bersifat kokoh. Meskipun adanya signifikansi sosial dan politik dalam taraf waktu tertentu, dikotomi negative-positif ini cenderung melahirkan selebrasi naif dari gambaran positif selagi tidak menangkap makna sejati bahwa aspek ‘positif’ merupakan label yang disertai nilai politik dan etika, dengan membawa ‘penilaian nilai implisit’ yang ‘subjektif dan spesifik dari segi budaya’ sehingga mengabaikan ‘ideologi politik yang diterima begitu saja dalam proses promosi gambaran tersebut’. [61]

Di sisi lain, argumen saya ialah bahwa ‘film sosial alternatif dan progresif’ merupakan film yang tidak seperti nuansa realis tradisional, lebih mempertimbangkan kesulitan dan risiko dalam menciptakan sinema yang berbasis pada keberbedaan. Crimson Gold dan Close-up sebagai film sosial progresif tidak hanya memperhatikan apa yang direpresentasikan dalam tokoh dan peristiwa yang terlibat di dalamnya (atau dalam hal ini konten film tersebut); namun lebih kepada ‘bagaimana gambar itu dibingkai, seta ruang lingkup mana yang digunakan, diubah, ataupun disinggung’. Dengan berfokus kepada ‘perantara yang mengintervensi antara subjek representasi dengan realita [62], film-film ini menyatakan ‘bagaimana pemaknaan dalam imej membawa norma dan ekslusi internal yang dapat ditantang oleh representasi yang melawan arus’. [63] Film sosial progresif yang diinspirasi oleh etika alteritas, tidak hanya condong kepada perjuangan yang nyata; namun yang lebih krusial ialah bahwa film sosial tersebut mengkritik tradisinya sendiri melalui pengungkapan visi pembaruannya.

Kedua film ini tidak bertujuan untuk memperlakukan karakter utamanya dalam cara yang tipikal, dan lebih menarik lagi, keduanya tidak memanfaatkan narasi yang familiar agar film-film ini dikenal melalui alur yang juga familiar. Crimson Gold dan Close-up justru bertujuan untuk menarasikan apa yang tidak terlihat dan di saat yang sama menolak kerangka visibiltas yang sedang relevan. Mengenal dan menyaksikan pihak lain melalui kerangka yang sudah kita biasakan memang mendorong universalitas dari kerangka ini sekaligus menutup partikularitas dan ekslusifitas yang ada di dalamnya. Jadi tidak akan ada yang kita kenal sebagai etika, terutama dikarenakan etika disini dipahami sebagai wujud dari instrospeksi diri, dan juga sebagai cara agar mereka yang tidak disaksikan dapat menemukan wadah untuk dikenal alteritasnya sehingga mereka tidak dikategorikan ke dalam suatu simplifikasi belaka. Apa yang dipertaruhkan ialah mempertanyakan kerangka berpikir kita terkait kemanusiaan melalui gesekan dengan konsep alteritas mereka yang tidak disaksikan. Namun jika mereka yang termarjinalkan disorot sehingga tidak ada lagi ruang untuk mengakui ambiguitas yang tidak dapat direpresentasikan bahkan dengan usaha yang telah dilakukan secara maksimal – maka orang-orang yang tidak terlihat itu pada dasarnya telah selalu berada dalam genggaman kita – selalu diungkapkan – sehingga tidak ada kemungkinan atas terjadinya kritik yang bermakna dan tidak terbentuknya masa depan yang berarti.

Komunitas masa depan yang adil – komunitas yang belum lahir atau dengan kata lain mustahil untuk direalisasikan karena didasarkan atas keterbukaan yang tak terbatas terhadap hetegeronitas kehidupan manusia – sangat berakar dalam perjumpaan dengan mereka yang tidak terlihat. Komunitas ini diangkat dari etika pembaruan melalui bagaimana ambiguitas dan tidak disaksikannya mereka yang terpinggirkan, dapat diakui dan didengar [64]; diakui dan didengar yang pada dasarnya bergantung kepada semacam instrospeksi diri. Ini menjadi poin penting yang di gagal tercapai dalam mayoritas film-film sosial, yaitu apabila komunitas yang tidak adil dibatasi oleh apa yang tidak terlihat dan terdengar, dan jika kerangka pemikiran normatif mengenai kemanusiaan ditetapkan melalui pembatasan tersebut, maka instrumentalisasi buta dari sinema untuk merepresentasikan pihak yang dimarjinalisasi melalui gambaran ‘positif’ dapat dikatakan belum efektif. Memang, promosi melalui gambaran ‘positif’ ini mengakibatkan tersorotnya mereka yang sebelumnya tidak terdengar atau yang tertekan oleh ideologi yang berdominasi; namun kita tidak patut menghindar dari pertanyaan bagaimana keistimewaan film sosial justru berperan besar dalam mengeksploitasi mereka yang di bawah, mengecap mereka ke dalam status familiar tanpa mempertimbangkan resiko dan bahaya dari familiarisasi tersebut. Mengenali orang-orang ini dengan mengkategorikan mereka ke dalam suatu homogenitas yang menyebabkan hilangnya alteritas mereka, justru tidak memiliki manfaat apapun dalam hal memberikan representasi yang sesuai. Sebaliknya, familiarisasi ini malah menenggelamkan mereka ke dalam kesunyian yang lebih dalam.

Memang, apa yang saya advokasikan disini ialah signifikansi sebuah cerita; yaitu yang mungkin bukanlah cerita yang ‘bagus’ namun tetap mengakui eksistensi kehidupan dalam suatu komunitas yang di mana pengakuan merupakan sesuatu yang mustahil dan tidak dilaksanakan melalui homogenitas mereka yang tergabung dalam komunitas tersebut. Dalam makna inilah kesaksian atas peristiwa masa lampau serta penindasan dalam realita masa kini berperan penting dalam terbentuknya komunitas masa depan; karena dilestarikannya suatu kisah yang sebelumnya dilupakan atau tidak pernah terdengar, mengakibatkan kesaksian tersebut terlibat dalam ruang lingkup ratapan: berduka atas mereka yang umumnya dipandang sebagai manusia – kecuali jika mereka disimplikasi ke dalam konsepsi normatif mengenai manusia – atau mereka yang dianggap ‘di bawah manusia’ atau ‘belum manusia’ sehingga statusnya tercantum sebagai manusia yang tidak utuh (mengenalkan konsepsi internal ke dalam kategori kemanusiaan dengan menyatakan bahwa ‘ada kehidupan yang tidak akan pernah terjalankan’). Dan ratapan kritis ini sangat berkaitan dengan kontra argumen: ‘ini akan menjadi kehidupan akan dijalani’, suatu kontra atas pernyataan yang, seperti telah saya debatkan, tidak dapat dinyatakan dalam bentuk komunikasi apapun.

Etika, sesuai yang diistilahkan dalam artikel ini, secara fundamental sangat bergantung kepada pengakuan yang dilakukan oleh mata yang mendengar; dikarenakan kisah yang tak terdengar, dengan segala alteritasnya, telah menjadi bagian dari wawasan serta batas pengetahuan eksternal ‘kita’; dan diutamakannya eksterioritas ini akan menjamin instrospeksi atas diri sendiri. Refleksi diri yang dilakukan oleh film sosial progresif bertujuan agar tercapainya status mata yang mendengar; dan instrospeksi serta interogasi diri ini beranjak dari interogasi atas visi alteritas tradisi film sosial yang mendampingi proses penyitaan komunitas yang akan datang di masa depan. Dalam hal ini, film sosial progresif terlibat dalam praktik kontra budaya yang menyediakan kondisi atas kemungkinan dari apa yang dideskripsikan Derrida sebagai ‘tidak siap, atau mengantisipasi ketidaksiapan atas hadirnya mereka yang tidak tersaksikan’. [65]

Terima kasih sebesar-besarnya kepada Jane Stadler atas dukungan serta masukan yang sangat berharga dalam penulisan artikel ini.

Artikel ini telah ditinjau oleh rekan sejawat.

Keyvan Manafi adalah seorang penulis dari Iran dengan gelar Magister di Studi Budaya. Ia memiliki sejumlah karya yang akan datang dalam bahasa Persia mengenai ketersinggungan antara film dan filsafat kontinental.

Diterjemahkan oleh: Kachfi As Shidqi

Desain oleh: Shafa Salsabilla

 

CATATAN

[1] Sejumlah film karya sutradara Iran ternama, seperti Mohsen Makhmalbaf, Jafar Panahi, Rakhshan Bani Etemad, Dariush Mehrjuyi, and Abbas Kiarostami.

[2] Fitur film realis oleh beberapa sutradara, yang diantaranya ialah Tahmineh Milani, Rasoul Sadre-ameli, Sirous Alvand, Alireza Davoudnejad, Pouran Derakhshandeh, Behrouz Afkhami, Iraj Ghaderi, Bahman Farmanara, Masoud Kimiai, Ahmadreza Darvish, Ebrahim Hatamikia, Rasoul Mollagholipour, Saman Moghaddam, Maziar Miri, Kamal Tabrizi dan lain-lain.

[3] Saeed Zeydabadi-Nejad, The Politics of Iranian Cinema: Films and Society in the Islamic Republic, London: Routledge, 2010, hal. 3.

[4] Ibid., hal. 55-56.

[5] Kebaikan yang tidak dipantau adalah bahaya dan kaum intelektual harus menjaga kewaspadaan diri. untuk diskusi lebih rinci terkait perihal implikasi (dan bahaya) etiko-politik kebajikan intelektual lihat Gayatri Chakravorty Spivak,  In Other Words: Essays in Cultural Politics, London: Routledge, 1988; dan Sangeeta Ray, Gayatri Chakravorty Spivak, In Other Words, Wiley and Blackwell, 2009.

[6]Namaye-nazdik (Close-up, 1990), disutradarai oleh Abbas Kiarostami.

[7] Talaye Sorkh (Crimson Gold, 2003), disutradarai oleh Jafar Panahi dan dituiis oleh Abbas Kiarostami.

[8] Joanna Zylinska, The Ethics of Cultural Studies, London: Continuum, 2005, hal. 58-59.

[9] ‘permasalahan yang muncul dalam konseptualisasi label dalam proses berbicara tidak hanya soal terabaikannya manfaat mendengar namun juga bagaimana konseptualisasi ini menyamarkan bagaimana mendengar tersebut memungkinkan respon yang etis’ (lihat Lisbeth Lipari, ‘’Rhetoric’s Other: Levinas, Listening, and the Ethical Response’’, dalam Philosophy & Rhetoric, Vol. 45, No. 3, Penn State University Press, 2012, hal. 227-245; dan juga Gemma Corradi Fiumara, The Other Side of Language: A Philosophy of Listening, diterjemahkan oleh Charles Lambert, London: Routledge, 1990). Selain itu, mendengar menjadi hal yang penting dalam makna bahwa pendengaran ini bertujuan untuk membingkai kualitas naratif dari perhatian etika, tidak hanya kepada orang lain, namun juga kepada kisah mereka dan memotret sisi yang tidak mungkin dapat disaksikan oleh mata dari segi penampilan semata. Lihat  Jane Stadler, Pulling Focus: Intersubjective Experience, Narrative Film, and Ethics, New York dan London: Continuum, 2008.

[10] Ibid.

[11] Lihat Judith butler, Precarious Life: The Power of Mourning and Violence, London/New York: Verso, London, dan Judith Butler, Frames of War: When is Life Grievable?, London dan New York: Verso, 2009.

[12] Menurut Habermas, ‘ruang publik’ merupakan ruang ideal yang mencakup institusi seperti media yang memfasilitasi interaksi publik serta debat antar masyarakat, ruang ini juga merujuk kepada situasi sosial bersama dan pengalaman hidup masyarakat (lihat Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge, MA: MIT Press, 1989). Lalu, seperti yang dinyatakan oleh Eric O. Clarke, ruang publik berpotensi untuk melibatkan seluruh kalangan masyarakat, meskipun kenyataannya ruang ini mengecualikan mereka yang tidak memiliki hak spesial seperti wanita dan orang-orang yang tidak punya properti, atau bahkan orang-orang yang dipandang sebagai properti (lihat Eric O. Clarke, Virtuous Vice: Homoeroticism and the Public Sphere, Duke University Press, 2000).

[13] Lihat  Noëlle McAfee, “Bearing Witness in the Polis: Kristeva, Arendt, and the Space of Appearance,” dalam Revolt, Affect, Collectivity: The Unstable Boundaries of Kristeva’s Polis, diedit oleh Tina Chanter dan Ewa Plonowska Ziarek, Albany: State University of New York Press, 2005, hal. 113-126.

[14] Berdasarkan pertanyaan yang serupa, Kelly Oliver mengedepankan istilah ‘bersaksi’ sebagai tindakan ketika mereka yang tertindas dan tidak mendapat subjektifitas, berkesempatan untuk menciptakan kembali subjektifitas mereka melalui testimoni publik yang bersaksi atas penindasan dan kerendahatian mereka (lihat Oliver, Kelly, Witnessing: Beyond Recognition, Minneapolis: University of Minnesota Press, 2001). Kemudian, masuk akal rasanya untuk menanyakan persoalan fakta bahwa komunitas masa kini – terutama mereka yang secara tidak rata masih terbentuk dari kategori kelas, ras, gender, dan diskriminasi seksual – menghambat kebebasan dari testimoni ‘publik’ oleh kelompok minoritas yang tertindas. Terlebih lagi, Nancy Fraser menggunakan konsep rakyat kelas bawah untuk membahas ‘area paralel terpisah yang di mana anggota dari kelompok sosial yang di bawah menetapkan kontra wacana untuk merumuskan interpretasi bertolak belakang mengenai identitas, kepentingan, serta kebutuhan mereka’. lihat Fraser, Nancy. Unruly Practices: Power, Discourse and Gender in Contemporary Social Theory. Cambridge dan Oxford: Polity Press, 1992, hal. 123.

[15] Judith Butler, Precarious Life: The Power of Mourning and Violence, hal xvii.

[16] Ibid., hal. 151.

[17] Diangkat dari filosofi Levinas, Butler mengklaim bahwa ‘sangat mungkin untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk representasi yang dominan harus disinggung agar selluk beluk mengenai kehidupan dapat digapai’. Butler meletakkan representasi dan implikasi etisnya dalam ruang lingkup sosial yang lebih eksternal, dengan menekankan implikasi penyinggungan untuk ‘batas-batas yang menentukan apa yang mungkin atau tidak mungkin muncul dalam kehidupan publik’, dan untuk ‘batas-batas dari bidang visual yang diakui’. Lihat Judith Butler, Precarious Life: The Power of Mourning and Violence, hal. xi.

[18] Ibid., hal. 144.

[19] Menurut saya kita harus terlibat dengan apa yang dikenal sebagai larangan terhadap figuralitas dan representasi yang berbasis kepada kejadian absolut terkait alteritas (lihat Lisa Downing, ‘’Re-viewing Sexual Relation: Levinas and Cinema,’’ dalam Film-Philosophy 11.2, Agustus 2007).

[20] Sisi kemanusiaan ‘tidak identik dengan objek yang direpresentasi maupun yang tidak dapat direpresentasi; kemanusiaan disini, lebih berperan sebagai pembatas terjadinya proses representasi’. Namun sebaliknya, hasil yang berbeda lahir ketika ‘representasi dilakukan dalam rangka menangkap esensi kemanusiaan’. Bagi Levinas, kemanusiaan ini tidak dapat digapai melalui representasi, dan kita dapat menjumpai hilangnya sisi kemanusiaan tersebut dalam pembingkaian representasi’. Lihat Judith Butler, Precarious Life: The Power of Mourning and Violence, hal. 144-5.

[21] Menurut Butler, ‘jika kekerasan dilakukan terhadap mereka yang tidak nyata, maka dari perspektif kekerasan ini ada kegagalan untuk menyakiti mereka yang kehidupannya telah sengsara sejak awal’ (lihat Judith Butler, Precarious Life: The Power of Mourning and Violence, hal. 43). Kemudian, Butler memandang kenyataan ini sebagai persoalan ontologi; dikarenakan vokalisasi atas kompleksitas kehidupan sangat berhubungan dengan pertanyaan ontologis mengenai apa yang dipandang oleh manusia sebagai kehidupan yang layak.

[22] Diangkat dari konsepsi Arendt mengenai ‘komprehensi’, Joanna Zyllinska mengadvokasikan sanggahan yang serupa dengan mendorong kita untuk membahas apa yang sensitif untuk dibahas, tanpa simplifikasi seperti apapun atas subjek sensitif tersebut ke dalam topik yang mudah dimengerti (lihat Joanna Zylinska, The Ethics of Cultural Studies, hal. 106). Perjuangan untuk tetap terbuka kepada kenyataan yang berat, dengan tetap menerima rasa syok tanpa memandangnya sebagai pengalaman yang berarti, sangat berkaitan dengan pemahaman non-religius kontemporer mengenai istilah ‘keagungan’ sebagai hal yang menandai batas-batas logika dan ekspresi (dan tentunya, batas-batas pemikiran representasi) (lihat Philip Shaw, The Sublime, The New Critical Idiom, London: Routledge, 2006).

[23] Menurut saya, narasi atas kehidupan dan pengalaman kelas bawah dalam film sosial Iran, sebaiknya dipahami sebagai alur menuju ‘kenangan tiada akhir’, sebuah perayaan yang mengajarkan kita ‘bagaimana hidup dalam kenangan mereka yang telah  berpulang dan yang masih berada terus-menerus ditolak oleh aturan dunia yang berlaku’.  Lihat Sam Durrant, Postcolonial Narrative and the Work of Mourning, Albany: State University of New York Press, 2004, hal. 1-2.

[24] Sam Durrant, Postcolonial Narrative and the Work of Mourning, hal. 12. Dengan kata lain, komunitas masyarakat apapun yang mengklaim bahwa mereka menganut sistem yang adil justru ‘menjamin bahwa komunitas itu tidak berkeadilan, karena komunitas tersebut menutup kemungkinan atas perbedaan pendapat’. Jadi, agar politik menjadi sistem yang adil, maka harus ada ‘upaya untuk menjamin ide keadilan sebagai hal yang ‘tidak bisa dipresentasikan’, dan hal ini akan melibatkan ‘komitmen terhadap keadilan sebagai aspek yang masih harus ditetapkan’ (lihat Philip Shaw, The Sublime, hal. 126). Dengan demikian, signifikansi dari pertanyaan terkait alteritas lahir terutama dikarenakan perdebatan mengenai kondisi yang dibutuhkan untuk terciptanya komunitas di masa depan yang disertai keadilan, untuk mendambakan ‘komunitas yang tidak akan bergantung kepada diutamakannya homogenitas anggotanya’; karena kesaksian atas penindasan dalam sejarah dan realita masa sekarang sangat berkaitan dengan pemahaman kita mengenai keberagaman, yakni pemahanan yang sangat bertolak belakang dengan hasrat yang memiliki konklusi. Inilah komunitas yang secara terus-menerus memiliki status ‘tidak utuh’ atau ‘gagal’, karena keberhasilan komunitas masa depan yang adil diukur dari ‘kegagalannya untuk melengkapi dirinya sendiri, kapasitasnya untuk eksis terus terbuka atas heterogenitas anggotanya, kepada kemungkinan hadirnya perbedaan dan keberadaan yang belum terbayangkan. (lihat Sam Durrant, Postcolonial Narrative and the Work of Mourning, hal. 111).

[25] Sam Durrant, Postcolonial Narrative and the Work of Mourning, hal. 13-14.

[26] Etika pendengaran mata, yakni ketika ‘’eksposur ekstrim dan sensitivitas dari satu subjektivitas ke subjektivitas lainnya’ tidak digantikan oleh teorisasi suatu subjek, memang merupakan peringatan untuk menjaga kewaspadaan. Lihat  Joanna Zylinska, The Ethics of Cultural Studies, lihat. 58-59

[27] Lihat Jean-Francois Lyotard, ‘’Acinema,’’ in Narrative, Apparatus, Ideology: A Film Reader, disunting oleh Philip Rosen.

[28] Yvonne Sherratt, Continental Philosophy of Social Science: Hermeneutics, Genealogy, Critical Theory, Cambridge; Cambridge University Press, 2006, hal. 212.

[29] Simon Malpas, Jean-Francois Lyotard, London: Routledge, 2003, hal. 44. Untuk diskusi lebih lanjut lihat Jean-Francois Lyotard, Postmodern Fables, trans. Georges Van Den Abeele, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997; dan Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Explained: Correspondence 1982-1985, diterjemahkan oleh  Don Barry, Bernadette Maher, Julian Pefanis, Virginia Spate dan Morgan Thomas, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1992, hal. 5-6.

[30] Untuk pembahasan lebih detail mengenai aspek naratif dan gaya bahasa dari mode narasi klasik lihat David Bordwell, Narration in Fiction Film, The Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press, 1985.

[31] Untuk diskusi terkait konsklusi naratif dalam perfilman lihat Noel Carrol, ‘’Narrative Closure,’’ in The Routledge Companion to Philosophy and Film, Routledge, 2009, hal. 207-216. Namun, berdasarkan apa yang akan saya sanggah melalui studi kasus saya, saya akan mengambil koklusi/penutupan dalam ruang lingkup yang tidak hanya berbasis kepada definisi Carrol tentang penyatuan naratif. Yakni, saya akan memahami konklusi disini sebagai hal yang berkaitan dengan konsep seperti keterlebihan, totalitas, ekonomi, dan melankoli, sembari mempertimbangkan aspek implikasi perbedaan dan etika dari terminologi ini (lihat Colin Davis, Critical Excess: Overreading in Derrida, Deleuze, Levinas, Zizek and Cavell, Stanford University Press, 2010).

[32] David Bordwell menyatakan bahwa ‘meskipun sebuah narasi memiliki landasan wawasan tertentu, narasi tersebut belum menjamin disampaikannya informasi yang terkandung di dalamnya’ dan bahwa ‘skala komunikasi dapat dinilai dengan mempertimbangkan bagaimana kesediaan narasi itu untuk menyampaikan informasi yang tersematkan’. Tentunya, ia mengutamakan persoalan proses komunikasi; namun, pendekatan Bordwell cenderung bersifat umum dan tidak berusaha untuk memahami implikasi dari konsepsi komunikasi secara lebih mendalam. Lihat David Bordwell, Narration in Fiction Film, hal. 59.

[33] Yvonne Sherratt, Continental Philosophy of Social Science, hal. 211-16

[34] Lihat See Tim Beasley-Murray, Mikhail Bakhtin and Walter Benjamin: Experience and Form, London: Palgrave MacMillan, 2007, terutama hal. 115-116.

[35 ]Disini saya sengaja menggunakan istilah ‘rezim’ (yaitu Republik Islam) dari pada ‘negara’ dikarenakan dengan kompleksnya dinamika kekuatan di Iran dengan berbagai jenis larangan, sensor, dan dukungan finansial, promosi rezim kepada film-film ini tidak setara dengan promosi yang dilakukan oleh negara; terutama pada era reformasi (1997-2005) yang di mana film-film sosial berposisi lebih aman untuk menyinggung isu-isu kontroversial, kendatipun dihadapi oleh oposisi dari pihak rezim. Untuk informasi lebih lanjut mengenai penyensoran dengan segala pengaruhnya terhadap dunia perfilman Iran (termasuk sensor diri) lihat Richard Tapper, The New Iranian Cinema – Politics, Representation and Identity, London dan New York: I.B.Tauris & Co Ltd, 2002. Selain itu, dalam studi kasus yang saya diskusikan, dapat dikatakan bahwa ideologi dominan serta perangkatnya telah selalu dipergunakan oleh Hossein Sabzian (Close-up) dan Hossein (Crimson Gold) dengan label “Mostazafan” (terkucilkan, miskin, berkelas rendah) untuk menekankan perhatian terhadap kondisi kesengsaraan mereka. dari segi praktiknya, penggunaan ideologi ini telah menghasilkan pembungkaman dan kesamaran yang justru lebih dalam. Lihat Ervand Abrahamian, Essays on the Islamic Republic, Berkeley: University of California Press, 1993.

[36] Kembali lagi kepada konsepsi realisme Lyotard, sinema dapat dipergunakan untuk mengabadikan ‘narasi mengenai dunia’ dalam rangka menciptakan kembali status quo.

[37] Saeed Zeydabadi-Nejad berpendapat bahwa film sosial telah menjadi kontroversial karena ‘melawan aturan hegemon yang menindas’; suatu kontroversi yang menimbulkan penyensoran dan perhatian publik. Terlebih lagi, ‘kesadaran mengenai sensor film meningkatkan kewaspadaan masyarakat Iran terhadap pesan-pesan politik dalam film sosial’. Dan dikarenakan kontroversi seputar film-film ini ‘telah membentuk pemikiran yang mengaitkan film tersebut dengan ideologi politik sehingga penonton berusaha untuk memahami aspek oposisi dari film tersebut’. selain itu, penonton pun terkadang ‘berupaya untuk menyunting film secara pribadi untuk menhindari bagian-bagian tertentu dari apa yang ditonton’. Memang, kontroversi, diskusi dan negosiasi ini ‘menyoroti peran sinema sebagai fenomena sosial yang lebih dari sekedar hiburan’, sehingga mengkondisikan ekspektasi yang dihadirkan oleh penontonnya. Lihat Saeed Zeydabadi-Nejad, The Politics of Iranian Cinema: Films and Society in the Islamic Republic, hal.10-12

[38] Lihat Kristin Thompson, ‘’The Concept of Cinematic Excess,’’ dalam  Leo Braudy dan Marshall Cohen Eds. Film Theory and Criticism: Introductory Readings, edisi keenam, New York & Oxford: Oxford University Press, 2004. hal. 513-24; lihat juga Kristin Thompson, Breaking the Glass Armor, Princeton University Press, 1988.

[39] Untuk diskusi lebih lanjut mengenai totalitas dan representasi dalam sinema, lihat Jean-Francois Lyotard, ‘’Acinema’’. Untuk diskusi tentang potensi kritis dari keterlebihan (yang memfokuskan pada membaca berlebihan), lihat Colin Davis,  Critical Excess, 2010.

[40] Lihat Kristin Thompson, Breaking the Glass Armor.

[41] Menurut Thompson, kelebihan filmis lahir dari pertentangan antara materialitas suatu film dengan penyatuan struktur di dalamnya; yaitu, keterlebihan ini melampaui batas fungsi naratif (seperti kausalitas dan motivasi). Dalam hal ini, kelebihan tersebut menekankan sarana gaya bahasa yang melebihi batas wajar, dengan memperhatikan materialitas suatu film tidak hanya kepada penyatuan struktur naratif. Lihat Kristin Thompson, “The Concept of Cinematic Excess”, hal. 514. Lihat juga Roland Barthes, “The Third Meaning: Research Notes on Several Eisenstein Stills”, in The Responsibility of Forms: Critical Essays on Music, Art, and Representation, diterjemahkan oleh Richard Howard, Berkeley: U of California P, 1985.

[42] Penghargaan terhadap perbedaan seseorang sangat terjalin dengan pemikiran alternatif yang membukakan jalan untuk mengakui alteritas tersebut tanpa mendasarkannya ke dalam identitas yang dapat dikomunikasikan. Untuk diskusi lebih lanjut mengenai simplifikasi alteritas ke dalam bentuk tematisasi lihat Shane Weller, Beckett, Literature and the Ethics of Alterity, London: Palgrave MacMillan, 2006, hal. 1-30.

[43] Konsep refleksifitas ‘pertama kali diangkat dari filosofi dan psikologi, yang pada awalnya merujuk kepada kapasitas pikiran untuk berperan sebagai subjek dan objek terhadap dirinya dalam proses kognitif, namun dari segi kesenian konsep ini dikembangkan menjadi sebuah kemampuan instrospeksi diri dalam wadah atau bahasa apapun’. Secara luasnya, refleksifitas artistik merujuk kepada ‘proses di mana tulisan-tulisan mengedepankan produksi, pengaruh, proses, serta penyambutannya’. Lihat Robert Stam; Robert Burgoyne; Sandy Flitterman-Lewis, New Vocabularies in Film Semiotics: Structuralism, Post-Structuralism and Beyond, London dan New York: Routledge, 1992, hal. 202-207. Umumnya, refleksifitas telah disinggung dalam terminologi politik (politik Refleksivitas), dan implikasi etisnya telah terabaikan. Namun, fokus dalam artikel ini mengenai dinamika kekuatan yang tidak merata antara subjek dan objek representasi dan narati, refleksifitas artistik perlu dibahas melalui keterkaitannya dengan persoalan alteritas. Kemudian, defamiliarisasi seringkali dipandang sebagai perangkat artistik yang berhubungan dengan praktik formalistik, mengabaikan implikasi etisnya.

[44] Lihat Jean-Francois Lyotard, ‘’Answering the Question: What Is Postmodernism?’’in The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, diterjemahkan oleh Geoff Bennington dan Brian Massumi, Manchester: Manchester University Press, 1984.

[45] Keindahan terjadi ‘ketika seorang individu berjumpa dengan objek (baik itu lukisan atau puisi, dan pemandangan seperti laut dan langit). Keindahan adalah rasa harmoni antara diri dengan objek tersebut: perasaan ini tampak selaras dengan persepsi diri sendiri dan meimbulkan rasa kesenangan.

[46] Robert Sinnerbrink berargumen bahwa sinema sejatinya harus mencapai status kritis, bergerak diluar bidang konvensionalitasnya yang berhubungan dengan realisme klasik: sinema tersebut ‘harus membingkai segala detail kehidupan sebelum bisa memahami dan mengungkapkannya; namun esensi yang terlibat dalam narasi tradisional Hollywood harus dirombak supaya aspek sinema tersebut dapat berevolusi secara filosofis dan politik’. Lihat Robert Sinnerbrink, ‘’Re-enfranchising Film: Towards a Romantic Film-Philosophy’’, dalam New Takes in Film-Philosophy, disunting oleh Havi Carel dan Greg Tuck, London: Palgrave Macmillan, 2011, hal. 25-47, hal. 28

[47] Agar tercapainya ‘kesempatan dan perbedaan non-hierarkis kepada mereka yang dibawah – atau dengan kata lain masa depan alternatif’, dan untuk membayangkan ‘harapan optimis’, Kita harus memahami ‘materialitas sinema’ dalam lensa yang refleksif sebagai ‘titik vital atas terjadinya diskusi yang berarti mengenai kemungkinan-kemungkinan tersebut’. lihat Hamish Ford, ‘’Broken Glass by the Road: Adorno and a Cinema of Negativity’’, dalam New Takes in Film-Philosophy, hal. 65-85.

[48] Jelas terlihat bahwa karakter Sabzian memiliki jiwa sosial yang sangat minim; ia membutuhkan bantuan Kiarostami untuk menanyakan kepada dirinya sendiri agar didapatkannya jawaban yang jelas dan relevan kepada penonton. Pertanyaan kiarostami yang diajukan kepada Sabzian memang berkaitan dengan dinamika kekuatan yang tidak seimbang, dan pada dasarnya mengandung risiko terjadinya dominasi dan subordinasi. Dalam hal inilah kiarostami bergantung kepada penggunaan perantara, dan bagaimana peran dinamika kekuatan antara subjek dan objek representasi telah berada sejak awal dimulainya cerita.

[49] jika suatu karya seni ingin diabadikan dalam kesuraman dan intensitas realitas sosial, dan untuk menghindari pemanfaatan karya tersebut sebagai penenang batin, maka perlu adanya asimilasi keseniannya ke dalam realita yang ditujui. Tidak relevannya karya seni kontemporer ialah karena tidak dipentingkannya kenyataan ini yang di mana karya-karya seni ini justru memposisikan esensinya ke dalam kecerahan yang indah. Lihat Theodor Adorno, Aesthetic Theory, diterjemahkan oleh C. Leonhard, G. Adorno, dan R. Tiedemann, London: Routledge dan Kegan Paul, 1983, hal. 58.

[50] Menurut Rick Altman, ‘surplus sistem naratif klasik’ meningkatkan kesadaran kita terhadap ‘kehadiran logika yang kompeten, atau dengan kata lain suara kedua’ (lihat Rick Altman, “Dickens, Griffith, and Film Theory Today,” South Atlantic Quarterly, 1988, hal. 345-346).

[51]Yakni narasi Farazmand yang telah dijelaskan sebelumnya (diterbitkan oleh majalah Soroush), kasus legal keluarga Ahankhah terhadap Sabzian, dan juga, penghakiman belaka yang mengecap Sabzian sebagai seorang kriminal.

[52]Sebuah gaya sinematografi yang menjembatani perbedaan antara film naratif dengan dokumenter dengan menggunakan orang-orang nyata untuk merekonstruksi pengalaman hidup mereka. untuk detail lebih lanjut lihat Cousins, Mark “Paradocumentary in Iran”, dalam Mark Cousins dan Kevin Macdonald, Imagining Reality: The Faber Book of Documentary, London: Faber and Faber, 2006, hal. 412–415.

[53] Faktanya, rekonstruksi adegan di film ini yang sesuai dengan aturan dan gaya tradisional penyampaian sebuah cerita, menonjolkan perspepsi ideologis mengenai realisme dalam nuansa yang radikal. Dari adegan ini tersirat konvensi tradisional; namun jika dipandang dari adegan yang bergaya dokumenter, mereka seolah meremehkan apa yang sedang ditampilkan secara eksplisit. Konstruksi gaya bahasa klasik ini tetap saja mengungkap ilusi realis yang mereka angkat. Telah diketahui bahwa Close-up berputar kepada upaya Kiarostami sebagai narator peristiwa yang terjadi, dan kita mengetahui bahwa rekonstruksi adegan ini hanya sebagai pelengkap berjalannya alur cerita. Akibatnya, rekonstruksi ini justru terlihat sebagai rekayasa dan tidak autentik. Kiarostami memanfaatkan konvensi klasik untuk mengungkap nilai-nilainya, bukan hanya sebagai sarana narasi realis; sebuah penerimaan yang pada akhirnya bersifat delusional.

[54]Close-up menekankan status berhak istimewa Kiarostami dan Makhmalbaf sebagai pihak yang memiliki kapabilitas untuk mewakili mereka yang sengsara. Kedua sutradara ternama ini secara implisit mempergunakan status spesial mereka, meskipun secara keseluruhan juga menghormati komunitas yang telah menganugrahi keistimewaan yang mereka miliki.

[55] Dapat ditentangkan bahwa Kiarostami bersifat ‘realis’: Sabzian kembali diterima ke dalam komunitas jika memang tujuannya berhubungan dengan masalah pengakuan. Namun pesan utamanya ialah bahwa posisi ini bukan untuk mendorong Kiarostami dan Makhmalbaf untuk merayakan reintegrasi yang tragis ini dengan penuh semangat.

[56] Tidak akan ada perayaan tanpa pemahaman implisit bahwa suatu kehidupan dapat diratapi, bahwa ia akan dihadapi duka cita jika telah meninggal, dan bahwa masa depan ini menjadi kondisi yang wajib bagi kehidupan tersebut..”kehidupan ini akan menjadi suatu hal yang telah dijalankan” adalah praanggapan dari kehidupan yang menyedihkan, yang bermakna bahwa pengalaman tersebut akan dilihat sebagai kehidupan yang layak untuk dilestarikan. Tanpa adanya duka, tidak ada kehidupan, atau ada sesuatu yang hidup selain nyawa manusia itu sendiri. “ada kehidupan yang tidak akan pernah dijalani”, tidak disertai oleh duka, kesaksian, dan tidak diratapi ketika tiada’. Lihat Judith Butler,  Frames of War: When is Life Grievable?, hal. 14-15.

[57] Perbedaan menurut Levinas dalam hal ‘ucapan‘ dengan ‘pepatah’ menunjukkan poin yang serupa: ucapan bersifat komunikatif, namun pepatah sebagai kondisi terhadap kemungkinan dari ucapan, belum tentu dapat dicapai dari ucapan sendiri; namun kegagalan ucapan ke dalam bentuk pepatah, atau seperti yang dinyatakan oleh Butler sebagai kegagalan representasi dalam menyalurkan apa yang mustahil untuk diwakili, dipahami sebagai kegagalan yang penting. Lihat Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence, diterjemahkan oleh. Alphonso  Lingis, Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998 [1974].

[58] Dari istilah Thompson: ‘keterlebihan tidak sama dengan gaya, namun keduanya sangat selaras dikarenakan keterlibatan aspek material dari film tersebut’. lihat Kristin Thompson, ‘’The Concept of the Cinematic Excess,’’ hal. 515.

[59] Seperti yang dikatakan oleh Angela Stukator: ‘pertentangan filmmaker terhadap logika identitas ialah dengan sepenuhnya menghindari penggunaan dialog. Selagi pertanyaan-pertanyaan diajukan melalui strategi formal dan gaya bahasa, penting untuk diingat bahwa hal tersebut dapat muncul dalam unsur gerak-gerik, kediaman, dan jeda. Elemen ini mendirikan tantangan terhadap norma representasional sejauh bagaimana subjek fokusnya berstatus tidak terwakili dalam linkgup imej dan suara’ (hal. 123). (lihat Angela Stukator. ‘’Critical Categories and the (Il)logic of Identity,’’ Canadian Journal of Film Studies, Vol. 2 Issue 2/3, 1993: hal. 117-128).

[60] Untuk diskusi lebih mendetail tentang signifikansi etis dari pengakuan kepada yang belum disaksikan lihat Judith Butler, Giving an Account of Oneself, New York: Fordham University Press, 2005; dan untuk studi kasus dalam lingkup studi film yang menganut pendekatan atas pengakuan ini lihat Kate Rennebohm, ‘’Approaching the Other as Other: A Study of the Ethical Nature of Chantal Akerman’s Films’’, Thesis, Concordia University, Montreal, Quebec, Canada, 2011.

[61] Lisa Downing, “Testing Positive: Gender, sexuality, representation,” dalam Film and Ethics: Foreclosed Encounters, Routledge, 2010, hal. 36-49, hal. 37.

[62] Dalam hal inilah etika post-strukturalis/post-kolonialis memandang adanya masalah dalam paradigma positif-negatif, karena paradigma ini ‘bergantung kepada asumsi etnosentris bahwa seluruh kebudayaan menghakimi baik dan buruk melalui kriteria universal yang sama’ lihat Libby Saxton, “The South Looks Back: Ethics, race, postcolonialism,’’ dalam Film and Ethics, hal. 50-61

[63] Lisa Downing, “Testing Positive: Gender, sexuality, representation”.

[64]Kurang lebih, komunitas masa depan yang adil sangat sesuai dengan ‘pepatah’ dibanding ‘ucapan’, dan sesuai juga dengan ‘makna’ ketimbang ‘pemaknaan’. Lihat Davis, Colin, Levinas: An Introduction, Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1996.

[65] “Hospitality, Justice and Responsibility: A Dialogue with Jacques Derrida,” dalam Questioning Ethics: The Cotemporary Debates in Philosophy, disunting oleh Richard Kearney dan Mark Dooley, London dan New York: Routledge, 1999, hal. 70.

 

 

 

Sudah menginjak usia 20an namun masih cenderung merubah kepribadiannya berdasarkan tokoh fiksional yang sedang digemari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top