Mania Cinema

Pemetaan Distribusi Informal: Analisis Sinema Bajakan pada 6 Aspek

Artikel ini diterjemahkan dari buku milik Ramon Lobato yang berjudul Shadow Economies of Cinema: Mapping Informal Film Distribution pada bab kelima dengan judul Six Faces of Piracy, diterbitkan oleh Palgrave Macmillan dan British Film Institute pada tahun 2012, cetakan pertama.

Tidak lama setelah filmnya yang berjudul Malcolm X rilis di bioskop pada 1992 silam, Spike Lee saat itu sedang berkeliling di jalanan Harlem dengan pemukul baseball di tangannnya. Lee sangat bersikeras untuk menyelamatkan filmnya dari tangan para pedagang tepi jalan yang menjual film-film bajakan, sehingga sutradara tersebut mengontak sejumlah kenalan yang ia sebut “berotot” dan turun tangan dalam mengatasi keluhan yang ia hadapi. Lee dan rekan-rekannya bergegas menuju 125th Street, yang saat itu dikenal sebagai lokasi yang identik dengan jual beli bajakan, untuk membinasakan pedagang-pedagang yang berjualan di sana dengan menggunakan ancaman kekerasan. Menurut Lee ini adalah persoalan etika: ia percaya bahwa komunitas kulit hitam yang mendukung dan menikmati filmnya dapat senantiasa melihat film tersebut melalui sarana yang legal dan sesuai. “Saya tak mengerti apa yang salah dengan konsumer Afrika-Amerika di beberapa wilayah perkotaan,” keluhnya. “Mereka lebih menginginkan produk yang inferior dan mendapatkannya dengan harga yang murah.”[1]

Meskipun hanya segelintir sutradara yang menganut metode kekerasan yang sama, mayoritas sutradara dalam industri perfilman juga memiliki rasa frustrasi yang sama dengan Lee ketika berbicara mengenai pembajakan. Memang mudah dipahami bahwa seorang produser atau sutradara menghabiskan waktu selama bertahun-tahun terhadap sebuah proyek dan menginginkan keuntungan yang memadai dengan investasi yang telah mereka berikan. Perdebatan mengenai ‘perang hak cipta’ selalu kembali kepada persoalan ini, dengan berfokus pada perbincangan mengenai kerugian finansial bagi sutradara-sutradara kultural. Asosiasi Motion Picture sering sekali mengingatkan penonton atas pentingnya permasalahan konsekuensi ekonomi dan sosial pembajakan dengan menghadirkan statistik dramatis, yakni berupa:

  • Studio-studio ternama Amerika Serikat mengalami kerugian sebanyak $6.1 miliar setiap tahunnya akibat pembajakan,
  • Kerugian dari industri audiovisual diperkirakan mencapai angka $18.2 setiap tahun,
  • Jutaan kaset ilegal dan ribuan burner DVD kerap disita dalam operasi anti bajakan,
  • 80% dari pembajakan global berasal dari luar AS, dengan angka tertinggi ialah 90% di Cina, 79% di Rusia, dan 79% di Thailand dalam perihal konsumsi audiovisual bajakan,
  • Operasi pembajakan memiliki keterkaitan dengan aktivitas-aktivitas ilegal seperti terorisme, prostitusi, distribusi narkoba, dan institusi kejahatan terorganisir.[2]

Bagi MPAA, pembajakan didefinisikan sebagai “penyalinan, distribusi, pertunjukan, atau penggunaan lainnya yang tidak sah atas produk-produk hak cipta”.[3] Badan-badan industri seperti Cable and Satellite Broadcasting Association of Asia, mendefinisikan pembajakan secara lebih luas, yakni “segala bentuk kerugian finansial dari berbagai aspek dalam rantai nilai”[4]—sebuah istilah yang menyoroti bagaimana pembajakan sering menjadi kambing hitam bagi masalah-masalah struktural industri perfilman. Dalam konteks dari apa yang dikenal sebagai peperangan hak cipta, label ‘bajakan’ kini menjadi sebuah senjata yang diskursif untuk digunakan dalam melawan subjek-subjek yang dianggap sebagai musuh. Istilah ini secara strategis digunakan untuk mendefinisikan aktivitas distribusi yang terjadi di luar ruang lingkup pemegang hak cipta dan penghasil keuntungan finansial. Namun seperti yang telah kita pahami, pembajakan film merupakan suatu sektor yang sama tuanya dengan sinema itu sendiri dan perlu dipahami bukan sebagai parasit namun sebagai fitur yang vital dalam distribusi audiovisual.

Dalam pembahasan-pembahasan kita telah menjumpai sarana informal, mulai dari video bajakan hingga jaringan file-sharing. Kita mengamati bahwa jaringan bajakan memiliki peran yang penting dalam industri film legal dan melihat bukti terkait kapasitas produktivitasnya. Tujuan saya dalam tulisan ini ialah mencoba untuk melembutkan persepsi dalam perdebatan anti-bajakan dengan melihat bagaimana berjalannya sebuah jaringan yang luas yang menghindari retorika ‘hak cipta’ untuk menganut pendekatan yang lebih materialistik. Sekarang, setelah melihat bagaimana sirkuit bajakan yang luas ini berjalan, kita dapat mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan etika dan filosofis yang berduri seputar distribusi ilegal.

Dalam bab ini saya berargumentasi bahwa perdebatan mengenai pembajakan harus terbuka kepada dialog-dialog yang beragam baik dari sisi geografi implisit maupun fondasi konseptualnya. Di sebagian besar negara terutama di AS, diskusi mengenai media bajakan merupakan bahasan yang menimbulkan perdebatan. Perdebatan ini tidak juga menjadi sebuah argumen namun justru sebuah permasalahan kelompok yang setia kepada sudut pandangnya sendiri, dengan masing-masing perspektif saling mendominasi satu sama lain: pihak anti-bajakan yang mendukung hak cipta melawan mereka yang anti hak cipta dan pro-bajakan, di mana masing-masing partisipannya ialah konsumer dan libertarian. Konflik ini sendiri tidak merepresentasikan identitas sejati dari kompleksitas yang mewarnai masalah yang hadir di depan mata, di mana perdebatan tersebut sangat reduktif, idealistik, dan mengindikasikan suatu karakter etnosentrik.

Ketimbang memandang pembajakan sebagai sebuah praktik yang berdiri sendiri, penting bagi kita untuk melihatnya sebagai aspek yang berbentuk jamak. Tergantung konteksnya, pembajakan dapat menjadi pencurian ataupun praktik bisnis ilegal, suatu bentuk kebebasan berpendapat atau perlawanan politik. Terkadang istilah pembajakan mencakup semua konteks tersebut. Diskusi yang akan dibicarakan selanjutnya akan mencoba menyinggung beberapa persoalan ini dengan membahas mengenai 6 posisi filosofis dan etika yang berbeda seputar pelanggaran hak cipta—yakni apa yang saya istilahkan sebagai enam aspek dari pembajakan. Ini bukanlah diskusi yang lengkap tentang segala sudut pandang yang ada namun sebuah jalan untuk membuka dialog dan diskusi yang berada dalam sudut pandang yang lebih luas. Dalam seksi terakhir dari bab ini, saya membawakan sejumlah tautan yang disertai dengan studi kasus sebuah penjual DVD bajakan di pasar Tepito, Kota Meksiko, dengan mengedepankan bagaimana sarana bajakan dapat menjadi sebuah upaya yang signifikan dalam pelestarian dan pengarsipan film, serta bagaimana batas-batas yang terletak antara formalitas dan informalitas cenderung tidak jauh berbeda.

HAK CIPTA DAN KONSTRUKSI PEMBAJAKAN

Sistem hak milik intelektual yang mencakup hak cipta dan paten, hukum merek dagang, serta regulasi, dipromosikan oleh industri media sebagai upaya yang masuk akal untuk melindungi hak-hak produser kultural, dengan memberikan mereka imbalan atas upaya yang diberikan untuk mengembangkan inovasi masa depan. Namun, hak milik intelektual sendiri adalah suatu ide historis dan kultural, bukan palu moralitas yang absolut. Fondasi filosofis dari hak cipta—yakni konsep properti privat sebagai prinsip penyatu masyarakat dan ekonomi—dapat dijumpai dalam transisi dari masa feodal menuju awal struktur sosial modern di Eropa. Hak milik intelektual menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran dan praktik kapitalis, namun ia tidak juga universal ataupun konstan secara historis.

Sejarah terbentuknya hak cipta sering menjadi objek diskusi dan penelitian.[5] Meskipun asal-usul hak cipta dapat ditemukan di Yunani Kuno, Italia, dan Belanda, mayoritas peneliti melacak jejak asal-usul hak cipta modern yang merujuk kepada awal abad ke-18 Inggris, terutama pada undang-undang Anne tahun 1710. Dinamakan atas nama monarki yang berkuasa saat itu, undang-undang ini memberikan hak monopoli atas karya-karya para penulis dan penerbit—sebuah periode yang berlangsung selama 14 tahun, yang dapat diperpanjang hanya ketika sebuah karya akan dipublikasikan. Sistem ini dipandang sebagai suatu sistematika yang adil di tengah-tengah hangatnya keberadaan penulis dalam lingkungan sosial saat itu dengan pandangan bahwa mereka dapat menikmati manfat atas keberadaan arsip produksi kultural yang mudah diakses. Cara pandang ini yang merupakan sebuah kompromi antara produsen dan konsumen merupakan sebuah doktrin legal yang fundamental, dengan menanamkan ide bahwa kepentingan kedua belah pihak yang terlibat saling bertolak belakang. Dari sudut pandang inilah, eksistensi sebuah hukum diperlukan untuk mengimbangi kebutuhan dan hasrat yang saling berkompetisi.

Globalisasi hak cipta semakin berkembang pada akhir abad ke-19. Pada 1886, konvensi Berne tentang perlindungan karya Seni dan Literatur diratifikasi oleh sejumlah negara-negara Eropa, dan setelah itu berkembang menjadi fondasi utama atas terbentuknya hak cipta global pada abad ke-20.[6] AS sendiri mengesahkan undang-undang hak cipta internasional pada 1891 yang memberikan perlindungan kepada penulis asing untuk pertama kalinya. Internasionalisasi ini kemudian diperpanjang dengan konvensi Brussels (yang memberikan perlindungan hak cipta kepada sinema) dan kesepakatan Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) tahun 1994, yang membentuk bagian dari babak akhir Uruguay terkait kesepakatan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Penerus GATT yang dikenal sebagai World Trade Organisasion adalah badan pendorong utama dari apa yang disebut John Frow sebagai “tatanan dunia pengetahuan baru”.[7]

Kita bisa menarik beberapa poin dari persoalan ini. Pertama, hak cipta berperan untuk mengubah pengetahuan menjadi sebuah modal, namun ia menjangkau ruang lingkup yang berada di luar batas-batas ekonomi dan mencapai nilai simbolis: ia membedakan segala bentuk produksi kultural sebagai hal yang sah ataupun tidak sah berdasarkan nilai-nilai yang diwarnai oleh originalitas dan inovasi. Sebaliknya, ruang lingkup publik selalu identik dengan negativitas, sebagai sesuatu yang “tersisa ketika hak-hak lainnya telah didefinisikan dan didistribusikan”.[8]

Kedua, istilah hak cipta telah semakin meningkat seiring berjalannya waktu, atau dengan kata lain bahwa produksi kultural dijauhkan dari ruang publik selama periode waktu yang lebih lama. Kini berlakunya hak cipta dapat berlangsung selama 70 tahun setelah kematian sang pencipta karyanya di berbagai wilayah. Perpanjangan masa berlaku ini telah menjadi fitur utama dari pakta dagang AS, seperti contohnya kesepakatan Perdagangan Bebas yang ditandatangani oleh Australia dan Korea Selatan. Di mana industri properti intelektual memiliki popularitas politis, di situlah terdapat tekanan untuk memperpanjangnya. Pada 2011, dewan Uni-Eropa memperpanjang masa berlaku perlindungan hak cipta terhadap rekaman suara dari 50 menjadi 70 tahun, yang di mana regulasi ini mencegah album platinum Rolling Stones dan The Who jatuh ke ruang publik. Perdebatan hangat tentang kesepakatan anti barang palsu, sebuah perjanjian plurilateral yang kontroversial yang menjanjikan peningkatan paksaan keikutsertaan bagi negara yang menandatangani, memberikan sebuah cuplikan terhadap maksimalisme properti intelektual yang akan datang.[9]

Ketiga, ‘seni’ dan ‘bisnis’ tidak selalu bertentangan dalam perdebatan properti intelektual/sejarah hak cipta memberikan banyak contoh pada seniman yang tertarik ke dalam ruang lingkup hak cipta. Wordsworth, Twain, dan Dickens merupakan sosok yang ternama dalam persoalan hak cipta, layaknya Metallica dan George Lucas.[10] Kita juga harus menggarisbawahi fakta bahwa hukum hak cipta dalam beberapa kasus tertentu juga digunakan sebagai alat untuk melindungi hak-hak individual artis terhadap unsur-unsur korporasi. Contohnya, hak moral (droit d’auteur) undang-undang hak cipta Eropa merupakan dasar dari kemenangan John Huston melawan MGM terkait perihal pewarnaan film The Asphalt Jungle pada tahun 1950.[11] Oleh karena itu tidaklah menjadi hal yang mudah untuk memisahkan kepentingan produser individual, korporasi media, sektor industri kultural dan juga publik dalam ranah perdebatan properti intelektual ini.

Dengan hadirnya transparansi dalam perdebatan hak cipta digital yang ditandai dengan kecurigaan dan kesalahpahaman antara kedua belah pihak, ada sebuah urgensi untuk mengakui bahwa ide mengenai hak cipta dan pelanggarannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, dan dengan demikian ia menjadi suatu subjek yang kerap berubah dan dibantah. Memahami variasi historis dan spasial dari ‘pembajakan’ adalah kunci dari sebuah dialog yang lebih kompleks dan produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa memahami pembajakan bukanlah sebagai sesuatu yang harus dilawan atau dipertahankan namun ialah sebagai bagian yang integral dari ekonomi politik global media, dengan efek dan bentuk perwujudan yang beragam. Pembajakan harus dipahami sebagai suatu hal yang plural. Dengan pemahaman ini, sesi selanjutnya memberikan sebuah analisis kritis tentang enam posisi filosofis yang berbeda mengenai pelanggaran hak cipta: pembajakan sebagai pencurian, kebebasan ekonomi, kebebasan berbicara, kepengarangan, perlawanan, dan akses.

PEMBAJAKAN SEBAGAI PENCURIAN

Ada baiknya kita memulai diskusi ini dengan melihat pemahaman yang paling umum mengenai pembajakan, di mana persepsi ini tertanam dalam praktik doktrin dan industri legal. Seperti yang telah diindikasikan di atas, peran sebuah hak cipta sebagai sistem regulasi untuk menjamin bahwa perlindungan bagi pemegang hak properti intelektual selaras dengan yang dijangkau oleh pemilik properti lainnya, misalnya tuan tanah atau pemilik mobil. Dari sudut pandang ini, hak cipta dilihat sebagai sesuatu yang dikonsolidasi secara legislatif dan berakar secara pedagogis. Di sisi lain, pembajakan dipandang sebagai sebuah aksi perlawanan sosial dan ekonomi—dengan kata lain, pencurian.

Dalam dunia perfilman, contoh yang paling kuat atas pendekatan terhadap pembajakan dapat dilihat tindakan Motion Picture Association of America dan badan internasionalnya, Motion Picture Association. Belum pernah ada yang lebih vokal soal sikap perlawanan terhadap pembajakan selain mantan presiden MPAA, Jack Valenti. Mantan ajudan Lyndon Johnson, negosiator ini menjabat di MPAA dari 1966 hingga 2004. Ia berkontribusi secara signifikan terhadap beberapa pelanggaran legal, di antaranya kegagalan kasus 1984 Sony Corp vs Universal City Studios case (the ‘Betamax case’), yang berusaha menjatuhkan industri video game yang sedang hangat, dan juga Digital Millennium Copyright Act pada 1998, yang memperkenalkan aturan ‘anti-penipuan’ yang sangat kontroversial. Sekarang telah wafat, Valenti merupakan sosok orator yang legendaris. Pada saat berlangsungnya audiensi kongres dalam kasus Betamax, ia menyatakan, ‘VCR bagi produser film Amerika dan publiknya sama layaknya dengan Boston Strangler bagi wanita yang sendirian di rumah’. Ia sering menyebut pembajakan sebagai sebuah ‘pandemi’ yang merebut industri properti intelektual atas apa yang seharusnya menjadi milik mereka, dan ia juga senang mengaitkan operasi pembajakan dengan kelompok teroris seperti Hezbollah, Hamas, IRA, Al Qaeda dan Lashka-e-Toiba.[12]

Peperangan MPAA melawan pembajakan berusaha menanamkan etika hak cipta dalam pola pikir global. Kampanye MPAA berusaha melawan kepercayaan bahwa pembajakan adalah kejahatan tanpa korban dengan mengecap para teknisi dan pengusaha Hollywood sebagai korban pembajakan.[13] Kompetisi MPAA seperti ‘Xcellent Xtreme Challenge’ menawarkan DVD dan perjalanan ke studio Hollywood kepada anak-anak yang menulis esai dan tulisan yang membahas anti-pembajakan. Website organisasi ini bahkan mempromosikan permainan ‘Copyright Kids’ (www.copyrightkids.org) di mana anak-anak dapat mengenal segala manfaat properti intelektual dengan mendaftarkan karya-karya seperti puisi, lukisan, dan gambar mereka untuk dilindungi.[14]

Selagi AS telah menjadi pendorong utama dalam maksimalisme properti intelektual internasional, kampanye dan implementasi anti-bajakan adalah sebuah fitur yang dominan dalam berbagai industri media nasional. Komunitas film Hong Kong dikenal menggunakan paksaan dalam melawan distribusi kaset bajakan pada hari aksi nasional pada Maret 1999, ketika industri sinema menutup pintu mereka termasuk Jackie Chan, Steven Chow, Leon Lai, dan Anita Mui yang memimpin protes terhadap pemerintah pusat Hong Kong. Di Australia, kampanye iklan anti-bajakan mengaitkan antara kaset bajakan dengan kondisi memprihatinkan industri film Australia, dengan mengimbau kepada konsumen untuk ‘memperhatikan kembali apa yang sebenarnya anda hancurkan’. Pemain utama dalam industri film India saat ini sedang menyewa ‘pembunuh bayaran cyber’ untuk menghabisi situs web film bajakan dengan merusak server mereka melalui serangan DDOS (Distributed Denial of Service).[15] Dan perlu diketahui, implementasi hak cipta kini menjadi prioritas utama bagi sebagian besar pembuat film Nigeria. Beberapa contoh ini menggambarkan pentingnya implementasi properti intelektual bagi industri perfilman bagi semua negara. Layaknya undang-undang properti intelektual itu sendiri, kampanye anti-bajakan semakin berkembang menjadi fenomena global.

Perkiraan kerugian industri akibat pembajakan, yang sering digunakan dalam kampanye-kampanye ini, pada hakikatnya bersifat kontroversial. Selama bertahun-tahun, angka ini didasarkan atas kalkulasi yang berasumsi bahwa untuk setiap film yang diakses secara ilegal, versi legal dari film yang sama tidak terjual. Logika ini meragukan dikarenakan ia mengabaikan pengaruh level harga dan kemungkinan distributif dalam konsumsi media. Selain itu, laporan kerugian industri umumnya didasarkan estimasi kotor ketimbang angka bersih, dan juga cukup mencurigakan terutama dengan upaya kerahasiaan dan meragukan pembajakan untuk mengukurnya cenderung subjektif.[16] Metodologi juga berkembang seiring berkembangnya waktu, [17] namun industri koleksi data pada dasarnya dijalankan oleh dorongan relasi publik. Seperti yang dinyatakan oleh Majid Yar, menghilangkan batas-batas empiris dari ‘epidemik’ pembajakan justru tidak berbeda jauh pengaruhnya dalam meningkatkan kriminalisasi aktivitas sehari-hari dengan peningkatan yang dapat dipertanggungjawabkan terkait distribusi tidak sah:

“Angka yang tinggi memberikan tekanan bagi legislator untuk mengkriminalisasi, dan bagi badan penyelenggara untuk menindakinya secara lebih keras; diperketatnya undang-undang hak cipta menimbulkan semakin banyak ‘pencurian hak cipta’ dengan penggunaan legal yang dilarang, dan kebijakan yang intensif untuk mencegah ‘pembajakan’ justru menyebabkan semakin banyaknya penyitaan; hal ini kemudian menciptakan estimasi baru yang mengindikasikan bahwa ‘epidemik’ semakin tumbuh berkembang; yang kemudian menjadi justifikasi bagi industri untuk menerapkan tindakan yang semakin keras lagi.”[18]

Oleh karena itu, meskipun produser dan studio film memang memiliki kekhawatiran mengenai bocornya pendapatan, peperangan melawan pembajakan juga harus dipahami sebagai proses hubungan masyarakat yang bertujuan untuk menerapkan hubungan yang menghormati hak cipta dan menunjukkan kelemahan dari industri yang sangat berkuasa. Setelah membahas mengenai beberapa fitur anti-bajakan ini, saya akan menjabarkan sebuah pemahaman terhadap bajakan lainnya, yakni yang tidak memandang bajakan sebagai parasit namun model bisnis yang berpotensi.

Pembajakan sebagai Bentuk Perdagangan Bebas

Meskipun sejumlah pendekatan terhadap bajakan yang dibahas dalam tulisan ini melibatkan kritik implisit terhadap pasar bebas, ada satu yang tidak. Perspektif ini—apa yang kita sebut sebagai pendekatan laissez-faire—melihat pembajakan sebagai bentuk paling murni dari perdagangan bebas. Tidak terikat kepada larangan legislasi dan struktur pasar monopolistik, dari sudut pandang ini pembajakan dapat dihargai sebagai sebuah perkembangan aktivitas komersil yang menampung keinginan pasar.

Seperti yang dinyatakan oleh Ronald Bettig, ada sebuah perdebatan ekonomis yang panjang bahwa efisiensi yang besar dapat dicapai dalam lingkungan dengan regulasi bebas di mana pengurangan pendapatan terhadap pemegang hak cipta akan diimbangi oleh pendapatan produktif yang dihasilkan oleh harga yang lebih murah dan ketersediaan barang-barang yang luas.[19] Argumen mengenai ‘hak cipta yang lemah’ ini menjadi persoalan yang kerap kali muncul saat membahas regulasi. Bahkan The Economist  menyatakan, istilah hak cipta sebaiknya ditarik mundur kembali ke dalam 14 atau 28 tahun sebelumnya.[20] Dengan kata lain, sebuah argumen dapat dibentuk tentang ruang lingkup ekonomi sendiri bahwa hak cipta yang kokoh bukan menjadi hal yang diinginkan pada umumnya. Jika kita melihat persoalan ini dengan kacamata logika, menjadi hal yang memungkinkan untuk membaca pembajakan sebagai bentuk representasi pasar bebas.

Pandangan ini mengindikasikan adanya dua tujuan yang ingin diimbangi oleh hak cipta—kemajuan kolektif dan keuntungan individual—yang mampu mempengaruhi satu sama lain. Cara pikir mengenai pembajakan ini mengedepankan beberapa dimensi ekonomi generatifnya. Selain itu, ia menyoroti penghasilan film laris bukanlah cara satu-satunya film dapat menghasilkan keuntungan ekonomi, dan menekankan bahwa pembajakan pada dasarnya adalah bentuk konsumsi yang dapat di monetisasi melalui beberapa cara (di antara contohnya ialah penempatan produk dalam film-film, yang nilai mereknya dapat meningkat dengan sirkulasi yang tidak sah). Hal ini juga menghasilkan kebutuhan terhadap sinema dalam demografik yang suatu hari berpotensi dapat berbuah menjadi sebuah pasar formal yang sah. Dari perspektif laissez-faire ini, hak cipta melindungi satu bentuk aktivitas ekonomi, namun dengan melakukan perlindungan tersebut menghambat kemungkinan adanya sarana penghasilan yang bisa jadi lebih kreatif.

Sejarawan Adrian Johns berpendapat, ide pembajakan sebagai ‘kekuatan bisnis’ sudah dari dulu menjadi pendorong gerakan anti-properti intelektual, di antaranya termasuk gerakan open-source.[21] Johns menggarisbawahi fakta bahwa sebagian besar intelektual ekonomi dan publik yang berasosiasi dengan kritik tentang hak cipta—di antaranya Ronald Coase dan Oliver Smedley—dimotivasi bukan oleh sentimen anti-lembaga atau komitmen terhadap keadilan redistributif namun justru kombinasi ortodoksi pasar bebas, komitmen filosofis terhadap individualisme, ketidakpercayaan terhadap regulasi negara, dan kebencian atas ‘monopoli’ BBC. Argumen ini disampaikan secara kuat oleh institut masalah ekonomi dalam pamflet tahun 1965 dalam regulasi radio di Inggris, yang menyoroti sebuah seksi yang berjudul ‘Pembajakan sebagai Kekuatan Bisnis’. Menurut Johns, sosok-sosok ini ‘menjadikan sistem radio yang dimonopoli publik menjadi jantung argumen mereka melawan ortodoksi Keynesian’.[22] Debat anti-hak cipta ini juga berlangsung di saat yang sama dengan radio bajak laut yang berlabuh di pesisir Inggris yang memulai siaran ilegal mereka, dan Johns menyatakan, kedua peristiwa ini saling berkaitan secara ideologis (salah satu kapal tersebut juga bernama laissez-faire). Sejarah filosofi alternatif bajak laut ini—yang menghubungkan budaya radio bajakan dengan apa yang akan dikenal sebagai ideologi pasar bebas Thatcherite—menyediakan sebuah bukti yang nyata terhadap hubungan pembajakan dan liberalisme ekonomi di Inggris.

Relasi paralel yang berbeda antara pasar bebas dan praktik pembajakan juga dapat dijumpai dalam Cina modern, sumber dari banyaknya DVD bajakan yang dijual ke seluruh dunia. Ekonomi bajakan yang merajalela di Cina seringkali diwarnai sebagai Mr. Hydenya kapitalisme formal Dr. Jekyll, tapi ini hanya menggambarkan sedikit bagian dari cerita lengkapnya. Di sini, batas-batas antara bisnis formal dan informal menjadi ruang lingkup yang kabur, dengan pabrik DVD memproduksi barang legal pada siang hari dan salinan ilegalnya pada malam itu juga.[23] Ekonomi abu-abu ini adalah bentuk efek samping dari eskalasi pasar legal yang mendampingi Cina ke WTO, dikarenakan pembajakan bergantung kepada faktor seperti meningkatnya aktivitas konsumen, ketersediaan teknologi digital dan level otonomi komersil yang baru bagi bisnis-bisnis Cina. Menggambarkan kesinambungan antara yang formal dan informal, cabang Warner Bros. Di Cina bahkan memilih sebuah perusahaan yang terkenal dengan pembajakan sebagai lisensi video pertamanya, yakni perusahaan Xianke.[24]

Indikasi dari hal ini bahwa dinamika ekonomi aktivitas bajakan di Cina bersifat lebih kompleks dibanding sekadar produksi DVD bajakan. Implementasi oleh Cina yang lemah terhadap properti intelektual barat menciptakan kesempatan-kesempatan di antara berbagai rantai suplai media, dan akan selalu ada sebuah bisnis yang siap untuk menganutnya. Kebanyakan DVD player yang diproduksi dengan murah tidak tersedia dengan mekanisme anti-salinan yang menyulitkan konsumen—koding wilayah, macrovision, perlindungan salinan—dikarenakan distributor unit ini bukan bagian dari konglomerat audiovisual yang terintegrasi secara vertikal dan tidak diuntungkan oleh ongkos tambahan yang dijumpai melalui penciptaan teknologi anti-salinan ke dalam alat-alat tersebut.[25] Lingkungan yang lemah properti intelektual ini memang identik dengan bajakan, namun dapat juga dilihat sebagai sebuah bentuk pasar bebas yang lebih murni. Dibandingkan dengan kapitalisme oligopolistik yang terintegrasi secara vertikal yang mengabadikan dirinya melalui standar teknis dan regulasi properti intelektual, ‘kapitalisme kecoa’ ini cepat, lincah, dan tersembunyi sifatnya.[26]

Seiring berjalannya waktu raksasa elektronik Jepang Sony Corporation berubah dari kecoa menjadi predator pembunuh serangga, yang mencerminkan perubahan hubungan menjadi formal. Pada masa kasus Betamax, Sony merupakan manufaktur perangkat keras yang menerima serangan anti Home Video MPAA. Saat itu juga Sony dilabeli sebagai perusahaan penipu yang berusaha merusak perlindungan hak cipta dan mengancam stabilitas industri tersebut. Dua dekade kemudian, Sony justru berada dalam posisi sebaliknya. Sejak akuisisi Columbia Pictures, Sony menjadi raksasa Hollywood yang mengambil tindakan keras terhadap pembajakan. Suatu upaya untuk menopang perlindungan properti intelektual di tengah endemi bajakan melibatkan penanaman perangkat spyware dan program koleksi data ke dalam CD artis Sony, sebuah strategi yang menjadi kekacauan relasi publik.[27]

Manufaktur perangkat keras murahan yang menantang standar teknis Hollywood pada hakikatnya sangat mendekati kemurnian kapitalisme kecoa, namun mengangkat pembajakan sebagai lambangnya. Dalam pemikiran laissez-faire, pembajakan mengisi celah dalam pasar dengan efisiensi maksimum, dengan melayani kebutuhan yang mana industri sah tidak dapat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mari simak pernyataan Bob Vallone, manajer umum cabang UA Sinema Hong Kong:

“Saking kayanya para pembajak kini mereka telah memiliki peralatan manufaktur yang lebih superior dibanding badan manufaktur dan lisensi yang sah. Jaringan distribusi mereka pun merupakan suatu hal yang patut dicemburui. Mereka berkemampuan untuk menjual segala CD film dan musik ke jalanan Asia hanya dalam waktu satu malam”.[28]

Di sini kita melihat analisa terhadap pembajakan yang diwarnai oleh rasa dendam dan kekaguman terhadap pembajak dengan kecepatan fleksibiltas, dan kecerdasan teknologi mereka—yakni segala kualitas yang didambakan oleh lapisan masyarakat jaringan. Selagi industri-industri memandang pembajakan sebagai musuh bebuyutan industri perfilman, analisa laissez-faire melihat jaringan informal yang mendirikan operasi bajakan sebagai bentuk ‘ekonomi baru’ dan model sirkuit distribusi yang berpotensi. Dan seperti yang akan kita saksikan, pembajakan juga rawan jadi bagian dari persoalan politik.

 

Pembajakan sebagai Bentuk Kebebasan Berpendapat

Dapat dikatakan, kritik yang paling efektif terhadap undang-undang hak cipta berasal dari kaum liberal yang vokal dan ahli teknologi. Berasosiasi dengan gerakan ‘budaya bebas’ dan benteng pertahanan techno-libertarianisme seperti Wired[29] dan Electronic Frontier Foundation, komentator seperti Lawrence Lessig dan Cory Doctorow berupaya menjadikan reformasi hak cipta sebagai isu politik mainstream. Mereka berpendapat, tujuan hak cipta untuk mengimbangi antara kepentingan publik (yang membutuhkan masyarakat untuk dapat dengan mudah mengakses dan menggunakan informasi) dan pasar bebas (yang membutuhkan kerangka untuk melindungi hak properti dan menyediakan insentif yang aman untuk inovasi) justru lebih condong kepada aspek pasar bebas itu sendiri. Mereka dan berbagai penulis lainnya merasa, isu pembajakan dan persoalan hak kebebasan berbicara adalah suatu hal yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan.

Simpati Lessig dan rekan-rekannya terletak pada konsumen dan para seniman. Mereka prihatin di satu sisi terhadap dampak yang diciptakan dari proses pengunduhan secara ilegal, dengan ketidakmampuan kita secara legal mengirimkan data antara perangkat keras yang berbeda, dengan virus dan spyware yang merusak komputer. Di saat yang sama, mereka mencari cara melalui daerah ranjau hak cipta untuk sutradara, penulis, musisi, DJ, animator, dan developer perangkat lunak, melalui pengakuan legal teknik potong dan tempel sebagai bentuk berpendapat yang sah. Dalam bukunya Copyrights and Copywrongs, Siva Vaidhyanathan membahas tentang sejarah hak cipta dengan hubungannya kepada literatur, film, musik, perangkat lunak, dan berpendapat bahwa fase cengkeraman keras properti intelektual ini justru menghambat kreativitas. Ia mengusulkan sebuah sistem ‘perlindungan samar-samar’ sebagai jalan terbaik untuk menjamin kompensasi yang adil bagi para artis, yang secara bersamaan mengembangkan inovasi budaya dan kebebasan informasi.[30] Michael Strangelove mengambil pendekatan yang lebih anarkis dalam tulisannya The Empire of Mind, dengan menyayangkan perubahan internet dari ruang budaya dan aktivisme menjadi sebuah pasar yang dikuasai oleh otokrat properti intelektual.[31] Kritik hak cipta yang populer ini serupa dengan etos Hacker dari gerakan perangkat lunak bebas[32] dan juga generasi tua aktivisme budaya.

Lessig, seorang mantan republikan dan kini seorang dosen hukum Stanford, merupakan figur terkuat dalam gerakan ini dan pendorong dibalik Creative Commons, sebuah alternatif mudah dari lisensi hak cipta. Creative Commons bergerak dalam prinsip ‘beberapa hak cipta’: artis yang memberi lisensi kepada suatu karya dengan cara ini dapat meraih keuntungan finansial, namun mereka juga harus memberikan izin agar karya tersebut dapat digunakan secara kreatif juga oleh pihak lain (contohnya seperti kode sumber dan seterusnya) atau bagi tujuan non-keuntungan. Buku berpengaruh Lessig yang berjudul The Future of Ideas, Free Culture and Remix kini menjadi pedoman bagi pergerakan reformasi hak cipta.[33] Free Culture bahkan telah melahirkan gerakan mahasiswa sendiri, yang semakin berkembang dalam ruang lingkup universitas AS.

Aktivisme hak cipta Lessig tertanam dalam nilai-nilai liberal kebebasan informasional dan pribadi. Ia berpendapat, bentuk-bentuk produksi kultural sedang diancam oleh ‘petarung hak cipta’ yang mana aturan hukum properti intelektual mereka melukai pasar bebas dan menekan kreativitas pengguna. Solusinya adalah pelemahan—bukan pemusnahan secara keseluruhan—dari undang-undang properti intelektual. Dalam pernyataan Lessig, ‘regulasi berlebihan membatasi kreativitas. Ia menodai inovasi. Ia memberikan tradisi kuno suatu hak veto atas masa depan. Ia juga menyia-nyiakan kesempatan luar biasa atas terjadinya kreativitas demokratis yang dimungkinkan oleh teknologi digital.’[34]

Seperti yang dikatakan oleh pihak laissez-faire sebelumnya, Lessig memandang regulasi berlebihan sebagai ancaman. Pandangan ini serupa dengan apa yang dirasakan oleh perdebatan tokoh-tokoh terkait intervensi properti intelektual dan inovasi, seperti Jonathan Zittrain dalam The Future of the Internet (and How to Stop It) dan Yochai Benkler dalam The Wealth of Networks.[35] Kritik liberal hak cipta yang dikembangkan oleh para kritikus ini mengambil posisi reformis yang berupaya untuk menundukkan maksimalisme properti intelektual ketimbang penghancuran sistem politik dan ekonomi di mana ia menjadi bagian dari hal tersebut.

Lessig, layaknya liberal hak cipta pada umumnya, menekankan pesannya bukanlah ‘anti pasar’.[36] Selagi menggaris-bawahi bahwa pembajakan telah menjadi fitur yang besar dalam industri konten, ia selalu menegaskan perlawanannya terhadap ‘pencurian’, dengan membatasi antara pembajakan yang dapat diterima (produksi kultural potong tempel, budaya, dan budaya remix) dan mencuri. Tapi seperti yang dikatakan oleh Kavita Philip, argumen ini terkesan etnosentris, dikarenakan pembajak ‘kreatif’ yang dibela oleh Lessig umumnya ialah kelas menengah dan putih sedangkan reproduksi masal ‘non-kreatif’ sering diasosiasikan dengan dunia berkembang.[37] Perhatikan pernyataan Lessig berikut, yang menunjukkan hubungan liberal antara hak properti dan kebebasan:

“Budaya yang bebas bukanlah budaya tanpa properti; bukanlah budaya di mana artis tidak mendapatkan bayaran. Budaya tanpa properti, atau di mana artis tidak mendapatkan bayaran, adalah anarki, bukan kebebasan… justru, budaya bebas yang saya bela dalam buku ini adalah keseimbangan antara anarki dan kendali. Budaya yang bebas, seperti pasar yang bebas, dipenuhi oleh properti. Namun layaknya pasar bebas yang digunakan secara semena-mena jika properti tersebut menjadi feodal, budaya yang bebas juga dapat dianehkan oleh ekstrimisme dalam hak properti yang mendefinisikannya”.[38]

Penggunaan sembrono dari kata ‘dianehkan’ di sini mengingatkan kita terhadap pengecualian yang menanggung pembedaan Lessig antara pemberian dan pencurian, dan juga menjiwai argumen rekan-rekannya. Ini adalah poin yang akan segera kita bahas kembali. Sementara itu, mari pertimbangkan sebuah pembacaan lain dari pembajakan, di mana sekarang dilihat dari perspektif poststrukturalis.

 

Pembajakan sebagai Kepengarangan

Selagi argumen yang dijabarkan sejauh ini meliputi persoalan akses, ekonomi dan politik, para ahli teori dan filsuf budaya telah mengkritik properti intelektual dengan membongkar salah satu konsep dasarnya: kepengarangan. Dengan mendekati pengarang sebagai efek tekstual ketimbang agen ekspresif yang paling berkuasa, pemikir poststrukturalis seperti Jacques Derrida, Michael Foucault dan Roland Barthes telah berusaha membongkar ide yang masuk akal tentang originalitas, inovasi, dan ekspresi. Dari perspektif ini, segala bentuk kepengarangan melibatkan pembajakan. Jika kita mengambil ide-ide tersebut dalam arah yang sedikit berbeda, kita akan sampai kepada pertanyaan yang tidak kalah menariknya: apakah pembajakan menjadi sebuah bentuk kepengarangan?

Kritik postmodern dari pengarang menarik perhatian terhadap spesifikasi sejarah atas sistem properti intelektual dan bagaimana ia meresmikan konsep penciptaan dan kreativitas. Apa yang tergolong sebagai yang orisinal dan pengerukan, sebagai lawan dari pencurian dan pemalsuan, pada hakikatnya merupakan hasil dari undang-undang properti intelektual ketimbang standar universal kreativitas. Jika kita menerima fakta bahwa dasar struktural properti intelektual itu spesifik secara kultural, maka langkah yang logis ialah mempertanyakan bagaimana ide-ide tentang properti, kepengarangan, dan originalitas tersebut disebarkan dan dikembangkan—serta bagaimana kita dapat mengubah hal-hal tersebut. Teori poststrukturalis dan postmodern menyediakan sejumlah sarana konseptual yang bisa kita manfaatkan untuk meneliti proses tersebut.

Serangan yang terkenal terhadap kepengarangan konvensional berasal dari esai Roland Barthes yang berjudul ‘The Death of the Author’. Ia berpendapat, ‘bahasalah yang berbicara, bukan sang pengarang’, Barthes bertujuan untuk memisahkan teks tersebut dari pengarang diskursif yang dilakukan melalui apa yang kita pahami sebagai kepengarangan.[39] Dari kata ‘kematian’, ia tidak hanya merujuk kepada jatuhnya pengarang sebagai kategori kritikal namun juga sebagai bentuk perubahan yang terjadi dalam proses kepengarangan: ‘sang pengarang memasuki fase kematiannya, karyanya pun segera tercipta’.[40] Yang paling penting demi tujuan kita, Barthes memandang aksi penciptaan bukan sebagai tenaga kerja dari persatuan jiwa yang ekspresif namun sebagai seleksi dan kombinasi bagian-bagian dari diskusi yang telah ada sebelumnya:

“Suatu teks bukanlah sebuah barisan kata-kata yang menghasilkan makna ‘teologis’ tunggal (‘pesan’ dari sang pencipta) namun merupakan ruang multi-dimensional di mana beragam penulisan yang tidak satupun orisinil, bercampur aduk dan saling bentrok. Teks merupakan sebuah jaringan kutipan yang ditarik dari pusat budaya yang tidak terhitung … sang penulis hanya bisa meniru sikap yang selalu di depan, tidak pernah yang orisinil. Kekuatannya hanyalah sebatas mencampurkan tulisan, untuk membalas yang satu dengan yang lain, begitu demikian sehingga tidak pernah bergantung kepada tulisan yang lain”.[41]

Model kepengarangan ini menunjukkan masalah dari prospek originalitas dan inovasi yang menanggung undang-undang properti intelektual. Jika originalitas menjadi mustahil dan peran artis atau pengarang hanya sebatas menata ulang apa yang telah ada dalam kombinasi yang baru, apa sebenarnya yang membedakan antara pembajak dengan seniman? Hanya fakta bahwa mereka terlalu bergantung kepada suatu situs tertentu, melawan serangan hak cipta dengan lihainya.

Karya Derrida menawarkan kritik yang lebih eksplisit tentang undang-undang hak cipta. Esainya yang populer ‘Limited Inc a b c”—yang aslinya ditulis sebagai balasan terhadap filsuf John Searle, yang sebelumnya mempublikasikan kritik terhadap Derrida—dengan senang hati mengejek lawannya beserta prinsip dan praktik hak cipta. Kepengarangan khas dari Searle (yang terkadang ia sebut sebagai Sarl; SA yakni singkatan dari bahasa Prancis Societe anonyme, dan menunjukkan suatu identitas yang terbatas secara publik) dibahas dalam paragraf pembuka, di mana Derrida menyatakan, klaim hak cipta lawannya adalah sebuah kecurangan dikarenakan korespondensi mereka yang sifatnya dialogis, kedua penulis tersebut memiliki rekan sejawat yang sama, dan Searle menyebutkan seorang anggota keluarga dalam sebuah catatan kaki:

“Jika John R. Searle berhutang kepada D. Searle perihal diskusi ini, maka hak cipta yang ‘sejati’ berada di tangan … untuk Searle yang terbelah, diperbanyak, terkonjugasi, dibagi. Sungguh sebuah tanda tangan yang sangat rumit! Dan menjadi lebih rumit lagi ketika hutang tersebut melibatkan teman lama saya, H. Dreyfus, yang menjadi kawan kerja, diskusi, pertukaran ide, sehingga jika memang melalui dirinya Searles telah ‘membaca’ diriku, ‘memahami’ diriku, dan ‘membalas’ kepada diriku, maka aku juga dapat mengklaim taruhan dalam ‘aksi’ atau ‘kewajiban’, saham dan obligasi, dari perusahaan ini, Copyright Trust”.[42]

Poin yang dimaksudkan oleh Derrida ialah setiap karya pada hakikatnya berhutang kepada apa yang telah diciptakan sebelumnya, dan menduduki lautan pasir bahasa, sebuah signifikasi sistem jaringan yang sewenang-wenang. Jika materi yang digunakan oleh sebuah artis bukan milik mereka sendiri bagaimana ia dapat menyatakan diri sebagai pencipta sejati—apalagi sang pemilik—dari sebuah teks tertentu? Semangat yang sama menjiwai pembukaan A Thousand Plateaus oleh Gilles Deleuze, di mana pengarangnya menyatakan ‘dikarenakan kita lebih dari satu, tentunya telah ada rombongan yang hadir sebelum ini’.[43]

Argumentasi ini mengindikasikan bahwa penciptaan sebuah tulisan pada dasarnya adalah proses seleksi dari apa yang telah diciptakan sebelumnya. Menjadi seorang pengarang, melibatkan peleburan ulang berbagai unsur tersebut menjadi suatu aspek yang sempurna. Kesimpulan logisnya ialah kepengarangan dan kreativitas identik dengan pembajakan. Apakah ini bermakna bahwa pembajakan juga produk kreativitas, atau hanya sebuah bentuk karangan? Hal ini bergantung pada konteks pembahasannya. Seperti yang akan kita lihat pada studi kasus di akhir tulisan ini, kebanyakan bentuk kaset komersil bajakan melibatkan modifikasi dan ‘peninggian’ isi dari apa yang dibajak yang dapat dipahami sebagai suatu bentuk kreativitas juga. Argumen bajakan sebagai karangan memiliki posisi yang penting dalam mendestabilisasi konsep kepemilikan kreatif dan hak moral untuk mengendalikan sebuah karya, dan terusan logis dari argumen ini memang melihat bajakan sebagai sebuah kepengarangan.

Kembali pada persoalan studi perfilman, kita dapat mengidentifikasi banyak situs di mana dalil menyoal kepengarangan berkonflik dengan struktur diskursif yang meregulasi budaya film. Satu contohnya ialah genre. Tokoh ahli teori seperti Steve Neale mendefinisikan genre sebagai pakta persetujuan antara produser dengan penonton, dan dengan ini mencoba untuk mengganti teori auteur yang sebelumnya dominan menjadi model evolusi formal, yang mengakui pekerjaan kultural para penonton.[44]

Ketegangan antara analisis film model auteur dan model genre membutuhkan kita untuk kembali mempertanyakan peran dan nilai seorang pengarang. Segala tulisan, baik ia sesuai atau mencampuradukkan norma yang terdapat dalam genre, bergantung kepada familiaritas kita dengan setidaknya beberapa teks dan gaya yang dihadirkan. Tanpa ini, hal tersebut akan menjadi tidak bermakna—dan tentunya tidak dapat menghasilkan keuntungan. Film genre menggambarkan dengan jelas cara-cara struktur naratif konvensional, elemen formal, dan karakter menyampaikan makna tertentu, sehingga pekerjaan seorang penonton (pengalaman menonton film sebelumnya) diubah menjadi kapital budaya. ‘inovasi’ terletak di dalam seleksi dan kombinasi dari elemen yang sebelumnya telah diciptakan. Semua film tercipta dengan cara yang sama, termasuk juga film-film yang mengaku telah melanggar segala aturan sinema naratif sekaligus menyesuaikan diri dengan genre meta dari film seni, eksperimental, dan seterusnya. Teori mengajarkan kita bahwa sinema adalah ruang cermin, dengan setiap teks merefleksikan unsur-unsurnya. Dari sudut pandang ini, sulit untuk melihat bagaimana sistem hak cipta yang melingkupi kepengarangan ke dalam satu entitas saja dapat membagikan keuntungan secara adil. Undang-undang adalah sebuah instrumen yang tumpul untuk menghadapi masalah yang sensitif ini.[45]

Perdebatan pembajakan saat ini mengalokasikan diskusi mengenai keaslian dan kepengarangan dalam produksi budaya kepada bidang distribusi. Jika teori genre mengindikasikan bahwa klaim ‘auteur’ tradisional terhadap karangan memiliki beban moral yang sama sedikitnya dengan model produksi kultural lainnya, apakah ini juga memperlemah implikasi bahwa hanya satu jenis kreativitas memberikan hak moral untuk mengendalikan bagaimana sebuah karya didistribusikan?

Mendestabilisasi kepengarangan menimbulkan pertanyaan terhadap asumsi kita yang diformalisasikan ke dalam undang-undang properti intelektual, tentang peran yang dimiliki oleh orisinalitas dalam menentukan siapa yang mengendalikan akses terhadap karya tersebut. Pertanyaannya pun tetap sama: klaim moral apa yang dapat dijalankan di atas distribusi produk kultural yang diciptakan dalam konteks sosio-simbolis yang di mana asal dari sebuah konsep, frasa, imej, atau riff? Merupakan multi-dimensi dan saling berhubungan?

Setelah membahas secara singkat kritik poststrukturalis tentang kepengarangan, dan mempertimbangkan implikasinya dalam perdebatan pembajakan, mari kita melihat kritik marxis untuk memahami pandangan yang berbeda dalam isu yang dibahas.

 

Pembajakan sebagai Perlawanan

Selagi para tokoh film industri membenci pembajakan, postmodernis memandangnya sebagai komponen instrinsik dari kepengarangan dan libertarian dunia maya melihatnya sebagai model bisnis, kritikus marxis melihat pembajakan sebagai bentuk subversi. Para ahli dalam tradisi ekonomi politik kritis mengedepankan isu kekuasaan dan perlawanan dalam industri media. Mereka menarik perhatian kita kepada ‘logika ekspansif’ dari kapital dan isu kepemilikan, regulasi, dan kendali.[46] Sekaligus menjadi sebuah teks, film juga dipahami sebagai ‘komoditas yang nilainya berasal dari tenaga kerja yang menciptakannya’.[47] Dari hal ini, hak cipta adalah institusi hegemonis legal yang mengubah informasi dan tenaga kerja menjadi kapital. Sebagai sisi yang busuk dari hak cipta, aksi pembajakan menganut nilai politik tertentu.

Berbeda dari Lessig, kritikus ini justru anti pasar; mereka melihat media sebagai arsitektur kendali dan eksploitasi yang bergerak dalam ranah kapitalisme. Mereka menekankan pentingnya kelas sebagai kategori yang jelas. Ronald V. Bettig, dalam bukunya Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual Property, berpendapat hak cipta merepresentasikan strategi regulasi properti dan kolonisasi pasar yang bergerak di atas kepentingan borjuis internasional. Bettig menyediakan sejarah yang detail tentang undang-undang hak cipta, dengan menyoroti ‘hubungan penting antara perkembangan kapitalisme, perpanjangan relasi komoditas kepada ruang lingkup literatur dan artistik, dan lahirnya mesin cetak’.[48] Ia membahas bagaimana pemerintah AS, secara berdampingan bersama MPAA, menyebarluaskan budaya hak cipta secara global melalui sanksi dagang melawan negara-negara yang oposisi dan keras kepala, FTA dengan pemacu properti intelektual, inisiatif multilateral seperti GATT dan WTO, dan peningkatan sanksi pelanggaran dan upaya pengamanan. Analisa Bettig terkait perang home video, yang mana kasus Betamax adalah contoh kasus yang luar biasa, menarik kesimpulan sebagai berikut:

“Tujuan utama ialah untuk meningkatkan efektivitas dan pemahaman dari sistem properti intelektual untuk menciptakan atau memperluas pasar yang dapat dimanfaatkan tidak hanya bagi distributor video rumahan AS namun juga media dan komunikasi transnasional”.[49]

Bagi Bettig, sirkuit bajakan adalah ruang lingkup aktivitas komersil yang belum dikolonisasi oleh kerajaan audiovisual transnasional. Perubahan pasar bajakan menjadi sebuah pasar yang sah berarti menyerahkan industri tersebut kepada Hollywood. Argumennya di sini bahwa pembajakan dan perlawanannya terhadap dominasi kapitalis, merupakan simbol perlawanan.

Tidak hanya mengeksplorasi persoalan kendali dan kepemilikan, Toby Miller dan rekannya membuka arah baru bagi studi analisis kelas dalam media dengan menelusuri ekonomi politik tenaga kerja perfilman. Buku mereka, Global Hollywood yang tidak hanya berfokus dengan pemilik media namun juga pekerja ‘bawahan’ yang mengecat set film dan pengemudi van pengiriman. Mereka berpendapat, undang-undang properti intelektual adalah salah satu kunci yang memungkinkan praktik eksploitatif studio besar: perubahan properti intelektual dari sebuah ilmu pengetahuan menjadi properti biasanya mementingkan kepemilikan dari pada penggunaan, pencipta dari pada penonton dan produksi dari pada resepsi’.[50] Global Hollywood memberikan berbagai contoh dari implementasi kaku properti intelektual, seperti gugatan Disney terhadap sebuah sekolah Florida terkait karakter kartun yang dicat di dinding bangunannya. Ini memberikan teorisasi yang rumit mengenai pembajakan yang berputar kepada pertanyaan yang signifikan dalam buku ini—apakah pembajakan sebaiknya dipandang sebagai bentuk penting dari distribusi film. Selagi melihat bahwa operasi bajakan melibatkan eksploitasi dan berkemungkinan menyenggol negara dan jaringan korporasi, mereka menggunakan model taktik diskusi Michel de Certeau dalam diskusi ‘jaringan bajakan gesit dan kecil’ yang menarik populasi lokal dan berakar dalam praktik “penggunaan transformatif”’.[51] Di sini, seperti dalam karya Bettig, pembajakan secara implisit dihargai atas bentuk perlawanannya terhadap industri Hollywood.

Kritikus media asal Hong Kong, Laikwan Pang membawa argumen ini lebih dalam. Dalam gaya polemik, Pang membahas diskusi media bajakan ‘sebagai interogasi kritis dari politik budaya internasional zaman sekarang’.[52] Melalui analisis tekstual dan industrial Kill Bill karya Tarantino (2003/4), ia menyampaikan bahwa Hollywood telah mencecerkan isi tekstual sinema Asia sekaligus melakukan peperangan retorika melawan pelanggaran hak cipta. Bagi Pang, perbedaan antara dua bentuk pembajakan adalah legalitas, yang tentunya didefinisikan sesuai struktur yang berpihak kepada Hollywood. Karya Pang membahas tantangan yang besar terhadap persoalan hak cipta dominan—namun juga terkadang cenderung mengonstruksi oposisi antara barat yang merampas dan sisanya yang menjadi pengecut, dengan ‘Asia’ direpresentasikan sebagai korban pasif dari imperialisme budaya.[53]

Ini adalah fitur yang sering dijumpai dari apa yang kita sebut argumen ‘anti-anti-bajakan’, yang dibingkai atas latar belakang keterlebihan implementasi Hollywood. Pertanyaannya menjadi berbeda jika kita mempertimbangkan dampak pembajakan komersil terhadap sinema non AS. Fokus Pang dalam sebagian besar karyanya terletak pada posisi Cina dalam peperangan hak cipta, dan bab terakhir dari bukunya Cultural Control and Globalization in Asia menyinggung isu dampak negatif pembajakan terhadap produksi film di Hong Kong dan RRC. Ini menampilkan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab tentang batas-batas diskusi bajakan sebagai perlawanan. Dapatkah pembajakan sinema non-barat dimaklumi semudah pembajakan blockbuster Paramount? Kemudian, apakah argumen bajakan sebaagi perlawanan yang biasanya menjadi respon terhadap dominasi Hollywood, ternyata bersifat AS-sentris? Ini membawa kita kepada analisis terakhir mengenai pembajakan, yakni yang menyinggung geopolitik properti intelektual secara langsung.

Pembajakan sebagai Akses

Karya-karya terbaru dari studi postkolonial dan legal memberikan interpretasi yang berbeda terhadap pembajakan, yang tidak terlalu mempedulikan etisnya namun lebih terpaku kepada potensi yang dimilikinya. Pendekatan ini berkaitan dengan aspek transformatif pembajakan, yakni kapasitas pembajakan dalam menyebarkan budaya, ilmu pengetahuan, dan modal. Aspek ini mempertanyakan hubungan antara teknologi dan perkembangan, mempertanyakan bukan “properti milik siapa?” melainkan “masa depan siapa?”.

Deretan karakter yang familiar meramaikan pembajakan: si remaja pembagi file, sutradara yang sedang berjuang, multinasional media, institusi teroris-bajakan dan seterusnya. Yang tidak terlihat dalam skenario ini adalah bentuk bajakan sehari-hari yang terjadi dalam konteks ketika mengakses media secara ilegal bukan hal yang memungkinkan. Banyak komunitas dalam negara-negara berkembang yang tidak termasuk dalam kritik Marxis yang dibahas dikarenakan mereka tidak tergabung dalam kelas pekerja, apalagi kelas kreatif yang menjadi target argumen kelompok reformasi hak cipta liberal. Bagi miliaran orang di dunia, pembajakan menjadi akses terhadap media yang pada umumnya tidak dapat diakses. Bentuk bajakan ini biasanya bukanlah bentuk aksi politik yang sadar diri namun aktivitas dangkal dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan dalam konteks yang di mana alternatif yang sah tidak dapat ditemukan.

Bentuk bajakan keseharian ini sering dijumpai dalam ranah Asia Tenggara. Suatu artikel tahun 2006 dari Bangkok Post mempublikasikan wawancara dengan konsumen bajakan, yang menjelaskan alasan mereka melanggar undang-undang properti intelektual:

“Belakangan ini, Saner Lohvithi yang memproklamasikan dirinya sebagai seorang sinefil membeli DVD bajakan In the Year With 13 Moons karya sutradara Rainer Fassbinder dari sebuah toko di pasar mingguan Chatuchak. Di sore hari lainnya ketika ia sedang di pusat kota, ia singgah di kios pinggir jalan di Silom untuk membeli kaset bajakan Saraband, film baru Ingmar Bergman, Princess Raccoon, musikal Seijun Suzuki, dan klasik 1938 Aleksandr Nevskiy oleh Sergei Eisenstein. “Saya tahu ini ilegal, saya juga tahun tentang properti intelektual,” ucap pria berusia 33 tahun itu. “Tapi saya bukannya membeli DVD bajakan King Kong atau The Lord of the Rings. Saya hanya membeli film yang, jika saya tidak beralih ke bajakan, saya tidak akan pernah bisa menontonnya. Dan karena saya ingin sekali untuk menonton film tersebut, tentunya saya tidak punya pilihan kan?”

Sejumlah sinefil di Thailand berpendapat sama: tanpa bajakan, mereka tidak akan berkesempatan untuk menonton film non-Hollywood yang tidak lazim dari seluruh belahan dunia. Sinema Thailand tidak akan berani mempertontonkan misalnya Princess Raccoon, dan salinan sah yang dibeli dari internet akan berharga lebih dari 1,500 Baht (setiap salinan ‘bajakan’ berharga sekitar 100 hingga 150 Baht).[54]

Artikel ini memberikan poin penting yakni bahwa bajakan DVD Thailand dan operasinya memberikan subtitle-nya sendiri untuk kaset, dan justru versi resmi, terutama film arthouse tidak menyediakan subtitle Thailand. Ini menyebabkan versi bajakan dari film internasional menjadi sumber pembelajaran dalam kursus film di berbagai universitas Thailand.[55] Artikel yang bersangkutan menyimpulkan dengan usulan bahwa ekonomi pembajakan mungkin telah berdampak lebih besar untuk menstimulasi ‘budaya film cendekiawan’ dibanding festival film internasional Bangkok tahun 2006, yang tidak memberikan subtitle bagi film-filmnya untuk penonton lokal.

Ini membuat kita bertanya-tanya mengenai peran distribusi bajakan di dalam alur film internasoinal. Selagi DVD bajakan mungkin membantu mengembangkan lahirnya budaya sinefil film di Thailand, ini juga merupakan budaya yang mengikuti model Euro-Amerika, dan juga Jepang. Pembajakan cenderung tidak menyentuh film-film Thailand karena salinan resmi biasanya berharga terjangkau dan margin keuntungan lebih tipis, alhasil, sebuah hegemoni apresiasi film ‘arthouse internasional; direproduksi melalui pembajakan, dan begitu juga kelalaian yang menyertai sirkuit festival film.[56] Bandingkan ini dengan sirkuit video nonformal Nigeria yang dibahas sebelumnya yang memberikan akses yang berbeda: sebuah pembajakan yang tidak menarik penonton periferal ke dalam sistem internasional namun memberikan material ‘infrastruktur’ bagi produksi dan sirkulasi kultur visual asli.[57] Perbedaan antara keduanya  dapat dilihat pada instalasi sirkuit bajakan ketimbang properti bajakan itu sendiri. Pembajakan justru tidak peka terhadap konten dan akan siaga untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Kritikus asal Delhi Ravi Sundaram menuntun pengalaman detail kepada perdebatan tentang sirkuit informal. Dalam suatu seri esai dalam bukunya Pirate Modernity: Delhi’s Media Urbanism, Sundaram mendokumentasikan dunia media India non-legal, yang berciri khas praktik sirkulasi laju dan berskala kecil (kebalikan dari produksi). Ini merupakan budaya pertukaran musik berbasis kaset, jaringan komputer buatan sendiri, perbaikan ponsel seluler murah dan VHS/VCD film bajakan; suatu “dunia wawasan teknologi informal yang berada di sebagian besar wilayah India, yang terdiri atas mereka yang tidak tergolong ke dalam kasta tinggi, pertahanan elit dunia maya yang berbahasa inggris yang mempelajari sarana-sarana mereka.”[58]

Bentuk bajakan ini tidak sesuai dengan semangat kebanggaan (India sebagai dunia baru dari perkembangan sektor pelayanan) ataupun model imperialisme ekonomi Marxis (India sebagai sumber tenaga kerja yang murah). Ia didirikan di atas praktik pelanggaran hak cipta yang non-oposisional dan tidak melawan budaya, dan hampir tidak sama dengan postmodernitas potong-tempel yang dipuja oleh kelompok reformasi hak cipta AS. Justru, pembajakan sehari-hari ini adalah “strategi bertahan hidup dan inovasi dalam persoalan di luar perdebatan terkini terkait struktur dan imajinasi teknologi dan budaya pada umumnya.”[59] Sundaram menjelaskan bagaimana jaringan distribusi bajakan bergerak dalam mengubah kota-kota India, meresahkan khayalan keseluruhan dari perencana perkotaan dan menciptakan sirkuit media baru dan industri dalam “celah perkembangan perkotaan kontemporer, kekacauan, dan fragmentasi”:

“Penduduk kota kini dibanjiri arus masuknya produk kultural, kaset-kaset, CD, MP3, televisi kabel, komputer, pemutar video dan audio murahan dari Cina, ribuan pamflet murah, dan rambu di mana-mana. Yang patut diperhatikan di sini ialah sebagian besar dari produk-produk ini berasal dari sektor abu-abu atau informal, di luar regulasi efektif negara atau ibukota. India kini telah memiliki pasar terbesar permusikan kedua, industri film yang besar dengan ambisi global, pasar komputer yang kelabu, dan ribuan ponsel kecil, kios pengola kata serta kafe dunia maya. Dan seolah berasal dari runtuhan perencanaan kota, bazar media yang mendukung jaringan-jaringan ini telah bangkit dalam batas-batas legal dan non legal”.[60]

Jaringan bajakan yang dibahas di sini memberikan jalur material terhadap modernitas teknologi alternatif, yang menciptakan akses media baru, praktik sosial yang baru, serta kemungkinan terjadinya perubahan. Ini merupakan sebuah proposisi yang berbeda dari model kebebasan berpendapat liberal, yang tidak menyinggung persoalan politik tentang siapa yang dapat berbicara dan dalam situasi seperti apa. Dalam sebuah esai yang menarik, Kavita Philip mengamati sejumlah perbedaan yang hadir dalam persoalan ini. Ia menyatakan bahwa tokoh ‘pengarang teknologis’, yang fondasi rancunya diprediksi akan semakin runtuh dengan simulasi budaya digital, pada hakikatnya mengarahkan tombaknya sekali lagi untuk menopang sistem hak kepemilikan yang menanggung ekspansi tekno-kapitalis. Ia mengundang para pembaca untuk kembali mempertimbangkan naratif kepengarangan ini dari perspektif “situs di selatan global yang dipandang dalam diskursus fase perkembangan demokratis liberal, tergolong sebagai ‘belum’”:

“Apa maknanya bahwa, di titik momen bersejarah kepengarangan teknologi semakin mudah untuk diakses, pihak hukum mencap ruang-ruang pengarang tertentu sebagai transgresif? Apa perbedaan yang akan dicapai jika sebuah bentuk pembajakan terjadi di batas-batas dunia industri, di tengah anggota ‘kurang berkembang’ dari WTO, di tepi jangkauan undang-undang demokratis liberal barat, yang di mana batas antara salinan autentis dan rusak disamarkan oleh pedagang jalanan dan pengusaha berteknologi tinggi?”[61]

Philip berpendapat, analisia libertarian menggunakan kaset komersil bajakan yang dipraktikkan di Asia sebagai pihak retorikal melawan apa yang dapat didefinisikan pihak gerakan perangkat lunak bebas. Tekno-budaya barat pun memetakan naratif idaman bagi mereka yang miskin, lintasan perkembangan dari ‘kesamaan terlarang ke yang sah’ yang secara ketat menetapkan batasan penyalinan yang dapat diterima.[62] Asia didorong untuk meniru barat dengan mengikuti sistem politik dan ekonominya dan dengan mempromosikan kewarganegaraan digital yang bertanggungjawab, namun harus menjauh dari kapital properti intelektual dunia pertama.

Salah satu inspirasi dari argumen ini ialah Lawrence Liang, seorang sarjana yang berasal dari Bengaluru. Dalam sebuah esai, Liang menyatakan legalitas itu sendiri merupakan konsep relatif. Ia menjelaskan bahwa jutaan rakyat India juga melanggar aturan setiap harinya, dengan menyuap pejabat untuk pelayanan penting, atau mencuri sumber listrik dikarenakan tidak adanya sumber yang legal. ‘legalitas berpori’, yang mewarnai kehidupan dalam negara berkembang, bisa jadi menjadi rute satu-satunya untuk menyentuh modernitas teknologi yang tidak disyukuri oleh pihak Barat dapat direalisasikan. Dari perspektif ini, pembajakan bukanlah tentang moralitas, kebebasan atau perlawanan; pembajakan adalah tentang “jalan di mana orang-orang tidak dirangkul oleh imajinasi modernitas, teknologi serta ekonomi global menemukan cara untuk bergabung dalam jaringan-jaringan ini”.[63] Liang tidak mengusulkan bahwa jaringan ini adalah satu-satunya jalan yang terbaik; yang ia tekankan ialah dibutuhkannya individu atau komunitas dalam bingkai legal yang tidak cocok dengan kebutuhan mereka.

Bentuk kritik properti intelektual pasca kolonial ini mengundang kita untuk melihat di luar batas diskusi liberal dan radikal, yang membayangkan dunia pertama sebagai subjek yang paling utama, dan untuk memandang pembajakan dalam bingkai politik yang lebih luas. Ini membantu menggolongkan pandangan pembajakan sebagai perlawanan, mengedepankan aspek lainnya dari salinan ilegal—banalitasnya. Selagi industri media mencap pembajakan sebagai sebuah dosa dan generasi neo-hacker menikmati hasil yang diberikannya, perspektif pembajakan sebagai akses mengingatkan kita bahwa pembajakan umumnya adalah tindakan sehari-hari yang terlepas dari konten politik yang terbuka. Konsumsi bajakan jarang menjadi sebuah aksi perlawanan yang sadar diri, terutama dalam konteks yang di mana alternatif legal tidak dapat diakses. Dalam situasi yang demikian media bajakan menjadi tersebar di mana-mana, tidak patut dipedulikan, dan dangkal. Oleh karena itu kita harus membedakan antara politik pembajakan di tingkat konsumsi keseharian (yang di mana pelanggaran hak cipta tidak selalu berhubungan dengan interogasi struktur kekuasaan) dan politisasi pembajakan dalam perdebatan properti intelektual (yang di mana pembajakan menjadi politis setelah fakta terjadi).

Dalam kontribusi terbaru terhadap perdebatan yang bersangkutan, Liang menekankan kembali analisis pembajakan ini dengan mempertanyakan persoalan ‘akses’, menarik perhatian kita kepada kecenderungan perkembangan di dalam tulisan pembajakan global. Bagi Liang, ada sebuah belahan di dalam literatur hak cipta antara sebuah paradigma akses terhadap ilmu pengetahuan (properti intelektual terbatas menghalangi negara dunia ketiga untuk mengakses unit informasi yang penting) dan argumen hak konsumen yang familiar (properti intelektual yang terbatas menghalangi konsumen mewujudkan potensi kreatif penuh dari teknologi digital). Dalam konteks negara berkembang, yang cenderung diutamakan ialah paradigma yang bersangkutan:

“Akses terhadap film dan musik dilihat sebagai suatu hal yang dangkal, dan tidak berada dalam ruang lingkup kekhawatiran dunia nyata dari gerakan A2K (access-to-knowledge atau akses terhadap ilmu pengetahuan). Dalam dunia pengetahuan dan budaya tampaknya ada sebuah pembatasan antara produk yang esensial dan non-esensial. Kecurigaan kegairahan dan keingintahuan timbul dari sejarah yang mana diskusi perkembangan mengonstruksi subjek perkembangan sebagai pihak yang hina yang kemudian memungkinkan segala bentuk intervensi menyeluruh untuk meningkatkan kondisi hidup mereka. Namun jika kita memutarbalikkan asumsi dari apa yang penting di mata masyarakat, pembelahan antara esensial dan non-esensial ini menjadi semakin lebih rumit”.[64]

Bagi Liang, penting bagi konsumen dunia ketiga untuk tidak terikat pada ruang lingkup fungsional saja. Tersedianya obat-obatan AIDS dan eksploitasi pengetahuan tradisional oleh korporasi agrobisnis multinasional merupakan isu yang penting dalam perdebatan properti intelektual tentunya, tapi dalam ketergesaan kita untuk menarik perhatian kepada ekonomi politik properti intelektual kita harus hati-hati agar tidak mengecualikan pengguna dunia ketiga ke dalam subjek mono-dimensional tanpa adanya kepentingan atau kapasitas praktik kreatif pelanggaran hak cipta di tengah perdebatan pembajakan di Barat. Seperti yang dijelaskan oleh Liang, “ide mengenai akses tidak dapat diamati tanpa sekaligus mengamati persoalan hasrat dan subjektifitas”.[65] Oleh karena itu, diskursus tentang akses media tidak boleh menjadi sarana paternalisme. Dengan mengingat ini, mari kita menyimak studi kasus pembajakan film negara berkembang di mana akses sehari-hari dan kreativitas periferal menjadi hal yang diutamakan.

Etika Keseharian Pembajak di Tepito, Mexico City

Seperti yang kita lihat di pembahasan sebelumnya, informalitas tidak disertai dengan adanya kompas etika. Dengan ini, menjadi tugas para analis untuk mendeskripsikan dan membandingkan atribut dan fitur dari praktik pembajakan. Aksi pembajakan dapat menjadi pencurian sekaligus interogasi terhadap rezim properti intelektual atau praktik bisnis ‘ekonomi baru’. Praktik pembajakan yang berbeda memiliki variasi ciri khas, dan setiapnya harus dikaji secara lebih mendalam.

Kios media nonformal di Tepito, Mexico City (Livia Radwanski)

Pada 2008 di Meksiko, saya mengamati secara langsung sebuah bentuk distribusi informal, yang tidak menyesuaikan diri secara mudah ke dalam persepsi apa yang dikenal sebagai ‘pembajakan’. Profil toko DVD yang bersangkutan di distrik pasar Tepito berfokus pada pengalaman seorang pedagang yang terlibat dalam bisnis lokal tertentu, yang bukan berarti menjadi representasi dari keseluruhan ekonomi bajakan. Meskipun demikian, kisah ini menyoroti keberagaman praktik yang secara keseluruhan membentuk apa yang kita pandang sebagai pembajakan global.

Membeli DVD di Amerika Latin umumnya melibatkan interaksi dengan ekonomi nonformal. Salinan legal film-film tersedia di toko-toko dan mal, namun harganya yang mahal berarti bahwa versi bajakan menjadi pilihan yang lebih atraktif. Bagi sebagian besar penduduk Meksiko, 40% yang hidup di bawah garis kemiskinan, bajakan inilah yang menjadi pilihan mereka satu-satunya. Alhasil, pembajakan menjadi bisnis yang besar di sini. Tahun 2006, diperkirakan sekitar 800 juta unit media kosong diimpor dari Asia Tenggara, yang sebagian besarnya diperkirakan menjadi bagian dari ekonomi ilegal.[66] Suatu perkiraan menyatakan bahwa 300,000 penduduk kota Meksiko menjadikan media bajakan sebagai sumber mata pencaharian.[67] Data industri cenderung merupakan perkiraan jadi ada baiknya kita tidak terlalu mempercayai statistik yang ada, namun tidak ada yang memperdebatkan fakta bahwa ekonomi bajakan adalah salah satu sistem distribusi audiovisual yang paling penting dan efektif di Meksiko. Dengan skala apapun, pembajakan adalah sistem peredaran yang utama bagi mayoritas masyarakat, yang menjadi standar di mana distribusi formal tidak diikutsertakan. Di Meksiko pembajakan umumnya bukan tentang perlawanan ataupun kebebasan berbicara; melainkan keseharian yang hampir semua orang melakukannya untuk berinteraksi dengan kultur film.

Kios DVD, tersebar di seluruh wilayah kota, membentuk geografi komersil informal yang terus berubah. Kaset klon (bajakan) dapat dibeli dari pasar-pasar, dari Ambulantes (pedagang keliling), toko pinggir jalan, kios di luar stasion metro dan di banyak tempat lainnya yang ramai penduduknya. Pria-pria pengusaha muda menjual DVD kepada pengemudi yang terjebak macet atau penumpang di metro. Kaset tersebut berharga 3 Pesos ($0.30) dan 10 pesos ($1), tergantung filmnya, level kompetisi antara pedagang serta kualitas dari salinan yang dijual. Banyak dari apa yang tersedia ialah produk Hollywood biasa, dengan bajakan Blockbuster terbaru dijual di jalanan hanya beberapa hari setelah perilisan resmi film tersebut (atau terkadang sebelumnya). Ini juga termasuk bagian terbesar dari pasar tersebut. Namun ekonomi bajakan semakin beragam dan memiliki khasnya sendiri. Beberapa kios berfokus kepada relung pasar tertentu. Di kota Meksiko saya melihat kios-kios di pinggir jalan, dengan papan iklan yang bertuliskan Cine de arte (sinema seni). Di kota sebesar ini, segala bentuk selera tersedia jika anda tahu di mana tempat mencarinya.

Pusat kota Tepito, Barrio merupakan pusat distribusi DVD bajakan, dan di sinilah kompleksitas ekonomi film informal paling jelas terlihat. Tepito berlokasi seluas 57 blok dan merupakan rumah dari 50,000 penduduk. Di dasar kota ini terdapat pasar terbuka raksasa, di mana dapat dijumpai 8,000 pedagang yang berjualan selama enam hari setiap minggunya. Di area Tepito juga terdapat area pasar yang terdiri atas 2,600 kios, pasar antik minggu dan juga bazar kerajinan tangan serta pasar malam tempat dijualnya sepatu. Semua pasar ini bertotalkan sekitar 15,400 unit ekonomi formal dan informal dan sekitar 220,000 pembeli setiap harinya.[68] Anda dapat membeli apa saja di Tepito, mulai dari lilin hingga jam tangan murahan dan kokain. Wilayah ini dikatakan sebagai area yang berbahaya oleh penduduk Meksiko kelas menengah, dan jarang ditemukan orang yang berani datang ke area tersebut.

Sejarah Tepito dapat dilacak pada periode prakolonial, ketika wilayah ini masih menjadi bagian dari kota Tenochtitlan. Pada 1920an wilayah ini menjadi terkenal sebagai tempat dijualnya barang-barang curian. Pada era subtitusi impor 1950an dan 60an, Tepito merupakan tempat membeli fayuca—sebuah barang elektronik mewah yang diselundupkan ke dalam negeri untuk menghindari tarif. Kini, operasi bajakan Tepito memanfaatkan secara penuh liberalisasi dagang. Beberapa faktor tertentu telah berkontribusi pada pertumbuhan pembajakan di sini. Akses terhadap perangkat keras murah yang diimpor dari Asia juga telah meningkatkan permintaan konten audiovisual. Sementara itu, penyesuaian struktural neo-liberalisme semakin mendorong penduduk meksiko ke dalam sektor informal.[69] Dalam hal ini, pembajakan di Meksiko, layaknya di berbagai negara lainnya, adalah anak haram dari globalisasi, sebuah produk yang tidak diakui ke dalam integrasi ekonomi.

Tepito seringkali dipandang sebagai skenario terburuk dari pelanggaran hak cipta. Sebuah artikel The Economist mengagumi potensi yang mungkin terjadi: “DVD bajakan disebarkan, dengan salinan tontonan anak-anak secara tidak lazim diposisikan bersama film pornografik.”[70] Dalam sebuah perjalanan ke Meksiko pada 2005 yang melibatkan pertemuan tatap muka bersama mantan presiden Meksiko Vincente Fox, ketua MPAA Dan Glickman mengunjungi Tepito guna mengamati pasar-pasar yang ada dan mengumpulkan bukti pelanggaran hak cipta. “Saya telah mengunjungi pasar bajakan di berbagai belahan dunia,” ia berkomentar. “Inilah yang paling besar yang pernah saya saksikan.”[71] Laporan daftar pantauan Special 301 dari IIPA juga menganut pandangan yang sama dengan menyatakan Tepito sebagai situs utama terjadinya distribusi audiovisual ilegal dan mendesak pemerintah lokal untuk mengembangkan ‘rencana pengamanan intensif’ sesegera mungkin. Laporan tersebut juga merisaukan fakta bahwa pasar-pasar seperti Tepito bersifat ‘tersusun’ dan ‘dilindungi oleh negara’.[72] Ini memang fakta yang benar, namun tidak hanya sekadar apa yang dilaporkan. Reputasi area yang bersangkutan sebagai pusat kriminal tidak menjadikannya wilayah kesayangan pihak pemerintah, yang harus dibayar secara terus-menerus. Keberlangsungan jangka panjang Tepito bukanlah suatu hal yang terjamin dan justru selalu terancam oleh regenerasi urban dan inisiatif gentrifikasi.

Ekonomi bajakan Tepito bersifat kompleks dan terfragmentasi. Para pedagang bergerak sebagai grosir dan pedagang eceran, memenuhi kebutuhan yang beragam dari pelanggan yang dalam hal ini termasuk konsumen, distributor, dan pedagang lainnya. Tumpukan DVD juga menjadi pemandangan yang sering dijumpai—unit ini dijual dalam jumlah besar sekitar 40 Centavos ($0.04) setiapnya kepada pedagang lain yang ingin melakukan usaha distribusinya sendiri atau memiliki sumber kaset simpanan. Sebagian besar pedagang Tepito tampaknya kerap berganti fungsi: tidak ada batas yang jelas antara distribusi dan eceran. Film-film dijual bersamaan dengan musik, perangkat lunak, dan produk bajakan lainnya. Fleksibilitas inilah yang menjadi ciri khas ekonomi informal.

Sebagian besar pedagang menyediakan pilihan umum film-film Hollywood dan sulit untuk dibedakan satu sama lain, namun tiap-tiapnya memiliki keistimewaan tertentu. Satu toko terdapat menjual film Asia dan Kung fu. CD dan DVD Kristen bajakan juga dijual di toko sekitarnya. Kemudian terdapat juga toko yang fokus menjual film-film boxing. Selain itu, banyak juga yang menyediakan berbagai macam pornografi (suatu toko bahkan juga dengan bangga mempromosikan film genre zoofilia dan hermafrodita dalam koleksinya). Alhasil, dampak dari spesialisasi ini ialah film-film yang tersedia di Tepito dan kultur film yang mereka dirikan menjadi koleksi yang sangat beragam. Ini juga sama halnya dengan pedagang itu sendiri, mereka melakukannya untuk mendapatkan keuntungan namun juga bisa jadi memiliki motif dan kepentingannya sendiri. Dalam hal ini, Tepito menjadi rumah dari berbagai macam pembajakan, semuanya ilegal namun belum tentu sama ketika berbicara mengenai kepentingan atau fungsi sosial.

Ini menjadi semakin jelas bagi saya ketika saya berkenalan dengan seorang pedagang bernama Juan dan keluarganya, yang telah menjual DVD tersebut di Tepito selama bertahun-tahun. Toko milik Juan simple namun ramai, dengan rak-rak disusun di sisi toko, meja panjang di tengah dan TV yang digantung. Rak-rak tersebut diisi oleh DVD, baju, serta perlengkapan. Di sekitar toko ini juga terdapat seksi belanja terbuka. Di sini, ratusan judul disusun dan digantung di rak-rak yang ada, siap untuk dilihat dan dijual. Penyusunan dari setiap unsur yang ada memang sederhana namun ditata dengan hati-hati untuk memaksimalkan ruang yang tersedia serta visibilitas produk yang dijual. Poster film, termasuk beberapa barang promo antik, juga disusun di sekitar toko tersebut. Termasuk Juan dan saudaranya, terdapat juga pedagang lain yang nongkrong di sekitar toko ini. Suasana toko ini pun santai dan ramah.

Toko milik Juan ini adalah operasi bajakan, dan ia secara blak-blakan mengakuinya, namun ini bentuk pembajakan yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh berbagai penjual DVD lainnya di Tepito. Mayoritas dari aktivitas Juan lebih sesuai disebut sebagai suatu bentuk pelestarian film. Keistimewaannya ialah film-film Meksiko. Di sini, anda akan menjumpai beberapa fitur tertua Meksiko yang dijual, seperti film suara pertama Meksiko, drama prostitusi tahun 1932 yang berjudul Santa, film go-go Meksiko dan film-film disko, serial populer pergulatan/superhero Santo, film Meksiko Barat serta film oleh sutradara seperti Arturo Ripstein. Terdapat juga film-film lainnya mengenai Tepito sendiri, termasuk Los fayuqueros de Tepito (1982), sebuah fitur mengenai ekonomi pasar gelap di sana, termasuk juga dokumenter independen. Ini hanyalah sekadar contoh: dan pilihannya juga luas. Meskipun Juan juga menyediakan judul-judul lainnya seperti Harry Potter (2011-11), boxing dan bandar narkoba serta film tentang geng narkoba, katalog Luis Bunuel—mayoritas dari produk yang tersedia adalah film-film lama Meksiko.

Produk-produk Juan juga berasal dari sumber yang bervariasi. Sebagian besarnya disalin dari DVD resmi yang dijual oleh distributor ternama atau label butik seperti Criterion dan JC Films. Kemudian ada juga yang ditransfer ke DVD dari gulungan 8mm atau 16mm, atau dari VHS dan rekaman Beta siaran TV. Juan dan rekan-rekannya memonitor transfer dari format asal, konten sumber untuk ilustrasi dari internet atau bahan promo yang disimpan di toko serta mendesain sampul yang terlihat profesional. Juan sendiri bangga akan sampul-sampul tersebut, yang kebanyakannya terlihat mengesankan dan dihias dengan nama perusahaan keluarganya.

Toko Juan juga memiliki koleksi yang luar biasa dari poster-poster film lama, kartu pos, dan fotografi. Toko ayahnya juga dilimpahi dengan klip koran dari iklan-iklan film dan artikel bahkan dari tahun 1950an. Sebagian besarnya ditata dengan penuh perhatian, meskipun agak sembarangan, di dalam map plastik murahan. Bersumber dari toko buku dan perpustakaan lama, barang-barang ini merupakan bahan yang berbagai institusi film resmi di Eropa atau Amerika Utara akan menyimpannya dalam kubah spesial dengan indeks komputer. Toko milik Juan yang menjadi pustaka informal tidak memiliki ruang ataupun anggaran untuk hal ini. Budaya film di sini taktil dan materil, diwujudkan dalam hal-hal yang dapat anda sentuh dan dibawa pulang.

Yang membedakan dari bentuk pembajakan Juan ialah di sebagian besar kasus inilah menjadi distribusi satu-satunya yang disediakan untuk film-film ini. Kebanyakan dari film yang ia sediakan tidak didampingi adanya distributor formal. Beberapa judul yang tersedia juga ‘beryatim piatu’ ketika studio-studio berganti atau tidak berjalan lagi. Intinya, versi resmi dari film-film ini akan menjadi terlalu mahal bagi mayoritas komunitas Tepito, yang dipandang oleh Juan sebagai pasar utamanya. Ia memandang kios bajakannya sebagai bentuk jasa sosial sekaligus sebuah bisnis, yang melestarikan film dan budaya Tepiteno.

Sebagian besar dari kaset milik Juan dijual sebesar 10 pesos ($1). Harga rata-rata dari setiap kaset berjumlah 7 pesos, yang berarti menghasilkan keuntungan bagi Juan sebesar 3 pesos ($0.30), atau 30%. Ini menunjukkan hasil yang tipis, dan bisnis tersebut membutuhkan angka pendapatan yang tinggi setiap harinya untuk bertahan. Juan menjelaskan kepada saya, pada hari-hari biasa ia menjual sekitar 250 kaset. Seperti pedagang lain pada umumnya, ia berganti antara grosir dan eceran. DVD yang tersedia dijual kepada pembeli, sedangkan baju-baju dijual kepada pedagang atau distributor Tepito lainnya. Barter serta perdagangan informal lainnya juga menjadi hal yang sering dijumpai. Saya juga pernah melihat Juan bertukaran dengan pedagang lokal lainnya—dua DVD untuk empat gulung tisu toilet.

Toko DVD Juan, seperti usaha Tepito lainnya, juga mendirikan sejumlah aktivitas sekunder lainnya. Beberapa proporsi dari bisnisnya berasal dari penjualan film-film individual dengan harga yang lebih mahal kepada kolektor spesialis atau penggemar. Terdapat juga film yang sangat langka, atau film-film yang telah dilestarikan dan direstorasi kembali menjadi versi orisinilnya, dan mereka dapat berharga hingga 10,000 pesos ($1,000) setiapnya. Beberapa dari bisnisnya dilakukan secara online dengan pembeli luar negeri, termasuk penggemar dari Eropa yang memesan film-film melalui email. Jika ada film yang Anda incar, Juan akan berusaha untuk melacak film yang Anda inginkan, kemudian mentransfernya ke suatu DVD dan mengirimkan salinannya kepada Anda. Menjadi sebuah kejutan bagi saya ketika Juan mengklaim bahwa pelanggannya juga tersmasuk Imcine, institusi film negara Meksiko—ia mengatakan ada sekitar sepuluh kali mereka merilis film di bawah label mereka sendiri yang mereka dapatkan melalui salinan bajakan yang dibeli dari toko milik Juan.[73]

Jelas bahwa bisnis yang dikelola oleh Juan sangat tersusun dan bervariasi sekaligus menjadi bisnis yang informal, di mana toko ini tidak dikenakan pajak dan tidak terlihat oleh lensa ahli statistik. Regulasi yang ada sebatas pembayaran kepada polisi.[74] Juan juga tidak memiliki keraguan untuk berbicara kepada saya mengenai pekerjaannya, dikarenakan ia tahu bahwa pihak kepolisian mentolerir aktivitasnya. Meskipun ini memang sebuah operasi bajakan, imoralitas dari aktivitas ini semakin dirumitkan oleh fakta bahwa distribusi yang dilakukan Juan adalah satu-satunya hal yang mempertahankan sirkulasi film-film ini. Bahkan ketika salinan legal dari film-film ini tersedia, produk tersebut berharga sepuluh kali lebih mahal dari apa yang dijual oleh Juan dan sebab itu menjadi suatu komoditas yang tidak terjangkau oleh komunitas Tepito. Jadi dikarenakan Juan mendapat keuntungan di atas kerugian pemilik hak cipta, ia juga membantu dalam membangun penonton bagi sinema nasional yang barangkali tidak akan ada tanpa kontribusinya. Dalam hal ini aktivitasnya adalah sebuah kontribusi terhadap keberlangsungan kultur film Meksiko.

Namun, Juan beserta keluarganya tidak menikmati status mereka sebagai pembajak. Istilah tersebut masih menjadi hal yang kurang nyaman digunakan bagi mereka: tentunya tidak ada maksud kebanggaan dalam perlawanan di sini, dan ayah Juan mengatakan kepada saya bahwa mereka lebih memilih untuk membangun bisnis mereka menjadi bisnis formal jika memungkinkan. Romantisme yang disematkan kepada argumen pembajakan sebagai perlawanan tidak diimplementasikan dalam kasus ini. Bahkan di Tepito, praktik pembajakan adalah sebuah sumber bentuk rasa malu dan dilakukan sebagai respon pragmatis kepada faktor materil ketimbang aksi politis.

Ini menimbulkan pertanyaan tidak hanya bagi studi ekonomi informal namun juga bagi ide kita terhadap peran institusi formal dalam budaya film. Mungkinkah bentuk distribusi murah dan efisien yang dilakukan secara informal di sini dapat menjadi hal yang berjalan dalam lingkungan distribusi konvensional? Potensi keuntungan dari berbagai judul ini sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali, dan sedikit adanya distributor sah yang bersedia untuk membahas hal tersebut. Kita dapat berargumen bahwa jika pembajakan tidak disebarluaskan seperti sekarang ini harga-harga yang tersedia akan turun dan insentif distibutor akan meningkat, namun dikarenakan hadirnya film-film yang dijual oleh Juan dan penghasilan dari pelanggannya hal ini sulit untuk dilihat kemungkinan terjadinya.

Ekonomi informal menjadi parasit bagi yang formal namun mereka juga dapat menjadi penutup kekurangan dalam situasi di mana secara ekonomi formal yang disesuaikan secara struktural diperkecil—sebuah ‘catch-22’ neo-liberal yang dirasakan sangat akut di Amerika Latin. Fungsi pustaka yang dilakukan oleh Juan dalam hal ini merepresentasikan privatisasi dari apa yang dilihat dalam konteks nasional lainnya sebagai peran negara, namun tugas yang ia lakukan—yakni mempertahankan sirkulasi film, menjaga warisan perfilman sehingga tetap bertahan—tentunya memiliki efek yang menguntungkan bagi budaya sinema nasional Meksiko. Ini membentuk sebuah sanggahan yang menarik bagi persepsi film sebagai pemborosan dalam analisis saya terhadap budaya ‘langsung ke videonya’. Dalam lingkungan toko video dunia pertama bentuk perjumpaan dengan sinema STV sebagai komoditas ini mengundang  sebuah pertimbangan ulang dari nilai kultural yang ada pada teks filmik. Di Tepito persoalan nilai adalah hal yang berbeda, meskipun ruang lingkupnya dapat dibandingkan. Di toko milik Juan kita dihadirkan dengan materialitas sinema yang jelas—kumpulan kaset, tumpukan jaket, poster film yang sudah mulai kabur—namun ini bukanlah rumah jagal. Bagi Juan dan pelanggannya, setiap film yang berdebu adalah bagian dari sejarah film Meksiko, sebuah kenangan yang harus dilindungi, dan fakta bahwa setiap kaset-kaset ini menjadi bentuk pelanggaran terhadap undang-undang properti intelektual tetap tidak mengurangi signifikansi yang ada padanya.

Dalam salah satu percakapan kami, Juan menceritakan sebuah kisah yang menarik dari salah satu pelanggan tokonya. Pria ini, seorang penduduk Tepito, memiliki masa kecil yang sangat kekurangan dan hanya mendapatkan sedikit pendidikan formal sebelumnya. Ia juga merupakan penonton yang gemar terhadap film-film bajakan. Sekarang ia adalah dokter di bagian militer Meksiko—sebuah pencapaian yang besar bagi seseorang yang bersituasi seperti dirinya. Berdasarkan penjelasan Juan, film-film menjadi salah satu hal yang berkontribusi terhadap kesuksesan pria tersebut: ia mengajarkan dirinya untuk membaca dengan mempelajari subtitle dalam kaset bajakan dan kaset yang dibeli dari Tepito.

Keseluruhan infrastruktur dari relasi sosial, dari interaksi dan komunikasi dan kendali, dibangun di atas fondasi yang diciptakan oleh pembajakan. Pembajakan adalah hal yang generatif sekaligus redistributif.[75] Tentunya, tidak semua fenomena yang timbul akibat pembajakan berupa hasil yang progresif, dan pembajak tidak selalu dapat mengklaim edukasi otodidak sebagai pembelaan. Namun menonton film selalu merupakan bentuk edukasi dalam persoalan yang lebih luas, dengan menyediakan koordinat tertentu bagi diri kita untuk ke depannya, dengan berkontribusi kepada repertoar kultural dan membentuk apa yang dapat dipikirkan dan apa yang dapat diucapkan. Peran distribusi bajakan dalam mendirikan waduk  kultural kolektif ini sangat besar dikarenakan aspeknya yang sangat tersebar luas. Mustahil berbicara mengenai imajinasi atau literasi global tanpa membahas mengenai pembajakan.

Ini mungkin menjadi satu cara untuk merekonsiliasi diskursus kompetitif antara akses dan kreativitas yang mewarnai perdebatan pembajakan, sehingga mempermudah divisi implisit antara kreatif dunia pertama dengan ‘si miskin properti intelektual’ dunia ketiga. Memperluas pemahaman kita terhadap pedadogi pembajakan sehari-hari ini untuk melibatkan tidak hanya yang instrumental namun juga yang ekspresif, intim, spektakuler, serta yang fantastis dapat membantu untuk menggerakkan perdebatan pembajakan ke area yang baru dan subur.

Notabene Tepito, 2010

Dua tahun setelah saya pertama kali berjumpa dengan Juan beserta keluarganya, saya kembali ke Tepito untuk melihat bagaimana keadaan bisnis mereka. Saya berkeliling di sekitar jalanan yang ramai selama sekitar satu jam, melewati toko-toko yang menjual CD bajakan, topi baseball, sepatu olahraga, pornografi dan bagi goreng. Juan dan ayahnya tidak ada terlihat sama sekali. Apakah mereka sudah pindah, atau mereka sedang berlibur? Saya mengeluarkan kartu bisnis yang Juan berikan kepada saya, sebuah desain hijau ceri yang berisikan detail dirinya (Juan Castro, collectionista[76]) dan nomor telepon yang ditumpangkan dalam kumpulan aktor layar Meksiko lama. Setelah beberapa kali mencoba saya akhirnya mendapat respon dari dirinya, dan kami sepakat untuk berjumpa di hari berikutnya. Ia memberitahukan sebuah alamat kepada saya, di sudut dua jalanan di dekat pusat Tepito.

Esoknya, saya tiba lebih awal di sana dan berbincang bersama Juan dan keluarganya selagi mereka mempersiapkan toko mereka, kini berada dalam lokasi yang tidak familiar. Ternyata seorang pedagang lain mengambil alih lokasi lama mereka. Toko milik ayahnya, yang dipenuhi oleh berbagai buku kliping dan poster-poster pudar, juga menghilang. Sekarang keluarga ini bekerja di tanah berpagar sementara, yang dibangun dari tiang logam dan kain terpal. Dapat dilihat toko yang baru ini adalah penurunan dari bangunan yang sebelumnya mereka tempati.

Saya menanyakan Juan apa yang terjadi kepada toko yang lama. Ia menghela nafas dan mengatakan bahwa pihak polisi menutup toko tersebut. Ini menjadi sebuah kejutan bagi saya; penggerebegan anti bajakan di Tepito umumnya dibalas dengan perlawanan kekerasan, sehingga pihak kepolisian jarang ada yang mempedulikannya. Sebuah kesepakatan antara pedagang dan polisi dilakukan, dengan masalah-masalah yang ada diselesaikan melalui pembayaran atau negosiasi. Beberapa hari lalu saja saya melihat dua polisi tidak berseragam sedang berbelanja untuk membeli DVD bajakan di Tepito, sambil berbincang dengan pemilik toko tentang keluaran terbaru. Mereka tidak menyembunyikan fakta bahwa mereka sedang berniat untuk membeli salinan bajakan.

Juan curiga bahwa toko buku lokal mengeluh kepada pihak kepolisian, dan bentuk tekanan yang tepat diimplementasikan oleh orang yang memiliki jaringan kenalan yang luas. Toko yang ia sebutkan adalah versi lokal dari Borders atau FNAC. Toko tersebut, tersebar di mal-mal Kota Meksiko, menyediakan film komersil AS, Eropa, dan Amerika Latin dengan judul-judul arthouse dan klasik Meksiko. Juan merasa bahwa mereka menutup toko miliknya sebagai upaya untuk mencegah kompetisi murah bajakan dalam pasar untuk film Meksiko antik. Ia tidak bisa sepenuhnya yakin bahwa mereka pelakunya, namun itulah yang ia rasa. Intinya, jelas bagi keluarganya bahwa bisnisnya yang lama harus ditutup.

Hasil kejadian ini tidak menyenangkan bagi Juan, namun ia mengusahakan yang terbaik atas situasi yang terjadi padanya. “Sekarang kami menjual Blu-ray,” katanya kepada saya, dengan menunjukkan sekotak penuh film-film bajakan Amerika. Saya mengikuti pandangannya dan melihat sampul DVD. Wajah Matt Damon, Bruce Willis, dan Angelina Jolie membalas pandangan saya. Membajak film-film Amerika adalah bisnis yang adil di Tepito; tidak mungkin ditutup karena penjualan film-film tersebut. Juan juga masih bisa berjualan di sini, selama ia menghindari penjualan apapun yang dapat menyinggung bisnis-bisnis formal dengan koneksi pada pihak kepolisian. Hollywood pun menjadi pilihan yang paling sesuai.

Juan berhadap akan ada kebutuhan yang banyak terhadap kaset Blu-ray, yang tidak tersedia di sini sebanyak DVD konvensional, untuk mendukung keberlangsungan toko miliknya untuk sementara. Ini merupakan spesialisasi mereka yang baru. Pustaka informal sinema Meksiko telah dipindahkan ke rumah ayah Juan. Bisnis Juan telah berpindah dari ekor pembajakan dan menuju aspek yang mainstream.

Barang kali masalahnya ialah bahwa merek bajakan mereka terlalu lokal, terlalu dekat ke rumah asal, atau bisa jadi ada cerita yang belum sepenuhnya diketahui di sini. Bagaimanapun, prospek bisnis Juan untuk menjadi bisnis yang formal menjadi semakin jauh. Juan dan Ayahnya masih bermimpi untuk membuka toko film yang legal, namun mereka menjadi kesusahan dalam mewujudkannya dengan setengah dari bisnis mereka yang menghilang dalam semalam. Demikianlah kehidupan dalam ekonomi media informal.

Cyberlocker seperti Megaupload telah membentuk ulang lanskap distribusi online

 

Ramon Labato adalah penulis, peneliti dan akademisi di topik industri kebudayaan. Ramon fokus pada jaringan distribusi video dan bagaimana struktur ini menggapai akses penonton, penjejalahan dan keberagaman konten. Saat ini ia menjabat sebagai Lektor Kepala di bidang Media dan Komunikasi Universitas RMIT di Melbourne, Australia.

Penerjemah: Kachfi As Shidqi

Desainer: Leonard Dimas

CATATAN:

[1] Linda Lee, ‘Bootleg Videos: Piracy with a Camcorder’, New York Times, Juli 1995, hal. D1.

[2] Motion Picture Association dan Lek Consulting, The Cost of Movie Piracy (Los Angeles: MPA, 2008); Rand Corporation, Film Piracy, Organized Crime, and Terrorism (Santa Monica: Rand Corporation, 2009).

[3]Motion Picture Association of America, ‘Frequently Asked Questions’, http://www.mpaa. org/contentprotection/faq

[4] Magz Osborne, ‘Pirates Find More Ways to Plunder’, Variety, 21 Juni 2003, hal. 21

[5] Ronald V. Bettig, Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual Property (Boulder, CA: Westview Press, 1996); Brad Sherman dan Lionel Bently, The Making of Modern Intellectual Property Law: The British Experience, 1760–1911 (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); Siva Vaidhyanathan, Copyrights and Copywrongs: The Rise of Intellectual Property and How it Threatens Creativity (New York: New York University Press, 2003); Simon Frith dan Lee Marshall (eds), Music and Copyright (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004); Lawrence Lessig, Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity (New York: Penguin, 2004).

[6] Amerika Serikat belum menjadi bagian dari konvensi Berne hingga tahun 1989. Ketetapan hak moral Berne (droit d’auteur) belum diakui oleh AS – namun perlindungan legal bagi pencipta dapat dijumpai dalam area lain hukum Amerika – dan dihapus dalam versi akhir GATT.

[7] John Frow, ‘Public Domain and the New World Order in Knowledge’, Social Semiotics vol. 10 no. 2 (2000), hal. 173–185.

[8] Ibid., hal. 182

[9] Traktat plurilateral aadalah jenis traktat multilateral, yang di mana sejumlah negara dalam jumlah terbatas menyetujui dengan beberapa syarat mengenai sebuah isu. Ini dapat dibandingkan dengan kebanyakan traktat multilateral lainnya, yang di mana umumnya lebih bersifat penandatanganan namun ruang lingkupnya lebih luas

[10] Vaidhyanathan, Copyrights and Copywrongs. Lucas, dikenal sebagai pembela yang kuat dari rezim properti intelektual, justru lebih toleran ketimbang rekan-rekannya ketika berbicara mengenai aktifitas fan Star Wars.

[11] Miller et al., Global Hollywood 2.

[12] Ibid.; Nitin Govil, ‘War in the Age of Pirate Reproduction’, Sarai Reader 04 (2004), pp. 378–383.

[13] Tipping Hollywood the Black Spot’, The Economist, 28 August 2003, hal. 43-44.

[14] Kelly Gates, ‘Will Work For Copyrights: The Cultural Policy of Anti-Piracy Campaigns’, Social Semiotics vol. 16 no. 1 (2006), hal. 57–73.

[15] Ben Grubb, ‘Film Industry Hires Cyber Hitmen to Take Down Internet Pirates’, The Age (Melbourne), 8 September 2010, http://www.theage.com.au/technology/technologynews/film-industry-hires-cyber-hitmen-to-take-down-internet-pirates-20100907- 14ypv.html

[16] Shujen Wang and Jonathan J. H. Zhu, ‘Mapping Film Piracy in China’, Theory, Culture and Society vol. 20 no. 4 (2003), hal. 97–125.

[17] Karaganis, Media Piracy in Emerging Economies.

[18] Majid Yar, ‘The Global “Epidemic” of Movie “Piracy”: Crime-Wave or Social Construction?’, Media, Culture and Society vol. 27 no. 5 (2005), hal. 690.

[19] Bettig, Copyrighting Culture, hal. 103–106.

[20] ‘Rip. Mix. Burn’, The Economist, 2 July 2005, hal. 13–14.

[21] Adrian Johns, ‘Piracy as a Business Force’, Culture Machine vol. 10 (2009), hal. 44–63

[22] Ibid., hal. 49.

[23] Maggie Farley, ‘China Piracy Crackdown Targets US-Linked Firms’, LA Times, 25 April 1996, hal. 4.

[24] hujen Wang, Framing Piracy: Globalization and Film Distribution in Greater China (Lanham: Rowman and Littlefield, 2003); Douglas Clark, ‘IP Rights Protection Will Improve in China – Eventually’, The China Business Review May–June 2000, hal. 22–29.

[25] Perangkat keras VCD dan DVD tidak sepenuhnya berada diluar sirkuit kapital industri audiovisual transnasional, namun dengan chip dan paten lisensi komponen harus disewa dari badan seperti Time Warner, Hitachi, Sony dan Philips. Wang, Framing Piracy, hal. 51-53.

[26] Saya pertama kali menjumpai istilah ‘kapitalisme kecoa’ melalui Darrel Davis ((‘Compact Generation: VCD Markets in Asia’, Historical Journal of Film, Radio and Television vol. 23 no. 2, [2003], hal. 165–176), yang menyebutkan Chuch Kleinhans sebagai sumbernya. Istilah tersebut juga digunakan dalam tulisan J. K. Galbraith The New Industrial State (London: H. Hamilton, 1972). Lihat juga konsep Scott Lash dan John Urry terhadap ‘kapitalisme tak tersusun’, dalam The End of Organised Capitalism (Madison: University of Wisconsin Press, 1991).

[27] Miller et al., Global Hollywood 2, hal. 246; John Naughton, ‘How Sony Became an Ugly Sister’, The Observer, 18 December 2005, hal. 6.

[28] . dikutip dalam Don Groves, ‘Video Piracy Kicks Back Into High Gear’, Variety, 9 September 2002, hal. 10.

[29] Reputasi Wired telah jatuh semenjak keterlibatannya dalam pengaduan Bradley Manning sebagai sumber dokumen Wikileaks, namun pada tahun 1990an dan 200an mereka berperan penting dalam mengartikulasikan filosofi informal dari kebebasan informasi bagi pembaca barunya.

[30] Vaidhyanthan, Copyright and Copywrongs. Dalam karya-karya berikutnya Vaidhyanthan menyediakan kritik yang berbeda terhadap properti intelektual, yang lebih introspektif dan fokus secara global. Lihat ‘The Anarchist in the Coffee House: A Brief Consideration of Local Culture, the Free Culture Movement, and Prospects for a Global Public Sphere’, Law and Contemporary Problems vol. 70 (2007), hal. 205–210.

[31] Michael Strangelove, The Empire of Mind: Digital Piracy and The Anti-Capitalist Movement (Toronto: University of Toronto Press, 2005).

[32] Richard M. Stallman, Free Software, Free Society: Selected Essays of Richard M. Stallman (Boston: Free Software Foundation, 2002); McKenzie Wark, A Hacker Manifesto (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004).

[33] See Lawrence Lessig’s books Free Culture, The Future of Ideas: The Fate of the Commons in a Connected World (New York: Random House, 2002) and Remix: Making Art and Commerce Thrive in the New Economy (New York: Penguin, 2008).

[34] Lessig, Free Culture, hal. 199.

[35] Jonathan Zittrain, The Future of the Internet (and How to Stop It) (New Haven: Yale University Press, 2009); Yochai Benkler, The Wealth of Networks: How Social Production Transforms Markets and Freedom (New Haven: Yale University Press, 2006).

[36] Lessig, Free Culture, hal. 227.

[37] Kavita Philip, ‘What is a Technological Author? The Pirate Function and Intellectual Property’, Postcolonial Studies vol. 8 no. 2 (2005), hal. 199–218.

[38] Lessig, Free Culture, hal. xvi.

[39] Roland Barthes, Image–Music–Text (Glasgow: William Collins and Sons, 1977), hal. 143.

[40] Ibid., hal. 142.

[41] Ibid., hal. 146.

[42] Jacques Derrida, ‘Limited Inc a b c’, in V. E. Taylor dan C. E Winquist (eds), Postmodernism: Critical Concepts (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1998), hal. 418–419.

[43] Gilles Deleuze dan Félix Guttari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), hal. 3.

[44] Steve Neale, Genre (London: BFI, 1980); Miller et al., Global Hollywood 2.

[45] Salah satu contohnya ialah kontroversi seputar kasus Larrikin Music Publishing Pty Ltd vs EMI Songs Australia Pty Ltd tahun 2010. Yang di mana band Australia Men at Work digugat oleh pemegang hak cipta lagu anak-anak. Untuk komentar, lihat Steve Collins, ‘Kookaburra v Down Under: It’s Just Overkill’, Scan: Journal of Media Arts Culture vol. 7 no. 1 (2010), http://scan.net.au/scan/journal/display.php?journal_id=145

[46] Bettig, Copyrighting Culture. Lihat juga Vincent Mosco, The Political Economy of Communication (London: Sage, 1995).

[47] Miller et al., Global Hollywood 2, hal. 5.

[48] Bettig, Copyrighting Culture, hal. 9.

[49] Ibid., hal. 210.

[50] Miller et al., Global Hollywood 2, hal. 226

[51] Ibid., hal. 222.

[52] Laikwan Pang, Cultural Control and Globalization in Asia: Copyright, Piracy, and Cinema (London: Routledge, 2006).

[53] Pang, ‘Mediating the Ethics of Technology’, hal. 9.

[54] Kong Rithdee, ‘Scourge or Saviours? Film Pirates May Be Breaking the Law, Yet They Are Also Providing an Indispensible Cultural Service’, Bangkok Post, 7 April 2006. Untuk diskusi mengenai sinefilia bajakan dalam konteks Filipina, lihat Jasmine Nadua Trice, ‘The Quiapo Cinémathèque: Transnational DVDs and Alternative Modernities in the Heart of Manila’, International Journal of Cultural Studies vol. 13 no. 5 (2010), hal. 531–50.

[55] Tilman Baumgärtel, ‘Media Piracy and Independent Cinema in Southeast Asia’, dalam Geert Lovink dan Sabine Niederer (eds), Video Vortex Reader: Responses to Youtube (Amsterdam: Institute of Network Cultures, 2008), hal. 259–71.

[56] Observasi ini sesuai dengan studi terdahulu mengenai pembajakan, yang menyoroti potensinya sebagai pendorong imperialisme kultural. Untuk contoh, Chesterman dan Lipman, The Electronic Pirates

[57] Larkin, Signal and Noise.

[58] Ravi Sundaram, ‘Recycling Modernity: Pirate Electronic Cultures in India’, Sarai Reader 01 (Delhi: Sarai, 2001), hal. 95; Sundaram, Pirate Modernity

[59] Ravi Sundaram, ‘Uncanny Networks: Pirate, Urban and New Globalisation’, Economic and Political Weekly (India), 3 January 2004, hal. 96.

[60] Ravi Sundaram, ‘Other Networks: Media Urbanism and the Culture of the Copy in South Asia’, in Joe Karaganis (ed.), Structures of Participation in Digital Culture (New York: Social Science Research Council, 2007), hal. 54–55.

[61] Philip, ‘What is a Technological Author?’, hal. 207.

[62] Ibid., hal. 210.

[63] Lawrence Liang, ‘Porous Legalities and Avenues of Participation’, Sarai Reader 05 (Delhi: Sarai, 2005), hal. 12.

[64] Lawrence Liang, ‘Piracy, Creativity and Infrastructure: Rethining Access to Culture’, SSRN working paper, http://ssrn.com/abstract=1436229

[65] Ibid., hal. 4.

[66] nternational Intellectual Property Alliance, Special 301 Recommendations, Mexico, 2008 (excerpt), hal. 55, http://www.iipa.com/rbc/2008/2008SPEC301MEXICO.pdf

[67] Pirated Goods: A Fake for Every Desire’, El Universal, 8 Juni 2005.

[68] Alfonzo Hernández, ‘Tepito: The Transformaton of a Site of of Resistance’, paper diserahkan pada kongres World Planning Schools, Palacio de Minería, Mexico City, 2006, http://www.barriodetepito.com.mx/detodo/organizaciones/congress_2006.html. Untuk studi mengenai sejarah dan ekonomi Tepito, lihat Natalia Grisales Ramírez, ‘“En Tepito todo se vende menos la dignidad”: Espacio público e informalidad económica en el Barrio Bravo’, Alteridades vol. 13 (2003), hal. 67–83; Pablo Piccato, ‘Communities and Crime in Mexico City’, Delaware Review of Latin American Studies vol. 6 no. 1 (2005), http://www.udel.edu/ LAS/Vol6-1Piccato.html; Guillermina Grisel dan Castro Nieto, ‘Intermediarismo político y sector informal: El comercio ambulante en Tepito’, Nueva antropologia vol. 11 no. 37 (1990), hal. 59–69; John Cross, Informal Politics: Street Vendors and the State in Mexico City (Stanford, 144 Shadow Economies of Cinema Lobato Notes 9/1/12 3:59 pm Page 144 CA: Stanford University Press, 1998); John Cross dan Alfonso Morales, Street Entrepreneurs: People, Place and Politics in Local and Global Perspective (London: Routledge, 2007); Sergio Peña, ‘Regulating Informal Markets: Informal Commerce in Mexico City’, International Journal of Sociology and Social Policy vol. 20 no. 9–10 (2000), pp. 37–67; Karaganis, Media Piracy and Emerging Economies.

[69] John Cross, ‘Pirateria callejero, el estado y la globalización’, paper given at Comércio, culturas e políticas públicas em tempos de globalizaçao, Universidade Federal do Rio de Janiero, Escola de Serviço Social, 2005.

[70] The Economist, 10 Maret 2007.

[71] Dikutip dalam Ken Bensinger, ‘Muscles in Mexico’, Daily Variety, 10 Maret 2005, hal. 3.

[72] International Intellectual Property Alliance, Special 301, hal. 52, 54. IIPA Special 301 laporan berisi berita mengenai pelanggar terberat pembajakan. Laporan tahun 2008 menominasikan 13 negara sebagai sebutan istimewa dalam ‘Priority Watchlist’: Argentina, Mesir, India, Meksiko, RRC, Peru, Rusia, Arab Saudi, Thailand, Ukraina, Chile, Costa Rica dan mengejutkannya, Kanada (akibat tidak adanya regormasi legislatif).

[73] Saya tidak dapat memastikan klaim ini, namun saya tidak punya alasan untuk meragukannya.

[74] Baik Cross (‘Pirateria callejero, el estado y la globalización’) dan Pena (‘Regulating Informal Markets’) mengatakan bahwa donasi politik dan bentuk dukungan lainnya membantu untuk menjaga komunitas Tepito berdampingan dengan PRI (Institutional Revolutionary Party) dan partai politik Meksiko lainnya.

[75] Larkin, ‘Degraded Images, Distorted Sounds.

[76] Disini terdapat penggunaan Pseudonym

Sudah menginjak usia 20an namun masih cenderung merubah kepribadiannya berdasarkan tokoh fiksional yang sedang digemari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top