Mania Cinema

Sapuan dan Guratan Gambar yang Magis: Tujuan Realisme pada Animasi

Artikel ini diterjemahkan dari artikel milik Matteo Watzky dengan judul The Purpose of Realism in Animation, terbit di Animètudes pada 7 November 2020

“Biarpun tanpa direncanakan dengan sengaja, kartun secara esensinya adalah dokumen mengenai – sehingga merupakan film tentang – pembuatannya itu sendiri” (Daniel Morgan)

Konsep realisme pada animasi cukup rumit. Memang, animasi dianggap sebagai sebuah medium yang tanpa cela untuk melampaui batas kenyataan dan membentuk fantasi terliar manusia–klise untuk mengatakan bahwa satu-satunya batasan seorang animator adalah imajinasinya sendiri. Akan tetapi, secara paradoks, beberapa seniman dan karya-karyanya tampaknya telah melepas aspek tersebut, yang dipercayainya sebagai hal penting: oleh pencarian Disney akan “the illusion of life”, dan dalam animasi Jepang, oleh bakat dan banyaknya animator “realist school”, dari Toshiyuki Inoue hingga Hiroyuki Okiura.

Pertanyaan yang patut kita tanyakan adalah: mengapa realisme? Ketika anda memiliki potensi yang tidak terbatas, mengapa repot-repot mencoba dan meniru kenyataan? Dalam kasus animator dan integrasi sekuens mereka ke dalam sebuah karya, realisme dapat dianggap menambah intensitas adegan klimaks: pikirkan adegan Asuka versus unit Eva yang diproduksi massal karya Mitsuo Iso pada End of Evangelion. Apa yang signifikan dalam adegan  tersebut bukanlah aturan pakem filosofis sang sutradara terhadap prinsip-prinsip realisme (meskipun hal itu dapat diperdebatkan ketika membicarakan End of Evangelion), melainkan sang pembuat animasi mencoba mengarahkan intensitas visual dan emosi sedalam-dalamnya pada adegan klimaks: pada dasarnya, menggunakan animasi realistis akan membuat adegan, dan keseluruhan film, lebih kuat karena ia sangat menonjol.

Tetapi yang menarik bagi saya di sini adalah hal lainnya: bukan penggunaan ekspresifnya dalam semburan sakuga[i] yang keren, melainkan ketika realisme menjadi inti dari estetika sebuah karya, tatkala karya tersebut dibangun oleh ide tentang realisme dan animasi, dengan sedikit atau tanpa pengecualian, mengikuti prinsip-prinsipnya. Itulah sebabnya, alih-alih animator dan cut[ii] spesifik mereka, saya ingin fokus pada sutradara yang menggunakan realisme sebagai inti dari hasil karya mereka: Isao Takahata, Satoshi Kon, dan Naoko Yamada.

Anda mungkin dibuat terkejut melihat Satoshi Kon ada dalam daftar ini. Memang, hasil karyanya terdapat pada ambang batas antara mimpi dan realitas yang dapat dianggap sejauh mungkin dari realisme–dan hal yang sama terdapat pada beberapa momen dalam animasi karya Takahata. Itulah sebabnya perlu untuk memulai dengan mendefinisikan dengan jelas apa yang saya maksud dengan “realisme” pada tulisan ini.

Pertama, maksud saya bukanlah gaya photorealism yang bertujuan untuk mendapatkan kesesuaian yang paling dekat dengan wujud karya secara utuh, terutama desain karakternya, dengan realitas yang dirasakan. Kecuali mungkin dalam beberapa kasus animasi rotoscope (yang bukan merupakan upaya gagal), saya tidak percaya reproduksi terhadap persepsi umum mengenai fotografi dapat diwujudkan dalam animasi, terlepas dari banyaknya referensi dunia nyata yang digunakan oleh para animator – setidaknya dalam kasus animasi karakter karena animasi mekanis adalah cerita/kasus lain. Di sisi lain, meskipun saya akan membahasnya sampai batas tertentu, realisme naratif bukanlah tujuan pembahasan saya pada esai ini. Yang saya maksud dengan realisme naratif adalah upaya untuk menciptakan dunia yang koheren dan bisa dipercaya—mengikuti ekspektasi kita tentang realitas yang semestinya. Dalam hal ini, skenario fiksi ilmiah atau mimpi yang ada dalam karya animasi milik Kon tidak dapat kita kesampingkan.

Kemudian, yang saya maksud dengan “realisme” adalah apa yang dikatakan oleh seorang ahli teori media—Andrew Darley sebagai “realisme orde kedua”, merupakan upaya untuk tidak mereproduksi realitas atau persepsi (tentang realitas), tetapi aturan sinematografi terkait representasi realistik. Kita juga bisa menyebut hal ini dengan sebutan “realisme konvensional” karena hal tersebut bukan plagiasi dari realitas, melainkan pengerjaan ulang kode-kode konvensional dalam fiksi yang bertujuan untuk membuat kita percaya pada realitas dan materialitas dari apa yang kita lihat, meskipun kita tahu hal tersebut tidak nyata—karena itu hanyalah sekumpulan gambar. Dalam hal itu, definisi saya tentang realisme dalam animasi bergantung pada dua kriteria: arah penciptaan rasa suasana dan kehadiran kamera pada ruangan tersebut; dan dalam animasi, untuk memberikan kesan bobot dan volume pada objek. Singkatnya, dalam definisi saya, realisme dalam animasi adalah yang membangun sensasi kehadiran: kehadiran kamera, kehadiran suasana, dan kehadiran karakter.

Dengan pemikiran tersebut, mari kita lihat kembali pada pertanyaan awal: mengapa realisme? Di luar pencapaian formal dan teknis yang sederhana, mengapa menggunakan realisme dalam animasi jika anda dapat melakukan lebih banyak lagi? Menurut saya cara sutradara anime menggunakan realisme tidak pernah digunakan secara langsung: bukan  realisme semata-mata untuk realisme, Alih-alih, saya akan mencoba menunjukkan bahwa, meskipun mereka mencoba meniru sinema live-action, para sutradara animasi menggunakan realisme dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh animasi: bukan untuk menghilangkan perbedaan antara yang nyata dan yang digambar, melainkan menekankan fiksi dan sifat artifisial dari karya mereka sendiri. Hal tersebut membutuhkan teori animasi tertentu, yang menurutnya sifat medium animasi bukan untuk menghidupkan atau memberi kehidupan, tetapi hanya untuk menciptakan gerakan (seperti dôga [animasi] Jepang, gambar bergerak, sorotan) dan tidak  menyembunyikan fakta bahwa titik awal mula gerakan ini adalah serangkaian gambar diam.

Grave of the Fireflies: Realisme yang Berjarak

Hubungan antara Isao Takahata dan realisme tidak diragukan lagi–di antara sutradara animasi, dialah yang jauh dalam mengeksplor hubungan realisme dan sensasi kehadiran. Sangat jauh sampai dia menciptakan konsep tersendiri untuk itu: jitsuzaikan dan rinjôkan, yang secara literal diterjemahkan sebagai “perasaan keberadaan” dan “perasaan tempat” atau “perasaan berada di suatu tempat”. Selain itu, dalam perjalanan karirnya, Takahata telah mempraktikkan semua jenis realisme, mulai dari realisme naratif dari serial World Masterpiece Theatre hingga fotorealisme pada beberapa film–di antaranya yang telah saya putuskan untuk dianalisis, Grave of the Fireflies.

Saya rasa tidak perlu menjelaskan bagaimana begitu fotografis sebagian besar latar belakang dalam film terlihat, dan betapa teliti dan detail animasi karakternya. Para animatornya bahkan sampai mau menganimasikan kerutan dan gerakan kecil pada kulit, sesuatu yang biasanya tidak ada dalam desain karakter animasi yang sederhana—terutama pada anime. Terlebih, film tersebut merupakan adaptasi dari kisah perang semi-otobiografi, dan berusaha keras untuk menyampaikan suasana Kobe pada tahun 1945. Oleh karena itu, pertanyaan yang harus ditanyakan ketika menonton Grave of the Fireflies adalah: di luar sifat fiktif  dari beberapa adegan, haruskah film ini dianggap seperti film dokumenter? Jawaban saya adalah tidak, dan alasannya akan menunjukan bagaimana hubungan unik antara Takahata dengan realisme.

Salah satu karakteristik yang paling terkenal dari gaya penyutradaraan Takahata adalah interaksi antara peristiwa nyata yang sedang terjadi, dan peristiwa yang terjadi dalam alam fantasi atau mimpi (seperti dalam Gauche the Cellist dan The Tale of Princess Kaguya) atau yang menunjukkan kilas balik (seperti pada Only Yesterday). Grave of the Fireflies tidak menjadi pengecualian, karena hantu dari dua karakter utama muncul berkali-kali dalam film, merefleksikan kembali masa lalu dan menghantui tempat terpenting dalam hidup mereka. Namun, yang perlu dicatat tentang interaksi antara yang nyata dan imajiner tersebut bukan hanya karena Takahata menggunakan potensi animasi untuk menciptakan fantasi dan jarak dari yang nyata. Di Grave of the Fireflies, justru kebalikannya, karena tampaknya tidak ada perbedaan antara yang fantasi dan yang nyata. Dalam hal mise-en-scène (pengadeganan), bahkan dapat dikatakan bahwa alam hantu jauh terlihat lebih nyata daripada alam kehidupan.

Alasan pertama untuk hal ini sederhananya karena narasinya: Grave of the Fireflies menampilkan kilas balik, diceritakan melalui perspektif Seita. Namun, Seita sudah mati, dan kata-kata pertama dalam filmnya, yang diceritakan dari sudut pandang Seita, dengan jelas menunjukkan bahwa hantu itu berbicara: “Aku sudah mati”, katanya. Ini berarti bahwa apa yang kita lihat bukanlah peristiwa yang sedang terjadi, tetapi proyeksi dari serangkaian peristiwa yang dialami oleh Seita–dan di sinilah Anda harus mencatat bahwa kata Jepang untuk “film”, eiga, secara harfiah memiliki arti “gambar yang diproyeksikan”. Pada satu sisi, apa yang kita saksikan adalah versi film tentang apa yang terjadi pada Seita–dan adegan hantu pada film hanyalah pelengkap, sebuah meta-film yang ada di atasnya.

Namun ada hal lain yang berkaitan dengan arah visual film tersebut. Dalam hal itu, ada dua adegan kunci. Adegan  pertama terjadi sekitar 20 menit, saat hantu Seita dan Setsuko pergi ke rumah bibi mereka. Pada salah satu bidikan, kita mengikuti mereka saat mereka berjalan dari kanan ke kiri layar, dan sebuah pan mengiringi gerakan mereka. Bagi siapa pun yang mengetahui ciri khas Takahata, gerakan kamera ini akan segera mengingatkan pada momen ikonik lainnya: beberapa detik pertama Hols (Horus): Prince of The Sun (1968), di mana kamera bergeser ke kiri dan karakter berlari di depannya dengan cara yang sangat mirip.

Yang paling jelas muncul adalah idenya untuk menciptakan kesan kamera yang terasa begitu nyata, yang berada di realitas seperti pada versi live-action. Itulah rinjôkan. Cara terbaik untuk melakukannya adalah membuat karakter dan kamera berinteraksi: karakter yang lewat di depannya, dan kamera mengikuti mereka dengan pan (bahkan mungkin ada sedikit perjalanan dalam bidikan dari Hols, meskipun kami tidak membuat perbedaan antara keduanya dalam animasi). Dalam bidikan dari Grave of the Fireflies, sengaja dibuat lebih jelas dengan adanya latar belakang, dinding, dan rumah yang mengikuti sebagai “kamera”, dan menciptakan sensasi kedalaman dan ruang.

Meskipun ada gerakan pan dan kamera lain dalam film, tidak ada bidikan lain yang seperti ini. Jika kita menerima fakta bahwa komposisi seperti itu disengaja untuk menciptakan kesan ruang tiga dimensi, hal tersebut berarti hantu menghuni ruang yang lebih dekat dengan dunia manusia daripada makhluk hidup sendiri. Dengan kata lain, dari sudut pandang penonton, mereka (hantu Seita dan Setsuko) lebih nyata. Ini juga tampak dalam setiap transisi–atau dalam ketiadaannya–antara dunia makhluk hidup dan dunia orang yang telah tiada. Semua adegan tersebut dapat dimaknai dengan berbagai interpretasi: yang hidup dan yang mati berbagi ruang yang sama; dunia orang hidup merupakan proyeksi gambar yang ditonton oleh orang mati (dan kita sebagai penonton); atau dunia mayat hanyalah bagian belakang dari dunia orang hidup. Jika hubungannya adalah roh mati mengamati orang hidup, maka orang hidup hanyalah sebuah “gambar”, dan mereka yang matilah yang memiliki hak istimewa terhadap “realitas”.

Banyak dari film Takahata dapat dibaca sebagai bahan refleksi dari media animasi itu sendiri, sehingga teknik-teknik tersebut tidaklah mengejutkan. Tapi dalam Grave of the Fireflies, ia juga memiliki tujuan lain: memberikan jarak antara diri kita dengan peristiwa yang terjadi. Memang, film tersebut menyuguhkan dilema moral kepada penonton (yang seharusnya tidak menjadi moral dilema): apakah Seita berhak membawa saudara perempuannya untuk pergi bersamanya dan melarikan diri untuk hidup sendiri? Jawabannya mungkin tidak, terlebih filmnya tidak memberikan jawaban yang pasti: memang dialah yang menyebabkan kematiannya sendiri beserta adiknya, tetapi karena kita mengikuti perspektif Seita, tidak ada cara untuk mengetahui apakah hal tersebut mengubah pandangan kita terhadap peristiwa tersebut, menggambarkan Seita sebagai korban dan kematian Setsuko sebagai kejadian yang menyedihkan. Namun, struktur dari film itu sendiri memberi penonton cukup ruang membuat penilaian masing-masing.

Memang, set-up dan ketiga lapisannya (adegan kilas balik, hantu, dan kita sebagai penonton) mengundang kita untuk tidak hanya merenungkan peristiwa yang terjadi, tetapi juga konsekuensinya. Pemilihan medium animasi juga memberi pengaruh. Memang, momen ketika penggunaan realisme menjadi paling mencolok adalah saat kita diperlihatkan close-up tubuh yang termutilasi. Orang-orang boleh berpendapat bahwa di sini, kita diharuskan untuk menyaksikan sisi kelam dari perang dengan lebih detail, dan bahwa realismelah yang membuat kita percaya terhadap apa yang kita lihat, yang kemudian menggugah kita untuk bereaksi.

Realisme yang terasa mengerikan dari mayat sekarat dalam animasi Grave of the Fireflies

Padahal, menurut saya justru sebaliknya. Untuk memahami ini, kita harus merumuskan kembali pertanyaan awal saya: bukan “mengapa realisme?” tapi “mengapa animasi, dan bukan live-action?” Jika ini adalah live-action, kita memang tidak punya pilihan selain mengalihkan pandangan dalam ketakutan dan nuansa mengerikan (lihat, misalnya, adegan Hiroshima dalam Black Rain karya Shôei Imamura). Tapi ini adalah animasi. Ini hanya gambar dan kita tahu itu—yang berarti kita tidak bereaksi terhadap mayat tersebut seperti yang kita lakukan pada “orang sungguhan” (aktor) yang kesakitan.

Jarak yang diciptakan oleh medium animasi memungkinkan pengambilan sudut pandang yang tidak menyedihkan atau empatis, tetapi sebaliknya, hampir bersifat voyeuristik. Memang ada sesuatu yang terasa sangat mengganggu dari pemaksaan Takahata terhadap penampilan degradasi tubuh, terutama jika tubuh tersebut adalah tubuh anak kecil. Dan saya berpendapat pemaksaan tersebut tidak bertujuan untuk penciptaan pathos (rasa sedih), tetapi sebagai usaha yang dingin dan analitis—sebagai studi tentang “kematian” yang terus berkembang dan menggerogoti tubuh. Saya tidak ingin bilang bahwa Takahata adalah sutradara kejam yang gemar menyiksa penontonnya dengan menampilkan penderitaan: Saya percaya bahwa jarak yang diciptakan terhadap rasa sakit pada layar mengajak penonton kepada pengamatan yang lebih kritis terhadap kewajiban Seita dan Jepang, serta Setsuko sendiri. Memang, tubuh Setsuko yang sekarat tidak tampak begitu sulit untuk ditonton—dan justru karena itulah, kita tidak punya pilihan selain menonton, untuk dihadapkan pada ketakutan yang luar biasa atas kematiannya yang tidak seharusnya terjadi.

Hal yang sama dapat dikatakan terhadap salah satu adegan klimaks film dan juga salah satu yang paling terkenal – sekuens kunang-kunang. Bisa dibilang kunang-kunang tersebut merupakan puncak dari estetika realistis film: gerakannya lambat dan disengaja, pencahayaannya dilakukan dengan sangat handal dan dengan indah meningkatkan volume tubuh kedua karakter–menciptakan sensasi kehadiran yang sangat berarti. Tetapi itu juga merupakan adegan film yang paling tidak nyata: latar waktu malam, musik yang mendominasi, dan kebahagiaan singkat yang segalanya terbingkai bagai mimpi. Terlebih lagi, animasi tersebut mengandung kontradiksi: cahaya dan bayangan pada tubuh menonjolkan volume, tetapi dengan begitu detailnya hingga terasa terlalu berlebihan. Kita lupa bahwa yang kita lihat adalah gambar-gambar, tapi apa sebenarnya yang kita lihat? Kedua karakter tersebut terlihat seperti orang sungguhan seperti halnya patung yang bergerak.

Dengan demikian, Takahata, seperti dua sutradara lain yang akan saya bahas, tidak hanya mengikuti prinsip realisme. Ia mengitari prinsip realisme dengan konstruksi meta-narasi yang rumit, atau melangkah lebih dalam dan melampaui realisme pada saat yang sama ia mengikutinya. Dalam istilah yang lebih abstrak dan energik, Takahata membuat realisme meledak–yaitu, dengan menghancurkan dan melampaui batasnya dari dalam.

Paprika: Realisme yang Aneh

Bisa dibilang Satoshi Kon hanya pernah membuat film tentang sinema. Tapi yang sangat menonjol dalam hubungan Kon dan sinema live-action khususnya adalah, seperti dua sutradara lain yang dibahas di sini, dia menggunakan animasi untuk mengekspresikan ketertarikannya terhadap sinema live-action. Dalam hal tersebut, film yang bermain paling jauh dengan dua medium (animasi dan sinema live-action) dan batasannya, tidak diragukan lagi, yaitu Paprika. Hubungan antara mimpi dan sinema di satu sisi, mimpi dan animasi di sisi lain, adalah hubungan klasik; ditambah dengan “ke-metafiksi-an” yang kerap muncul dalam film, seperti dalam karya Kon lainnya, dan mengetahui bahwa salah satu arc tokoh utama film ini adalah tentang detektif Konakawa yang berusaha memperbaiki hubungan rumitnya dengan sinema, maka satu dari beragam motif utama dan tema Paprika menjadi jelas. Yang dieksplorasi bukan hanya hubungan kita dengan fiksi secara umum, tetapi dengan fiksi yang dimediasi oleh aparatus teknologi tertentu – DC Mini[iii] dalam naratif filmnya, teknik sinematik dalam meta-naratifnya.

Hal ini menjadi jelas dalam sekuens mimpi pada akhir paruh pertama film, ketika Paprika menghadapi Konakawa dan masalahnya dengan sinema untuk pertama kali. Direkam dengan penuh semangat, sang detektif melepas keraguannya dan secara antusias menjelaskan beberapa teknik perfilman yang ia tahu—line of action dan panfocus. Itu jelas metafiktif, terutama pada momen ketika arahan di film melanggar prinsip line of action untuk mengilustrasikannya. Namun yang menarik adalah, pada nyatanya, line of action memanglah merupakan konvensi realistis dari sinema live action. Tentu, inti dari teknik tersebut bukan sekadar untuk pemberian kejelasan visual , tetapi untuk membuat penonton merasakan kesan ruang yang nyata; yang mereka bisa masuki, baca, dan pahami dengan caranya masing-masing.

Konakawa menjelaskan line of action kepada Paprika dan penonton.

Oleh karena itu, adegan tersebut menjadi penting dalam film , karena menurut saya ia merangkum seluruh hubungan Kon dengan realisme dan sinema live action. Sinema didasarkan pada konvensi yang memberikan kepastian dan realitas; tetapi konvensi tersebut hanya sebatas itu, dan untuk mengilustrasikannya tidak ada cara yang lebih baik selain melanggarnya. Pada tataran teoretis, dapat dikatakan bahwa Kon melanggar batasan tersebut agar meniru gaya sinema.   Kon ingin melakukan subversi terhadap sinema dengan menirunya.

Tapi bukan itu saja: jika hanya demikian, Kon tidak akan berbeda dari Takahata atau Yamada. Yang membedakan Kon adalah hubungannya dengan, dan penggunaan, animasi karakter dan akting. Sementara animasi Grave of the Fireflies berusaha keras untuk menghadirkan sensasi volume pada objek, animasi Paprika mengambil arah yang berbeda: ia mencoba menciptakan kesan berdaging, lembut, dan chubby yang tampak pada orang gemuk (bahkan ada karakter dengan obesitas di film) dan boneka binatang. Hal tersebut memiliki banyak kegunaan.

Yang pertama adalah untuk realisme – bukan realisme fisik seperti bobot dan kehadiran, tetapi penciptaan sensasi tekstur, misalnya pada momen ketika tanah atau benda keras tiba-tiba menjadi lunak atau lembut, kemudian kehilangan seluruh kualitasnya fisiknya. Adegan-adegan tersebut tidak terduga, tetapi animasi (dengan penggunaan CG) berhasil melakukannya, dan membuat penonton mampu merasakan apa yang seharusnya dirasakan. Penghadiran kesan sentuhan menjadi penting di sini, serta penciptaan rasa ketidaknyataan (karena hilangnya sifat fisik nyata pada objek) dan rasa yang membuat peristiwa tersebut bisa dipercaya. Pada saat yang sama, kita menyimpang dari realisme dan mencapainya kembali, dengan animasinya yang tampak meyakinkan. Hal tersebut juga sangat jelas terlihat pada beberapa adegan animasi karakter yang paling mengesankan dan meresahkan–seperti dalam adegan pemerkosaan ini. Pergerakan tangan yang melewati tubuh Paprika diikuti dengan detail yang menyakitkan, dan menjadi lebih menakutkan ketika tangan pria itu tiba-tiba menembus pakaian dan badannya–atau lebih tepatnya, menembus badannya seolah-olah tubuh karakter tersebut merupakan jelly.

Segalanya dalam adegan tersebut mengarah pada kesan horor yang terus meningkat–atau setidaknya, rasa kegelisahan yang Kon dan animatornya ingin ciptakan untuk penonton. Ada sebuah kata yang tepat menggambarkan perasaan tersebut: keanehan – perasaan familiar dengan apa yang dilihat penonton, dan pada saat yang sama, perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, bahwa ada rasa takut yang menjalar di balik semuanya. Satoshi Kon, sejak awal sebagai sutradara dalam film horor psikologis, adalah seorang yang lihai dalam penciptaan perasaan tersebut, dan ini menjelaskan kepatuhannya pada prinsip animasi realistis. Di Paprika, keanehan berpuncak pada setiap adegan pawai dan benda-benda yang hidup dan bermain. Ia merupakan motif dalam animasi setidaknya sejak Pinnochio garapan Disney, namun dengan ide yang sangat berbeda – atau lebih jelasnya, di Pinnochio, Kon mengambil referensi bukan dari kesan lucu dan magisnya benda bergerak, tapi dari adegan metamorfosis yang paling menyeramkan.

Keriangan yang benda-benda tersebut perlihatkan bukanlah kebahagiaan, melainkan kegilaan – parade tersebut menakutkan, dan animasinya adalah biang kerok terbesarnya. Biarpun mereka benda padat dan keras–seperti patung atau lemari es–mereka bergerak seperti boneka plush atau makhluk berdaging. Meskipun gerakan mereka tampak realistis, ia juga sangat tidak alami. Para penggemar animasi akan kagum dengan kualitas animasi tersebut, tapi kita sebenarnya tidak diarahkan untuk menyukai apa yang kita lihat. Gerakannya yang luwes, kesan kehadiran dan kehidupan yang mereka tunjukkan, adalah yang membuat adegan tersebut tampak aneh – dan begitu menakutkan.

Dengan kata lain, Satoshi Kon mengambil salah satu prinsip utama realisme – memberikan ilusi kehidupan kepada penontonnya – dan memutarnya di dalam pikiran mereka. Apa yang membuat prinsip Kon menonjol dari Takahata dan Yamada adalah prinsip tersebut bukan hanya sekadar formalitas atau estetika – atau lebih tepatnya ia benarlah merupakan formalitas dan estetika, tapi juga lebih dari itu. Dengannya, Kon berhasil menciptakan atmosfer, dan refleksi terhadap animasi dan live-action yang kedalamannya mungkin tak tertandingi.

K-On! The Movie: Realisme yang Abstrak

Naoko Yamada adalah salah satu, atau bahkan merupakan, sutradara paling berbakat yang muncul dari animasi Jepang dalam 10 tahun terakhir. Menurut saya, dia adalah satu dari sedikit sutradara yang dapat mulai bersaing dengan Isao Takahata untuk mendapat gelar sutradara animasi terbaik sepanjang masa–meskipun kita harus membiarkannya tumbuh dan melihat evolusi gaya penyutradaraannya terdahulu untuk mengetahui benar tidaknya klaim tersebut masih ia pegang. Relasinya dengan Takahata juga tidak sembarangan: seperti Takahata, karyanya selalu berfokus pada problematika realisme, dan pertanyaan mengenai batasan animasi dan live-action. Dengan K-On! sebagai periode awal karirnya, kental dengan animasi yang tampak layaknya kartun, ia menyusun dasar-dasar pendekatannya terhadap medium animasi. Karenanya, di sini, K-On! The Movie adalah film yang akan saya bahas, ketimbang Liz and The Blue Bird yang jauh lebih berani dan eksperimental; mahakaryanya.

Alasan lainnya adalah karena ini merupakan karya awalnya. Seluruh fundamental gaya penyutradaraannya telah matang sampai film ini, tetapi film ini juga (seperti halnya keseluruhan serial K-On!) tidak hanya menggunakan satu estetika atau tema (seperti Liz), tetapi terus bergantian. Atau tidak, ketika misalnya sekuens mimpi pada setengah film muncul: Azusa memimpikan Yui tidak lulus, menghabiskan setahun lagi bersama, dan masih menjadi “mainan” kakak kelasnya. Hal yang sangat mencolok di sini adalah, selain musik dan penyuntingannya, sama sekali tidak ada perbedaan visual antara mimpi dan kenyataan. Batasnya lebih tipis dibandingkan Grave of the Fireflies, di mana hantu setidaknya diberi warna merah– meskipun penyuntingan yang cepat dan musik yang komikal menunjukkan bahwa mimpi itu “tak begitu nyata”, dan “tak sama nyata” (Kon) atau bahkan “lebih nyata” (Takahata).

Tapi, seperti yang saya katakan, terdapat estetika lain: yang paling menonjol adalah video musiknya. Yamada telah menunjukkan kekagumannya terhadap genre ini dengan variasi sekuens ED dalam serial TV K-On!, dan dia berhasil kembali dalam filmnya dengan satu lagi sekuens ED[iv] tepat sebelum kredit penutup. Jika kita hanya fokus pada realisme, kita akan kehilangan pentingnya estetika lain dalam repertoar Yamada: ia memungkinkan Yamada untuk jadi lebih bebas dan spontan, dengan warna-warna pudar, pengambilan dutch angle (jenis angle yang membentuk vertikal dengan sudut ke samping, namun tidak tegak lurus), penyuntingan tajam, dan kostum-kostum unik.

Namun, harus dicatat bahwa estetika tersebut tidak terbatas pada sekuens ED, seolah-olah ia hanyalah alternatif dari realisme yang mendominasi di film atau serial yang Yamada sutradarai. Ia berfungsi sebagai pelengkap, seperti yang diilustrasikan oleh banyak adegan konser di film, terutama yang kedua di London dan yang di kelas. Meskipun keduanya terjadi dalam ruang yang seharusnya sudah dikenal penonton, arahan yang diambil jelas berbeda dari pengambilan gambar biasa dan komposisi penuh perhitungan yang Yamada sering lakukan. Contohnya ketika HTT menampilkan Rice is a dish dalam penampilan mereka di London: meskipun ini adalah satu kesempatan untuk menampilkan animasi yang hidup dan mendetail khas studio Kyoto Animation, adegan tersebut juga penuh dengan quick cuts dan gerakan kamera liar yang Yamada hampir tidak pernah gunakan dalam karyanya yang lain.

Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Yamada dengan realisme tidak sejelas seperti pada umumnya. Tetapi ketidakjelasan tersebut semakin terasa ketika penonton melihat kembali unsur-unsur formal dalam karyanya. Ciri yang paling kentara dalam penyutradaraannya adalah peniruannya terhadap fotografi live-action, terutama peniruan pencahayaan dan depth of fields. Ciri tersebut merupakan ilustrasi yang sempurna dari realisme orde kedua: yang direproduksi Yamada bukanlah kenyataan itu sendiri, melainkan cara kamera bekerja. Tapi ini juga memiliki implikasi yang dalam ketika mempertimbangkan hubungan Yamada dengan film live-action.

Kritikus dan ahli teori sinema Prancis André Bazin membuat depth of field sebagai salah satu elemen kunci dalam teorinya tentang sinema dan, terutama, apa yang dia anggap sebagai estetika realistis dalam film live-action. Memang, bagi Bazin, jika sinema ingin mengarah pada realisme, yang terpenting adalah kehadiran kesan berkelanjutan dan ruang. Montase memainkan peran besar, tetapi aspek yang paling menarik di sini adalah pertanyaan mengenai depth of field: seperti estetika yang aktif digunakan oleh Jean Renoir dan Orson Welles, Bazin menyukai penggunaan deep focus, yang berarti bidikan mengandung semua elemen gambar yang saling terpisah dengan jelas, terlepas jarak tiap elemen dari kamera. Menurut Bazin, penggunaan fokus tersebut menciptakan kesan ruang nyata, karena ialah yang paling mirip dengan fungsi penglihatan manusia, dan yang paling penting memungkinkan pandangan penonton untuk berkeliaran bebas di antara gambar, bebas dari manipulasi sutradara dan kefiksian yang tersirat.

Komentar seperti itu biasanya tidak berlaku untuk animasi, meskipun animasi umumnya sangat bergantung pada reproduksi deep focus. Tapi karya Yamada mungkin menjadi pengecualian, karena ia meniru live-action, dan yang paling penting karena penggunaan depth of field-nya yang menonjol turut mempertanyakan sifat dan makna penggunaan deep focus pada animasi. Jika kita sering mengomentari Yamada terkait eksperimennya dengan short focus, yang jarang kita perhatikan adalah praktik tersebut menempatkan deep focus pada konteks lain: jika short focus adalah teknik dominan, deep focus kehilangan posisinya sebagai bentuk penglihatan “alami” dalam animasi. Dengan kata lain, jika deep focus tidak muncul secara alami seperti dalam animasi arahan sutradara lainnya, maka hal tersebut adalah keputusan yang disengaja.

Meskipun agak mustahil menerapkan ide-ide Bazin begitu saja pada karya Yamada (kita tidak bisa begitu saja mengabaikan perbedaan ontologis antara animasi dan live-action), ide-ide tersebut tetap menawarkan sudut pandang yang menarik untuk memahami makna fokus mendalam dalam film-filmnya. Jika short focus paling sering digunakan untuk membingkai (bagaimanapun juga, Yamada adalah ahli komposisi) atau menekankan animasi karakter, maka deep focus adalah yang menciptakan kesan ruang, mendasari aksi, dan pada akhirnya memainkan peran besar dalam membangun realisme.

Bidikan dalam deep focus

Hal ini menjadi menarik ketika film masuk ke bagian London, karena perbedaan makna short focus dan deep focus menjadi lebih jelas. Mengkhianati hasil kerja keras perjalanan riset staf ke London, kebanyakan bidikan yang diambil hanya diam pada pemandangan kota, dengan atau tanpa karakternya di layar. Bidikan yang paling sering muncul adalah bidikan dengan deep focus atau pillow shots, menyerupai fotografi dokumenter yang mengatur latar untuk aksi. Sebaliknya, short focus terjadi ketika kita sudah mengenal latar, atau ketika peristiwa besar terjadi. Singkatnya, short focus digunakan untuk menciptakan atmosfir dan suasana hati.

Kesan hangat dan kabur yang diciptakan oleh depth of field

Tapi, melihat adegan di atas, penggunaan depth of field juga memiliki konsekuensi lainnya. Memang, yang tercipta di sini bukan sekadar suasana kabur dan hangat; karena sebagian besar gambar buram, kita tidak benar-benar melihat pemandangannya. Berbeda dengan kualitas fotografi gambar-gambar latar tempat lain, yang kita miliki di sini hanyalah warna, seolah-olah bidikan tersebut tampak seperti lukisan abstrak, atau setidaknya lukisan impresionis. Dan hal ini menjadi sebuah penegasan, karena membawa kita pada ciri-ciri lain yang menentukan dari gaya Yamada–selera komposisi bidikannya dan penggunaan teknik pillow shots. Dengan pillow shot, yang saya maksud adalah potongan ke gambar diam lainnya, yang seringnya tidak terkait langsung dengan adegan sebelum atau sesudahnya. Dalam karya Yamada, bidikan pillow shots seringkali identik dengan pengambilan gambar pada latar sekolah.

Fakta bahwa sekolah K-On! dirancang berdasarkan bangunan arsitektur sekolah asli sudah diketahui banyak orang, begitu juga kepeduliannya dalam menciptakan kesan ruang dan membuat penonton merasa akrab dengan situasi sekolah seperti yang dirasakan karakternya. Pillow shots dianggap berperan besar dalam penciptaan kesan ini, karena menampilkan lebih banyak pemandangan dan tempat dalam sekolah. Tetapi Yamada memiliki tujuan lain: memperlambat ritme film, memungkinkan penonton untuk memikirkan apa yang baru saja terjadi – dan, saya yakin, menciptakan ruang untuk abstraksi visual murni. Sementara karya-karya Yamada tidak pernah abstrak secara gamblang, banyak pillow shots dalam film mengambil langkah mundur dari realisme, seperti halnya dengan Takahata dan Kon, mereka mendorong realisme hingga ia hancur dari dalam.

Dua  pillow shots pada akhir film

Misalnya, berikut adalah dua bidikan dari bagian terakhir film, antara konser terakhir dan penampilan band untuk Azusa. Gambar pertama menunjukkan gitar dan bayangan dari jendela; yang kedua lorong di sekolah, di mana kita sebelumnya sering melihat karakter berlalu-lalang. Kedua bidikan ini kosong: tidak ada siapa-siapa di dalamnya; menimbulkan rasa sedih dan nostalgia, tetapi juga menghilangkan kesan keberadaan aksi atau narasi. Keduanya juga memiliki komposisi yang sangat detil, dengan garis geometris yang dibangun dengan hati-hati. Dan terakhir, kita harus melihat warna khusus dari gambar, cahaya putih pudar – pilihan yang jelas disengaja oleh Yamada, penuh kehati-hatian dalam perihal fotografi. Yang tercipta dari semua ini adalah perasaan hampa dan hening, sebuah kesan meditatif. Yang kita lihat bukanlah foto-foto sekolah seperti yang terlihat jika ia nyata, tetapi gambar yang utuh, gambar diam, tanpa apapun kecuali tatapan penonton padanya. Pada dasarnya, kita tidak berada pada realisme lagi, tetapi lebih dekat menuju abstraksi.

Hal yang sama dapat dikatakan tentang perkembangan gaya Yamada yang paling populer – perhatiannya terhadap gerakan kecil pada tubuh, terutama gerakan kaki dan betis. “Kaki-kaki Yamada” inilah yang membuatnya begitu terkenal, dan tidak pernah ditampilkan dengan cara yang lebih mengesankan dari adegan terakhir film yang menakjubkan, dengan kamera menempel pada kaki para gadis tersebut selama hampir satu menit penuh.

Mengikuti Yamada sendiri, terdapat banyak analisis yang berfokus pada gagasan mengenai bahasa tubuh – bahwa ekspresi tidak selalu terjadi melalui dialog, melainkan seluruh anggota tubuh, bahkan kaki, juga dapat mengekspresikan perasaan karakter. Namun, saya tidak terlalu percaya interpretasi ini berlaku pada adegan akhir film tersebut. Kita sering lupa bahwa dialog juga hadir di scene itu – dengan kata lain, bukan kaki yang berbicara di sini. Hal tersebut bukan berarti mereka tidak mengekspresikan apapun; melainkan berekspresi bukan hanya apa yang mereka lakukan. Pada bagian ini, Anda mungkin paham saya akan mengarah kemana: terlepas dari tubuh bagian atas, dengan dialog yang terdengar seperti sulih-suara, kaki terlihat seperti ada di dunianya sendiri – sesuatu yang semakin diperkuat oleh pencahayaan dan fokus yang cenderung mengaburkan latar belakang, menjadikannya warna sederhana daripada objek detail. Kaki tersebut bukan lagi hanya sekadar kaki, mereka telah menjadi gambar sepenuhnya, dan pada saat yang sama animasi mencapai puncaknya dalam realisme yang begitu teliti.

Kesimpulannya, menjadi jelas bahwa realisme dalam animasi tidak pernah sebatas realisme belaka. Setiap kali, saat animasi mendekati sinema live-action dan estetikanya, ia menunjuk kembali ke dirinya sendiri sebagai animasi, yaitu berupa gambar murni. Secara paradoks, dengan meniru media lain animasi mengungkapkan dirinya dalam potensi maksimalnya: melampaui representasi yang sederhana.

Daftar Pustaka:

Bazin, André. Qu’est-ce que le Cinéma ? [What is Cinema ?]. 7ème Art, Le Cerf, 1985.

Frank, Hannah. Frame by Frame – A Materialist Aesthetics of Animated Cartoons. University of California Press, 2019.

Leroux, Stéphane. Isao Takahata Cinéaste en Animation : Modernité du Dessin Animé [Isao Takahata Director in Animation : Modernity of the Cartoon]. Cinéma(s) d’animation. L’Harmattan, 2009.

Steinberg, Marc, “Realism in the Animation Media Environment: Animation Theory from Japan” in Beckman, Karen (ed). Animating Film Theory. Duke University Press, 2014.

Wawancara Naoko Yamada :

Catatan:

[i] Sakuga secara literal berarti “animasi”, tapi oleh penggemar anime – khususnya penggemar non-berbahasa Jepang – arti sakuga telah diapropriasi untuk menyebut momen animasi yang tampak lebih bagus dari biasanya.

[ii] Cut di sini adalah istilah yang digunakan industri anime dalam pembuatan animasi untuk menyebut shot seperti dalam pembuatan film live action, yang berarti sekumpulan frame yang berakhir sampai “kamera” berganti.

[iii] DC Mini adalah alat yang membuat orang bisa melihat mimpi dalam film Paprika (2006)

[iv] ED yang ditulis di sini adalah singkatan dari ending sequence. Sebuah penyebutan untuk kredit akhir serial TV anime yang biasanya disajikan dengan video musik berdurasi kurang lebih 90 detik.

Matteo Watzky, seorang mahasiswa film dan pecinta animasi, khususnya anime dan dalang dibalik blog Animétudes yang menyajikan artikel dan analisis seputar anime, animasi dan keterkaitannya dengan yang lain. Selain di Animétudes, ia juga menjadi kontributor di Full Frontal.

Diterjemahkan oleh: Helmi Aziz dan Galih Pramudito

Desain oleh: Shafa Salsabilla

 

Tech bros di siang hari, penikmat sinema teranimasi Jepang (wibu) di malam hari. Ingin menghabiskan pertengahan umur 20 dengan belajar ini dan itu.

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top