Mania Cinema

Cerita Cinta Dewasa yang Membingungkan dalam Brownies

“Aku di sini mengenang dirimu, Ku menangis tanpa air mata”

 Itu adalah secuplik bait Cinta Terakhir, lagu karya Gigi yang kadang terdengar di beberapa momen paling pilu di film Brownies (2004). Biasanya dinyanyikan dengan sungguh maskulin namun rapuh oleh Armand Maulana, namun tak jarang juga dalam bentuk instrumental yang diaransemen oleh gitaris Dewa Budjana. Seperti judul lagunya, ia kerap terdengar setiap Mel (Marcella Zalianty) dan Are (Bucek)—dua tokoh yang menjadi pusat film—semakin dekat dengan mengakui keduanya adalah tambatan hati terakhir untuk satu sama lainnya.

Sebelum akhirnya berlabuh di cinta terakhir masing-masing, kita bisa memperhatikan Mel dan Are menjalani hidup masing-masing yang dapat dibilang sukses; pekerjaan dan usaha pribadi yang lancar, serta lingkaran sosial yang suportif. Kita bisa memperhatikan dan menyimpulkan, bahwa kedua tokoh utama ini (juga orang-orang di sekitar mereka), secara fisik, mental, dan sosial, sudah mencapai sebuah titik usia ‘dewasa’.

Namun, apakah keputusan-keputusan yang mereka ambil sepanjang cerita, sikap-sikap yang mereka tampilkan, sesuai dengan nuansa ‘kedewasaan’ yang selalu ditampakkan secara terang-terangan maupun tersirat?

Seberapa Woke Lo?

Salah satu hal yang sangat mengesankan setelah menonton Brownies adalah bagaimana topping dan bungkusan film ini sungguh–meminjam istilah populer muda-mudi zaman sekarang–woke.

Walaupun sudah sering mendengar Cinta Terakhir, soundtrack Brownies garapan Gigi, di radio, televisi, maupun mencari sendiri di YouTube, aku baru sempat rampung menonton Brownies belakangan ini. Di usiaku yang sekarang, film ini sekilas terasa seperti sebuah usaha seorang sutradara untuk terhubung dengan audiens Gen Z yang melek isu sosial di Twitter–anak-anak muda woke. Kita bisa mulai dari sosok Are, tokoh protagonis laki-laki di Brownies. Seorang novelis, gondrong, mengelola sebuah kafe bookish dengan koleksi buku yang lengkap dan sajian kudapan yang asyik serta berlokasi di Taman Ismail Marzuki, kemungkinan besar sering SMS-an dengan Seno Gumira Ajidarma, dan tentunya mengadopsi sebuah kesadaran kelas yang berorientasi pada Marxisme. Are juga sempat hidup menggelandang di masa kuliahnya. Sayangnya, kurang dijelaskan dalam film apakah hal tersebut dikarenakan kondisi ekonomi keluarganya yang membuatnya terpaksa seperti itu, atau memang pilihan hidupnya sendiri. Latar belakang keluarga Are samar-samar di sepanjang film, namun ada satu adegan di mana ia mengajak Mel, si protagonis perempuan (akan dibahas lebih lanjut setelah ini), jajan rujak dengan seorang pedagang jalanan, kemudian berargumen, “gaji bapak yang jual itu, enggak (sampai) 10% gajimu, Mel. Kalau enggak kita yang beli, terus, dia makan dari mana?”. Apa yang kira-kira dimaksud Are saat mengucapkan kita di kalimatnya itu? Kelas menengah ibukota?

Tanpa harus diteliti terlalu dalam, kita bisa melihat, Are tidak jauh berbeda dengan kakak-kakak podcast filsafat dan sastra yang kerap berseliweran di lini masa. Are gemar mengoceh soal kesenjangan kelas di setiap kesempatan. Ia bahkan sempat membicarakan perbedaan ‘kapital’ dan ‘kapitalisme’ dengan gebetannya setelah belanja-belanja di mall. Mantap.

Geser sedikit dari Are, kita bisa melihat Mel, tokoh sentral film yang digambarkan sebagai sosok perempuan tangguh, independen, sungguh slay, sungguh girlboss, sempat masuk majalah ternama, dan adalah seorang creative director sukses di sebuah agensi periklanan yang selalu sibuk. Ide-idenya untuk bisnis selalu bermakna dan rekan-rekan kerja segan kepadanya. Ia juga memiliki teman baik bernama Didi (Elmayana Sabrenia), seorang perempuan Minang (ada etnis di luar Jawa dan blasteran, cuy; walau tokoh tersebut juga sudah ‘Jakarta banget’, sih…) yang tak kalah girlboss-nya, terlebih setiap ia berdampingan dengan Lilo (Arie K. Untung), si pacar-yang-kelak-jadi-suami. Juga ada Kiki (Inong), teman baik Are sekaligus asisten di kafenya, yang ternyata adalah seorang lesbi. Selain itu, yang lebih seru lagi, sebuah adegan percakapan Are dan Kiki di malam hari menyiratkan bahwa mereka tinggal serumah (walau jelas bukan sebagai pasangan; Kiki kan lesbi). Didi dan Lilo, sebelum menikah, juga tampak sudah hidup seatap. Begitu pula Mel yang mengunjungi (mantan) pacarnya di hotel yang sudah mereka reservasi.

Tokoh-tokoh yang beragam (ada gay!), memiliki kesadaran kelas (Are), dan open-minded (doyan kumpul kebo) menjadi apa yang aku sebut topping-topping serba woke pada Brownies, soalnya keberadaan mereka hampir tidak punya pengaruh kepada progres cerita. Hanya sebatas topping, karena tokoh kekiri-kirian seperti Are dan gay seperti Kiki cuma terasa seperti bumbu-bumbu tambahan. Lebih dari itu, mereka (baca: sosok-sosok open-minded yang dibuat oleh sang sutradara) hadir sekadar buat membedakan Brownies dengan film-film cinta remaja.

Walau begitu, pendapat ini datang dari seorang Gen Z yang menonton film ini hampir 20 tahun setelah perilisannya. Banyak nilai dan konteks yang mungkin berubah. Apa yang aku anggap gimik-sok-woke, bisa jadi hanyalah latar cerita biasa saja. Seperti bagaimana Bajaj Bajuri (2002-2005) di salah satu episodenya pernah mempertemukan tokoh Ucup dengan seorang tokoh gay, dalam episode Bukan Kamu yang Kumau, yang mana dilakukan tanpa stigma atau degradasi apa pun, Kiki juga muncul di tengah cerita Brownies tanpa stigma yang memaksakan sudut pandang bahwa tokoh ini adalah ‘tokoh yang buruk’. Tepatnya, semua tokoh di Brownies diperkenalkan sebagai orang-orang dewasa yang sudah paham betul dengan pilihan-pilihan mereka dalam hidup.

Sayangnya, citra tersebut tidak jarang tergerus dengan keputusan-keputusan yang diambil para tokoh sepanjang film, khususnya yang diambil Mel dan Are sebagai dua tokoh pusat cerita.

Cinta Tanpa Prinsip

Walau dengan tokoh-tokoh yang dibuat se-open-minded mungkin, sering terjadi kontradiksi antara bagaimana sifat-sifat mereka dipresentasikan lewat pilihan-pilihan mereka. Hal ini, khususnya sering terjadi pada Mel.

Saat pulang dari perjalanan bisnisnya, Mel pergi ke sebuah hotel mewah di mana ia dan pacar/tunangannya menginap (open-minded!) hanya untuk mendapati Joe, pacarnya itu, sedang asyik telanjang-telanjangan di bathtub bersama perempuan lain. Mel kabur penuh kekecewaan, menjauh dari Joe. Sementara Joe, yang dalam adegan-adegan berikutnya kita ketahui ternyata adalah anak orang kaya yang sekolah di luar negeri dan ‘didikan budaya luar’, berusaha meyakini Mel bahwa apa yang ia lakukan bukan hal yang salah (open relationship? Open-minded!) dengan mix-mix between Bahasa dan English Jakselian lingo you know what I’m sayin yang, walaupun sudah cukup ditekankan bahwa si Joe ini ‘didikan luar’, berantakan dan terasa terlalu dipaksakan.

Insiden ini tentu membuat Mel sangat hancur. Dan tentunya, sudah seharusnya, Mel memalingkan pandangannya dari Joe, melupakannya dengan dewasa. Dia kan cewek tangguh dan mandiri! Ada banyak hal yang jauh lebih penting dari Joe! Tetapi bukan itu yang terjadi. Mel tantrum, menghancurkan semua figura berfoto dirinya bersama Joe sambil menangis, bahkan sampai melukai jarinya sendiri. Ia juga terlihat sangat kecewa (lho, memang tadi belum cukup kecewa?) dan gugup (dengan kesan masih berharap Joe kembali) melihat Joe yang datang dan tanpa rasa bersalah memperkenalkan pacar barunya kepada Mel di pesta pernikahan Didi dan Lilo. Belum cukup sampai di sana, saat kedekatannya dengan Are semakin baik, Mel justru memilih untuk menerima ajakan Joe untuk bertemu ketika ia sebetulnya sudah setuju untuk hadir di acara ulang tahun Are; hanya untuk kembali kecewa karena ternyata Joe cuma ingin bicara soal kemungkinan bermitra dalam bisnis.

Sefeminis-feminisnya seorang wanita akan takluk juga di hadapan pria mentereng? Kok, film yang presentasinya sungguh woke ini malah menyiratkan pernyataan yang misoginis?

Apakah mungkin karena Joe sangat manipulatif? Soalnya, sikap Mel yang sebegitu cintanya pada Joe terasa tidak masuk akal. Masalahnya, kita tidak bisa melihat hal positif apa pun dalam diri Joe; dia tukang selingkuh dengan kink mandi busa, dia tidak punya komitmen, dan dia bicara dengan bahasa Inggris yang jelek despite being an ‘anak didikan luar’. Bahkan untuk menjadi seorang ‘cowok manipulatif jago’ pun, Joe masih banyak kurangnya. Apa sih yang membuat Mel baru bisa melupakan Joe di perempat akhir film? Masa, sih, cewek independen kalah sama seorang cowok basic? Hal ini semakin menarik setelah kita mulai paham mendekati akhir film, bahwa Mel merasa dirinya tidak se-girlboss itu lagi sejak ayahnya meninggal.

Sedikit Freudian, Sedikit Info

Ada satu percakapan di antara Mel dan Are di mana mereka mulai saling membuka diri soal kehidupan pribadi masing-masing. Mel yang masih merasa terpukul sejak kepergian ayahnya, dan Are yang tidak pernah lagi makan brownies (walaupun selalu memasak brownies untuk kafenya) semenjak ibunya meninggal. Kedua tokoh ini menemukan hal yang sama dalam diri mereka; kehilangan akan sosok orang tua of the opposite gender.

Oedipus complex? Soalnya, Mel dan Are terlihat berusaha mencari cinta untuk mengobati kehilangan mereka; lebih ekstrim lagi, sebagai usaha menggantikan cinta yang awalnya mereka temukan pada diri mendiang ayah (Mel) dan ibu (Are) mereka.

Hal ini cukup aneh, karena 1) Are, walaupun sempat disinggung dalam dialognya dengan Kiki, pernah sangat patah hati dalam percintaannya dengan seorang wanita, namun tidak pernah secara gamblang dijelaskan siapa perempuan itu (seberapa mirip sifat-sifatnya dengan ibunya?) dan apa yang membuatnya begitu patah hati, dan; 2) cinta kebapakan macam apa yang dicurahkan ayah Mel kepada dirinya sehingga, dari sekian banyak insan madani, ia menemukan cinta yang serupa pada diri Joe? Yang belakangan adalah juga yang paling mengganjal di hatiku. Kembali lagi, Joe tidak menunjukkan hal positif apa pun. Tidak ada se-zarrah pun kebaikan yang ia perlihatkan, sehingga Mel harus sebegitu cinta padanya. Khususnya, tidak ada hal yang membuat Joe bisa menjadi pengganti ayah Mel (yang mana juga tidak ada detailnya, ayah Mel ini seperti apa).

Akhirnya, ketika film selesai dengan Mel dan Are yang baik-baikan dan hampir ciuman, aku kembali bertanya-tanya; apakah mereka sudah saling mencintai sekarang? Dan jika sudah saling mencintai, apakah tujuannya masih sama, untuk kembali merasakan cinta dari mendiang orang tua of the opposite gender masing-masing? Apakah Mel berhasil menemukan ayahnya di diri Are, dan Are berhasil menemukan ibunya di sosok Mel?

Buatku, yang membuat hal ini seru untuk dipikirkan, adalah bahwa kompleks oedipus khususnya merupakan pandangan psikoanalitik pada kanak-kanak. Apakah ini menandakan bahwa tokoh-tokoh sentral di film Brownies, Mel dan Are, sebetulnya masih cukup jauh dari kedewasaan?

Ada Apa dengan Brownies?

Brownies, yang memang merupakan judul filmnya, menjadi pengrajut utama antartema, antarkonflik, juga antartokoh. Di adegan pertama kita sudah disuguhkan adegan Are membuat brownies dengan lihai. Lalu, yang menjadi poin penting dalam film, kita juga sering dipertemukan dengan adegan Mel di dapur, memasak brownies. Berbeda jauh dengan Are yang jago membuat brownies, Mel selalu gagal dan browniesnya hampir secara objektif disepakati orang-orang di sekitarnya tidak enak.

Brownies sendiri konon lahir dari sebuah kegagalan. Sekitar akhir 1800an di Amerika, ketika coklat mulai populer sebagai bahan kue, Mildred Brown Schrumpf, seorang ibu-ibu tukang bikin kue asal Bangor, Maine, lupa memberikan pengembang kepada adonan kue coklat yang akan beliau masak. Alhasil, kue coklat yang dibuat bantat. Bu Mildred nekat, maka beliau memotong-motong kue bantatnya menjadi beberapa persegi-persegi lucu, dan menyajikannya ke keluarganya. Sisanya adalah sejarah.

Melihat legenda di atas, kegagalan menjadi hal menarik yang terus diasosiasikan pada brownies. Jika kita kembali ke film Brownies, di mana Mel selalu gagal membuat brownies, hal ini terasa seperti metafora yang asyik untuk kehidupan percintaannya sendiri. Seolah menyiratkan—dengan membandingkan cinta dan brownies—bahwa cinta itu sendiri adalah hasil dari sebuah kegagalan. Kegagalan yang diusahakan.

Metafora yang seru itu jadi menimbulkan kesadaran bahwa ketidakdewasaan Mel dan keabang-abangan Are bisa jadi merupakan ‘kegagalan-kegagalan’ yang sedang diusahakan itu. Tetap saja, kontradiksi-kontradiksi yang diperlihatkan Mel maupun nuansa champagne socialist Are segera membatalkan metafora cerdas itu. Apakah tindakan-tindakan melodramatis di Brownies sebegitu penting untuk melengkapi metafora kue bantat itu?

Banyak momen di mana Brownies, terlepas dari topping-nya yang dibuat serba open-minded, terasa seperti sekadar alternatif dari film cinta-cintaan remaja pop lainnya yang tidak menawarkan hal baru. Ketika pengaruh Ada Apa dengan Cinta? (2002) masih menguasai budaya pop Indonesia, Brownies muncul dengan format yang agak mirip, namun dengan satu detail menarik yang diutak-atik: usia para tokohnya. Cewek girlboss independen cerdas dan cantik yang ate and left no crumbs? Ada. Cowok ganteng nyastra kekiri-kirian bertampang blasteran dan bermata melankolis? Ada juga tuh. Apakah mereka sempat saling tidak cocok dan akhirnya berhasil saling memahami satu sama lain? Kejadian banget. Apakah si cewek yang begitu girlboss-nya kerap jatuh di lubang-lubang stereotip perempuan dalam media? Ada, dong. Apakah si cowok siap untuk move on dan melupakan si cewek yang enggak banget, tetapi akhirnya si cewek kembali mengemis-ngemis cinta pada si cowok? Waduh…

Format penokohan Cinta dan Rangga mungkin memang meninggalkan contoh yang sangat seru buat dimodifikasi pada masa itu (atau mungkin masa sekarang juga). Namun tentu Brownies punya pendekatan yang berbeda dengan Ada Apa dengan Cinta?. Jelas dong, yang satu cerita anak SMA, dan yang satu lagi cerita anak-anak muda yang suka nongkrong di TIM. Tetapi, terasa perbedaannya tidak jauh dari situ. Bukan, ini bukan berarti Brownies secara terang-terangan menjiplak Ada Apa dengan Cinta?. Pertama, itu jelas tindakan bodoh. Kedua, Brownies punya alur narasi yang tetap otentik, serta konflik-konflik yang cukup berhasil bikin penasaran.

Kebetulan ini, membuat aku kembali bertanya-tanya: apakah format Cinta dan Rangga sangat tak lekang oleh waktu? Bukan saja karena ia bisa dirasakan di film yang lebih muda walau dari dekade yang sama seperti Brownies, namun juga karena cewek bossy VS cowok sastra masih kerap menjadi bahan bercandaan di seputar lingkup sosial media dan sekitarnya. Mungkin, jika tanpa soundtrack Gigi dan editan yang kadang corny, aku bisa salah kira kalau Brownies baru rilis kemarin di Vidio.

Di usianya yang menjelang dua dekade, Brownies justru aku pandang sebagai sebuah film yang secara kultural dan gaya sangat relevan, apa lagi dengan kebangkitan budaya dan estetika Y2K yang sedang marak di kalangan muda-mudi gaul dan kekinian. Namun, lepas dari kemasannya yang bisa jadi masih atau kembali relatable (cowok sastra kekirian, cewek independen pekerja keras, tokoh gay, kehidupan bebas kelas menengah ke atas, kesadaran kelas; semua dibalut dengan estetika, fashion, musik, dan gaya hidup khas 2000an), sebagai sebuah karya itu sendiri Brownies meninggalkan banyak celah. Entah itu pada plot, pada penokohannya, atau pada detail-detail cerita yang kerap kontradiktif. Topping-topping yang seru dalam Brownies sayangnya gagal menyelamatkannya dari keniscayaan bahwa ia tetap saja adalah sebuah kue bantat–yang kebetulan masih bisa dimakan.

Brownies| 2004| Sutradara: Hanung Bramanyto| Pemeran: Bucek, Marcella Zalianty, Phillip Jusuf Jaw| Durasi: 108 Menit| Produksi: Sinemart Pictures

Biasanya dipanggil Gotan, kadang juga dengan nama-nama lain yang dianggap oke. Lahir, dan kini menetap bersama keluarganya serta berkuliah di Tangerang. Penikmat musik dan berbagai jenis bacaan. Beberapa karyanya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat di media- media daring seperti Buruan.co dan Bacapetra.co. Ia juga memiliki blog yang beralamat di berisiklegal.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top