Mania Cinema

Jamie Stewart: Sinema yang Tragis dalam Nadi Musik Xiu Xiu

a harmonica fell on my face

it did not hurt that much

if you leave no one will find my corpse

you said: rise from the dead!

Harmonika yang jatuh menghantam muka. Kesakitan yang tidak nyata. Kesendirian, kematian, kebangkitan dari kematian. Banyak rasa yang saling tabrak-menabrak di dalam cuplikan lagu Get Up karya Xiu Xiu di atas. Lagu itu adalah salah satu nomor dari album Forget (2017), satu dari sekian banyak lagu yang ditulis oleh Jamie Stewart, pentolan dan penulis lagu utama Xiu Xiu. Lirik-lirik yang Jamie tulis seringkali membenturkan kenyataan material dengan skenario-skenario abstrak, alhasil mengesankan gambaran-gambaran ganjil dan imajinatif. Walau terasa penuh khayal, lirik-lirik Jamie pada umumnya merupakan hasil pengamatannya terhadap kehidupan manusia-manusia di sekitarnya, terhadap memori, juga terhadap pergelutan dirinya sendiri dengan trauma, kekerasan, seksualitas, politik, keterasingan, dan relasi kuasa. Ditambah dengan perspektif dan sensibilitasnya sebagai seorang pribadi queer, Xiu Xiu menampilkan musik yang bersifat lugas, gelap, brutal, tetapi juga melankolis dan menyiratkan empati.

Musik Xiu Xiu memang punya dunianya sendiri. Lahir di awal milenium kedua bersama gelombang baru indie rock Amerika Serikat, Xiu Xiu terjerat di antara arus internet yang menawarkan pola baru dalam produksi maupun konsumsi musik dan nostalgia yang mengagungkan ‘masa-masa keemasan musik’. Adapun musik yang dibuat oleh Xiu Xiu memang meminjam banyak elemen dari masa lalu, juga dari masa kini. Kita bisa merasakan post-punk yang bernuansa gothic dan gelap pada beberapa nomor mereka. Juga ada pengaruh synthpop, industrial, hingga avant-garde yang bisa diamati dari cara mereka memanfaatkan suara-suara synthesizer, alat-alat musik tiup, bebunyian sehari-hari, benda-benda non-musikal, dan perkusi tribal. Semua latar musikal itu sangat klop bersama lirik-lirik yang dinyanyikan Jamie Stewart dengan ekspresif: kaya vibrato, kadang melengking, dan tidak jarang pula pelan membisik.

Berbekal gagasan-gagasan musikal yang padat, lagu-lagu Xiu Xiu tidak hanya mentok menjadi sajian yang asyik untuk telinga, tetapi juga menyimpan kualitas sinematik yang kental. Hal ini salah satunya dibuktikan dengan upaya mereka yang cukup berhasil dalam mengerjakan Plays the Music of Twin Peaks (2016), sekumpulan interpretasi ulang terhadap soundtrack serial Twin Peaks (1990-2017) gubahan sutradara David Lynch. Nyatanya, sebelum membuat album tersebut, Jamie Stewart pada berbagai wawancara juga telah mengatakan musik Xiu Xiu memang mengambil banyak inspirasi dari medium-medium seni lainnya, khususnya film. Hal ini menjelaskan lebih dalam mengapa musik dan lirik Xiu Xiu bisa terasa ‘nyata’ dan tidak jarang mengesankan pola-pola naratif.

Mania Cinema memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Jamie Stewart selaku satu-satunya anggota tetap di Xiu Xiu tentang kenangan-kenangannya menonton film, bagaimana film mempengaruhi proses kreatifnya, dan karya-karya bersama bandnya yang bersinggungan dengan sinema.

Bisakah kamu menceritakan pengalaman pertamamu dengan film? Apakah ia sebermakna pengalaman pertamamu dengan musik?

Sejauh yang bisa kuingat, film pertama yang aku tonton itu antara lain film Disney yang judulnya Fantasia (1940, Samuel Armstrong, dkk.) dan trilogi awal Star Wars (1977-1983, George Lucas, dkk.). Jelas, keduanya bukan film arthouse yang gimana-gimana, tetapi aku ingat bahwa sebelumnya ayahku—yang mana aku tahu banget beliau sangat doyan giting (tertawa)—menjelaskan alur cerita Fantasia dan Star Wars kepadaku sebagai sesuatu yang cukup aneh, jadi, aku membayangkan keduanya bakal seperti apa yang diceritakan ayahku waktu itu. Ternyata, pengalaman pertamaku menonton keduanya jauh berbeda dengan cerita ayahku. Makanya, aku sempat berpikir bahwa bisa jadi beliau menonton Fantasia dan Star Wars di bawah pengaruh zat tertentu, haha. Tetapi jujur, Fantasia memang film yang aneh dan terasa  seperti pengalaman psidekelik, sementara Star Wars juga punya kesan yang kurang lebih sama. Keduanya juga tetap aku anggap film-film klasik yang sangat keren, dan aku merasa sangat beruntung bisa diperkenalkan dengan sinema lewat film-film tersebut.

Aku juga ingat ibu baptisku, yang mana seorang seniman, bersama ibuku, suka membawaku nonton film-film arthouse ketika aku masih kecil, kira-kira pas aku berumur sepuluh atau sebelas. Aku ingat ibu baptisku pernah mengajak aku nonton Ran (1985), filmnya Akira Kurosawa, dan, aku masih ingat banget bagaimana film itu terasa sangat berbeda dengan film-film aksi Hollywood pada umumnya. Pengalaman itu cukup berkesan buatku. Ibu baptisku juga sempat menjelaskan, walau seingatku sebetulnya tidak secara gamblang, bagaimana film itu adalah film yang punya pendekatan berbeda dengan film-film Hollywood, sehingga aku pun punya pemahaman awal bahwa tampaknya ada dua dunia berbeda dalam perfilman: ada film-film komersil yang biasa dikeluarkan Hollywood, ada pula film-film yang sifatnya lebih nyeni, indie dan sebagainya.

Apakah pengalaman-pengalaman ini sebermakna pengalaman pertamaku dengan musik? sebetulnya keduanya cukup saling bersinggungan. Di waktu yang sama, Ibu baptisku memperkenalkan aku dengan film-film arthouse, aku juga lagi senang mendengarkan radio, dan aku selalu mengulik radio untuk mencari saluran yang memainkan musik-musik yang menurutku agak aneh. Hal ini juga bikin aku punya pemahaman bahwa, sebagaimana dengan film, ada dua dunia di musik, yang lebih mainstream dan komersil serta yang lebih underground dan aneh, waktu itu. Waktu kecil aku terpapar banget sama jenis film dan musik yang belakangan, dan aku sangat menyukainya. Sepertinya, aku bisa simpulkan bahwa pengalaman pertamaku dengan film maupun musik sama-sama bermakna.

Fantasia dan Star Wars punya penggunaan musik yang cukup khas dan signifikan. Apakah musik-musik di film memengaruhi eksplorasi selera maupun proses kreatifmu dalam musik?

Sepertinya, waktu aku kecil dulu, hal itu adalah sesuatu yang terjadi tanpa aku sadari. Saat aku beranjak dewasa dan mulai menyeriusi musik, aku mulai lebih mendalami musik di film, juga menikmati musik soundtrack secara terpisah dari film bersangkutan. Manajer tur yang sudah bekerja bareng kami cukup lama orangnya sinefil banget, jauh lebih suka film dari aku sendiri. Dia punya koleksi album soundtrack film yang banyak banget, dan ketika tur dia suka memainkan album-albumnya itu, yang mana aku juga ikut menikmati.

Kalau dipikir-pikir lagi, selain musiknya secara spesifik, emosi dan struktur dalam film itu sendiri, waktu aku lebih muda, juga banyak mempengaruhi selera musikku. Bagaimana film bisa menyematkan berbagai gagasan dalam satu waktu, karena durasinya yang lebih lama, dan memiliki muatan visual yang kuat. Sementara isi lirik lagu lebih punya keterbatasan. Hal ini membuatku tertarik dengan konsep bahwa musik dan lirik bisa punya potensi untuk dipepatkan dengan berbagai lapisan emosi dan struktur, layaknya film.

Kamu mengatakan bahwa saat beranjak dewasa kamu mulai suka mendengarkan soundtrack film terpisah dari filmnya. Apakah ada soundtrack film yang sangat berkesan buatmu?

Aku suka karya-karya Toru Takemitsu, komposer yang banyak bikin soundtrack atau scoring film-film Jepang pas 1950an-1970an. Dia juga lanjut menggubah musik di luar film, tetapi aku mendapati secara khusus soundtrack-soundtrack-nya sangat berpengaruh kepada proses kreatifku di proyek utamaku saat ini, Xiu Xiu. Aku mengagumi caranya menggunakan perkusi, bunyi-bunyi temuan, ruang kosong, dan elemen minimalisme, juga bagaimana dia membuat musik yang, dari sunyi senyap, kemudian meledak-ledak dengan intens, lalu kembali lagi pelan dan sunyi. Kami sudah jarang melakukannya lagi, tetapi kami sangat terinspirasi dengan gayanya menciptakan lapisan crescendo, yang ketika sampai di puncak langsung bertransisi ke suasana yang minimalis.

Aku lupa nama label yang merilisnya, tetapi ada satu kompilasi soundtrack Toru Takemitsu yang sering banget didengarkan oleh aku dan Cory McCulloch (salah satu anggota pertama Xiu Xiu: red) di masa-masa awal Xiu Xiu. Juga, ada sebuah dokumenter soal Toru Takemitsu yang suka kami tonton waktu itu. Jadi menurutku memang karya-karyanya cukup fundamental untuk inspirasi musik Xiu Xiu.

Mengenang lagi masa-masa menonton film di masa mudamu, bisa tidak kamu ceritakan sedikit bagaimana caramu mencari tahu dan menonton film?

Aku sebenarnya sudah lumayan tua, jadi waktu itu masih sangat jauh sebelum streaming dan semacamnya. Kebetulan aku dulu tinggal di Los Angeles, dan pas aku muda dulu di sana ada banyak banget bioskop, dan banyak bioskop yang sering memutarkan film-film art. Sekarang masih banyak, sih, cuma mungkin karena bersaing sama layanan streaming jadi tidak serelevan dulu lagi. Kamu bisa nonton tiga film dalam sehari dan masih ada lagi film yang bisa ditonton. Seringkali aku cuma cari-cari di koran, bioskop mana yang lagi memutar film, setelah itu aku langsung ke sana. Di pinggiran kota saja banyak bioskop, sementara di kotanya tentu ada lebih banyak lagi. Aku tinggal lihat jadwal tayang dan asal datang saja, kadang juga tidak begitu tahu film apa yang lagi diputar.

Di masa-masa itu, kamu pernah tidak pergi ke acara-acara pemutaran film independen?

Duh, di waktu muda dulu sebenarnya aku rada kuper, jadi jarang tahu hal-hal seperti itu. Cuman, pas aku agak lebih tua, aku ingat pas lagi baca-baca koran LA Weekly, ada satu kolom kecil yang mengiklankan pemutaran-pemutaran film art begitu. Aku pergi ke salah satunya, nyetir sendirian ke acara pemutaran film Jean Cocteau di rumah orang. Waktu itu aku datang terlalu awal 3 jam, haha. Umurku kurang lebih tujuh belas tahun, datang pakai setelan jas segala, saat orang-orang masih menyusun-nyusun kursi. Jadi aku cuma duduk saja di sana, 3 jam, menunggu filmnya dimainkan, dan orang-orang melihatku seolah ngomong, “ini siapa sih, bocah nggak jelas”. Waktu itu sih aku merasa malu banget, haha.

Pengalaman yang lumayan memalukan, tetapi sepertinya cukup berkesan, ya?

Iya sih, aku memang tidak pernah melihat hal seperti itu sebelumnya. Menarik juga buat mengetahui bahwa acara seperti itu memungkinkan. Kayak, membuat bioskop kecil-kecilan di rumah. Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu, tetapi aku tertarik dengan bagaimana orang-orang bisa mengambil peran secara komunal dan membuka peluang untuk saling berbagi.

Kamu tadi bilang bahwa soundtrack film berpengaruh pada proses kreatifmu. Lebih dari itu, film secara utuh sendiri juga menginspirasi musikmu. Bisa dijelaskan lebih lanjut?

Ini kayaknya paling jelas, tetapi film-film David Lynch punya pengaruh besar dalam konteks itu. Aku bilang paling jelas karena, yah, kami membuat album yang mengkover soundtrack-soundtrack dari serial televisinya. Selain dia, ada satu film berjudul Madeinusa (2005) karya Claudia Llossa, yang juga cukup berpengaruh. Cara Llossa dalam mengstrukturkan film punya daya tarik khas, sulit juga sebenarnya menjelaskan bagaimana pengaruhnya terhadap musik Xiu Xiu, tetapi aku ingat bahwa, seusai menonton film itu, aku langsung tergugah buat mengerjakan musik.

Nama-nama lain yang mungkin cukup penting sepertinya Alejandro Jodorowsky, Rainer Werner Fassbinder, Werner Herzog… Khususnya Herzog, Xiu Xiu suka meminjam konsep jukstaposisi dalam karya-karyanya, di mana sering muncul hal-hal yang tidak relevan sama alur filmnya namun memberikan kesan emosional tersendiri. Konsep ini kami pakai di Xiu Xiu dengan maksud dan tujuan yang tidak jauh berbeda, hanya saja kami lakukan pakai musik. Claire Denis juga kerap jadi inspirasi, dengan hantaman emosi yang intens di film-filmnya. Ada juga dua pembuat film Jepang zaman 1950an-1970an, Seijun Suzuki dan Shohei Imamura, yang sangat berpengaruh lewat cara mereka menguliti kekejian manusia dengan begitu jujur dan seadanya, serta di waktu yang sama juga sangat indah. Todd Solondz juga cukup inspirasional, tetapi lebih di masa-masa awal Xiu Xiu, sih. Kayaknya sekarang tidak begitu kuat pengaruhnya, namun aku masih mengapresiasi film-filmnya, hanya saja musik kami ke sininya juga berevolusi secara artistik.

Aku juga suka banget film berjudul George Washington (2001, David Gordon Green) dan yang baru-baru ini naik tayang, filmnya Dardenne bersaudara,Tori and Lokita (2022), yang mana, lagi-lagi, punya semacam pendekatan yang sangat jujur terhadap perasaan-perasaan buruk. Film-film yang saking sedihnya bikin shock. Banyak sih, sebenarnya, inspirasi yang kami ambil dari film-film. Tepatnya film-film yang punya kekuatan dalam mengacak-acak emosi dan membicarakan ketragisan hidup dengan lugas. Aku dan Angela (Angela Seo, anggota Xiu Xiu yang lain: red) suka sama film-film seperti itu. Pandangan artistik kami terhadap sinema bisa dibilang sama banget.

Tampaknya film secara konseptual banyak memengaruhi musik Xiu Xiu, ya. Tetapi aku juga pengen tahu, apakah film juga berpengaruh ke departemen visual Xiu Xiu?

Kalau untuk itu sepertinya harus ditanyakan ke Angela, sih. Aku tidak terlalu banyak terlibat dalam urusan visual, dia yang membuat video musik-video musik Xiu Xiu biasanya.

Kalau tidak salah, di masa-masa awal ke pertengahan Xiu Xiu, ada beberapa video musik Xiu Xiu yang kamu buat, bukan?

Oh iya, betul. Tetapi aku kurang tahu juga film yang secara spesifik punya pengaruh dalam hal itu. Aku cuma mengumpulkan foto-foto, disusun dan dipotong-potong biar sinkron dengan musiknya. Sepertinya sih secara tidak sadar ada pengaruh sinema ke dalam proses ini, tetapi aku kurang bisa menjelaskan secara detail.

Aku pernah menonton video musik buat lagu Dear God, I Hate Myself di Youtube, dan di kolom deskripsinya tertulis ‘directed by Jamie Stewart’. Masih ingat tidak proses membuat video itu?

Ah, iya. Kalau itu memang lebih dari sekadar foto-foto, dan menggunakan lebih banyak materi visual. Sebenarnya itu aku mengerjakannya tetap bareng Angela juga, sih.

Kebetulan sedang membicarakan video musik, menurutmu video musik itu, selain sebagai visual pendamping lagu bersangkutan, bisa atau bahkan perlu tidak punya nilai-nilai sinematik?

Biasanya aku cukup kecewa, sih, dengan video musik-video musik kebanyakan band. Umumnya kayak kurang niat bikin, begitu. Penyuntingannya juga sering jelek, cuma rekaman-rekaman yang sama diulang-ulang, biasanya seisi band lagi memainkan lagunya. Sebenarnya sih tidak terlalu masalah juga. Tentunya, sebagai penggemar band bersangkutan, suka-suka saja menonton mereka main, tetapi sepertinya menarik kalau di video musik ada nuansa sinematiknya, mungkin ada semacam alur cerita kecil-kecilannya.

Menurutku video musik harusnya jadi kesempatan untuk membuat sesuatu yang menakjubkan. Kita bisa mengajak orang untuk ikut berpartisipasi dalam karya kita, atau bisa juga kita sendiri yang mengakali dengan sumber daya yang seadanya. Video musik punya ruang buat jadi sesuatu yang bernilai. Video-video yang dibuat Angela keren semua!, dan mungkin aku bisa bicara seperti ini karena aku tidak banyak terlibat dan kurang paham juga, tetapi video-videonya menurutku keren. Dia banyak melakukan riset buat video musik Xiu Xiu, dia memanfaatkan waktu dengan baik untuk mengedit, selain juga memastikan materi mentahnya tidak terlalu sedikit buat disusun menjadi video yang menarik, mengurus pencahayaan dengan teliti, sampai memilih dan mengolah tema yang mau dikembangkan dengan piawai. Aku selalu kagum sama pekerjaannya. Band-band mungkin bisa mencoba apa yang ia lakukan dalam mengerjakan video musik.

Aku juga suka dengan video musik-video musik yang memuat naratif sendiri seperti katamu itu. Ada tidak video musik yang kamu rasa masuk ke dalam kriteria video musik bagus menurutmu?

Kalau belakangan ini rasa-rasanya aku juga sudah jarang menonton video musik, tapi contoh yang klasik sih Björk. Video musik-video musiknya banyak yang bagus-bagus. Aku sudah tidak setertarik dulu dengan musiknya, tetapi video musik Björk, khususnya yang lama-lama, kebanyakannya khas dan menarik.

Aku mau menanyakan hal yang cukup penting buat perjalanan bermusikmu, yakni nama bandmu, Xiu Xiu. Nama itu setahuku diambil dari judul sebuah film, yaitu Xiu Xiu: The Sent Down Girl (1998, Joan Chen). Bisa tidak kamu mengingat-ingat waktu pertama kali menonton film itu? Bagaimana kondisi emosionalmu saat menonton film itu sehingga kamu memakai judulnya sebagai nama band barumu?

Kami tidak menontonnya bareng, tetapi dulu aku menonton film itu di waktu yang hampir bersamaan dengan Cory McCulloch, yang mana akhirnya menjadi rekanku di Xiu Xiu. Film itu sudah rilis sejak beberapa tahun sebelumnya, tetapi ada pemutaran lagi di sebuah bioskop kecil begitu. Waktu itu aku dan Cory tinggal di lingkungan yang cukup bobrok, di San Jose, California, sebuah kota yang berjarak  sejam-an dari San Fransisco.

Film itu berlatar Revolusi Kebudayaan di Cina, dan si protagonisnya bernama Xiu Xiu. Jelas, aku dan Cory tidak punya hubungan emosional apa-apa dengan tokoh itu, maupun dengan peristiwa di masa itu, namun apa yang dialami sama si protagonis, di mana dia mencoba untuk memperbaiki hidupnya tetapi apapun yang dilakukan malah membuat semuanya memburuk, benar-benar sesuatu yang saat itu dirasakan oleh Cory maupun aku sendiri. Hidup kami berdua benar-benar kacau, sih, waktu itu. Secara emosional, kami memang sedang dalam keadaan yang terpuruk. Perjuangan untuk perbaikan hidup yang selalu gagal, dan bagaimana pas itu karir musik kami juga tidak tentu arah… jadinya terasa cocok saja nama itu buat proyek kami.

Dengan pengalaman yang cukup kuat dan personal seperti itu, di titik karirmu kini, kamu merasa ada semacam beban tidak untuk mempertahankan pengaruh film tersebut dalam musikmu?

Aku tidak merasa terbenani, tetapi, aku punya hubungan personal dengan film tersebut. Mungkin satu-satunya ‘beban’ yang aku rasakan secara tidak langsung adalah beban untuk aku tetap serius melakukan dua hal yang sangat aku senangi; mengapresiasi film dan bikin musik. Mungkin juga beban agar aku tidak menyia-nyiakan hidup. Haha.

Pengalaman pertamamu menonton film itu tampaknya terjadi di masa-masa yang kurang baik dalam hidupmu maupun rekanmu Cory. Setelah sekian lama menontonnya untuk pertama kali, apakah kamu masih memiliki pandangan yang sama terhadap Xiu Xiu: The Sent Down Girl?

Kami menonton film itu kira-kira setahun sebelum Xiu Xiu mulai, dan band ini sudah berumur kurang lebih dua puluh dua tahun sekarang, jadi, secara kasar, aku sudah tidak menonton film itu lagi sejak dua puluh tiga tahun. Agak takut, ya, sebenarnya, untuk menonton ulang film itu. Aku mungkin bakalan tidak menyukainya sekarang. Maksudku, sebagian besar kehidupan dewasaku berutang budi kepada film ini, jadi aku tuh kayak tidak mau merusak kenangan pentingku tentangnya. Walau begitu, Joan Chen, sutradaranya, adalah pembuat film yang bagus jadi aku rasa pasti film itu bagus. Baru-baru ini, temanku Drew dari grup Matmos menonton film tersebut, kemudian aku bertanya ke dia, “menurutmu bagus tidak, filmnya?” dan katanya, sih, bagus banget. Mungkin aku harus bodo-amat dengan perasaanku dan coba-coba nonton ulang.

Ingatanku terhadap film itu, sih, tidak pernah berubah. Hidupku saat ini, syukurnya, sedang dalam keadaan yang jauh lebih baik. Jika aku menonton film itu sekarang, mungkin aku akan punya perspektif yang berbeda. Aku sudah bertambah tua, dunia berubah, hidupku berubah, pemahamanku terhadap film maupun estetika secara umum juga berubah. Namun, kayaknya kalaupun aku akan menontonnya, aku akan tetap menontonnya dengan cara pandang yang sama dengan saat pertama kali aku menontonnya, hanya karena hubungannya yang kuat dengan bandku.

Di profil-profil Xiu Xiu yang bisa ditemukan di internet, salah dua nama sutradara yang sering disebut sebagai pengaruh kuat adalah David Lynch dan Todd Solondz, dan kamu sempat bercerita sedikit tentang mereka tadi. Bisa kamu coba jelaskan lebih dalam bagaimana film-film keduanya memengaruhi Xiu Xiu?

Khususnya David Lynch, sih, yang berpengaruh banget. Sementara itu, kalau Solondz, seperti yang tadi aku sempat jelaskan, dulu berpengaruh banget dengan cara kami bikin lirik. Sekarang kami memang punya pendekatan ke lirik yang agak berbeda. Selain itu, untuk album kedua Xiu Xiu, kami juga menggunakan kotak merah (cara sensor adegan seks di film bersangkutan: red) yang ada di Storytelling (2001) buat menyensor sampulnya. Selain memang untuk menyensor sampulnya yang eksplisit, jenis sensor itu khusus kami pakai buat memberi semacam penghormatan kepada Todd Solondz. Film-film dia itu, gimana ya, punya rasa yang sangat tidak mengenakkan, dan dengan sangat lugas, kayak, benar-benar bikin bergidik jijik, haha. Walau begitu bukan berarti tidak ada sentuhan humor. ‘Lucu’ di film-film dia itu lucu yang dipreteli dengan serius. Dia benar-benar menggunakan humor buat menyampaikan sebuah gagasan, bukan buat sekadar jadi konyol atau buat menutupi sesuatu. Kayaknya, konsep ini adalah salah satu pengaruh Todd Solondz yang akan terus kami pakai.

Sementara itu, David Lynch-lah yang punya inspirasi estetik yang sangat luar biasa buat kami. Aku suka banget sama karya-karyanya yang tidak jarang menyeramkan, bersentuhan dengan hal-hal supranatural, sosio-politik, seksualitas, dan kadang juga lucu–dalam konteks ‘lucu’ yang sama dengan Todd Solondz. Penggunaan musik di film-filmnya juga cerdas. Seringkali, filmnya sulit dipahami secara linear, tetapi tetap terasa ada sebuah muatan yang ingin disampaikan lewat keganjilan-keganjilan itu. Menurutku, keren untuknya bisa memasukkan semua hal itu ke dalam sebuah karya. Dia bahkan bisa memepatkan konsep-konsep itu dalam satu episode Twin Peaks yang panjangnya sejam-an. Itu sangat inspiratif buat kami, bagaimana membuat karya yang padat akan supranaturalitas, sosio-politik, seksualitas, dengan sentuhan humor, dalam konteks musik. Kami menyukai hal itu dan terus mencoba untuk membuat sesuatu seperti itu.

Bisakah kamu ceritakan sedikit tentang pengalaman pertamamu menonton film dari David Lynch maupun Todd Solondz?

Film Lynch pertama yang aku tonton itu Wild at Heart (1990). Orang-orang memang lagi pada membicarakan David Lynch waktu itu, tetapi aku tidak begitu menggubrisnya. Kalau kamu lihat posternya Wild at Heart, rasanya ini tuh bakalan jadi film pertualangan-romantik biasa. Di saat itu aku juga kurang mengerti David Lynch dan bakal seperti apa film-filmnya. Sekali waktu seorang temanku yang merupakan penggemar film-film art mengajakku menonton Wild at Heart. Dia punya film itu dalam format VHS dan mau mampir ke rumah buat menunjukkannya kepadaku. Aku nolak, “nggak ah, kayaknya jelek, deh”, lalu dia ngotot, “kamu tolol, coba deh tonton dulu”. Akhirnya aku nonton juga, dan kira-kira setelah filmnya bermain lima menitan aku langsung betulan terkagum, kayak, “buset, ini dia, film yang benar-benar gweh banget!“, haha. Betulan kayak langsung klik begitu. Segalanya mulai terasa masuk akal dan aku mulai paham kekerenan film itu. Semenjak itu aku jadi doyan banget menonton apapun yang dibuat David Lynch.

Kalau Todd Solondz, film pertama dia yang aku tonton adalah Welcome to the Dollhouse (1995). Pas pertama film itu masuk bioskop, kayaknya itu juga kali pertama aku mencoba mabuk, haha. Aku dan temanku menyelundupkan beberapa bir ke bioskop dan menonton Welcome to the Dollhouse waktu itu. Aku suka banget sama filmnya, tapi Storytelling punya pengaruh lebih kuat buat musik Xiu Xiu. Happiness (1998) menurutku juga salah satu karyanya yang, duh, mengguncang perasaan banget. Film itu aku tonton antara di waktu sebelum Xiu Xiu mulai atau pas awal-awal banget Xiu Xiu mulai.

Todd Solondz maupun David Lynch mengeksplorasi tema-tema yang saling bersinggungan. Walau begitu, jelas mereka punya semesta penceritaan yang jauh berbeda, di mana film-film Solondz lebih realis sementara Lynch lebih abstrak. Apakah dua dunia yang berbeda ini memberi pengaruh pada proses kreatif Xiu Xiu?

Pengaruhnya sangat kuat sekali. Kami tidak akan bikin lagu-lagu seperti itu kalau bukan karena gaya dan estetika mereka. Kami mau membuat musik yang lugas dan tajam, yang mana banyak kami lihat dalam cara-cara David Lynch maupun Todd Solondz merakit karya mereka dengan sangat mumpuni. Upaya mereka menjadi semacam validasi bahwa pendekatan artistik seperti itu memungkinkan untuk dicoba, dan tidak terbatas hanya dalam sinema tetapi juga buat sebuah band seperti kami.

Bicara soal David Lynch, aku tidak bisa mengelak dari bertanya kepadamu soal album Xiu Xiu, Plays the Music of Twin Peaks (2016). Jarang sekali rasanya ada band atau musisi yang mengkover soundtrack film atau serial televisi. Bagaimana, sih, sebetulnya proses kreatifmu dan anggota band yang lain waktu itu?

Pada awalnya hal ini cukup berat buat kami, untuk alasan yang sangat wajar. Ini adalah salah satu soundtrack yang paling terkenal. Waktu itu kami diminta buat melakukan hal ini oleh teman-teman dekat kami, Lawrence English, komposer dan kepala label rekaman (Room40: red), dan José da Silva, kurator Gallery of Modern Art di Brisbane, Australia. Mereka sedang melangsungkan sebuah pameran tentang karya-karya David Lynch, dan kami diajak buat memainkan soundtrack dari Twin Peaks saat pembukaan acaranya. Jelas, kami tidak bisa menolak, apalagi kami semua penggemar berat serial tersebut. Namun tetap saja, sesuatu yang sudah bagus dari sananya seperti itu butuh pendekatan yang hati-hati. Makanya, setelah ngobrol dan berunding cukup lama, kami memutuskan buat memainkannya tidak persis sama seperti aslinya, karena soundtrack-soundtrack itu dimainkan oleh musisi-musisi tertentu dengan sound yang juga khas.

Tidak mungkin rasanya kami bisa mereplikasi itu dengan baik. Kami suka banget dengan nadanya, urutan-urutan kordnya, tetapi kami berusaha mengarensmennya dengan gaya baru, tanpa menghilangkan kualitas komposisionalnya yang sudah sangat hebat. Jadi, kami mencoba memainkannya dengan membayangkan bagaimana kalau kita yang menulisnya, atau kalau kita pemain aslinya. Ini semua kami lakukan tetap dengan memperhatikan bagaimana serial ini, berikut musiknya, punya pengaruh besar buat kami. Kebetulan kami juga dikasih partitur-partiturnya, jadi kami lebih banyak memikirkan bagaimana kalau Xiu Xiu yang memainkan komposisi-komposisi ini. Dan ini bukan bermaksud kami merasa mampu memainkannya dengan lebih baik, tetapi justru untuk menyampaikan rasa terima kasih kami kepada musik dan film yang telah membentuk kami.

Aku jadi penasaran, album ini kalian buat sebagai interpretasi terhadap soundtrack Twin Peaks, atau interpretasi terhadap serialnya secara keseluruhan?

Sepertinya, pada akhirnya memang jadi dua-duanya sekaligus. Banyak sound-sound khas dari serialnya yang kami sampel. Kami juga menambahkan cuplikan diari Laura Palmer yang ada di serialnya namun bukan di dalam musik asli soundtracknya. Jadinya memang album itu adalah interpretasi terhadap soundtrack Twin Peaks sebagaimana ia juga interpretasi terhadap Twin Peaks itu sendiri. Selain itu, sebenarnya, sih, secara garis besar juga menjadi interpretasi terhadap pemahaman kami sendiri tentang David Lynch, karyanya, dan pengaruhnya pada kami.

Kamu bilang kalau kamu dan teman-teman satu bandmu adalah penggemar berat Twin Peaks, yang mana adalah sebuah serial televisi. Kamu melihat Twin Peaks itu sebagai sebuah karya sinema atau tidak?

Season 3, sih, jelas. Menurutku dua season pertama memang dibuat seperti bagaimana serial televisi semestinya. Bukan maksudnya bilang mereka jelek, hanya saja season pertama dan kedua itu lebih tersusun sebagai serial televisi, sementara season ketiga kesannya lebih terstruktur layaknya film panjang. Dua season pertama walau bagaimana pun punya estetika dan gaya yang mungkin sinematik, tetapi bidikan kamera, gaya penyuntingannya, dan ritmenya terasa seperti, yah, serial televisi. Mungkin, kasarnya, season ketiga itu lebih mantap kalau ditonton secara lengkap dan berurutan, sementara dua season sebelumnya bisa kita tonton dengan lebih santai, kayak, hari ini nonton dan kita lanjutkan lagi beberapa hari kemudian; bagaimana serial televisi biasanya.

Aku ingin tahu sedikit soal respon pertama saat kamu dan bandmu merilis album Plays the Music of Twin Peaks itu. Bagaimana, sih, tanggapan dari penggemar-penggemar Twin Peaks?

Umumnya, sih, respon orang-orang positif.  Kami menerima dukungan dan ucapan-ucapan baik. Saat kami melakukan tur buat album ini, kami berhadapan dengan penonton terbanyak seumur kami main musik. Rasanya wajar, karena, walaupun ada juga yang datang untuk melihat kami manggung, tetapi kebanyakan orang datang buat melihat sesuatu yang ada hubungannya sama Twin Peaks. Rasanya kesempatan ini juga jadi gerbang bagi penggemar-penggemar baru yang akhirnya mendengarkan lagu-lagu kami yang lain. Mereka tahu acara dan musiknya, tetapi kurang tahu bandnya, dan akhirnya mereka jadi mengulik musik kami lebih dalam.

Kayaknya sih tidak ada tanggapan buruk yang terlalu berkesan untuk album ini. Toh, kami juga dapat restu dari David Lynch dan Angelo Badalamenti langsung, dan tampaknya oleh karena itu orang-orang tahu kalau kami bukan cuma cari muka dengan membawa-bawa Twin Peaks. Mereka berdua tidak terlibat langsung, tetapi mereka cukup suportif. Kelihatannya karena ada semacam ‘cap pengesahan’ dari empu aslinya karya ini orang-orang juga lebih jadi menerimanya dengan lapang telinga.

Aku mau bicara sedikit denganmu soal album terbaru Xiu Xiu, Ignore Grief (2023). Bagaimana menurutmu kalau aku bilang album ini adalah karya Xiu Xiu yang paling mendekati score film?

Aku bisa melihat alasannya. Kayaknya secara lirik tidak terlalu ke arah sana, tetapi dari segi komposisi musiknya aku setuju banget. Kami sering mencampur-adukkan struktur lagu yang lebih eksperimental dengan struktur yang lebih ngepop, pakai chorus, verse, dan lain sebagainya. Di album ini semua strukturnya lebih linear, jarang ada repetisi yang terstruktur seperti lagu pop. Memang jadi seperti score film, dengan ayunan emosi dan struktur yang lebih seperti ada rangkaian naratifnya.

Bicara soal lirik Xiu Xiu, aku selalu melihat lirik Xiu Xiu sebagai sesuatu yang punya daya visual yang kuat. Kamu mengatakan di beberapa wawancara bahwa lirik-lirikmu umumnya merupakan hasil observasi terhadap kejadian-kejadian di sekitarmu. Apakah ada pendekatan sinematik dalam mengolah observasimu ini menjadi lagu?

Tidak terlalu, rasanya. Aku harap aku bisa punya imajinasi sekeren itu, haha. Sepertinya aku mau mencoba melihat peristiwa-peristiwa kehidupan dengan sudut pandang itu saat membuat lagu. Biasanya, sih, aku hanya mengumpulkan catatan-catatan yang aku tulis dan berusaha merangkainya menjadi lirik. Proses ini kadang cukup membosankan sebetulnya, jadi mungkin aku akan mencoba menulis dengan pendekatan yang lebih sinematik sekali-sekali.

Lagu-lagu di Ignore Grief, dan bahkan juga lagu-lagu Xiu Xiu yang lain, membicarakan banyak topik. Walau begitu, kesan yang sering aku dapatkan adalah, lagu-lagu Xiu Xiu itu punya nuansa horor yang kuat. Apakah kamu punya sedikit tanggapan terhadap unsur horor, di musik, film, maupun di medium seni lainnya?

Sebagai sebuah genre khusus dalam film, sebetulnya aku tidak begitu familiar dengan horor, karena jujur saja aku gampang ketakutan. Haha. Aku suka menyimak alur dan plotnya, tetapi aku sangat takut untuk menyaksikannya secara langsung. Sejak aku kecil, aku jarang sekali kuat nonton film horor. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya sebelum pandemi, aku sempat diajak teman nonton It Chapter 2 (2019, Andrés Muschietti), dan aku memutuskan buat keluar bioskop di tengah-tengah film. Apalagi sekarang di umurku yang sudah empat puluhanan. Benar-benar tidak kuat. haha.

Satu lagi pertanyaan buat mengakhiri obrolan kita, nih. Masih nyambung dengan pertanyaan sebelumnya, menurutmu, tanpa hal-hal yang bikin jantungan, bisa tidak, sih, seni memiliki muatan yang horor?

Pasti bisa, sih, aku pikir. Pemahaman amatiranku terhadap horor, adalah sebuah upaya untuk berbicara tentang ketidakabadian dan kerapuhan di tengah kehidupan kita. Bagaimana segalanya bisa tiba-tiba runtuh, jatuh ke liang penuh ketidakteraturan dan kekerasan dalam sekejap, yang mana kerap terjadi di realita kita. Mau itu dalam hal politik, sosial, atau bahkan di antara dua orang yang sedang berpapasan di jalanan.

Hal ini selalu ada di pikiran kita, bayangan-bayangan akan bagaimana hidup kita atau hidup orang-orang yang kita sayangi bisa kapan saja dirusak dengan parah atau dihancurkan seutuhnya. Walau bagaimana pun, pada akhirnya, ternyata kita tetap bertahan. Kita bertahan sehingga bisa ngobrol soal film seperti ini. Mungkin habis ini aku bakal ngemil apel, atau kamu bakal ngelus-ngelus kucingmu, tetapi bayang-bayang ketidakabadian ini terus bersemayam di pikiran kita. Konsep ini aku rasa bisa hidup dalam berbagai bentuk di film, di musik, di puisi, dan di output artistik apapun.

Wawancara direkam dengan aplikasi Zoom pada 20-21 April 2024.

Ditulis dan diwawancarai oleh: Muhamad Kusuma Gotansyah

Desain oleh: Leonard Dimas

Biasanya dipanggil Gotan, kadang juga dengan nama-nama lain yang dianggap oke. Lahir, dan kini menetap bersama keluarganya serta berkuliah di Tangerang. Penikmat musik dan berbagai jenis bacaan. Beberapa karyanya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat di media- media daring seperti Buruan.co dan Bacapetra.co. Ia juga memiliki blog yang beralamat di berisiklegal.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top