Focus on Palestine: Solidaritas dari Kursi-kursi Bioskop di Madani Film Festival
“Saya berharap dunia melihat kami, bukan hanya sebagai orang-orang yang diokupasi, tapi juga sebagai orang-orang yang memproduksi seni dan budaya yang menjadi bagian dari dunia Arab dan Islam.”
Sekitar satu jam sebelum sutradara Mohanad Yaqubi mengatakan itu, lobi Epicentrum XXI dipadati oleh pengunjung yang ingin menyaksikan film dokumenter R21 AKA Restoring Solidarity (2022).
Sabtu malam, 7 Oktober 2023, Jakarta cerah. Orang berlalu lalang di sekitar Epicentrum XXI. Di lobi, pengunjung mengabadikan momen dengan latar belakang poster Madani International Film Festival (MIFF) 2023. Sementara di luar, orang-orang bercengkerama satu sama lain sambil sesekali mengisap rokok dan menghebuskan asapnya, jauh ke atas.
Tahun ini, MIFF mengusung tema Buhul. Direktur Festival MIFF Sugar Nadia Azier mengatakan festival film yang acap kali mengangkat tema islami ini sudah memasuki tahun keenam. Buhul diartikan sebagai simpul atau ikatan, lebih luas lagi, itu dapat diartikan sebagai solidaritas, perasaan senasib sepenanggungan dan keinginan untuk membantu sesama. “Sepanjang beberapa tahu, eskalasi konflik dan bencana besar melanda saudara Muslim di berbagai negara, termasuk Palestina, Iran, Afghanistan, India, Turki, dan, baru-baru saja, Maroko,” kata dia.
Sebab itu, satu di antara 13 program pemutaran film dan diskusi dalam MIFF mengangkat tema Focus on Palestine, yang menampilkan tiga film Mohanad Yaqubi dan satu film Ameen Nayfeh. Ada juga program East Cinema yang menyoroti film-film dari negara konflik dan Indonesia Timur. Sedangkan untuk program pemutaran film lainnya yakni In This World, Tenggara, Puan Madani, Retrospeksi (Merayakan 50 Tahun Berkarya Christine Hakim), Madani Classic, Madani Kids, Madani Short, Madani Short Film Competition, Rangkai.id Film Compilation, dan Madani IFF X Binus University. Untuk film penutup MIFF 2023 adalah Animalia (Maroko, 2023) garapan Sofia Alaoui.
Film-film ini diputar secara estafet selama enam hari di berbagai ruang-ruang pemutaran film di Jakarta seperti di Kineforum, Epicentrum XXI, Metropole XXI, dan Binus University Alam Sutera. Adapun film-film ini ditayangkan, hasil pemilihan tim programer yang terdiri dari Arsiparis Film Lisabona Rahman, Direktur Program Aceh Film Festival Akbar Rafsanjani, Programer Film Indah Septy Elliyani, Anggota KAFEIN Shadia Imanuella Pradsmadji, dan Jurnalis Lepas Achmad Rifki.
Selain di malam film pembuka, selama enam hari orang-orang yang hendak menyaksikan film-film dari ragam program di MIFF, acap kali mengantre sekitar 30 menit sebelum penayangan. Mereka dipersilakan datang ke lokasi dan mengisi formulir, sehingga tak perlu terlebih dahulu memesan tiket film dan berebut.
Focus: Palestine
Mohanad Yaqubi jadi salah satu sutradara yang hadir dalam gelaran festival tahunan ini. Ia bertolak dari Belgia dan tiba di Indonesia selama 10 hari. Selain membuat film, Yaqubi aktif mendirikan beberapa kolektif film seperti Idioms Film yang berbasis di Ramallah. Ia juga salah satu pendiri Subverive Films, sebuah kolektif riset dan kuratorial yang berfokus pada praktik-praktik film militan. Bersama teman-temannya, Yaqubi kemudian mendirikan Palestine Film Institute yang bertujuan untuk mendukung, memajukan, dan melestarikan perfilman Palestina. Sejak 2017, ia sebagai periset tetap di School of Art (KASK) di Gent, Belgia.
Pada malam pembukaan film MIFF yang menayangkan R21 AKA Restoring Solidarity, Yaqubi bercerita mengenai perasaannya selama ini mengenai kesan sinema sebagai seni yang amat kebarat-baratan. Itulah yang membuatnya senang, kali pertama diundang di sebuah festival film yang mengusung tema islami. “Ini membuat saya lebih terhubung, membuat saya berpikir tentang bagaimana kita melihat lanskap, bagaimana kita membuat film di dunia Islam yang juga merupakan wilayah yang sangat besar,” ia menjelaskan.
Roll no. 21 atau R21 menjadi refleksi tambahan yang ditawarkan Yaqubi atas jelujur jahitan 20 film 16mm menjadi sebuah film dokumenter. Film-film itu sebenarnya dilindungi di Tokyo oleh gerakan solidaritas Jepang terhadap Palestina di masa lampau. Meski 20 film ini berbeda-beda, tak menjadikannya hanya sebatas trivia-trivia saja melainkan kolase audio visual yang menyampaikan cerita.
“Film-film yang saya buat dan film-film yang saya aspirasikan itu mengenai hubungan, tentang menjangkau dan menunjukkan bahwa telah ada konteks sejarah tentang solidaritas dan dukungan terhadap Palestina,” kata dia. Hal ini dikatakannya merujuk pada dukungan dari sudut-sudut dunia terhadap Palestina sudah terbangun, dan tak hanya berlandaskan agama saja. “Ini bukan hari ini saja, bukan juga hanya masalah agama atau berasal dari Islam, melainkan soal martabat manusia, aspirasi untuk keadilan,” lanjut Yaqubi.
Di Minggu siang, penonton memasuki Teater Sjuman Jaya Kineforum untuk menyaksikan dua film Yaqubi. Satu film dokumenter panjang berjudul Off Frame AKA Revolution Until Victory (2015), sementara lainnya berjudul No Exit (2014) sebuah film pendek berdurasi 11 menit saja. Sekitar 15 menit film ditayangkan, kursi-kursi depan berwarna hitam di teater bernuansa gelap itu diisi satu persatu. Hingga kedua film selesai diputar, kursi yang disediakan tak cukup menampung penonton sehingga harus duduk di lantai depan dan di antara kursi satu dengan kursi lainnya.
Usai penayangan film, Kritikus Film Hikmat Darmawan mengajak penonton untuk mendoakan warga Palestina yang sedang digempur misil Israel. Keluarga Yaqubi, termasuk ibunya, saat pemutaran berlangsung, sedang berada di Gaza. Ia menghubungi ibunya lewat pesan singkat WhatsApp, guna menanyakan keadaan di Jalur Gaza. “Ya, kami masih hidup,” kata Yaqubi membacakan pesan singkat ibunya di layar ponsel.
Off Frame bisa dikatakan sebagai perenungan atas perjuangan Palestina dalam menghadapi okupasi Israel dalam layar yang tampak. Arsip-arsip film dikumpulkan Yaqubi dari berbagai penjuru dunia guna menampilkan dengan cara apa Palestina direpresentasikan dalam kanal popular. “Arsip bagi saya bukan hanya soal masa lampau, melainkan pula untuk masa depan,” ujarnya.
Dalam film ini, nuansa perjuangan pun kental sekali dengan pilihan Yaqubi yang kerap kali menampilkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Dua kelompok yang secara konsisten menjadi kelompok terbesar yang mengiringi PLO yakni Fatah, didirikan pada 1959 dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) sebuah organisasi Marxis-Leninis dan sosialis revolusioner Palestina yang didirikan pada 1967.
Sementara No Exit menyajikan kepada penonton bagaimana rakyat Palestina dari generasi satu ke generasi lainnya untuk melarikan diri dari perang. Kasus seperti ini bisa ditemui dengan melihat orang-orang Afghanistan yang berada di beberapa kota seperti Medan, Pekanbaru, Batam, Jakarta, dan Makassar. Ada makna tersirat perihal penantian yang disampaikan Yaqubi dalam No Exit, yang bisa memantik penonton untuk menggemakan, “from the river to the sea, Palestine will be free!”
Misalnya, seorang penonton usai menyaksikan Off Frame dan No Exit, Dini Adanurani mengaku baru mengetahui banyak hal soal perjuangan Palestina setelah menonton arsip-arsip yang dijahit oleh Yaqubi. Hal itu bisa dimulai dari upaya-upaya Palestina untuk membuat pernyataan tentang eksistensi mereka melalui film, hingga upaya solidaritas dari bangsa-bangsa lain dengan perjuangan mereka. “Ketika Israel berusaha menghapus sejarah dan keberadaan Palestina dengan berbagai cara, arsip-arsip ini menjadi bukti yang sangat lantang akan perjuangan mereka yang sudah lebih dari 70 tahun,” kata Dini.
Apalagi, bagi Dini, ketika menonton Off Frame dan No Exit bertepatan dengan warga Palestina yang sedang dihujani milisi Israel, itu membuatnya campur aduk. Ada perasaan terenyuh dalam dirinya, mengingat perjuangan Palestina memakan waktu yang amat panjang dan tak kunjung berkesudahan. “Di sisi lain, timbul kesadaran pelan-pelan kalau kekejaman manusia yang merenggut hak sesamanya itu enggak ada habisnya,” ujarnya.
Tiga hari setelahnya, sisa satu film dalam program Focus On Palestine berjudul 200 Meters diputar di Teater Asrul Sani. Malam itu, menjelang pukul tujuh, satu persatu penonton memasuki teater. Kursi-kursi tetap dipenuhi penonton kendati itu adalah dua malam terakhir gelaran MIFF, dan di sekitar Taman Ismail Marzuki tepatnya di Madani Misbar, ada diskusi dan penayangan film bersama Christine Hakim. Namun, penonton dari berbagai kalangan duduk di kursi-kursi Teater Asrul Sani, seperti Aktris dan Aktivis Hannah Al Rasyid, juga ada Novelis Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Satu persatu memadati teater, menanti 200 Meters terbentang di layar.
200 Meters berkisah tentang keluarga yang terpisah jarak hanya 200 meter, namun terhalang tembok antara Israel dan Palestina. Dengan berbagai pergulatan, sang karakter Mustafa harus menempuh jarak 200 kilometer melintasi sudut-sudut Israel untuk bertemu dengan Istri dan anak-anaknya. Hal itu dilakukannya karena tak ada lagi daya untuk menyelundupkan dirinya ke sisi lain tembok.
Ifan Pandu Yaaziin, salah satu penonton film. usai menonton film ini, tampak sumringah. Ia menyukai film itu, dengan pengemasan konflik yang sederhana, tapi sangat sensitif, mudah dicerna, serta dekat dengan dirinya karena mencerminkan sebuah keluarga yang sederhana. “Hanya berjarak 200 meter tapi karena tembok pemisah antara Israel dan Palestina memunculkan konflik yang sangat merepotkan. Di satu sisi mereka punya masalah yang sederhana tapi kompleks, sangat menarik untuk diolah menjadi suatu film,” Ifan bercerita.
Ifan merasa terhubung dengan cerita dalam 200 Meters. Selain itu, ia juga menyukai musik di tiap-tiap adegan garapan Ameen Nayfeh itu. “Ini isu yang sedang terjadi. Kita orang Indonesia, harus melihat dari segala aspek karena masalah yang sederhana bisa jadi rumit, dan masalah yang rumit bisa jadi sangat rumit kalau kita tidak punya pikiran yang terbuka,” kata dia.
Sikap MIFF terhadap Perjuangan Palestina
Menurut Direktur Festival MIFF, Sugar Nadia Azier, menjadikan country focus sebagai tradisi yang dituangkan dalam program-programnya. Sebelumnya, MIFF mengangkat Focus on Tunisia, dan memang sejak lama diakui ingin membuat Focus on Palestine. “Cuma karena sumber daya kami tentang film Palestina terbatas jadi belum terlaksana,” terangnya.
Ia menawarkan, jika publik mengikuti perkembangan konflik di Palestina, menurutnya makin ke sini makin menyedihkan. “Solidaritas dengan teman-teman Palestina secara personal saya rasakan saat tahun lalu, saya di Jerman, saya menonton film-film dari Subversive Film pada perhelatan Documenta 15 dan berkenalan dengan Mohanad Yaqubi,” ujar Sugar. Di situlah ia menyadari bagaimana orang Jerman, media barat dan pemerintah Israel sangat otoriter dan menekan orang Palestina dan apapun dukungan solidaritas terhadap rakyat Palestina dianggap sebagai antisemit. “Saya menyadari bahwa perbincangan tentang ini sangat urgent, dan tidak mau menunda lagi untuk membuat program Focus: Palestina,” lanjutnya.
Sebab itu, Sugar menegaskan MIFF mengecam kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Hal itu mengingat bangsa Indonesia begitu keras melawan penjajah. “Bapak Soekarno sangat lantang mengatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka bagi rakyat Palestina kemerdekaan dan bebas menjalani kehidupan di tanah kelahirannya adalah hak asasi mereka,” jelasnya.
Program Focus on Palestine diharapkan mampu membuat penonton dan masyarakat melihat, mengalami, dan mendengar kisah rakyat Palestina. “Langsung dari perspektif mereka sendiri, langsung dari sutradaranya yang kami hadirkan, maka kita bisa bersama sama melihat dan ikut merasakan apa yg mereka alami,” ujarnya.
Menurutnya, sejauh ini publik digiring untuk melihat kisah Palestina dari sudut pandang bangsa lain atau bingkai dari media barat yang memiliki politik kepentingan. “Untuk mendukung Palestina bukan lagi soal sesama Muslim saja, tapi ini soal kemanusiaan.”
Kendati keempat film dalam Focus on Palestine tak mampu menggambarkan keseluruhan perjuangan Palestina, mendatangkan Yaqubi merupakan langkah yang lebih tepat bagi MIFF untuk membawakan sebuah program kepada penonton.
Kolektif yang berusaha mendistribusikan pengetahuan dan informasi sinema lewat kritik dan ekshibisi film. Didirikan di Pekanbaru pada 2017, berbasis secara nomaden.
Leave a Reply