Mania Cinema

Mohanad Yaqubi: Menghidupkan Arsip Film, Memupuk Ingatan Perjuangan Palestina

“…enough for me to remain//in my country’s embrace//to be in her close as a handful of dust//a spring of grass//a flower.”

-Fadwa Tuqan (Penyair Palestina)

Akun Solidarity Cinema (@solidaritycine) seliweran di linimasa akun Twitter saya, berbarengan dengan mencuatnya serangan milisi Israel di Jalur Gaza, Palestina. Akun yang fokus pada arsip film radikal secara gratis itu membuat utas film-film yang berkisah tentang perjuangan Palestina, sekaligus menawarkan donasi untuk tetap bisa mengurus perpustakaan film digitalnya. Bahkan tak tanggung-tanggung memberikan akses gratis di Plex Library. Setidaknya, saya telusuri ada empat akun dari Solidarity Cinema yang bisa kita gunakan untuk berselancar di antara ribuan film-film menyoal Palestina, salah duanya yakni film Mohanad Yaqubi, R21 AKA Restoring Solidarity (2022) dan Off Frame AKA Revolution Until Victory (2015).

Dalam gelaran festival tahunan Madani International Film Festival (MIFF) 2023, festival yang kerap bertemakan islami ini mengundang Yaqubi datang ke Jakarta. Ada tiga film Yaqubi yang diputar di MIFF 2023, di antara R21 dan Off Frame, ada pula film fiksi pendek No Exit (2014). Di tengah-tengah berlangsungnya festival, Mania Cinema menemui Yaqubi yang sedang berada di sekitaran Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Ia menyampaikan kekagumannya setelah mengetahui Mania Cinema hanyalah media non-profit yang tidak konsisten menulis ulasan film, dijalankan sejak di bangku SMA. Hal itu semakin akrab setelah Yaqubi mengeluarkan rokok dari saku bajunya, dan kami berbagi merek rokok yang sama.

Yaqubi bercerita sudah 10 hari di Jakarta. Ia bertolak dari Belgia sebab saat ini bekerja sebagai sebagai periset tetap di School of Art (KASK) di Gent, Belgia. Sebab itu, ia menyampaikan ingin sekali bisa mengakses film-film dan bacaan tentang sinema Indonesia tahun 1980an dan 1990an, apalagi soal reformasi dan urbanisasi kota. Padahal, dia sudah membuat daftar judul film yang ingin ditonton, namun tak menemukan aksesnya. Lagi pula, katanya, waktunya tak cukup. Namun, sepuluh hari di Jakarta dan mengikuti gelaran MIFF sudah membuatnya senang di tengah-tengah memikirkan keluarganya, khususnya ibunya yang saat ini berada di Jalur Gaza. Apalagi, dia bercerita sangat antusias, sebelum berlangsungnya MIFF sempat menonton beberapa film pendek resolusi rendah di Forum Lenteng.

Selain membuat film, Yaqubi aktif mendirikan beberapa kolektif film seperti Idioms Film yang berbasis di Ramallah. Ia juga salah satu pendiri Subverive Films, sebuah kolektif riset dan kuratorial yang berfokus pada praktik-praktik film militan. Bersama teman-temannya, Yaqubi kemudian mendirikan Palestine Film Institute yang bertujuan untuk mendukung, memajukan, dan melestarikan perfilman Palestina.

Mania Cinema berkesempatan mewawancarai Yaqubi tentang pandangannya mengenai sinema, pengarsipan film, sinema sebagai wadah perjuangan Palestina, dan kegiatan-kegiatannya dalam proses penggarapan film-filmnya.

Mohanad Yaqubi sebelum pemutaran R21 AKA Restoring Solidarity di Epicentrum XXI, Jakarta (Dok. MIFF)

Selain film pendekmu No Exit, R21 dan Off Frame menggabungkan kerja-kerja pengarsipan dengan narasi film. Maksud saya, mengapa memutuskan menggarap film-film seperti itu?

Wah, ini pertanyaan sulit, hahaha, pertanyaannya bagus sekali. Baiklah, jawabannya mungkin agak aneh, karena saya juga baru-baru ini menyadari apa yang saya lakukan. Sebenarnya saya lebih tertarik pada struktur, bukanlah pada narasinya. Mungkin ini karena saya seorang insinyur mesin. Saya sarjana di bidang mesin, jadi hal-hal tentang bagaimana berjibaku dengan struktur itu secara tak sadar saya terapkan dalam pembuatan film. Hal pertama yang harus kamu pikirkan tentang sebuah bangunan atau mesin adalah strukturnya, dan saya rasa itulah metodologi yang saya terapkan di kedua film tersebut. Struktur. Jika kamu menggabungkan berbagai hal dari film yang berbeda dengan cara tertentu, itu akan menghasilkan narasi. Tapi ini lebih merupakan narasi mekanis. Ini tak puitis, maka saya sebenarnya tak ingin menyebutnya sebagai narasi mekanis, mulai sekarang saya akan menyebutnya sebagai narasi anti-puitis. Itu tidak puitis. Saya tidak ingin menyebutnya sebagai narasi mekanis, saya akan menyebutnya sebagai narasi anti-puitis. Sebagaimana di dunia perfilman, sinema itu tentang puisi, tapi bagaimana anti-puisi bisa menghasilkan estetika juga, estetika sinematik.

Ya, aku menyaksikan filmmu itu seperti, ini bukan seperti sebuah trivia lho, ini bukan cuma kamu memotong film satu dan menggabungkannya dengan film lainnya. Filmmu bercerita, filmmu seperti berbicara kepadaku.

Begitulah yang terjadi jika kamu menganggap sinema sebagai linimasa, dan ini seperti pengorganisasian peristiwa-peristiwa dalam sebuah linimasa, di waktu yang sama. Maksud saya, baik R21 maupun Off Frame, saya hanya menyusun film-film itu berdasarkan tahun produksinya. Jadi, begitu ditempatkan satu sama lain, ia akan bercerita kepadamu. Seperti, ada peristiwa di tahun tertentu, tanpa saya harus menjelaskan kepadamu bahwa itu sedang terjadi, atau harus dengan langkah yang cerdas atau pemotongan yang cerdas, ya kita sudah mengetahuinya bahwa peristiwa itu terjadi tahun sekian, dan di tahun berikutnya. Kita melihat dan mengikuti perkembangan peristiwa, ruang, pakaian, dan sederet perkembangan lainnya yang membuat alam bawah sadar penonton bekerja. Saya akan mengatakan, alam bawah sadar itu bekerja seperti kamu bangun tidur kemudian pergi mencuci tangan dan muka, dan itu terjadi setiap hari. Dan begitulah sinema yang saya sukai, sinema yang menyerang alam bawah sadar kita. Kelihatannya dari jauh sederhana sekali, tapi ketika masuk, banyak sekali proses penyuntingan di filmnya.

Dan kamu hadir di salah satu filmmu, kamu tampak seperti sedang berjibaku dengan roll film, menggabungkan satu dengan lainnya. Itu terlihat sangat mekanis sekali.

Ya, saya keranjingan dengan bagaimana materinya, bagaimana sinemanya, maksud saya, ini sesuatu yang asing bagi saya. Ini hal lain. Saya tumbuh di era sinema digital. Jadi kamera pertama saya, film pertama saya diambil dengan Sony 150 mini DV. Jadi sebelumnya saya tidak pernah bersentuhan dengan hal semacam ini. Lalu saya punya Sony Mini 170 Panasonic, lalu DSLR, jadi saya selalu bertanya-tanya, alat apa ini? Bagaimana cara kerjanya?

Jadi ketika saya bergelut dengan arsip-arsip ini, hal itu tak hanya soal sejarah, itu juga memberikan saya akses ke hal-hal material. Dari segi materialitas proses, pemotongan juga. Menarik sekali mengerjakannya di Mediola, itu salah satu mesin pengeditan film, itu membuat kita benar-benar tidak bisa berhenti tepat pada frame-nya. Dalam digital, kamu selalu ingin mendapatkan frame yang tepat. Dalam film seluloid, karena itu di depan mata kita kemudian kita lihat yang lain, kecepatannya sesuai dengan tanganmu, dan kita yang menentukan mana yang ingin kita ambil, maka kemudian kita potong. Kita benar-benar memotongnya dalam artian fisik, terasa terpotong oleh waktu.

Saya tidak tahu apakah kamu pernah membaca sedikit soal Sergei Eisenstein. Dia semacam salah satu pendiri sinema realisme sosial di Uni Soviet. Dan dia banyak berbicara tentang penyuntingan sebagai kombinasi material, material mentah. Gambar menjadi suatu objek yang tidak berhubungan dengan ruang dan waktu. Ia mempunyai wujudnya sendiri. Dan itu bercerita. Ceritanya dibuat, diorganisasikan, disunting. Jadi saya membaca Eisenstein dan menjadi insinyur mesin dan bukan jadi orang yang berbasis teks (naskah film).

Bagaimana menyusun ceritanya, menyusun naskah di R21 dan Off Frame?

Saya tidak menulis naskah film sebagaimana umumnya, yang saya lakukan adalah riset. Begini caranya, jadi semacam hanya 10 halaman. Jadi saya hanya menulis utamanya tentang sejarahnya kemudian alasan film satu terhubung dengan film yang satunya. Lebih seperti abstrak dan lebih mudah dipahami. Naskah justru ditulis saat proses penyuntingan. Jadi saat kami duduk bareng sewaktu proses penyuntingan itu, kami lihat-lihat dan mulai memilih shot-nya.

Saya percaya ada momen dalam penyuntingan di mana kita akhirnya memahami diri kita sendiri. Analoginya seperti kami di Palestina sebelum ada lampu listrik, kami menjadikan potongan kain sebagai sumbu yang menjalar ke minyak, saat dibakar pakai api maka jadilah lampu penerangan. Persis seperti itulah cahayanya datang. Ibaratnya kamu terus berjibaku, mendalami materinya dan pada waktunya tampak jalan terangnya, dan itu di proses pengeditan. Kita akan mampu melihat dan mengenali gambar yang berusaha menyampaikan sesuatu kepadamu.

Di Off Frame, saya sedikit kelimpungan. Memang ada semacam naskah tapi saya campakkan saja. Saya kembali lagi setelah tujuh tahun penyuntingan. Tapi kalau R21 sudah jelas diputuskan dari awal bahwa kami akan membuat semacam cuplikan untuk setiap film atau seperti video pendek representasi, jadi kami membuat 20 sequence, setiap sequence dari satu film dan kami memotongnya sesuai urutan dan kami memilih lima menit dari setiap film, kami menempatkannya satu demi satu. Awalnya penyunting bertanya kepada saya, “jadi bagaimana cara menyusunnya?”, Saya bilang padanya, “mari kita susun berdasarkan tahun produksi.” Jadi filmnya berurut mulai tahun 1963, 1965, 1967, hingga 1980. Dan setelah kami susun, kami taruh, maka jadilah cerita. Setelahnya kami baru merasa perlu ada tambahan, sepertinya lebih baik kalau lebih dari 20 film. Maka saya buat saja judulnya R21 yang artinya 20 koleksi film dari Tokyo, jadi 21-nya semacam tambahan yang ada di luar layar, jadi arsipnya hidup. Sebuah arsip, akan mati jika kita tak menambahkan konteks ke dalamnya. Dengan begitu mulai ada dialog antara kejadiannya yang berhubungan dengan hari ini, dan itu sebabnya saya membuat judulnya R21.

Apa pemaknaanmu terhadap sinema?

Sinema bisa berarti segalanya, bisa jadi bukan apa-apa. Bisa berarti karir, bisa berarti gaya hidup, dan bisa juga menjadi kebencian di saat yang bersamaan.

Sinema seperti apa yang bisa kita buat di bawah okupasi?

Membuat film tentang Palestina di masa narasi sejarah yang ada saat ini bukanlah sebuah kemewahan, dan bukan sebuah hiburan, lain tidak hanya untuk menuju pembebasan, menuju mobilisasi. Membuat film yang mendidik dan menyebarkan pengetahuan bukan hanya kepada masyarakat Palestina, melainkan juga ke seluruh dunia. Tentu saja banyak film-film bagus dan penting yang sudah dibuat selama 30 tahun terakhir. Namun kita tetap harus menjaga tekanannya, ini perjuangan yang panjang, dan dalam waktu yang lama, mudah sekali kehilangan tempat pembelajaran dan arah yang seharusnya dan hanya menuju pembebasan Palestina dari rezim rasis dan sikap kolonialnya terhadap warga Palestina.

Mengapa kamu menggunakan sinema untuk menyuarakan perjuangan Palestina?

Sinema itu alat untuk mengabadikan waktu, dan mengubah realitas ke dalam seluloid atau digital. Proses transformasi ini membentuk pikiran saya, dan melaluinya, saya merasa dapat mengekspresikan diri dan pikiran saya, mengubahnya menjadi garis, bentuk, dan komposisi. Itulah mengapa saya menggunakan sinema untuk mengekspresikan perjuangan Palestina, untuk mengabadikan zaman kita, untuk mentransmisikan sejarah ke masa kini. Saya menemukan diri saya bergelut dengan arsip sinematik, layaknya bekerja dengan mesin waktu yang membuktikan keberadaan kita, sepanjang sejarah sinema sejak penemuannya.

Kami sedang berjuang. Awal-awal sekali saya membuat film pendek sekitar 10 film, semacam No Exit dengan tema yang berbeda-beda. Mereka lebih bersifat eksperimental, meliuk-liuk, bagai pertunjukan. Saya suka melakukan itu, tapi saya merasa setelahnya baiknya ada misinya. Yang pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan, menemukan film-film Palestina, arsip-arsipnya. Karena tak seorang pun, bahkan pemerintah, juga para sineas lama yang membuat film-film tersebut, kebanyakan dari mereka sudah meninggal dunia. Dan kebetulan banyak orang bercerita kepada saya dengan cerita yang berbeda-beda, sehingga saya merasa harus mewariskan pengetahuan ini kepada generasi kedua agar arusnya tetap mengalir. Begitulah ketertarikan saya yang tertuang dalam Off Frame dan R21. Di situ ada tanggung jawab, misi untuk menyuarakan perjuangan Palestina, yang juga untuk menyelamatkan ingatan Palestina.

Mengapa lewat arsip itu menjadi penting?

Ini memang agak ganjal, karena setahu saya dalam kata kerja Bahasa Indonesia tak ada past and future, hanya ada present. Begitulah arsip, ini tentang masa lalu dan juga tentang masa depan. Masa depan itu juga bagian dari arsip.

Dalam filmmu, pengarsipan bukan sekadar benda yang berada di gudang arsip, melainkan sesuatu yang menceritakan sebuah kisah, khususnya tentang perjuangan Palestina. Itu sangat mengesankan bagiku.

Dan begitulah seharusnya arsip bekerja, lebih tepatnya, menjadi bagian aktif dari masa kini, jika tidak maka arsip tidak akan mempunyai fungsi. Warga Palestina juga kehilangan arsip mereka, sebagian besar dijarah dan dirampok oleh Tentara Israel pada berbagai kesempatan, pada tahun 1948, 1967, 1982. Sebagai praktik okupasi, mereka terus menyerbu pusat-pusat tempat orang-orang Palestina menyimpan arsip mereka, baik di perpustakaan, universitas, pusat-pusat studi, dan baru-baru ini, mereka terus menyerang stasiun TV di tepi barat, mencuri Hard Drive yang mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga Palestina di tepi barat, dan di Gaza. Mereka mengebom gedung-gedung tempat kantor media berada. Penjajah Israel tahu, sebagaimana kekuatan kolonial lainnya, bahwa untuk mengendalikan orang-orang maka kendalikan ingatannya, dengan cara menyibukkan mereka dengan yang terjadi saat ini, hanya mampu memikirkan kelangsungan hidup. Begitu mereka, orang-orang yang berada di bawah pendudukan, mendapatkan kembali ingatannya, itu berarti mereka mengetahui musuh yang mereka lawan, mereka mengetahui taktik dan strategi mereka, kembali percaya diri akan kelangsungan narasi mereka. Itulah yang saya coba lakukan di kedua film tersebut (Off Frame dan R21) seputar arsip sinematik perjuangan Palestina.

Dalam No Exit, saya kira bercerita tentang menunggu. Apa yang sebenarnya ditunggu warga Palestina dan mentransformasikan itu ke dalam sebuah film?

Bencana tahun 1948 yang kami sebut Nakba ini membuyarkan linimasa bangsa, yang sedang berjuang melawan penjajahan Inggris di Palestina. Tiba-tiba, alih-alih merdeka, kami justru diabaikan dan digantikan oleh negara lain yang hanya diperuntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu saja, yang pada saat itu adalah para imigrasi Yahudi kulit putih yang mengungsi di Palestina, di antara rumah-rumah warga Palestina. Gangguan ini disusul dengan pengungsian paksa, banyak yang kehilangan tanah, sumber pendapatan, dan dihadapkan pada kekejaman yang dilakukan oleh milisi zionis. Kami harus mengungsi, menjadi pengungsi, bahkan di tanah airnya sendiri. Menunggu kapan bisa pulang, menunggu pulih berdasarkan waktu, dan itulah yang ditunggu oleh kedua karakter, di halte bus, di suatu tempat di diaspora, di mana waktu tidak masuk akal dan ruang ditangguhkan, menunggu untuk pulang ke rumah.

Selain itu, saya perhatikan ada perasaan traumatis di film No Exit.

Trauma rakyat Palestina bersifat multidimensional dan berlapis-lapis, merupakan trauma yang bersifat khusus dan temporal, yaitu kehilangan tanah, jati diri, visibilitas. Di samping kemampuan menentukan keputusan perihal garis keturunan dan keluarga, masyarakat Palestina tiba-tiba menjadi subjek negara-negara lain, baik negara Israel atau negara lainnya di mana orang-orang Palestina saat ini tinggal. Juga, mereka mendapati diri mereka seolah tiba-tiba kehilangan ingatan, mereka harus meninggalkan semua harta benda, foto keluarga, rumah, kuburan, pepohonan, yang mereka tinggalkan hanyalah sebuah gambaran mental, yang telah mereka coba gambar ketika menunggu di kamp pengungsi di Gaza dan di wilayah barat, di Yordania, Suriah, dan Lebanon. Gambaran tentang tanah air ini, diterapkan dalam berbagai bentuk seni, dalam gambar, musik, dan sinema, sebagai cara untuk membiarkan anak-anak dan cucu-cucu mereka berada di tempat yang seharusnya. Sangat menarik untuk melihat sejarah seni rupa Palestina bagaimana ia berfungsi sebagai mekanisme untuk menghilangkan trauma, membicarakannya dan menggambarkannya.

Bagaimana situasi perjuangan Palestina saat ini, apalagi saat ini sedang ramai. Mengingat di Off Frame kamu juga menyajikan tentang kegiatan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina)?

Lanskap politik Palestina terfragmentasi, tanpa pusat perwakilan sebagaimana yang coba dilakukan PLO pada tahun 1960an dan 1970an abad ke-20. Namun bukan berarti rakyat Palestina tercerai-berai, semakin banyak, sudah jelas bahwa mereka mendukung perlawanan, mereka mulai menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan kebebasan adalah dengan berdiri dan melawan, yang saya maksud bukan tentang perjuangan bersenjata, yang menurut saya merupakan cara yang paling mudah dan langsung, namun melakukan perlawanan dalam pengertian budaya, sosial, dan ekonomis. Untuk memikirkan cara dekolonisasi okupasi dari DNA mereka, struktur dan bahasa mereka, hal ini menjadi lebih jelas saat ini, dan mulailah melakukan mobilisasi di luar partai politik, dari masyarakat ke masyarakat, komunitas ke komunitas.

Artinya ini harus menjadi perjuangan semua orang.

Persoalan Palestina bukanlah persoalan agama, namun persoalan kemanusiaan, memperjuangkan kebebasan dasar dan hak asasi manusia, hak untuk melancong, hak untuk berbicara, hak untuk hidup, juga merupakan persoalan anti-kolonial. Musuh, intimidasi kolonial, selalu berusaha menggiring konflik ke dalam wilayah agama, menjadikannya seperti masalah antara penganut Muslim dan Yahudi, yang mana itu tidak benar. Komunitas Yahudi sudah ada dan hidup bersama Muslim selama berabad-abad, tanpa ketegangan. Komunitas-komunitas ini dilindungi atas penganiayaan yang mereka hadapi di Eropa selama zaman kegelapan dan seterusnya, dan menjadi makmur di negara-negara Islam dan menjadi bagian integral dari strukturnya. Ketegangan-ketegangan ini dimulai hanya ketika gerakan Zionis muncul dengan gagasan untuk mencaplok wilayah asli Palestina, menjadikannya sebuah koloni yang hanya memberikan hak kepada orang-orang Yahudi, dan terutama orang-orang Yahudi kulit putih. Dalam hal ini, menyebabkan orang-orang Yahudi dari negara-negara arab menghadapi diskriminasi. Ini yang membuat perjuangan kami jelas dan lantang. Kami menentang kecenderungan rasis pemerintah Israel dan sikap kolonialnya terhadap tanah air dan masyarakat pribumi.

Terakhir, kamu sempat mengatakan bahwa Cile adalah salah satu negara yang menonjol mendukung Palestina. Bisakah kamu menyebutkan sutradara atau film favoritmu dari Cile atau Amerika Latin?

Ada beberapa pembuat film yang saya suka dari Cile, namun penting untuk menunjukkan bahwa Cile menampung komunitas diaspora terbesar di luar Palestina, dan mereka jadi bagian dari kehidupan ekonomi dan politik sehari-hari negara tersebut. Bahkan dalam olahraga, salah satu liga pertama tim disebut Palestina, dan menggunakan bendera Palestina sebagai warnanya.

Penting juga disebutkan bahwa Miguel Littin yang membuat La Tierra Prometida dan banyak film lain yang menentang rezim Pinochet berasal dari Palestina. Saya juga menyukai karya Patricio Guzmán, Fernando Balmaceda yang belakangan saya temukan, karyanya bersinggungan antara lanskap dan politik.

Kolektif yang berusaha mendistribusikan pengetahuan dan informasi sinema lewat kritik dan ekshibisi film. Didirikan di Pekanbaru pada 2017, berbasis secara nomaden.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top