Mania Cinema

Peluk Erat Diriku dalam Percakapan, Memori, dan Penyesalan: 10 Film Pilihan Tentang Cinta dan Romansa

Seklise dari frasa “cinta tidak bisa lepas dari bagian kehidupan” tidak bisa kita nafikan bahwa itu ada benarnya. Cinta dan romansa adalah hal yang saling berkelindan satu sama lain. Ia tidak bisa dilepaskan. Di penghujung bulan penuh cinta ini, Redaksi Mania Cinema menyusun film tentang cinta dan romansa. Kami memilih film dengan keunikannya masing-masing dalam menghadapi mabuk cinta, gairah, bahkan patah hati. Keunikan ini diukur dari latar belakang dari karakter tersebut. Mulai dari cinta saat remaja, cinta saat kondisi mental sedang tidak baik-baik saja, cinta dengan kecerdasaan buatan, dan lain-lain.

I’m Cyborg but That’s Okay – 2006, Park-Chan Wook

Cinta sepertinya tidak mengenal tempat dan waktu. Hal ini diamini oleh gagasan Park-Chan Wook dalam menggarap film ini. Menceritakan dua pasien sakit jiwa yang saling jatuh cinta dan respon mereka terhadap perasaan jatuh cinta tersebut. Cha Young-goon (Im Soo Jung) adalah gadis muda yang dilarikan ke rumah sakit jiwa karena diduga memiliki kelainan kepribadian karena menganggap dirinya adalah manusia robot (cyborg). Ia bertemu dengan Park Il-Soon (Rain), pasien pengidap kelptomania yang disebabkan oleh skizofrenia. Gagasan film ini sekilas terlihat cukup kelam dan serius, namun, Chan-Wook mengaburkan hal tersebut dengan masuk langsung ke dalam pikiran dua karakter ini. Ketika masuk ke dalam imajinasi Young-goon, suasana film berubah menjadi fiksi ilmiah yang penuh dengan robot dan mekanik lainnya. Begitu juga ketika masuk di dalam imajinasi Il-Soon yang terasa imajinatif. Dua kombinasi respon karakter terhadap imajinasinya serta bagaimana mereka saling merespon cinta tersebut dalam kondisi mental mereka masing-masing adalah poin utama dalam film ini.

Submarine – 2010, Richard Ayoade

Jatuh cinta saat remaja terasa begitu meledak-ledak dan sangat bergairah. Ledakan dan gairah cinta remaja ini tergambarkan oleh protagonis, Oliver Tate (Craig Roberts) saat bertemu dengan Jordana Beevan (Yasmin Paige). Pada taraf gagasan, hubungan cinta Oliver dan Jordana tampak  seperti film cinta remaja kebanyakan yang memiliki alur: jatuh cinta-patah hati-kembali lagi. Namun, yang menjadi pembeda dari film ini adalah posisi Oliver sebagai pengamat atas hubungan cinta Ayah dan Ibunya yang semakin layu. Hal ini cukup jarang terjadi di film cinta remaja di mana hubungan orang tua menjadi amatan anaknya. Umumnya, orang tua hanya menjadi peran suportif atau penghalang bagi progress cinta si protagonis. Beberapa amatan Oliver kadang diaplikasikan ketika ia berhubungan dengan Jordana. Adanya amatan dari perspektif orang tua dan realitas atas pahitnya cinta adalah elemen tambahan yang jarang dibahas di film remaja kebanyakan. Belum juga, gaya tutur Ayoade yang membuat pembeda dari film kebanyakan. Ayoade menggambarkan film ini dalam tempo cepat ; memanfaatkan potongan suntingan ala Gelombang Baru Perancis dan gerakan kamera yang terlihat natural.

A Very Boring Conversation – 2006, Edwin

­Dibuka dengan sepasang pria muda dan wanita paruh baya saling mendengarkan musik dengan intim. Sesekali, wanita tersebut melahap mi dengan jarinya secara perlahan. Baru adegan pembuka, Edwin sudah menarik penonton dengan adegan yang cukup sensual. Edwin serasa membuat film erotis tanpa adegan telanjang atau ciuman. Edwin mengeksplor gairah dan cinta lewat eksplorasi gerak-gerik tubuh dan ruang. Sejak adegan awal, dua karakter ini sudah bisa ditebak bahwa mereka saling memiliki ketertarikan satu sama lain. Wanita yang memakan mi dengan cara yang tak biasa dan cenderung erotis, dan juga pria yang menyaksikan wanita tersebut asyik memakan mi. Eksplorasi ketertarikan gairah dan cinta lewat tubuh ini berlanjut ketika sang pria sedang membuat kata sandi untuk wanita tersebut. Kata sandi tersebut memiliki pertanyaan pribadi, dan dari pertanyaan tersebut diketahui bahwa pekerjaan wanita itu dulu adalah seorang pramugari. Mendengar hal itu, Pria tersebut meminta wanita itu untuk mempragakan prosedur keselamatan. Saat adegan ini, eksplorasi Edwin akan tubuh mulai dilihat ketika pria melihat wanita dan kamera yang fokus melihat wanita tersebut. Eksplorasi akan tubuh dan gaya tutur visual dalam menghadirkan rasa gairah dan cinta tanpa adegan telanjang atau ucapan “aku cinta kamu” merupakan keunggulan dari film ini.

A Girl Walks Home Alone at Night – 2014, Ana Lily Amirpour

Bahasan cinta memang bukan hal yang utama di film ini. Namun, ketika itu hadir, gagasannya cukup unik. Film ini menceritakan seorang vampir perempuan yang berjalan sendirian setiap malam mencari mangsa (yang kebanyakan adalah laki-laki). Laki-laki yang menjadi mangsa biasanya adalah produk dari kultur patriarki yang tidak bisa menghargai perempuan dan melakukan tindakan kasar kepada perempuan.  Fokus film lebih mengarah ke sana. Namun, ketika vampir perempuan ini bertemu dengan pria bernama Arash dan memiliki ikatan terhadap itu, di sinilah sisi menarik film terhadap cinta muncul. Dalam tipikal film vampir cinta seperti ini, yang menjadi vampir adalah laki-laki. Vampir laki-laki memiliki ketertarikan terhadap perempuan biasa yang tergambarkan lemah tanpa lindungan vampir laki-laki. Tipikal film seperti ini bisa dijumpai di Twilight (2008) atau Warm Bodies (2013). Film ini menyampaikan hal sebaliknya, vampir perempuan dan laki-laki manusia yang saling memiliki ketertarikan. Tak jarang dalam beberapa adegan vampir perempuan mencoba untuk setidaknya melindungi laki-laki tersebut dengan cara yang subtil. Penggambaraan karakter mereka juga setara dan tidak nampak saling berkebutuhan. Hal inilah yang menjadi daya tarik untuk film ini.

What They Don’t Talk About When They Talk About Love – 2013, Mouly Surya

Banyak cinta yang mungkin bermula dari pandangan atau manisnya kata-kata. Namun, dengan keterbatasan indra yang dimiliki, apakah mungkin bagi seseorang untuk bisa merasakan cinta? Pertanyaan inilah yang dijawab Mouly Surya lewat para remaja penghuni SLB dalam semesta Don’t Talk Love. Ada Diana (Karina Salim) pengidap low vision yang diam-diam menyukai Andhika (Anggun Priambodo) yang buta. Diana yang baru memasuki masa pubertasnya melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian Andhika.

Ada pula Fitri (Ayushita Nugraha) yang mengalami kebutaan sejak lahir, rasa penasarannya akan hal-hal supranatural mengantarkannya bertemu Edo (Nicholas Saputra), anak penjaga warung yang bisu dan tuli, yang menyamar sebagai hantu dokter dan mendekati Fitri. Keterbatasan yang mereka miliki tidak menjadi penghalang untuk mengenal dan mengeksplorasi cinta. Diana dan Andhika akhirnya saling mengutarakan perasaan. Fitri dan Edo pada akhirnya bisa bersama dan saling mencintai. Dengan karakternya yang ditampilkan tidak jauh beda seperti remaja pada umumnya, ditambah pula dengan sekuens alternatif di mana karakternya menjadi normal, Don’t Talk Love kian menekankan bahwa setiap manusia bisa merasakan manisnya cinta.

Amour – 2012, Michael Haneke

Sayangnya, cinta tidak selamanya manis. Acap kali ia berakhir tragis, seperti hubungan Georges (Jean-Louis Trintignant) dan Anne (Emmanuelle Riva) yang merupakan pensiunan guru musik. Cinta di sini bukan perihal romantisnya hubungan mereka, melainkan bagaimana cinta punya sisi kelamnya tersendiri. Kehidupan pasangan yang sudah tua renta itu semula baik-baik saja sampai suatu saat Anne terserang stroke. Hubungan mereka diuji. Georges tentu masih mencintai Anne, ia setia merawat sang istri seorang diri, menurut untuk tidak membawa Anne ke rumah sakit. Namun, Georges juga tak kuasa menyaksikan kondisi Anne yang semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Kehilangan sosok yang dicintai memang menyakitkan, tetapi menyaksikannya terus menderita juga sama menyakitkannya.

Eternal Sunshine on The Spotless Mind – 2004, Michael Gondry

Cinta adalah sesuatu yang kompleks. Ia bisa menyatukan dua orang dengan kepribadian berbeda, seperti Joel (Jim Carrey) yang pendiam dan melankolis dengan Clementine (Kate Winslet) yang impulsif. Keduanya tampak saling melengkapi, hingga Clementine menghapus Joel dari memorinya lewat bantuan Lacuna Inc.. Joel memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Namun, di alam bawah sadarnya, Joel menyadari bahwa ia dan Clementine masih saling mencintai.

Script dari Charlie Kaufman menjadikan film ini begitu luar biasa. Film ini juga menjadi pengingat bahwa cinta bekerja dengan caranya sendiri. Joel dan Clementine ternyata pernah menjalani hubungan sebelumnya. Mereka bertemu, saling cinta, berkonflik, menghapus memori tentang satu sama lain, dan bertemu lagi, berulang kali.

Nights and Weekends – 2008, Greta Gerwig & Joe Swanberg

Seperti film-film Mumblecore pada umumnya, Nights and Weekends fokus pada hubungan personal berusia 20-30 tahun, yang secara romantis menyajikan kesulitan suatu hubungan. Namun, film ini melangkah jauh hingga menyentuh titik paling personal dan intim lewat garis besar hubungan jarak jauh. Greta Gerwig dan Joe Swanberg sebagai sutradara sekaligus pemeran, secara telanjang menjabarkan keintiman-keintiman dalam Nights and Weekends melalui pergulatan emosional, keraguan diri, kecemasan akan masa depan, dan perubahan-perubahan di diri masing-masing dalam suatu hubungan. Perubahan diri itu menjadi kontras karena cerita hubungan jarak jauh, di mana kesunyian menjadi makanan sehari-hari dan hanya bisa bertemu di akhir pekan. Nights and Weekends menelanjangi hubungan manusia, baik secara konteks maupun visual.

Her – 2013, Spike Jonze

Her memungkinkan penonton untuk melihat sebuah alternatif hubungan romansa manusia. Alih-alih seperti fiksi ilmiah kebanyakan—begitu sering bercerita soal kepahlawanan yang bertungkus lumus guna kehidupan ideal dan berhasil menggapainya—Her justru akrab dengan kekalahan-kekalahan yang sebenarnya dekat sekali dengan kita, sama sekali tidak heroik. Spike Jonze mengemasnya dengan sangat baik sehingga fiksi ilmiah tidak lagi terkesan sebagai ‘mitologi teknologi modern’. Her menitikberatkan pada kesunyian individu. Kesunyian dalam Her berangkat dari perasaan tertekan, menutup diri, dan sifat kepribadian seseorang. Lebih dari itu, alternatif hubungan romansa manusia menjadi obatnya, saat Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) membeli sistem operasi bersuara wanita yang dirancang menyesuaikan diri konsumen, dan tentu saja Theodore terpesona sehingga sistem itu menjadi teman sehari-harinya hingga melangkah lebih jauh, sebagai rekanan untuk masturbasi. Sepanjang perjalanan hubungan Theodore dan sistem operasi bersuara wanita bernama Samantha (Scarlett Johansson) itu, sepanjang itu pula potret kekalahan manusia di dunia yang sengkarut ini disajikan.

The Worst Person in the World – 2021, Joachim Trier

Berbicara soal keraguan memang tak ada habisnya. Hal itu tak mengenal apakah kamu mahasiswa atau sudah menginjak usia 30an tahun—keraguan senantiasa hadir di kehidupanmu. Tampaknya itu yang ingin ditampilkan dalam The Worst Person in the World. Kita tenggelam dalam keraguan-keraguan Julie (Renate Reinsve) di kehidupannya sepanjang film. Itu tampak di awal sekali saat film ini menarasikan keragu-raguan Julie akan jurusan yang dipilihnya di perguruan tinggi, sehingga ia bolak-balik pindah jurusan. Kemudian masuk pada urusan romansa, tak jauh beda, ia juga meragukan hubungannya dan berpindah-pindah dari pria satu ke pria lainnya. Tiap-tiap ketegangan dalam film ini berangkat dari keraguan Julie secara personal. Uniknya film ini tidak terkesan menghakimi perempuan, karena identitas diri menjadi titik untuk mengidentifikasi masalah, dan bagaimana cara menyelesaikannya. The Worst Person in the World memantapkan kita bahwa keragu-raguan atau sikap labil tak hanya ada pada perempuan, ia tak mengenal siapa kamu, ia seperti teman lama yang bersua kembali—datang dan pergi.

Disusun oleh : Bagus Pribadi, Galih Pramudito, Shafa Salsabilla

Desain oleh : Bagus Pribadi

Kolektif yang berusaha mendistribusikan pengetahuan dan informasi sinema lewat kritik dan ekshibisi film. Didirikan di Pekanbaru pada 2017, berbasis secara nomaden.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top