Mania Cinema

Amanda Nell Eu: Menciptakan Imaji Sinematik dari Perasaan Keterasingan

Perkenalan saya kepada karya Amanda Nell Eu adalah saat SMA. Saat itu saya sedang membaca katalog festival Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2017, di kompetisi film pendek internasional, ada film Malaysia berjudul Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu (2017). Visual cuplikan filmnya cukup menarik perhatian, berupa seorang gadis berkuku panjang yang memiliki jejak darah di sekujur bibirnya. Dikarenakan akses kala itu, saya belum menonton filmnya. Saya baru bisa mengakases film itu saat pemutaran daring yang diadakan Kineforum di pertengahan pandemi pada 2020. Pengalaman pertama menonton film Nell Eu adalah Vinegar Baths (2019) saat merantau ke Yogyakarta pada perhelatan JAFF 2019.

Menonton karya Nell Eu seperti menempatkan diri pada orang yang terasing. Sejujurnya ketika pertamakali menonton Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu dan Vinegar Baths, saya tidak terlalu paham dengan detail dari cerita di dua film tersebut. Tapi, ada perasaan yang selalu membekas ketika menonton karya Nell Eu. Kamu seolah dipojokkan sebagai protagonis, merasa terasing dan merasakan sesak di dada.

Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu berlatar pada lanskap rural Malaysia, cukup terasa dekat dan familiar dengan lanskapnya. Di film ini fokus pada protagonis yang diasingkan karena ia menjadi Kuntilanak dan menjadi ancaman di desanya. Perasaan dipojokkan dan terasing ini kembali teringat dan terpicu dikarenakannya. Di Vinegar Baths, Nell Eu bermain pada ranah yang lebih abstrak dan warna visual yang lebih kontras. Walaupun abstrak, perasaannya masih membekas, dan terasa sesak. Tak hanya memberikan perasaan sesak dan terasing, melainkan juga kekaguman saya dengan usaha Nell Eu menggabungkan elemen tradisi dan kontemporer dengan gaya intrepretasinya sendiri.

Contohnya pada Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu membahas bagaimana Kuntilanak yang dikucilkan dengan tutur sinematis yang cukup kontemporer, bidikan-bidikannya mengingatkan saya pada bidikan-bidikan dalam film-film Yorgos Lanthimos, terasa absurd namun juga indah. Vinegar Baths juga serupa, ia membahas mengenai kisah Penanggal/Kuyang dengan sentuhan sinematis modern.

Dua film pendek ini bermuara dalam karya debutnya berjudul Tiger Stripes (2023). Kali ini ia mengambil elemen tradisi mitos Siluman Harimau atau istilahnya dalam Sumatera Barat, Inyiak Balang. Tentunya, intrepretasi Siluman Harimau ini dikemas dengan tutur Nell Eu yang nyentrik dan sedikit hyper-realistic. Saya menonton Tiger Stripes pada perhelatan JAFF 2023. Saya sempat bertemu dengannya. Tangan saya bergemetar dan berkeringat, bahasa Inggris saya tiba-tiba lebih jelek ketimbang kemampuan bicara bahasa Inggris anak SD. Saya canggung setengah mampus untuk mengajak berfoto, tapi ia dengan senang hati memperbolehkan saya foto dengannya. Setelah itu, saya mengajak wawancara, tapi karena ia ingin melanjutkan perjalanan ke Singapura untuk Singapore International Film Festival, ia mengajak wawancara dilakukan secara daring.

Mania Cinema berkesempatan untuk berbicara dengan Nell Eu. Kami mengajaknya mengobrol mengenai bagaimana perasaan-perasaan keterasingan menjadikan bensin dalam karya-karyanya, tentang bagaimana ia menyukai film horor, konteks budaya dan tradisi di dalam karya-karyanya. Tak hanya itu, kami juga mengobrol tentang bagaimana menciptakan ruang aman selama proses pengambilan gambar sebuah film.

Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu (2017)

Kamu tumbuh di Inggris, menyelesaikan kuliah dan menetap cukup lama di sana. Namun, film-filmmu menceritakan budaya dan kebiasaan orang Malaysia dengan cukup detail. Kamu sering berpindah-pindah antara Inggris dan Malaysia. Apakah hal ini berpengaruh dalam kepiawaianmu sebagai sineas?

Aku sebenarnya lahir di Malaysia dan pindah ke Inggris ketika berusia 11 tahun. Setelah itu, aku menetap sekitar 17 tahun di Inggris dan balik ke Malaysia setelahnya. Sebab itu, aku selalu merasa terasing di mana pun aku berada. Di Inggris, aku merasa terasing, wajahku tak mirip dengan orang-orang di sana, dan terkadang aku tak terlalu diterima oleh orang-orang sana. Jadi, ya, aku merasa seperti turis. Namun, ketika kembali ke Malaysia pun aku merasa terasing lagi. Soalnya, cara bicaraku berbeda dengan orang kebanyakan di Malaysia. Secara tingkah laku pun aku dicap agak “kebarat-baratan” sama orang-orang sana. Jadi, ya, untuk sekali lagi aku merasa kaya turis.

Untuk merespon hal ini, aku membuat film pendek, Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu tentang Pontianak (Kuntilanak). Menurutku, Kuntilanak adalah representasi terbaik dalam menggambarkan perasaanku sebagai “orang yang terasing” ini. Aku sangat mengagumi sosoknya; dia anggun nan indah, kuat dan pemberani tapi masyarakat takut kepadanya, alhasil ia tidak diterima oleh masyarakat. Perasaan keterasingan ini cukup menggambarkan bagaimana aku mencoba beradaptasi sebagai orang Malaysia. Tiger Stripes juga membahas hal yang sama, tentang seorang gadis remaja yang mencoba untuk menyesuaikan diri dan akhirnya tidak diterima oleh masyakarat.

Tapi, menurutku, kamu sebagai sineas tak berjarak terhadap bahasan dalam film-filmmu. Padahal, film-filmmu acapkali berlatar di pedesaan di Malaysia, di mana hal ini tidak familiar bagimu. Bagaimana kamu sebagai orang Malaysia yang menetap lama di Inggris memiliki koneksi yang cukup terhadap subjek/objek di filmmu?

Ketika aku bilang bahwa aku merasa terasing, itu menyiratkan tentang kebingunganku terhadap identitasku sendiri. Mungkin, sebagian orang tidak mengganggapku sebagai orang Malaysia, tapi menurutku, aku adalah orang Malaysia. Berangkat dari keresahan mengenai identitas ini, hatiku jadi tergerak untuk membuat film mengenai cerita-cerita masyarakat Malaysia. Cerita-cerita masyarakat Malaysia ini yang menjadi motivasiku untuk membuat film. Selain itu, walaupun aku menetap lama di Inggris, lokasi dan latar di bagian rural Malaysia masih menjadi bagian memoriku ketika kecil. Cerita-cerita masyarakat dan memori akan latar alam inilah yang menjadi kombinasi untukku memperkuat identitas sebagai orang Malaysia. Dan selama karir perjalanan filmku, hal ini memperkuat rasa banggaku sebagai orang Malaysia.

Film pendek pertamamu, Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu menampilkan sosok Kuntilanak sebagai tokoh utama. Selain alasan representasi mengenai keterasinganmu, mengapa memunculkan sosok Kuntilanak? Mengapa tidak sosok hantu yang lebih khas Malaysia, seperti Orang Minyak misalnya, yang kamu tampilkan?

Aku rasa di Malaysia, Kuntilanak atau Pontianak adalah sosok hantu yang legendaris. Kalau mislanya di Hollywood, Drakula adalah sosok hantu yang cukup legendaris, nah, mungkin ekuivalennya di Malaysia adalah Kuntilanak. Tapi, sejujurnya ide untuk film ini dimulai dari lelucon saja, sih, haha. Awalnya, aku ingin membahas mengenai persahabatan, semacam caraku untuk menunjukan bagaimana aku mencintai sahabatku. Tapi, di pikiranku, aku berpikir, “Bagaimana kalau sahabatku itu Kuntilanak? Pasti dia keren deh!” dan aku rasa itu ide yang keren! Jadi, film ini bercerita tentang persahabatan dan bagaimana seorang teman (dan juga masyarakat) menerima seorang perempuan yang menjadi Kuntilanak.

Kamu sepertinya sangat memuja Kuntilanak. Aku pribadi tak terlalu suka dengan horor dan terkadang takut dengan Kuntilanak. Mengapa kamu sangat memujanya?

Jika menyampingkan asal-usul cerita Kuntilanak atau Pontianak, karena aku rasa Indonesia dan Malaysia memiliki asal-usul tersendiri tentang bagaimana sosok ini muncul. Coba lihat saja deh penampilan dia, keren banget tau! Dia itu cantik tapi juga mengerikan karena dia sosok yang menakutkan. Tapi, bagiku, Kuntilanak menjadi representasi tentang ekspektasi perempuan yang selalu dituntut menjadi cantik/indah. Bagiku, perempuan bisa menjadi cantik tapi juga kadang jelek, dan hal ini yang menurutku menjadi hal yang kuat. Kekuatan ini adalah bahwa dia menjadi hal yang menakutkan, khususnya menakutkan bagi laki-laki! Ini yang buat aku suka banget sama dia. Soalnya, dari dulu perempuan itu takut untuk keluar rumah sendiri, tapi perempuan yang satu ini, sang Kuntilanak ini enggak takut keluar rumah sendiri dan menghadapi laki-laki. Hal ini yang buat aku kagum banget sama dia! Aku rasa kalau aku menjadi Kuntilanak, aku merasa lebih nyaman untuk keluar malam sendirian.

Wah, sebuah pandangan yang cukup menarik! Selain Kuntilanak, di film-filmmu juga acapkali menampilkan transformasi tubuh seperti di Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu dan Tiger Stripes. Dalam sebuah wawancara, kamu menyebutkan kalau kamu suka dengan konsep transformasi tubuh atau yang berhubungan dengan body horror, mengapa demikian?

Jawabannya sesederhana karena aku suka film horor! Haha. Sejak remaja, aku sudah terbiasa menonton film horor. Semakin mengerikan dan menjijikkan suatu film tersebut, aku malah semakin suka! Aku menemukan kenikmatan dalam merasakan kengerian dan ketakukan saat menonton film horor. Hal ini sudah menjadi lumrah dan alamiah bagiku. Jadi, ketika aku beranjak dewasa dan ingin membuat film, hal yang terpintas pertama adalah mengenai horor ini.

Untuk body horror, mungkin, karena dalam membuat film, aku suka menggunakan tubuhku dalam prosesnya. Mungkin konsep ini terdengar sedikit abstrak dan absurd, tapi intinya, ketika membuat film, hal-hal yang kulakukan adalah berupa respon yang kurasakan dengan tubuhku sendiri. Aku selalu memulai membuat film dari apa yang kurasakan dari tubuhku secara emosional atau fisik. Contohnya, ketika aku mau membuat film, aku merasakan ada rasa sesak di dadaku, dan ingin perasaaan ini segera tersalurkan. Respon tubuh ini yang kurasakan dan berubah menjadi insting. Saat membuat film, aku selalu menggunakan insting ketimbang intuisi.

Timku selalu berkata bahwa aku mengambil keputusan dengan cepat, karena aku tidak mau berpikir dengan keras, jika aku berpikir, maka akan memperlambat semuanya. Intinya, aku suka menggunakan respon tubuhku, entah itu secara fisik atau emosional untuk membuat film. Mungkin, respon tubuh ini yang buatku jadi suka dengan body horror. Namun, lain dari hal itu, aku suka menantang diriku tentang apa yang sebenarnya dimaksudnya dengan “horor”? Apakah perasaan ketika kamu membenci tubuhmu sendiri? Perasaan ketakukan dengan transformasi tubuh? Perubahan yang ada di dalam tubuh? Atau hal yang lebih besar dari semua ini. Jadi, aku juga suka bermain dalam ranah itu juga.

Berbicara mengenai transformasi tubuh dan body horror, filmmu seringkali bermain antara aspek “yang nyata” dan “yang tidak nyata”. Tidak seperti film-film monster atau hantu kebanyakan yang menjadikan monster atau hantu sebagai objek ketakukan, kamu malah menjadikan mereka sebagai subjek utama dalam film. Monster atau hantu dalam film-filmmu terasa seperti manusia. Mengapa demikian?

Pertama, aku suka banget sama monster dan hantu! Kedua, aku berpikir bahwa monster atau hantu yang kuciptakan dalam film-filmku adalah sosok yang disalahpahami oleh masyarakat. Masyarakat cenderung melabeli dan menyalahartikan eksistensi mereka. Ini sebenarnya refleksi masyarakat sehari-hari kita juga. Aku rasa manusia di dunia nyata lebih menyeramkan ketimbang monster atau hantu yang kuciptakan.

Kita sebagai masyarakat suka memberi label terhadap suatu orang atau kelompok masyarakat yang lain. Seperti, terkadang ada orang yang menyatakan agar tak bergaul dengan orang tertentu karena mereka menakutkan dan melabeli mereka sebagai “monster” atau “hantu”. Terkadang, konstruksi pemikiran seperti ini menjadi fatal karena kita sebagai masyarakat kerap melegitimasi dan tidak mempertanyakan hal tersebut. Mempertanyakan tentang bagaimana kita berprasangka kepada orang, melabeli orang dan lain-lain.

Pada akhirnya, manusia dengan konstruksi berpikir seperti ini yang lebih menyeramkan ketimbang monster atau hantu yang berdarah-darah dan memiliki kuku yang menyeramkan. Maka dari itu, aku pribadi belum ingin membuat film yang “realistis”, karena bagiku dunia nyata itu sangat mengerikan. Permainan antara “yang nyata” dan “tidak nyata” dalam film-filmku adalah sebuah eskapisme terhadap dunia nyata yang memuakkan.

Sebentar, kamu menyatakan bahwa filmmu tidak “realistis”. Bagiku, filmmu sangat realistis karena menceritakan tentang dunia nyata. Jadi, apa yang “realistis” bagimu?

Ya, benar! Filmku secara sinematis terlihat “realistis”. Maksudku dari film yang “realistis” ini adalah film dengan tanpa adanya monster atau hantu. Karena, dalam film-filmku, aku menciptakan hantu, monster atau apapun itu sebagai simbol harapan. Contohnya, kamu bilang bahwa kamu takut akan sosok Kuntilanak, tapi bagiku, di filmku Kuntilanak adalah simbol dari harapan. Jika aku tak menaruh harapan pada sosok ini, aku rasa filmku akan terasa kosong. Aku ingin menciptakan semesta di mana sosok yang berbeda dan ditakuti oleh masyarakat, seperti Kuntilanak ini, memiliki harapan yang lebih luas lagi.

Ngomong-ngomong soal film “realistis”. Dalam sebuah wawancara, kamu bilang kalau lagi mengembangkan cerita untuk filmmu selanjutnya, yang berlatar pada zaman kolonial Malaysia. Bagiku, itu terdengar sangat realistis, bisa cerita lebih mengenai proyek itu?

Tenang, sepertinya nanti itu filmnya bakal ada monster atau hantunya juga, deh! Haha, jadi enggak begitu realistis juga, malah aku rasa akan lebih gelap, sih. Film yang sedang aku kembangkan ini, sekali lagi, berasal dari hal yang kurasakan secara personal. Dalam proyek ini, aku mencoba untuk membahas leluhurku sendiri. Leluhurku berasal dari Tiongkok, aku ingin membahas bagaimana keluarga ini merespon struktur patriarki pada zaman kolonial Malaysia.

Pada proyek ini, aku ingin melibatkan tema gothic. Pada umumnya, tema gothic sangat melekat dengan tata artistik rumah dan bangunan yang ikonik. Di proyek ini, aku akan fokus pada rumah dan keluarga Tionghoa yang sangat percaya dengan ajaran Konfusianisme. Ditambah juga membahas bagaimana struktur patriarki dan konstruksi masyarakat. Aku ingin mempertanyakan dan menantang kembali mengenai nilai-nilai tradisional yang ada di dalam masyarakat ini.

Wah, semoga proyek selanjutnya lancar, ya! Dalam filmmu, kamu sering menempatkan subjekmu di sebuah struktur masyarakat yang menolak akan kehadiran dari subjek ini. Di Vinegar Baths pendekatanmu terlihat lebih abstrak, tak terlalu fokus kepada masyarakat Malaysia seperti di film sebelumnya, tapi mengandalkan bentuk filmnya. Sebenarnya apa yang ingin kamu sampaikan dalam film ini?

Film ini bercerita tentang Penanggal, kalau di Indonesia, Istilah Penanggal apa, ya?

Penanggal itu hantu yang makan janin bayi, kan? Kalau di Indonesia istilahnya, Kuyang.

Oh iya itu, apapun itu intinya sama saja, haha. Dengan proyek ini, pendekatanku memang lebih sedikit abstrak dengan imajinya dan tak terlalu fokus dengan pakem naratif yang ada. Jadi, bisa dilihat kalau di Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu memiliki narasi, latar, dan konteks budaya yang lebih spesifik, di Vinegar Baths aku sengaja membuatnya lebih abstrak, aku ingin mengeksplor kemampuan visualku dalam film ini.

Seperti film sebelumnya, ide film ini berawal dari sebuah candaan, “bagaimana ya kalau filmku yang selanjutnya bercerita tentang Penanggal?” Jadi, aku sempat berpikir, kalau misalnya aku menjadi Penanggal, aku ingin kerja di klinik bersalin supaya bisa dapat makanan gratis, haha. Setelah itu, terlintas dalam pikiranku, bagaimana jika sosok Penanggal/Kuyang yang sering dianggap jahat ini malah mencoba untuk menyelamatkan perempuan yang tak bisa aborsi karena status sosial atau tak tahu cara yang aman? Sosok Penanggal inilah yang ingin kutampilkan dalam Vinegar Baths.

Sekali lagi, di proyek ini, aku kerap membayangkan bagaimana makhluk yang sering diasingkan oleh masyarakat karena dianggap jahat dan menyeramkan memiliki perasaan? Memiliki nilai-nilai yang sebenarnya bermanfaat bagi yang lain?

Di Vinegar Baths terasa lebih suram karena membahas mengenai otonomi tubuh seorang perempuan, aborsi dan bagaimana merasa terpisah dan berjarak dengan tubuh kita sendiri. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan banyak perempuan. Karena, perempuan acapkali merasa bahwa tubuhnya bukan miliknya sendiri, terasa bahwa tubuh kami milik yang lain, seperti ada kekuasaan lainnya selain dari mereka sendiri yang mencoba untuk mengontrol tubuh kami. Seperti ada relasi kuasa yang mengatur tentang bagaimana kami harus berbusana, mengurus kesehatan medis, dan lain-lain. Hal ini yang kurasa membuat Vinegar Baths terasa lebih suram.

Vinegar Baths (2019)

Wah, berarti enggak jauh-jauh dari relasi kuasa juga, ya. Ngomong-ngomong soal itu, di film panjang debutmu, Tiger Stripes kerap menampilkan kondisi gadis remaja yang terjebak dalam kuasa yang ada di rumahnya, sekolahnya, bahkan masyarakat itu sendiri. Apakah niatanmu untuk membuatnya seperti itu?

Ya, tentu! Aku kepengin membuat film ini seperti cerita dongeng. Cerita dongeng itu kan sebenarnya cerita sederhana yang memiliki konteks sosial berlapis dan berdasarkan keadaan masyarakat tersebut. Konsep ini yang ingin kuterapkan dalam film ini. Membahas bagaimana yang berkuasa bisa mengadili gadis remaja dan bagaimana yang berkuasa bisa mendikte dan menciptakan imaji dari bagaimana seorang perempuan bersikap. Aku tidak mencoba untuk membuat siapa yang salah dan benar, tapi hanya ingin mempertanyakan, apakah ada ruang untuk gadis remaja menjadi dirinya sendiri? Begitu, sih.

Berarti, apa itu alasanmu menentukan latar film ini di pedesaan Malaysia? Untuk mendapatkan suasana dari “cerita dongeng”-nya?

Iya, benar! Aku rasa karena konsepnya dibuat seperti cerita dongeng, aku menentukan latarnya di pedesaan Malaysia. Bagiku, cerita dongeng selalu berlatar di negeri nun jauh di sana, pasti latarnya seperti itu kan? Walaupun begitu, cerita dongeng selalu memiliki nilai-nilai yang sifatnya universal. Maka dari itu menurutku latar pedesaan adalah pilihan yang tepat. Selain itu, aku ingin menekankan kontras dari visual di semesta film ini. Kontras yang kumaksud adalah antara elemen dari alam dan masyarakat. Struktur antara elemen masyarakat dan alam ini, aku rasa lebih bekerja jika berlatar di pedesaan.

Seperti contohnya di film ini, ada gedung sekolah yang terstruktur rapi, terasa kaku. Sekolah juga merepresentasikan otoritas, yang berkuasa dan aturan-aturan yang terasa mengekang. Di sekeliling sekolah itu dikelilingi oleh hutan, pohon, dan alam liar. Kontras ini yang ingin kuhadirkan di film. Tentang bagaimana Zafran, sang tokoh utama bebas dari kekangan masyarakat dan menuju kebebasan. Bagiku, kebebasan adalah alam liar, karena semua sebab-akibat di alam liar terjadi secara indah, bebas, dan alamiah.

Latar alam dalam Tiger Stripes, aku rasa bukan sekadar latar, tapi juga karakter yang mengisi kehidupan dalam semesta filmmu, latar di filmmu sungguh terasa “hidup”. Bagaimana kamu sebagai orang yang tumbuh besar di perkotaan menciptakan latar alam pedesaan yang hidup? Bagaimana prosesnya?

Mungkin karena aku besar dan tumbuh di kota, hutan dan alam menjadi pelarianku terhadap realita. Aku suka sekali alam liar yang bebas dari jalan raya, gedung pencakar langit, dan manusia. Karena itu, dalam film ini, pendekatan visualnya agak sedikit hyper-realistic atau “dilebih-lebihkan”. Misalnya, untuk shot-shot sinar matahari kami menggunakan pencahayaan warna jingga untuk menambahkan kesan hyper-realistic-nya, dan juga ketika merekam air terjun, kami menambahkan filter yang membuat air terjunnya tampak berkilau, seolah air terjun ini direkam dalam studio set.

Pemilihan estetika ini dimaksudkan karena bagiku hutan dan alam liar adalah tempat pelarian, tempat impianku, seperti negeri fantasi di mana aku bisa bebas dengan kemauanku sendiri. Jadi, pemilihan estetika ini berdasarkan imajiku dengan hutan sebagai tempat pelarian dari hiruk-pikuk kota.

Kamu sepertinya sangat terhubung dengan alam, Bagaimana kamu memutuskan untuk memilih latar hutan sebagai set lokasi? Karena, aku rasa, latar hutan menjadi bagian vital dalam sepanjang film.

Balik lagi, aku suka menggunakan insting dan respon tubuhku dalam mengambil keputusan, khususnya keputusan latar hutan di film ini. Tentu tetap ada riset lokasi, kami bahkan meriset sejumlah hutan yang tempatnya berbeda-beda. Aku enggak tahu ini istilahnya apa, tapi ketika memilih lokasi untuk shooting, ada kekuatan magis, seperti instingku mengatakan, “di sini tempat shooting-nya!” Terus, ada kejadian ketika rombongan pramuka sedang berjalan-jalan, aku memilih satu tempat yang tidak diketahui. Lokasi tersebut terasa gelap dan suram. Bahkan, salah satu kru-ku mengatakan, “Ada yang enggak beres sepertinya dari tempat ini,” tapi, justru itu adalah elemen atau suasana yang kuinginkan dalam adegan tersebut! Perasaan tidak nyaman dan ketakukan yang kurasakan adalah bahan bakar dalam pemilihan latar adegan. Jadi, pada akhirnya, aku tetap bereaksi sebagaimana tubuhku merespon perasaan tak nyaman ini.

Dalam Tiger Stripes kamu menghadirkan sosok yang berasal dari legenda/cerita rakyat sebagai protagonis. Sosok ini adalah Siluman Harimau, atau Inyiak Balang dalam istilah Sumatera Barat. Mengapa kamu mengambil sosok ini sebagai protagonis?

Sebenarnya, aku tak hanya mengambil unsur Siluman Harimau saja, tapi ada beberapa unsur dari cerita rakyat/legenda lain juga. Ada unsur Orang Bunian di situ dan juga sedikit unsur Kuntilanak. Aku ingin menciptakan semesta sendiri dalam film ini, jadi, aku tak terlalu mengikuti pakem asal-usul cerita rakyat dalam menciptakan sosok Siluman Harimau ini. Ini semacam intrepretasiku terhadap Siluman Harimau. Selain itu, aku ingin menawarkan estetika horor Asia Tenggara terhadap penonton yang lebih luas.

Aku melihat bahwa horor di Barat sana identik dengan sosok tembus pandang, vampir, drakula yang mengenakan baju jas dan lain-lain. Tapi, visual estetika horor dari Asia Tenggara, menurutku memiliki daya pikat sendiri. Daya pikat ini mungkin hadir dari sosok yang bertengger di atas pohon besar, sosok yang hadir dari hutan belantara dan lain-lain. Visual seperti ini yang tak hadir dalam sinema di barat. Aku ingin menghadirkan dan merepresentasikan itu sebagai orang Asia Tenggara.

Sosok dan simbolisasi harimau cukup sering ditampilkan di film ini. Apa yang ingin kamu sampaikan dari sosok dan simbolisasi ini?

Dalam beberapa kebudayaan yang memiliki sosok harimau di dalamnya, akan selalu menghormati harimau sebagai makhluk yang dihargai dan disakralkan. Di Malaysia juga melakukan hal yang sama. Lambang negara kami adalah harimau, tim sepakbola kami juga memiliki corak harimau di dalamnya. Namun, ironisnya, harimau Malaysia yang asli hampir punah dalam alam liar. Ini tentu diakibatkan dengan manusia yang secara ilegal memburunya. Ironi ini yang ingin kujadikan metafora dalam film ini.

Sosok Zaffan sebagai gadis remaja yang anggun, pemberani, dan tentunya agresif, juga mungkin masyarakatnya tak ingin menerima dirinya apa adanya. “Harimau” yang ada di dalam diri Zaffan tak bisa hadir dengan sempurna di dalam masyarakat. Jadi, aku rasa, sosok “Harimau” ini yang ingin kutuangkan dalam diri Zaffan. Sebuah sosok yang tak diterima masyarakat, Zaffan tak bisa menjadi “Harimau” yang ada di dalam dirinya karena itu bertentengan dengan apa yang dipercayai oleh masyarakat.

Selain sosok harimau, ada juga sosok ustaz/ulama di filmmu. Sosok ini bernama Dr. Rahim. Di film ini ada adegan pengusiran setan, tapi, Dr. Rahim tak membaca ayat kitab suci. Umumnya, jika seorang ustaz ingin melakukan pengusiran setan, biasanya ada pembacaan ayat kitab suci. Apa yang ingin kamu sampaikan pada hal ini?

Wah, aku enggak terlalu memikirkan itu juga, sih. Tapi, ya aku ingin penonton mempertanyakan apakah hal yang dilakukan Dr. Rahim ini asli atau hanya rekaan? Apakah Dr. Rahim sungguh ingin “menyembuhkan” Zaffan atau hanya sekadar untuk mendapatkan pengikut di sosial media? Apakah yang dilakukannya memang benar tulus? Mungkin pertanyaan ini yang ingin kusampaikan ke penonton, alih-alih membahas soal agama.

Inspirasi dari Dr. Rahim ini juga datang dari video-video ustaz/dukun yang sedang melakukan ritual pengusiran setan yang viral di internet. Misalnya, ada satu video di mana sang ustaz, alih-alih mengucapkan ayat kitab suci, ia malah menodongkan pistol mainan ke pasiennya, dan ketika ditembakkan, pasiennya mengerang berteriak-teriak. Imaji seperti ini yang kudapatkan ketika menciptakan sosok Dr. Rahim. Intinya, apakah sosok seperti Dr. Rahim ini sungguh-sungguh menjalankan tugasnya untuk “mengusir setan” atau hanya sekadar melakukan aksi performatif demi menggaet pengikut di sosial media?

Tiger Stripes (2023)

Wah, pernyataan yang cukup menarik! Selain itu, yang menarik dari sosok Dr. Rahim, ia bukan hanya menjadi sosok ustaz atau agamawan saja, tapi aku merasakan adanya representasi dia sebagai pihak yang berkuasa/otoritas dalam film ini. Bagaimana pendapat ini menurutmu?

Ya, betul banget! Aku tidak mau merepresentasikan sosok Dr. Rahim sebagai representasi orang yang beragama. Aku menghargai orang yang memiliki kepercayaan dan agama, aku tidak masalah dengan itu. Tapi, aku cukup bermasalah dengan orang yang menjadikan kepercayaan dan agama sebagai tameng dan mengontrol kepercayaan ini untuk berkuasa demi kepentingan pribadi. Jika kepercayaan dijadikan medium untuk berkuasa, untuk orang merasa lebih superior dengan yang lain, aku rasa itu sudah bukan agama, tapi otoritas.

Menurutku, memahami agama dan kepercayaan orang adalah sarana untuk memahami perbedaan, bukan menganggap kepercayaan kita lebih superior ketimbang yang lain. Karakter Dr. Rahim adalah pengejawantahan dari sosok yang melucuti agama untuk mengontrol persepsi orang lain terhadap sesama dan berkuasa demi kepentingannya sendiri. Walaupun di beberapa adegan, Dr. Rahim ditampilkan sedikit jenaka, ini sebenarnya juga merupakan bentuk representasi konten kreator di sosial media yang memanafaatkan popularitasnya demi kepentingannya sendiri mengingat di setiap adegan pengusiran setan Dr. Rahim selalu merekam kejadiannya untuk sosial media.

Selain bentuk visual dan konteks sosial pada film, pada aspek aural film ini juga vital. Seperti pada aspek latar, aspek aural pada film ini terkesan hidup dan memilki semestanya sendiri. Tata suara dan tata musiknya juga seperti menyatu dengan satu sama lain. Bagaimana kamu menciptakan hal ini?

Aku berasal dari latar belakang musik, aku pernah menjadi musisi. Jadi, aku suka berkecimpung dengan hal yang berhubungan musik atau suara. Komposer musikku, yaitu Kasimyn tumbuh besar di Sumatera, di mana latar alam di film ini cukup familiar dengannya. Pembicaraan musik bersama Kasimyn adalah bagaimana kita merekam atau merasakan perasaan yang ada di dalam dirinya Zaffan. Aku berdiskusi dan menjelaskan ke Kasimyn tentang bagaimana perasaan amarah yang dialami Zaffan terhadap apa yang terjadi di tubuhnya menjadi suatu bentuk medium musik yang utuh. Untuk konsep aural, aku selalu menekankan konsep interior (yang terjadi di dalam tubuh/perasaannya Zaffan) dan eksterior (yang terjadi di luar tubuh/perasaannya Zaffan).

Ada satu adegan ketika di hutan, aku berpesan kepada Ting Li Lim selaku penata suaraku untuk menata latar suara hutan seolah suaranya ini ada di dalam pikirannya Zaffan. Untuk mendapatkan hal ini, aku dan penata suaraku bermain dengan efek suara agar penonton pun dapat merasakan bahwa mereka sedang dalam pikirannya Zaffan. Selain itu, aku juga berpesan ke Ting Li Lim untuk memperlakukan tata suara di film ini seperti gubahan musik orkestra, untuk memperlakukan setiap elemen suara yang ada di hutan seperti instrumennya masing-masing. Ting Li Lim cukup bekerja keras dalam mendapatkan suara-suara atmosfer dalam hutan. Ia bahkan memiliki satu file tersendiri untuk suara burung, masing-masing ia rekam satu per satu. Jadi, pada akhirnya, saat penyuntingan suara, ia memiliki layer-layer suara tiap elemen yang ada di hutan! Persis seperti layer-layer saat membuat musik.

Apa alasanmu menjadikan musisi Indonesia, Kasimyn, salah satu dari Gabber Modus Operandi (GMO) untuk menjadi komposer musik di filmmu?

Sejujurnya aku sedikit ragu untuk menggunakan musik di film ini. Menurutku, adegan dalam film ini memiliki muatan emosional yang kuat, takutnya kalau diberi latar musik akan memperberat muatan emosi dalam film. Namun, ketika proses menyunting, penyunting gambarku, Carlo Francisco Manatad sedang menyunting film ini di Bali. Ia sedang mendengarkan GMO saat itu. Secara iseng, kami memasukkan salah satu lagu GMO ke dalam adegan, dan secara mengejutkan, lagu GMO sangat cocok menjadi musik latar pada film ini. Hal ini dimungkinkan karena baik aku dan Kasimyn memiliki pendekatan yang mirip dalam berkarya.

Musik-musik GMO berpijak pada landasan elemen tradisional, namun diberi sentuhan yang kontemporer. Aku rasa, dalam berkarya, aku juga seperti itu. Aku menjadikan elemen tradisional seperti cerita dongeng atau legenda sebagai pijakan dasar. Namun, aku menambahkan sedikit sentuhan kontemporer dan interpretasiku sendiri terhadap pijakan tradisional itu. Kemiripan ini yang menurutku membuat musik GMO cocok pada projek film ini.

Di dalam sesi tanya-jawab pemutaran pertama JAFF 2023, kamu menyebutkan bahwa mayoritas kru di Tiger Stripes adalah perempuan. Apakah ini niatanmu untuk membuat ruang aman sesama perempuan?

Untuk mayoritas kru perempuan, aku tak pernah meniatkan kru di Tiger Stripes harus mayoritas perempuan. Ini terjadi secara alamiah. Aku menemukan orang-orang yang terbaik menurutku untuk proyek ini dan mereka mayoritas adalah perempuan. Ya, menurutku karena kebetulan bertemu dengan perempuan-perempuan ini pada saat yang tepat, makanya bisa dikatakan 75 persen kru di film ini adalah perempuan. Untuk perihal ruang aman, tentu, menciptakan ruang aman dalam pembuatan film adalah hal yang krusial. Tapi, menurutku, bukan berarti dengan memiliki mayoritas kru perempuan membuatnya otomatis jadi sebuah ruang aman.

Aku rasa juga tak semua perempuan memilki pemahaman untuk membuat nyaman dengan satu sama lain. Ada juga kok perempuan yang alih-alih membuat ruang aman, malah menjadi ruang yang tidak aman. Aku rasa penyusunan kru ini harus berdasarkan rasa percaya dan menghargai. Jika kita sesama kru memilki rasa ingin menghargai dan mempercayai satu sama lain, maka akan tercipta sebuah ruang aman. Terdengar sederhana emang, tapi pada lapangan, cukup susah juga praktiknya. Harus tetap memiliki rasa menghargai dan saling percaya untuk menciptakan ruang aman bagi semuanya.

Berbicara soal kerjasama dalam set, di filmmu cukup ada banyak pemeran gadis remaja yang di bawah umur, bagaimana kamu menciptakan ruang aman untuk mereka?

Pastinya aku dan bersama kru lain melakukan lokakarya untuk mengedukasi gadis-gadis remaja ini. Lokakarya ini kebanyakan mengenai edukasi seks untuk membantu mereka memahami mengenai konteks dalam film ini. Tak hanya itu, aku selaku sutradara bersama kru lain yang menangani soal casting juga turut hadir dan membantu mereka. Aku ingin memastikan bahwa kehadiranku dan kru lain menjadi familiar dan ramah bagi mereka. Hal ini tentu dibentuk dari rasa kepercayaan antara aku, kru lain, dan juga mereka.

Ini bukan hanya tentang mereka mempercayai kami, tapi juga tentang kami mempercayai mereka. Jadi, aku ingin membangun lingkungan yang aman dan nyaman bagi mereka untuk berekspresi mengenai apa yang mereka rasakan. Bukan hanya aku yang menjadi tempat mereka bercerita, tapi juga kru lain yang bisa menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mereka. Sekali lagi, aku rasa membangun kepercayaan, rasa aman dan nyaman adalah hal paling penting dalam suatu projek film, khususnya film ini.

Kebanyakan aktor yang memerankan gadis remaja di film ini, apakah mereka sudah pernah akting sebelumnya?

Kebanyakan baru pertamakali berperan jadi aktor, kecuali mungkin yang memerankan Mariam, ia sudah beberapa kali menjadi extras. Zafreen yang memerankan karakter Zafan, karakter utama di film ini juga baru pertamakali akting.

Bagaimana kamu menangani aktor yang masih di bawah umur ini? Mengingat pemeran di film ini mayoritas adalah gadis remaja di bawah umur?

Penangannya sedikit berbeda tentunya ketimbang aktor profesional yang dewasa. Akting adalah pekerjaan yang sangat bergantung pada kontrol diri, kamu harus peka terhadap dirimu sendiri, jika tidak, kamu tidak bisa mengontrol karakter yang sedang kamu perankan. Orang dewasa sudah memiliki kontrol diri yang lebih lumayan ketimbang anak-anak di bawah umur.  Aku rasa, anak-anak di bawah umur belum memiliki kemampuan kontrol diri yang seperti itu. Mereka cenderung masih meletup-letup, belum terlalu bisa dikontrol.

Maka dari itu, sudah jadi tugasku sebagai sutradara untuk mengontrol perasaan mereka, agar mereka lebih memahami perasaan mereka. Ketakutan terbesarku adalah mereka tak bisa keluar dari karakter mereka sendiri, jadinya terlalu tenggelam dalam peran. Aku selalu memberitahu mereka bahwa ketika terdengar perintah cut! Maka di situ mereka harus meninggalkan peran mereka.

Pertanyaan terakhir, untuk merangkum semuanya, kamu selalu menyimbolisasikan monster dan hantu di dalam filmmu sebagai “harapan”. Tapi, bagimu sendiri, apa itu “harapan” dalam dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk ini?

Kebebasan, dong! Freedom!! Jujur, aku bingung mau jawab apa, tapi bagiku kebebasan menjadi diri sendiri tanpa di-judge orang lain adalah bentuk dari “harapan”. Masyarakat seharusnya memperbolehkan orang-orang untuk menjadi dirinya sendiri, apapun itu kemauan mereka asalkan kemauan itu tak mencelakai orang lain. Tapi, ya, aku rasa, “harapan” ku enggak akan terjadi di dalam kenyataan, deh. Sepertinya cuma di film-film hal itu bisa terjadi, Haha!

Wawancara dilakukan pada 29 November 2023 dengan aplikasi Google Meet.

Tiger Stripes bisa disaksikan pada 15 Febuari 2024 di Netflix teritori Asia Tenggara.

 Diwawancarai dan ditulis oleh: Galih Pramudito

Desain oleh: Shafa Salsabilla

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top