Mania Cinema

Dea Anugrah: Budaya Menonton Keluarga, Deskripsi Cerita, dan Hidup yang Kocar-Kacir

Dea Anugrah, saya mengenalnya lewat karya-karya prosanya. Karya Dea yang pertamakali saya baca adalah buku kumpulan cerpen “Bakat Menggonggong”. Terus terang sampai sekarang saya terkesima dengan salah satu cerita pendek dalam buku itu berjudul “Masalah Rumah Tangga”. Cerita itu sangat mengasyikkan bagi saya, dan saya langsung mengira Dea Anugrah pasti orangnya asik sekali (mungkin ini hal bodoh yang dilakukan pembaca. Hahaha).

Dea Anugrah menulis buku kumpulan cerita pendek “Bakat Menggonggong”, buku puisi “Misa Arwah” dan “Kertas Basah”, buku kumpulan esai “Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya” dan “Kenapa Kita Tidak Berdansa?”, dan terakhir yang baru terbit, novelnya berjudul “Hari-Hari yang Mencurigakan”. Saat ini, Dea Anugrah bekerja di Kumparan, khusunya untuk Kumparan Plus.

Di tengah-tengah rutinitas yang tidak terlalu saya suka—ya,bekerja—si Galih Pramudito (si loveless itu) sebagai Pemimpin Redaksi Mania Cinema menawari saya untuk mewawancarai Dea Anugrah untuk rubrik Memori Sinema. Mania Cinema pun menghubungi Dea Anugrah, dengan perasaan yang bertanya-tanya, “Kayaknya dia sibuk, aduh, jadi enggak enak. Gimana, ya?” Hahaha.

Setelah menghubungi Dea Anugrah, kemudian memberikan pertanyaan-pertanyaan, saya terkesiap dengan jawaban-jawabannya, terlebih bagaimana cara Dea Anugrah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

Tentu bahasan ini menyoal Dea Anugrah dan film. Bagaimana ia bersentuhan dengan film dan budaya menonton sejauh ini, berdasarkan pengalamannya menonton film. Hal itu berkaitan dengan akses menonton film di daerah hingga pengaruh film dalam dunia kepenulisan Dea Anugrah.

Bagaimana awalnya kamu kenal film?

Ingatan terjauhku soal film: dibawa orangtua ke bioskop. Umurku 4 atau 5 tahun gitu. Kami naik motor malam-malam bertiga, pakai jaket tebal. Pas di bioskop, aku dibelikan jajanan macam-macam, ikut nonton, terus ketiduran. Hahaha. Bapakku senang cerita ke orang-orang dekat bahwa aku enggak pernah rewel kalau dibawa ke bioskop.

Mengingat kamu berasal dari Pulau Bangka, bisa diceritakan bagaimana mengakses film di sana pada saat itu?

Bapakku suka sekali film-film wuxia/kung fu, dan bioskop langganannya memutar film-film itu dua hari sekali, selang-seling dengan film-film India. Jadi, dua hari sekali kami ke bioskop. Dulu di hampir setiap kota di Bangka ada bioskop, tapi di akhir 90an atau awal 2000an pada tutup. Kalau enggak salah, sih, karena orang-orang mulai punya TV. Bangunan-bangunan bekas bioskopnya, sih, masih ada sampai sekarang, tapi enggak tahu dijadikan apa, mungkin sarang walet. Haha.

Nah, bersamaan dengan lazimnya kepemilikan TV, kebiasaan keluargaku mengonsumsi film juga berubah: di rumah, pakai pemutar laser disc, kemudian pemutar vcd/dvd. Film-filmnya sewa. Yang paling kuingat dari masa-masa ini adalah nonton bareng film Titanic (1997) dan Kuch Kuch Hota Hai (1998) bareng ibu dan bibi-bibiku. Tiap kali ada adegan dewasa, semua ribut dan nutupin mataku. Hahaha. Oh, sama satu lagi: waktu aku kelas 2 SMA, bapakku membelikan vcd original Catatan Akhir Sekolah (2005). Aku suka banget, sampai kutonton berulang-ulang dan mengajak teman-temanku nonton bareng. Kami punya kepala sekolah yang agak keras, dan aku menjulukinya Boris gara-gara film itu. Hahaha.

Urusanku dengan tontonan kayaknya mencapai puncak keseruannya waktu aku kuliah. Seneng banget bisa ketemu temen-temen yang bergairah terhadap film kayak Windu Jusuf, Adrian Jonathan Pasaribu, Makbul Mubarak, dan lain-lain (Wiih, udah pada jadi orang pangkat, ye. Bangga banget kenal kalian sebagai teman. Hahaha). Mau nonton atau tanya apa aja soal film, kalau mereka bisa bantu, pasti dibantu. Tentu aku enggak akan bisa menyukai film sebesar mereka menyukai film, tapi hari-hari itu menyenangkan banget: bikin pemutaran, baik yang “terkonsep” maupun yang asal-asalan, nonton dan diskusi rame-rame, ketiduran di tengah film dan bangun karena disolatin (ini aku sampai kena berkali-kali, sih. Anjing bener. Hahaha), dst.

Dalam Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, ada esai “Tua Seperti Clint Eastwood” kan kamu menyusun daftar pendek, ya, soal dunia filmnya Eastwood. Bisa diceritakan awal ketertarikan dengan Eastwood dan film-film koboi lainnya? Apakah ini ada kaitannya dengan masa kecil yang sering nonton film-film kung fu?

Minat terhadap film-film Western itu sebenarnya baru muncul ketika aku hidup di Jogja, artinya setelah akses menonton sudah lebih luas: lewat teman-teman penyuka film, tempat rental macam Universal (penjaganya suka ngasih rekomendasi film bagus), dan jaringan warnet yang nyetok banyak sekali film dan tv series. Kalau enggak salah, yang pertama kali kutonton itu A Fistful of Dollars (1964). Karena terkesan, aku cari film-film Western lain.

Pengaruh film ke karya kepenulisanmu seperti apa?

Mungkin pengaruh yang paling terasa adalah soal deskripsi. Aku punya kebiasaan bikin deskripsi sambil membayangkan naratorku jadi semacam mata kamera, bergerak menyoroti satu objek ke objek lain. Di luar itu, kadang-kadang dapat ide cerita dari film juga. Salah satu cerita di Bakat Menggonggong, judulnya “Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada”, mulai kupikirkan setelah nonton film tentang anak perempuan yang tinggal di trailer sama ibunya (aduh, lupa judulnya).

Baru inget, judulnya Rosetta (1999).

Sebagai penulis, kamu kan juga menulis film. Mengapa memutuskan salah satunya menulis film di antara karya lainnya seperti puisi, cerita pendek, novel, dan esai?

Aku enggak percaya diri menulis tentang film, sebetulnya, karena enggak pernah belajar soal itu. Tapi kadang iseng aja kepingin membagikan apa-apa yang kurasakan ketika nonton. Atau waktu masih kerja sebagai staff writer, ditugasi editor untuk nulis soal film, ya sudah nulis aja. Nah, di situasi kedua ini ada pengalaman pahitnya: diomelin Hikmat Darmawan. Iya, kritikus film yang ngetop banget itu. Yasalam. Waktu itu aku nulis soal film Istirahatlah Kata-Kata (2016). Dia bilang, kurang lebih: “Begini, nih, kalau orang nulis soal film tapi gak punya ilmunya.” Hahahaha. Dia benar, sih, dan emang buruk tulisanku yang itu. Hahaha. Tapi karena aku enggak tertarik untuk secara khusus belajar soal ini, ya sudah, enggak usah nulis saja. Hahaha.

Apa-apa saja film-film favoritmu? Misalnya, seperti yang aku baca di Cinema Poetica, ada lima film pilihan untuk menghindari kerepotan itu, mungkin bisa dijelaskan beberapa di antaranya jika sampai saat ini masih jadi favorit.

Dalam beberapa tahun terakhir, mungkin film yang paling berkesan buatku tuh Paterson (2016). Enggak tahu gimana menjelaskannya, tapi film itu membuatku nyaman banget. Kutonton berkali-kali, sendiri, sama pasangan, dan tetap begitu. Tapi, ya, untuk pertanyaan semacam ini aku suka ngasih jawaban yang berlain-lainan, apa yang keingat sangat tergantung gimana mood pas ditanya. Hahaha.

Meski kamu bilang, “enggak tahu gimana menjelaskannya,” hahaha. Tapi, dalam kepenyairanmu pernah mengalami kesulitan-kesulitan tidak dalam menulis puisi?

Tentu saja. Biasanya, setelah menyelesaikan satu proyek penulisan, termasuk buku puisi, aku berusaha eksplor ke arah yang belum pernah kucoba. Ini yang merepotkan dan bikin buntu.

Sekarang kan kamu bekerja di Kumparan, dan ada film-film dari Amer Bersaudara di Kumparan Plus itu awal ketertarikannya bagaimana? Dan kamu sendiri melihat B Movies seperti apa?

Waktu itu tim lagi nyari-nyari konten horor, terus aku keinget film Goyang Kubur Mandi Darah (2018)-nya Amer Bersaudara yang pernah kutonton. Kutawarin ke tim, gimana kalau ajak mereka kolaborasi. Ternyata pada suka. Lanjut, deh. Hahaha.

Aku enggak punya pendapat khusus, sih, soal B Movies. Selain yang kutonton pastinya belum cukup banyak buat berpendapat, kupikir selama kita menikmati suatu film, ya sudah, apa pun labelnya, apa pun genre-nya, sikat aja.

Sekarang masih sering menonton tidak? Dan bagaimana membagi waktu menonton dengan aktivitas sehari-hari lainnya?

Masih, walaupun enggak serajin dulu. Dulu hampir tiap kali pulang dari kampus aku mampir ke tempat rental film, sewa 3-4 film, terus nonton di laptop sampai kelar. Besoknya gitu lagi. Hahaha. Yang enggak berubah sampai sekarang cuma waktunya. Aku biasanya nonton di OTT tengah malam, kalau anak dan istri udah tidur, tapi aku belum ngantuk. Satu atau dua film gitu.

Kamu sendiri menganggap film itu sebagai apa? hiburan? atau apa?

Ada yang bilang bahwa tugas karya seni bukan menghibur, melainkan mengajak orang berpikir. Mungkin itu benar. Tapi aku sendiri merasa, ya, kenapa enggak dua-duanya? Terus, kalau misalnya ada film yang ketika kutonton cuma ngasih hiburan, ya sudah, enggak apa-apa. Udah terlalu banyak yang harus dipikirin manusia dalam hidup yang kocar-kacir ini, dan aku ikut memikirkan sesuatu atau enggak tentu enggak ada pengaruhnya juga buat hal tersebut. Hahaha.

Desain oleh: Bagus Pribadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top