[Dunia Icha] Malcolm & Marie : Jangan Cuma Bisa Bilang I Love You.
Catatan Redaksi : Sebelum membaca ulasan ini kami ingin memperkenalkan rubrik baru terbaru yaitu “Dunia Icha”. Kami berkolaborasi dengan Icha Hairunnisa yang merupakan teman kami dan salah satu sejawat pengulas film aktif di blog pribadinya , ichahairunnisa.com . Di rubrik ini pembaca akan dibawa dalam semesta ulasan film Icha yang lucu, absurd, seru dan terkadang.. penuh birahi. Teknik gaya ulasan Icha cukup berbeda – ia kerap blak-blakan dan ada adanya. Kolaborasi ini bertujuan untuk memperluas jaringan pembaca kami dan menyatakan bahwa ulasan film tidak hanya bisa disusun dengan serius dan penuh dengan teori. Ia juga bisa disusun secara menyenangkan dan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Selamat membaca!
.
Okeeee Valentine bukan budaya kita. Budaya kita adalah bikin twit template bla bla bla bukan budaya kita. Tapi izinkan aku buat merekomendasikan Malcolm and Marie sebagai tontonan pas di Hari Valentine (selain Fake Taxi atau Public Agent, kalau pasanganmu ‘open minded’ eheee). Atau seenggaknya, izinkan aku buat ngebahas film ini dari sudut pandangku sebagai tukang baperin film. Ngebahasnya full spoiler, btw.
Malcolm and Marie bercerita tentang dua sejoli yaitu Malcolm (John David Washington) dan Marie (Zendaya) yang baru pulang dari premier film. Malcolm ini sutradara dan penulis, tentu saja itu acara premier filmnya. Alih-alih mereka merayakan malam besar itu dengan mabok sampai pagi, ngudut rokok satu slop, atau silaturahmi kelamin sampai hari terang kayak lagu 34+35-nya Ariana Grande, mereka malah debat kusir semalaman suntuk tanpa memedulikan kenyamanan tetangga.
Berawal dari keluhan kurang lebih, “Pidatomu! Kamu lupa bilang terima kasih sama aku, Malcolm! Di saat kamu bilang terima kasih untuk 112 orang termasuk guru kelas tigamu, kamu lupa bilang terima kasih sama pacarmu?” Marie dan Malcolm adu argumen dan saling menyalahkan. Menunjukkan kalau selama ini ada yang salah dengan hubungan mereka. Malcolm dan Marie debat, baikan, hampir ngewe, nggak jadi ngewe, sebat, debat lagi, baikan lagi, hampir ngewe, nggak jadi ngewe, debat lagi, baikan lag— OKE AKU UDAH MULAI CAPEK NULISNYA.
Tapi percayalah, menonton ini nggak bikin capek dalam artian bosan dan malas ngelanjutin sampai habis. Seenggaknya buatku. Aku dengan senang hati rela digenjot dinamika mereka yang naik turun. Kadang Malcolm memimpin, kadang Marie. Kadang Marie terdiam kena skakmat, kadang Malcolm yang terdiam. Aku dibuat penasaran sama akhir film ini. Apakah mereka bakal putus? Apakah mereka baikan dan memulai dari nol lagi? Apakah mereka bakal dilaporin ke Pak RT karena udah mengganggu ketentraman warga sekitar tengah malam?
AKU PENASARAAAAAAN.
Marie udah kayak kesurupan Najwa Shihab saat mendebat Pak Arteria Dahlan anggota DPR yang sempat viral beberapa waktu lalu. Aku pikir Marie ini cuma lagi drama aja. Entah karena dia lagi laper tapi dicecar rentetan kenarsisan pacarnya yang overproud, terlihat dari dia bilang, “Aku belum makan semalaman.” Atau mungkin karena dia kesel plus capek mendapati kenyataan bukannya mereka mampir makan di restoran buat makan, malah langsung pulang ke rumah dan disuruh buatin Mac n Cheese.
Atau karena dia udah ngantuk jadinya rewel. Anak kecil aja kalau kurang tidur atau udah ngantuk bawaannya rewel. Apalagi orang dewasa kan? Who knows? Tapi nggak gitu. Film ini adalah definisi dari ucapan, “Masalah dan amarah jangan dibawa tidur.” Apa yang dipermasalahkan Marie itu nyata dan besar adanya. Malcolm memilih buat ngebahas kenapa Marie bersikap dingin walaupun tetap ngadonin Mac n Cheese yang hangat. Pilihan Malcolm yang bikin aku ngeliat dia adalah pacar bijak. Tapi ternyata dia nggak bijak. Dia bijik.
John David Washington sukses memerankan karakter bijik Malcolm. Ngegas banget jadi orang. Kasar sama pacar yaitu Marie dan terang-terangan menunjukkan dirinya adalah hater-nya para kritikus film. Apalagi pas adegan dia marah-marah soal review yang dia dapatkan, kemudian merembet ke soal dunia perfilman Hollywood. Marah-marah yang… untuk apa? Toh review yang dia dapatkan itu positif. Walaupun nggak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Masih lebih masuk akal kalau Joko Anwar yang sambat marah-marah in real life soal pembajakan film di Telegram, film Perempuan Tanah Jahanam-nya nggak masuk Oscar tahun ini, dia yang nasibnya disama-samain dengan Livi Zheng…
Film ini mendulang banyak review positif dan negatif. Ada yang suka ada yang nggak. Ada yang suka banget dan ada yang benci banget. Ada yang bilang film ini cuma mengandalkan hitam putihnya yang artsy tapi filmnya nggak berisi, ada yang bilang kalau film ini bikin bosan dan capek nontonnya, ada yang mungkin bilang kalau film ini cuma jadi ajang curcol Sam Levinson selaku sang sutradara. Tapi…. gimana, ya. Aku suka. Karena menurutku film ini bisa menjadi milik banyak kalangan. Kalangan yang suka film dengan format hitam putih… iya. Kalangan yang ngefans sama Zendaya… iya. Kalangan yang suka film drama cinta-cintaan… iya. Kalangan yang merasa keluh kesahnya soal industri perfilman juga iya. Kalangan yang pernah mengalami hubungan nggak sehat atau kata anak sekarang, toxic relationship, iya juga. Jujur, aku sempat ke-trigger nonton ini.
Aku pernah punya momen di mana punya pasangan yang narsis dan sombongnya naudzubillah kayak Malcolm. Kurang lebih aku pernah ada di posisi Marie, bedanya aku tidak secantik dia dan tidak sevokal dia dalam mengkomunikasikan perasaanku. Aku cuma bisa cerita di akun Tumblr-ku yang ku-private, atau cerita ke temanku kalau aku udah lega dan siap dikatain “Kok kamu masih mau sih sama diaaaa?” hingga aku jadi malas buat cerita lagi. Mau langsung ngomong kayak Marie ke Malcolm, ujung-ujungnya aku bakal ngerasa kalau aku salah sudah ngomong. Adegan di bak mandi sewaktu Malcolm menyanggah kalau inspirasi tokoh Imani, tokoh utamanya di filmnya itu bukan cuma dari Marie melainkan dari banyak mantannya juga, bikin aku benar-benar tersulut kenangan buruk.
Si mantan mirip Malcolm yang doyan pamer mantan seolah nunjukkin kalau dia adalah superhero bagi cewek-cewek rusak. Menyuratkan kalau aku harus berterima kasih padanya karena udah diselamatkan. Karena cuma dia yang mau begitu. Cowok lain nggak bakal mau. Itu yang dia tekankan ke aku selama kami berhubungan. Itu juga yang dirasakan Marie selama berhubungan sama Malcolm. Marie didatangi Malcolm pas lagi rapuh-rapuhnya. Marie didampingi selalu tapi juga dibikin rendah diri. Marie bilang kurang lebih, “Aku tau persis tipemu, tapi kamu lebih memilih bersama si badan ceking ini,” itu ASTAGAAAAA RELATE BANGEEEEEEET. Aku juga pernah memandang diriku rendah kayak gitu.
Bisa dibilang aku suka film ini karena punya kedekatan emosional sama Marie, tapi nggak cuma itu. Film ini bergerak runut maju dan nggak ada adegan flashback ke masa lampau untuk ngasih tau konflik mereka ke penonton, layaknya yang dilakukan film debat kusir dalam semalam lainnya, yaitu Story of Kale: When Someone’s In Love (2020). Film ini nggak butuh itu, karena dialog dan tindak-tanduk mereka udah cukup menunjukkan konflik hubungan mereka. Udah cukup menunjukkan kalau Malcolm orangnya bagaimana dan Marie orangnya bagaimana. Malcolm yang ucapan “I love you-” gampangan, tapi buat bilang “Maaf,” dan “Terima kasih,” aja kayaknya susah banget.
Malcolm yang sombong akan hasil karyanya dan punya kehidupan lebih layak daripada Marie. Malcolm yang kesal dipandang medioker terlihat saat dia disamakan dengan Spike Lee dan Barry Jenkins maupun saat Marie frontal bilang dia medioker. Malcolm yang panikan terbukti dari adegan nyari dompet dan handphone. Malcolm yang haus pujian akan dirinya, yang nggak bakal lelah dengar Marie semalaman mengarang cerita halu tentang dia di masa depan.
Marie yang cool dari luar tapi rapuh di dalam. Marie yang sebenarnya malas berdebat terbukti dari dia yang awalnya bilang, “Bicara besok saja,” sewaktu ditanya ada apa sama Malcolm. Marie yang suportif, bukan cuma dari rentetan cerita dia menemani Malcolm dari nol. Tapi juga dari bahasa tubuhnya. Dari senyum dan tawanya saat Malcolm sambat ria teriak sana sini habis baca review dari LA Times yang…. positif. Dari dia yang mengiyakan waktu nama Spike Lee dan Barry Jenkins disebut sebagai setaranya Malcolm. Dari dia yang turut antusias sama review filmnya Malcolm. Marie yang sebenarnya rendah diri dan lagi mati-matian mencintai dirinya sendiri. Berharap Malcolm yang egosentris itu mengehargai dia sebagai pasangan, minimal nggak melupakan namanya di pidato. Membuatnya merasa jadi orang yang berarti di hidup Malcolm.
Aku berterima kasih banget sama akting Zendaya yang prima. Marie mungkin cuma bakal jadi sosok drama queen yang suka membesar-besarkan masalah kecil, kalau bukan karena Zendaya. Aku suka wajah malas menghindari konfliknya dari awal. Aku suka wajah cemberutnya. Aku suka gaya bicaranya yang lantang penuh emosi menyerang Malcolm yang asik makan Mac n Cheese sambil julid. Aku suka senyum berlagak jual mahalnya sewaktu Malcolm merayu. Aku suka ketawa psikopatnya pas adegan audisi dadakan menjadi Imani. Aku suka isak tangisnya yang bikin aku sesak dengarnya. Aku suka, dan paling suka, walaupun ini sederhana banget. Aku paling suka waktu dia foreplay dengan mau nge-blowjob John David Washington sebagai Malcolm, sambil mau adu argumen lagi. Malcolm bilang, “Bisa kita bicarakan nanti?” tapi Marie tetap maju terooos. Akhirnya nggak jadi blowjob.
GOOD JOB, GIRL! MAMPUUUUS NGEGANTUNG DEH NGEGANTUNG HASRAT PEJUMU, MALCOLM! RASAKNOOOO!
Seperti hanya ada dua pemeran, di film ini hanya ada dua warna. Yaitu hitam dan putih. Tapi ada banyak yang bisa dikomunikasikan ke pasangan selain “I love you.” Karena ucapan “I love you,” itu kadang bisa bermaksud lain. Bisa ya bullshit doang, lip service doang, atau buat menutupi kesalahan. Bisa nggak tulus. Menurutku itu yang dirasain Marie. Menurutku ucapan terima kasih dan maaf dari pasangan itu sangat berarti. Minta maaf saat salah. Terima kasih saat merasa terbantu. Karena kalau udah berdua, rasanya nggak mungkin nggak pernah buat salah atau mampu ngelakuin segala sesuatu dengan sukses sendirian.
Film ini bikin aku yang baperan ini mikir… jangan cuma ‘bisa’ bilang “I love you,” kayak Malcolm. Cinta tanpa rasa menghargai itu… bentuk keegoisan. Nggak ada yang mau punya pasangan yang egois.
Desain : Nona Damanik
Malcolm & Marie | 2021 | Sutradara : Sam Levinson | Pemeran : John David Washington & Zendaya | Negara Asal : Amerika Serikat| Durasi : 104 Menit | Produksi : Netflix.
Perempuan melankolis yang nulis review film karena buat kedok aja supaya bisa curhat di tulisan. Mengharapkan dia bisa menulis intelek sama dengan mengharap Gaspar Noe menggarap film religi. Budaknya film-film romance, komedi, dan… erotis.
Leave a Reply