Mania Cinema

[Dunia Icha] Gangubai Kathiawadi: Film tentang PSK yang Bisa Ditonton bareng Keluarga

Sebagai pembaper film India, Gangubai Kathiawadi (2022) adalah film India yang pengen kutonton dari lama dan akhirnya bisa dinikmati di Netflix. Film yang bikin aku nggak sabar liat kalau misalnya Alia Bhatt beneran meranin Ma Anand Sheela-nya dokumenter series Wild Wild Country (2018), karena pasti cocok banget. Film yang bikin aku semangat buat nulis review (baca: bacotan) lagi.

Jujur awalnya aku bingung mau nulis film apa, sampai akhirnya aku ngeliat IG stories Lucinta Luna.

NGGAK BISA DIBIARIN. KALAU ADA ORANG YANG BISA SUKA BERAT SAMA FILM INDIA. APALAGI YANG SUKA INI SEORANG LUCINTA LUNA. WOWWW! SAMPAI MAU COSPLAY JADI GANGUBAI!!! Walaupun terpantau sampai detik ini cosplay belum juga terlaksana sih. Tapi belum cosplay aja dia udah di-notice sama salah satu pemain film ini yaitu Shantanu Maheshwari yang berperan jadi Afshan, berondong interest-nya Gangubai (Alia Bhatt). Lucinta Luna bikin story ngebet sama Afshan, terus si Afshan ini repost dooong.

HUAAAAA I’M SO PROUD OF YOUUU, RATU KEABADIAN PEMBURU KENTYYYY!!!

Lucinta Luna yang begitu nafsu sama film ini (dan sama Afshan), menginspirasiku untuk mengambil tindakan. Yaitu nge-review film ini~

Oke aku beberin soal filmnya. Sangat spoiler seperti biasanya, yaaaa.

Film ini dibuka dengan penampakan anak gadis yang di-training jadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Ngejalanin malam pertamanya sebagai PSK tapi nggak sanggup. Mucikari, germo, atau yang enak aku sebut Mami mumet karena anak itu berontak. Maka dipanggillah Gangubai Kathiawadi (Alia Bhatt pengen aku ganti namanya jadi Alia Badass) Mami terkenal sejagat Kamathipura, kawasan lokalisasi kedua terbesar di India. Konon Gangubai bisa meluluhkan hati batu para PSK muda yang baru debut, agar mau berkiprah di dunia jual diri alias yaudahlah-terima-nasib-aja-jangan-nangis-nangis-percumaaaa.

Di adegan itulah kita sebagai penonton dikasih liat kilas balik hidup Gangubai sewaktu masih muda. Sewaktu namanya masih Ganga Harjeevandas Kathiawadi. Ganga adalah anak gadis dari keluarga terpandang. Bapaknya pengacara, yang mungkin tersohornya udah kayak Hotman Paris. Diiming-imingi mau diorbitkan jadi artis ibukota sama Ramnik (Varun Kapoor), pacarnya. Ganga dan Ramnik pun kabur dari Kathiawar ke Mumbai, tepatnya ke Kamathipura. Alih-alih dibawa casting, Ganga malah dibawa ke rumah bordil dan dijual ke Sheela Masi (Seema Pahwa). Ganga tertipu dengan mudahnya, layaknya aku yang dulu mudah tertipu janji palsu mantan perihal bakal nikahin aku huhuhu.

Ganga sempat depresi berhari-hari karena ekspektasinya nggak sesuai realita. Dari situ aku udah ngerasa simpati parah sama Ganga, bahkan berani mengakui kalau dia hebat. Dia depresi nggak mau makan nggak mau ngapa-ngapain dalam hitungan hari. Itu masalah berat lho, tapi dia ‘selesaikan’ depresi-depresian itu dalam hitungan hari aja. Lah anjir aku kalau dijanjiin ayang malam ini jalan ya eh taunya nggak jadi aja aku kepikiran berhari-hari kalau ayang nggak sayang aku. Apalagi dijual ayang ke germo kayak gitu.

Ganga mau nggak mau menetap di rumah bordir kepunyaan Sheela Masi, atau lebih enaknya sih aku sebut Mami Sheela. Mau nggak mau harus menjalani hidupnya yang baru sebagai PSK Kamathipura. Ternyata Ganga laku di hari pertama karena langsung dapat pelanggan. Sekaligus langsung dapat motivasi buat nggak lemah sama nasib buruk. Di debut suksesnya sebagai PSK, Ganga gercep ganti nama jadi Gangu.

Seterusnya Ganga, eh Gangu, jadi primadona di rumah bordil Mami Sheela. Pribadinya yang ceria dan polos berubah jadi Gangu yang garang, brutal sekaligus berwibawa. Auto jadi pemimpin di antara para PSK di rumah bordil itu, yang nuansa sisterhood-nya kentel banget karena nggak ada geng-geng-an, saing-saingan apalagi labrak-labrakan sama PSK newbie. Bahkan para PSK teman sejawatnya itu lebih nurut sama dia ketimbang sama Mami Sheela. Bisa dibilang Gangu adalah alpha female-nya rumah bordil Mami Sheela, karena karakternya yang strong dan punya spek pemimpin dari orok.

Belum cukup jadi perempuan yang dijual ayang, Gangu jadi korban kekerasan pelanggannya yang doyan main tangan. Mami Sheela malah ngebiarin Gangu bergumul dengan pelanggan barbar itu selama cuan ngalir terus. Gangu pun mencari keadilan lewat Rahim Lala (Ajay Devgn), bos miras sekaligus mafia yang kebetulan adalah atasan pelanggan barbar itu. Sejak itu Gangu bestie-an sama Rahim Lala. Tapi masalah nggak selesai sampai situ. Masalah baru berdatangan bergantian, dan ngejadikan Gangu semakin ‘multifungsi.’ Jadi Gangubai germo nyonya besar pengganti Mami Sheela, jadi PSK yang melek politik, sampai jadi pembela keras hak-hak pekerja seks komersial supaya usaha itu dilegalkan. Supaya PSK dihargai, dimanusiakan, dikasih kebebasan bekerja. Minimal, dibiarkan tetap tinggal di tempat yang sama. Gangubai berusaha supaya para perempuan di Kamathipura nggak kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Karena oke memang prostitusi itu salah. Tapi yang salah bukan cuma PSK-nya, melainkan para pelanggan yang datang ke mereka.

Gangu, yang sekarang aku panggil Gangubai, paham benar sama apa yang ditulis mbak-mbak ini,

JADI PSK BERAT, SHAAAY. NGGAK MODAL NGANGKANG DOAAAANG.

Btw, Icha itu bukan Icha aku ya. Sumpah bukaaaan.

Tema yang diangkat film ini cukup tabu, yang mana hal tabu adalah hal favoritku ehehe. Film ini bukan dibidani Gaspar Noé. Selain karena Gaspar Noé adalah sutradara film Perancis bukan film India, film ini minus adegan esek-esek meskipun setting-nya di rumah bordil. Yang mau ngeliat Alia Bhatt pakai baju ‘dinas’ terus berlutut mengulum penis pelanggan, go to hell!!! Kagak ada, bedebaaah. Palingan yang dikit-dikit nanggung gitulah mau ciuman tapi nggak jadi.

Sanjay Leela Bhansali (seterusnya bakal kusebut SLB) selaku sutradara film ini, ngefilmin setting macam gang Dolly kalau di Indonesia. Tapi tetap sinematik. Cantik banget ngeliat pemukiman rumah bordilnya, yang walaupun kumuh tapi ada kesan megahnya tersendiri. Cantik juga ngeliat para PSK di film ini, yang nggak dinistakan SLB sama sekali di mataku. Penampilan mereka nggak dibinal-binalin, nggak seakan-akan haus titit pelanggan. Alih-alih terlihat menggoda, vibe mereka itu independent woman, yang rasanya nggak ada bedanya dengan wanita pekerja macam mbak-mbak kantoran. Ada profesionalitas kerja sebagai PSK yang terlihat dari mereka lewat adegan mangkal depan rumah bordil, walaupun adegan itu cuma sekelebat. Antara profesionalitas atau pasrah pada nasib lalu memilih buat jalanin aja, nggak ada jalan lain. Itu… menyedihkan.

Film ini adalah film PSK yang dibungkus dengan indah dan ramah. Hal-hal yang aku pikir perlu ada di film tentang pelacuran, semisal adegan ranjang, para PSK mejeng tanpa busana, atau sekedar foreplay ala kitab Kama Sutra, lah ini NGGAK ADAAAAAAA. Adegan pelanggan barbar yang nyiksa Gangubai, nggak diperlihatkan seolah dia adalah maniak seks. Nggak ada adegan baju Gangubai dirobek brutal, atau dipaksa ngangkang atau nungging atau apalah. Bingung dah ini film PSK apaaaaaaan. Bingung yang lebih ke kagum sih. Bisa-bisanya seorang laki-laki bikin film tentang PSK, tapi ‘sopan’ kayak gini. Kuat iman bener ini lakik. Jatohnya film ini kayak menghormati dan menghargai para PSK itu sendiri. Gilsssss kagum nggak tuuuh.

Yang bikin kagumnya lagi, film ini bisa dibilang family friendly karena bisa diaplikasikan untuk nobar sekeluarga. GILA NGGAK TUH. Bahkan keseluruhan adegan film ini masih lebih family friendly daripada music video Suraj Hua Maddham ost Kabhi Khushi Kabhie Gham…(2001), di mana Shah Rukh Khan nyium sama elus lehernya Kajol tipis-tipis. Yang masa kecilnya dilarang emak nonton music video itu, KITA SENASIBBBBBB HUHUHUHU.

Yang candu kerjanya Alia Bhatt di sini jadi Gangubai, KITA SEHATIIII. Suaranya diberat-beratin tapi nggak bikin kesel kayak Elizabeth Holmes-nya series The Dropout yang mana Amanda Seyfried berhasil bikin karakter Elizabeth jadi ngeselin sesuai naskah. Alia Bhatt berhasil bikin karakter Gangubai menarik dan lovable. Gesture-nya juga dapat banget sebagai PSK pemula, PSK pro, maupun mami rumah bordil yang melek politik. Sukaaaaaak banget pas Alia Bhatt sebagai Gangubai ngeludahin si pelanggan barbar yang terkapar lemas habis diantupin mukanya sama Rahim Lala. Jatuh cintaaaa banget pas dia flirting ke Afshan, lelaki yang lebih muda dari dia dan mangsa terbarunya Lucinta Luna yang udah aku spill di atas. Mereka saling suka, saling cinta, saling peduli. Aku bapeeeer. Terlihat jelas di adegan pas lagu Jab Saiyaan dan Meri Jaan, dua lagu favoritku dari film ini. Terutama di Meri Jaan, yang bikin aku sadar kalau Gangubai adalah perempuan pada umumnya yaitu pengen dicintai bukan karena nafsu. Pengen dielus-elus kepalanya sebagai tanda disayangi. Chemistry antara Alia Bhatt dan Shantanu Maheshwari sebagai pasangan itu dapat banget. Karakter Afshan nggak sekedar jadi seonggok berondong doang. Berpengaruh sama cerita dan aaaah aktingnya keren banget terus ternyata itu debutnya sebagai pemain film.

Nah, Gangubai mengorbankan cintanya demi idealismenya sebagai penyelamat perempuan Kamathipura. Gangubai nyomblangin Afshan sama anak gadis biar anak gadis itu nggak harus jadi PSK. Di sini makin terlihat kalau Gangubai adalah cewek mandiri yang manusiawi, dia juga butuh menyayangi dan disayangi laki-laki. Dia sedih dan ditunjukkan itu lewat lagu Shikayat. Sedih yang nggak berlarut-larut, karena habis itu Gangubai ingat itu yang dia mau. Dia mau jadi orang yang ngemongin para perempuan Kamathipura. Sedih bangeeet.

Tapi film ini nggak semata-mata menjual kesedihan. Karena bergelimang scene yang nyemangatin cewek-cewek buat kuat. Gangubai badass bener soalnyaaa. Dialog film ini juga apik banget, ada yang sangat PSK-able. Contohnya,

“Klien lebih tertarik pada tubuh kalian, bukan wajah kalian,” dan, “Jangan buka mulutmu. Lebarkan saja kakimu.”

Kalimat yang masih sangat relevan dengan masa sekarang, meskipun film ini setting-nya tahun 1960-an. Tanpa mau berasa sok cantik, aku susah lupa sama fakta kalau Siskaeee bisa laku keras dengan konten-konten panasnya dengan muka yang seadanya. Yang penting body-nya yahud, muka kayak karung gandum mah urusan belakangan.

Ada kalimat yang ngena banget tanpa sok-sok garang. Nggak ada kalimat, “Tubuhku adalah otoritasku.” Yang ada kalimat, “Ikat kakinya erat. Pria tidak bisa dipercaya, bahkan dengan mayat.”

Anjiiiir sedap banget. Nyindir keraaaaas. Kayaknya Gangubai ini doyan ramen deh. Soalnya ada tuh tempat ramen yang punya motto kayak gini:

Aku hampir menganggap film ini sempurna tanpa cela, sampai akhirnya ingat kalau riasan Alia Bhatt pas jadi Gangubai versi tua itu kurang… tua. Ya kayak sama aja dengan pas masih muda. Entah apa itu karena tim Makeup Artist-nya kurang bekerja keras, atau memang mukanya Alia Bhatt susah dibikin tua dari sononya. Kayak mukanya Andrew Garfield di The Eyes of Tammy Faye (2021). Tapi aku bersyukur sih. Seenggaknya Alia Bhatt masih cantik dan nggak kayak Amanda Manopo di sinetron Ikatan Cinta, yang kalau kata Bang Abu Sudar teman Letterboxd-ku, kagak cocok dipakaikan wig. Hal lain dari film ini yang menjauhkannya dari kata sempurna adalah keluarganya Gangubai yang nggak dikasih liat dan dikenalkan lebih dalam ke penonton. Cuma dari omongannya aja dan dialog di telpon. Jadi kurang greget sedihnya pas adegan Gangubai baru tau kalau ayahnya udah meninggal setelah sekian lama.

Tapi dua kekurangan di atas nggak jadi masalah besar buatku. Aku memaafkan dan tetap sayang film ini, layaknya cowok yang memaafkan dan tetap sayang pacarnya walaupun pas pacarnya lagi blowjob-in itu kena gigi. Apalagi kalau ceweknya pakai behel. Rontok rontok deh itu rerimbunan jembut huhu. Tapi ya kalau udah sayang, kesalahan itu bukan kesalahan besar.

Lagian, mungkin SLB sengaja nggak menyorot keluarganya Gangubai karena jerih payahnya Gangubai yang memang harus kita sebagai penonton tau dan saksikan. Yang dikasih liat secara runut. Gangubai dimainin satu cowok, eh dia ‘mainin’ balik banyak cowok dengan jadi perempuan tangguh. Gangubai berani menumbalkan cinta sejatinya demi misinya menjadi pemimpin yang berdedikasi. Gangubai berani mengubah hal buruk yang udah terlanjur Gangubai berdiri dengan kakinya sendiri, mengayomi 4.000 perempuan di Kamathipura. Gangubai nggak harus punya lelaki di sampingnya untuk ngerasa lengkap. Dijual sama pacar sendiri ya nggak nyerah, disiksa pelanggan barbar ya hajar, dicintai laki-laki tapi dia lebih cinta dirinya sendiri dan tujuan mulianya, disaingin sama Raziabai (Vijay Raaz), laki-laki yang doyan pake baju kayak perempuan bisa aja ngalahin.

Gangubai bertingkah apa adanya dia, nggak bermaksud memaksa kita untuk berpihak padanya dan memaklumi profesinya. PSK masih akan tetap dipandang pekerjaan yang salah, ada atau nggak adanya film ini. Tapi seenggaknya ada hal lain dari seorang PSK karena Gangubai. Bahwa PSK adalah perempuan kuat, bahwa PSK juga bisa terjun ke dunia politik, bahwa PSK juga butuh dihargai seperti profesi lainnya, yang nggak terima dihina bahkan direnggut kesejahteraannya.

Nontonin Gangubai, aku jadi kengiang quote-nya Gloria Steinem,

“Perempuan tanpa laki-laki adalah ikan tanpa sepeda.”

Lagian, nggak bakal ada bisnis prostitusi kalau nggak ada peminatnya. Selama masih ada laki-laki yang sagapung (sange gak ketampung), prostitusi akan selalu ada. Prostitusi akan selalu laku. So, siapa yang lebih butuh Gangubai dan rumah bordilnya? Siapa yang lebih butuh PSK? PSK-nya sendiri atau laki-laki?

 

 

 

Perempuan melankolis yang nulis review film karena buat kedok aja supaya bisa curhat di tulisan. Mengharapkan dia bisa menulis intelek sama dengan mengharap Gaspar Noe menggarap film religi. Budaknya film-film romance, komedi, dan… erotis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top