[Dunia Icha] Penyalin Cahaya : Bentuk Simpati atau Liarnya Fantasi
“Ironis sekali bagaimana korban kekerasan seksual lebih percaya mesin fotokopi daripada instansi penegak hukum.”
Begitu tulis Reyhan, salah satu teman blogger-ku pas nge-review Penyalin Cahaya di instastory akun Instagram-nya. Lebih ironis lagi fakta bahwa film ini tentang kekerasan seksual, tapi salah satu kru yaitu co-writer-nya bernama Henricus Pria, adalah pelaku kekerasan seksual.
Alhasil, begitu brojol di Netflix, orang-orang menyerbu nonton film ini untuk melihat ironinya lebih jelas, layaknya ibu-ibu yang menyerbu toko swalayan di saat harga minyak goreng sudah turun sekarang ini.
Aku nonton ini pengen banget bisa netral, memisahkan karya dengan penciptanya. Tapi kedua hal itu seolah sudah ditakdirkan bersatu layaknya aku dan kamu. Susah dipisahkan. AHAAAAAAY.
Oke. Oke. Fokus, Chaaaa. Fokus
Mungkin ini yang dirasakan para netizen yang murka ke Coki Pardede perihal twit-nya soal kagum sama Harvey Weinstein beberapa waktu lalu. Henricus Pria bisa join bareng Harvey Weinsten, Bill Cosby, Bill Clinton, Tiger Wood, Arnold Schwarzenegger, dll yang disebut Coki Pardede di twit-nya. Sama Saiful Jamil juga kalau perlu. Entah apakah Coki Pardede tetap masih bisa memisahkan seonggok karya dengan penciptanya, tapi yang jelas aku nggak bisa. Terlebih lagi ini karya tentang kekerasan seksual, yang dibuat oleh pelaku kekerasan seksual.
SEBUAH! PUNCAK! KOMEDI!!!!!!!
Sebelum nonton, aku mencoba meyakinkan diri bahwa aku nggak bakal semurka orang-orang yang nonton setelah tau kontroversi itu. Berusaha yakin kalau masih sanggup nonton dengan kepala dingin. Aku semata-mata mau nonton film bagus, dengan Shenina Cinnamon sebagai pemeran utamanya. Shenina selama ini selalu jadi pemeran pendukung, sekarang jadi pemeran utama yang harus didukung. Didukung karena perannya sebagai korban kekerasan seksual, maupun karena ini debutnya jadi pemeran utama di film.
Begitu nonton, AAAAARRRRGGHHHHHH. Aku harus nulis ini, meskipun aku takut kalau tulisanku bakal kurang lebih kayak tulisan Islam Bergerak berjudul Tidak Ada Solidaritas (Perempuan) dalam Yuni. Tapi nggak deh. Tulisan ini bukan sarat kebencian akan suatu film. Cuma sarat akan spoiler dan… maaf, rasa jijik.
Aku jijik. MelebihI jijiknya karakter Naysila Mirdad di sinetron Orang Ketiga yang bikin dia ngomong, ”Aku jijik sama Mas!” di salah satu adegan. Film ini udah kayak mimpi basahnya pelaku kekerasan seksual. Tentang Suryani (Shenina Cinnamon), dari sudut pandang Suryani, tapi seolah-olah alur impiannya sang pelaku. Alih-alih diajak menyelami emosinya Suryani, malah mempertontonkan Suryani jadi detektif dadakan. Apalagi Rama (Giulio Parengkuan) ini penulis naskah teater, relate sama co-writer film ini, sekaligus pemenang Penulis Skenario Asli Terbaik di Piala Citra atas film ini.
Tanda lahir, tato, sampai bekas sayatan depresi para karakter di film ini diambil tanpa consent demi inspirasi dan bahan oleh Rama. Suryani dibikin mabok, ditelanjangi, diabadikan foto tanda lahir. Bahkan foto-foto pribadi banyak orang yang sangat amat pribadiiiiiiii, ternyata jadi asupannya Rama demi menghasilkan karya seni sebagai penulis naskah teater.
ANJIIIIIR INI MAKSUDNYA FANTASI LIARNYA SI HENRICUS PRIA APEEEE GIMANEEEEE????
Meskipun sampai sekarang korbannya Henricus Pria dan bentuk kekerasan seksual seperti apa yang dilakukan Henricus Pria nggak di-spill, tapi nggak bisa dipungkiri tiap liat Rama, auto suudzon ke Henricus Pria. Auto bikin aku jadi takut sendiri sama tanda lahir segede gaban di pinggangku huhuhuhu. Kalau memang lagi ketiban writer’s block, coba kayak Calvin (Paul Dano)-nya Ruby Sparks (2012) yang curhat ke psikolog. BUKANNYA PAKAI CUPANG LACI BAWAAAAAAAAAAAH!!!!
Film ini juga melemparku keingatan masa lalu. Di mana aku pernah sakit hati waktu mantan nulis review film di salah satu media online, dengan adanya pembahasan soal toxic relationship, seolah dia anti akan hal itu. Padahal HEEEEH ENTE PELAKUNYA YAAAAA DI HUBUNGANMU DAN AKU, MUNAFIKUUUUN! Pengen rasanya ngomong gitu ke mukanya yang rentan kena body shaming itu. Naaaah, itu baru aku lho, dengan persoalan yang kecil. Gimana dengan korbannya Henricus Pria, ngeliat kesuksesan film ini? Nggak menutup kemungkinan kalau ide tulisan Henricus Pria muncul karena tindak kekerasan seksualnya sendiri???? HAAAAAA????? JIJIK BANGET NGGAK SIIIIIH???
Selain jijik, aku juga sedih. Sedih karena kesusahan untuk ikut ‘menderita’ bersama Suryani (seterusnya aku panggil Sur). Rintangan demi rintangan Sur dalam mendapatkan keadilan bikin aku nggak nangis kejer kayak yang kukira, dan itu bikin aku kesal sama diriku sendiri. Mana bawaannya aku pengen mengutuk Sur yang melanggar amanah Bapaknya untuk nggak minum-minum. Nyatanya, Sur tetap minum-minum sebagai bentuk ‘menerima’ tantangan Tariq (Jerome Kurnia), dan bentuk bahagia merasa diterima di perkumpulan teater. Aku kesannya jadi nggak bersimpati sama korban. Padahal sumpaaaaaah aku nggak bermaksud begitu.
Kalimat, “Saya bersama korban,”acapkali terdengar di kasus-kasus kekerasan seksual, dan ingin rasanya kuucapkan untuk Sur. Tapi… plot film ini bukannya fokus ke perasaan korban, malah kedetektif-detektifan. Untuk film dengan tema sensitif begini, dengan tokoh utama perempuan, bagiku emosi itu penting sebagai penghubung antara aku dan para orang-orang di dalam filmnya. Aku ngerasa aneh pas Sur diusir dari rumahnya, Sur nggak nangis di saat itu juga. Ini diusir lho!!! Aku nangkepnya kok dia kayak udah biasa. Kayak udah pernah diusir. Apakah Sur tegar banget sampai nggak nangis? Aku nggak dikasih waktu buat menyelami emosinya Sur. Menyelami sedihnya Sur, bingungnya Sur. Nggak ada waktu buat ‘berduaan’ dengan kesedihannya Sur. Selalu bareng dengan aksinya sebagai Detektif Sur.
Pola pikir dan perbuatannya Sur ini praktis banget lho. Dia bisa langsung mikir sat-set-set ke solusi. Pakai logika sepenuhnya. Filmnya bikin aku sebagai penonton ujug-ujug jadi detektif bersama Sur, menyelidiki sekaligus secara nggak langsung mengagumi kehebatan pelaku kekerasan seksual kasusnya Sur. Yang malah menyeretnya ke kasus dan korban lain. WAH HEBAT KORBANNYA NGGAK CUMA SUR. WAH HEBAT POWER-NYA SI PELAKU GEDE BENER. WAH HEBAT SAMPAI KERJA SAMA DENGAN DRIVER ONLINE. Aku sibuk dengan kekagumanku ke pelaku korban kekerasan seksual, yang seolah sudah memperhitungkan langkah Sur sampai sejauh mana menyelidiki. Sampai akhirnya aku sadar kalau film ini KAYAK DENGKUL HABIS COLI ALIAS KOPONG BENEEEER MANA EMOSINYAAAAA. Jatuhnya film ini seolah nggak melibatkan emosinya Sur sebagai yang tersiksa di film ini.
Aku bakal maklum banget kalau Sur sempat terpuruk nggak tau mau ngapain dan mempertanyakan segalanya. Putri Tanjung rugi 800 juta terus mengurung diri di kamar 2-3 hari, padahal dia anak orang kaya raya yang uangnya ngalir teros. LAH INIIII? Mau Sur nangis mulu kayak Lesti Kejora, aku masih nggak papa. MAKLUM SEMAKLUM MAKLUMNYAAAAA. Karena menurutku di saat itu aku bisa ngerasain bersama dengan Sur. Aku ngerasain momen bersama Sur hanya di adegan Sur nanges sama ibunya di atas motor. Sama pas adegan di ending yang cukup mencekat leher itu.
Wajar kalau Tommy, salah satu sinefil sekaligus teman baikku di Twitter sampai nge-twit,
“Ada film dengan tokoh utama perempuan korban KS tapi ditulis sama dua orang laki-laki aja udah aneh.”
Logika film ini juga aneh. Okeeee di sini realistis dunia perkuliahan dan orang-orangnya. Para pemainnya mendalami perannya, bahkan Chicco Kurniawan sebagai Amin, kang fotokopi sekaligus temannya Sur sejakkecil. Nggak nyangka cowokcimut-cimut kayak Chicco jadicowok berungusan. Menghayati pula pas adegan mabok. Amin bilang, “Di Sumatra Barat, ada tugu fotokopiiiiii!” itu bikin eargasm aaaaaaaaaak. Dea Panendra juga mantap sebagai Anggun, kakak tingkat yang care dan sutradara teater yang keras. Lutesha sebagai Farah, aih keren sih!!!!!! Pas marah-marah karena dituduh,itu bikin kaguuum.
Sementara Giulio Parengkuan sebagai Rama, aku ‘menyesal’ kenapa ketemu dia saat jadi karakter yang njijiki kayak di film ini. Saking bagus aktingnya sih. Dari awal aja aku udah nggak nyaman dengar suara dan logat bicaranya yang lembut itu. Tambah nggak nyaman pas dia minta jatah cupang laci bawah. AAAAAARRRRRGH.
Nah, di sini logika film ini sembarangan. Pas bagian pentas teater fogging, Rama nggak sesak nafas apa ya? Sibuk perform di tengah asap tanpa masker. Hebat bener anjeeeer itu penegasan kalau dia bener-bener punya power atau gimanaaaaa. Lalu pas adegan terakhir, di mana Sur dan Farah pakai mesin fotokopi-nya Amin di gedung lantai paling atas buat ‘menyalin’ cerita mereka yang jadi korban. Kok bisa nyala padahal pas bawa keatas, nggak ada adegan narik-narikin kabel. Nyolokin di mana jugaaaa. Itu mesin fotokopinya wireless???
Hal-hal di atas itu sepele sih, tapi cukup mengganggu buatku. Ini film dengan menang banyak penghargaan, masa untuk detail sekecil itu nggak jadi perhatian filmnya?
Ironisnya, film dengan logika aneh ini mau dibandingkan denganYuni (2021 )yang logikanya benar-benar diperhitungkan. Ironisnya, film yang ‘menyalin’ derita korban kekerasan seksual ini, mau dibandingkan dengan Yuni (2021) yang benar-benar menyuarakan isu ketidakadilan pada perempuan. Penulis Penyalin Cahaya itu laki-laki, sedangkan penulis Yuni adalah perempuan. Tanpa bermaksud melihat cuma dari sisi jenis kelamin aja, tapi nggak bisa kutolak kalau itu adalah faktor besar yang mempengaruhi emosional film ini.
Maaf, bagiku film ini adalah film munafik yang menyalin derita korban kekerasan seksual sana-sini, lalu dijadikan film atas nama seni. Bukan atas niatan, “Ayoooo kita buat film tentang kekerasan seksual, supaya banyak orang yang mau dan bisa dengar perihal isu penting ini.” Karena kalaupun iya, niatannya itu nggak terasa tulus. Aku sebagai penonton, sambil terngiang-ngiang akan korban seksualnya Henricus Pria merasa dikhianati sama film ini.
Yang terasa tulus dari film ini yaitu kerja keras para pemain dan kru lainnya. Rasanya memang nggak adil, karena kebejatan satu orang, segenap film ini dianggap jelek. Tapi apakah adil kalau aku sebagai penonton bersorak-sorak sama ide tulisan tentang derita sang korban? Bersimpati sama Suryani, begitu mengingat kalau Henricus Pria berkasus kekerasan seksual, aaaaaak jadi buyaaaar pengen maraaaaah. Kebaikan demi kebaikan film ini hanya Shenina Cinnamon dkk.
Sisanya… maaf, mendingan nonton Chicco Kurniawan jadi Amin yang galer (garuk peler) sepanjangan dua jam, daripada nonton ini dengan pikiran kalau penulisnya cabul.
Perempuan melankolis yang nulis review film karena buat kedok aja supaya bisa curhat di tulisan. Mengharapkan dia bisa menulis intelek sama dengan mengharap Gaspar Noe menggarap film religi. Budaknya film-film romance, komedi, dan… erotis.
Leave a Reply