Dunia Wong Kar Wai: Saat-Saat Paling Indah
Diterjemahkan dari artikel milik John Powers, World Of Wong Kar Wai: Like the Most Beautiful Times. Terbit pada 23/03/2021 di situs Criterion
“Kebahagiaan,” tulis Samuel Butler dalam The Way of All Flesh, “merupakan pedoman yang tepat dibanding merujuk pada istilah hak atau kewajiban.” Tentu hal tersebut benar adanya ketika mengacu pada aktivitas menonton film. Sementara itu, sinema bisa meneguhkan jiwa seseorang, sebagian dari kita pergi ke bioskop untuk membebaskan diri dari rutinitas sehari-hari, kemudian kita dibawa ke dalam semesta yang wujudnya lebih beragam, lebih menyenangkan, dan terngiang dalam pikiran—lebih keras dari yang pernah kita bayangkan. Beberapa film telah melakukan hal-hal tersebut dengan sangat baik. Wong Kar Wai, seorang auteur berasal dari Hong Kong; mengenakan kacamata hitam yang ikonik. WKW meleburkan gairah pop, menciptakan karakter yang melankolis dan teralienasi, dia adalah salah satu sutradara film langka yang ciri khasnya mampu dikenal oleh penonton: anda bisa merasakan kehadirannya pada setiap detak jarum jam, pada setiap gejolak patah hati yang indah untuk diabadikan dalam sebuah potret, pada saat-saat yang membuat seseorang untuk melakukan hal-hal konyol—seperti seorang polisi yang berbicara pada sabun batangan. Namun meskipun hal-hal tersebut dirasa sangat personal, film-film Wong juga menggambarkan peristiwa awal abad duapuluh satu, baik di Hong Kong—di mana kesuksesan karirnya menaikkan pertaruhan tata artistik pada industri film yang dikenal dengan penggila uang—juga pada ranah internasional. Layaknya Murakami pada ranah sastra, WKW menjadi sutradara Asia pertama yang dikenal sebagai sutradara ikonik.
Sepanjang perjalanan karirnya, tentu saja Wong Kar Wai telah memenangkan banyak penghargaan. Dalam pemilihan kategori film-film terbaik sepanjang masa (dari 2012) yang dilansir pada Sight and Sound oleh para kritikus film internasional menyebutkan In The Mood For Love adalah satu-satunya yang berada pada pilihan 25 teratas pada daftar tersebut—di mana In The Mood For Love rilis pada era milenium. Namun, salah seseorang menemukan prestasinya yang luar biasa—pengaruh yang diciptakan Wong Kar Wai terlihat jelas dalam beberapa karya kenamaan seperti Lost In Translation karya Sophia Coppola, serial televisi Mad Men (yang memperkenalkan sosok heroik, Don Drapper, dengan bidikan kamera yang diadopsi langsung dari WKW), If Beale street Could Talk karya Barry Jenkins, dan Long Day’s Journey Into Night karya Bi Gan (anehnya, Wong dikaitkan dengan Andrei Tarkovsky).
Para penonton dibuat terpukau olehnya. Wong membuat beberapa film yang membuat para penonton di mana pun jatuh cinta dengan karyanya—hal tersebut bukan untuk apa-apa, kritikus film Time, Richard Corliss memberinya julukan “sutradara yang paling romantis di dunia.” Seperti yang terlihat pada koleksi film-filmnya—tujuh fitur filmnya yang paling dicintai, serta dengan episode antologi The Hand yang begitu cemerlang—WKW memiliki sensibilitas pada tinggi dan rendahnya bagian-bagian yang setara. Karya-karyanya memadukan zaman keemasan Hollywood (“Aku menyukai hal-hal yang berkilauan,”katanya) film-filmnya tampil di layar perak yang terinspirasi dari Michelangelo Antonioni dan Rainer Werner Fassbinder hingga Tennessee Williams serta Nan Goldin.
Tak satu orang pun memprediksi karya debut Wong akan menjadi simbol nyentrik dalam dunia perfilman. Terlahir dari keluarga Shanghai pada tahun 1958, berdeketan dengan era Mao yang dikenal sebagai rezim yang tak terbantahkan, dirinya sudah nomaden sejak usia 5 tahun, mencari peluang perekonomian yang lebih baik, kedua orang tuanya dan dirinya pindah ke Hong Kong. Mereka meninggalkan saudara perempuan dan lelaki tertuanya dengan kerabat, kedua orang tuanya berencana untuk membawa kembali bersamanya ke Hong Kong ketika perekenomian mereka sudah mapan. Sebelum mereka bisa mewujudkan hal tersebut, terjadi revolusi di negaranya—hal tersebut sekaligus menutup kesempatan Wong untuk berjumpa dengan saudara-saudaranya. Wong tidak berjumpa dengan mereka selama satu dekade. Kehilangan yang turut memasuki disorientasi pada kehidupan Wong, membuatnya terjerumus pada budaya baru—seperti misalnya makanan yang berbeda, fashion yang berbeda, dan sinema yang berbeda. Dia berbicara bahasa Shanghai, bukan bahasa Kanton lokal.
Sensibilitas Wong mengenai imigrasi dan kehilangan mungkin menegaskan ketertarikan Wong pada tokoh sentral yang terasing juga mengenai diaspora Cina. Film-filmnya dan karakter-karakternuya telah membawanya ke Taiwan, Filipina, Singapura, Kamboja, dan Argentina serta menonjolkan dirinya menonjolkan budaya yang silih berganti dengan menampilkan percampuran berbagai bahasa, dari berbagai dialek Cina hingga Inggris, Spanyol, dan jepang.
Dia dan orang tuanya menempati apartemen di Knutsford Terrace di Tsim Sha Tsui, Kowloon pinggiran Hong Kong. Pedestrian pendek dari tempat ayahnya bekerja mengelola Bayside, sebuah klub malam kebarat-kebaratan (yang pernah dikunjungi oleh The Beatles), pada dasar gedung Chungking Mansions yang diabadikan dalam Chungking Express.
Sama seperti imajinasi Federico Fellini yang berakar di kota asalnya, Rimini, banyak karya Wong muncul dari vitalitas ala Amarcord yang mengelilinginya ketika ia tumbuh dewasa. Di flat keluarga itulah ibunya mengadakan permainan mahjong sepanjang malam seperti yang ada di In the Mood for Love. Di gedung merekalah Wong bertemu dengan prototipe untuk beberapa karakter utamanya, dari lothario lelaki menawan seperti Leslie Cheung Kwok Wing di Days of Being Wild hingga penulis fiksi ilmiah Tony Leung Chiu Wai dan si gadis penggemar pesta Ziyi Zhang pada film 2046. Di Knutsford Terrace-lah Wong muda pertama kali menatap sekolah kung-fu seperti yang ada pada film The Grandmaster (2013) dan mendengarkan musik pop poliglot tanpa henti, hal tersebut akan menjadi ciri dan kekuatan pendorong film-filmnya. Sejak awal, imajinasinya tersulut oleh hiruk pikuk dan puisi jalanan Hong Kong.
Wong sangat mengagumi sosok ibunya, seorang wanita yang hangat, bersemangat, dan suportif serta sekaligus lebih lembut daripada ayahnya seorang penjudi yang cerdik. Ibunya juga penggemar film, dan begitu di Hong Kong, keduanya pergi ke bioskop hampir setiap hari. “Dia adalah sekolah film bagi saya,” dia suka mengatakan hal tersebut. Ibu Wong menyukai hampir semua genre film, dan dia sangat menyukai film-film megah dengan bintang-bintang yang menawan, rasa tersebut diturunkan kepada putranya. Meskipun hal-hal seperti itu pada akhirnya tidak dapat diketahui, sulit untuk tidak berpikir bahwa ikatan sinematik yang terpelihara dengan ibunya mampu menjelaskan mengapa film-filmnya hampir selalu memiliki karakter wanita yang menarik, bahkan dalam satu dekade seperti tahun 1990-an, ketika Hollywood misalnya, hampir tidak mungkin menempatkan sosok wanita pada layar.
Meskipun ayahnya ingin dia melakukan sesuatu yang lebih praktis, Wong belajar desain grafis di Politeknik Hong Kong, yang mungkin telah mengembangkan selera (dan bakatnya) untuk citra sinematik yang dengan cepat menarik perhatiannya. Dia bermimpi membuat film, dan setelah lulus pada tahun 1980, dia melakukan apa yang dilakukan banyak pemula pelakon industri saat itu: dia memulai karirnya pada stasiun TV. Dia memulai kursus pelatihan di stasiun televisi lokal, TVB, dan segera membuat skrip, Wong mendapatkan reputasi sebagai penulis skenario yang sangat berbakat juga dirinya alergi terhadap tenggat waktu. Dia bekerja dengan sutradara film Patrick Tam (dia yang menulis Final Victory pada tahun 1987) dan melalui perantara tersebut, dia bertemu desainer dan editor William Chang Suk Ping, yang akan menjadi kolaborator terlama pada karir Wong (dia telah mengerjakan semua film fitur Wong). Berbagi asal muasal Shanghai dan pendekatan estetika yang mendalam, kedua pemuda tersebut berbicara selama berjam-jam—ikatan yang tercipta di antara mereka begitu dalam, hampir secara telepati, sehingga begitu mereka memulai bekerja bersama, kata Wong, mereka tidak perlu membahas apa pun.
Pada tahun delapan puluhan, Hong Kong merupakan rumah bagi bioskop komersial yang berkembang pesat, namun selama zaman keemasan itu, ambisi Wong terlalu megah untuk kota tersebut. Dia pernah mengatakan kepada saya, keinginannya untuk menjadi pembuat film terhebat di dunia. Meskipun WKW sendiri adalah salah satu pemikir paling linier yang pernah saya temui (bukan kebetulan bahwa dia menyukai jukebox), usahanya untuk mencapai tujuan yang berani itu paling baik dipahami secara linier. Direktur fotografinya yang paling terkenal, Christopher Doyle, suka mengatakan, “Apa yang datang sebelum menciptakan apa yang datang sesudahnya,” dan ini tentu saja berlaku untuk Wong. Setiap filmnya tidak hanya menanggapi kehidupan dan lingkungannya pada saat pembuatannya, tetapi juga merupakan reaksi terhadap film yang mendahuluinya.
Tentu saja, hal tersebut sudah menjadi sifat alami industri perfilman, bahkan sutradara paling berani pun biasanya memulai karir mereka dengan menangani proyek yang aman seperti yang direkomendasikan oleh para produser— Seperti yang dilakukan Jean Luc Goddard dalam debutnya, Breathless. Dan begitu pula dengan debut Wong tahun 1988, As Tears Go By, sebuah gambaran gangster yang dimaksudkan untuk booming dalam genre tersebut di mana Wong dipengaruhi oleh film blockbuster milik John Woo yang berjudul A Better Tomorrow pada tahun 1986. Namun film karya Wong jauh dari ciri khas negara Hong Kong, plot film ini mengingatkan pada film Mean Streets karya Martin Scorsese. Andy Lau Tak Wah yang kurus seperti pisau berperan sebagai Wah, seorang anggota triad yang ingin bertaubat tetapi tetap harus menyelamatkan temannya yang gila, Fly (Jacky Cheung Hok Yau), seorang pecundang yang terlahir putus asa untuk menjadi seseorang yang berpengaruh. Hal tersebut membuatnya dalam masalah. Seolah permasalahan tersbeut tidak cukup, Wah juga jatuh cinta pada sepupunya, Ngor (Maggie Cheung Man Yuk), yang mampu menaklukkan martabat dirinya. Wah ingin memiliki dirinya, tetapi keinginan tersebut ditakdirkan untuk tidak terwujud.
As Tears Go By sukses besar di pasar Asia. Kisah gangsternya berhasil menarik audiens, memberikan pertunjukan bagi aktor-aktor Wong yang membuat bintang film lainnya ingin bekerja sama dengannya. Wong berhasil mencuri hati Andy Lau untuk bekerja sama dengannya, membebaskan Maggie Cheung untuk bereksplorasi pada drama pertamanya yang sukses, dan mendorong Jacky Cheung untuk melakukan Method acting yang brutal seperti performa Robert De Niro sebagai Johnny Boy pada film Mean Streets. Tentu saja, dalam retrospeksi, seseorang tidak terlalu menyukai keteraturan Wong terhadap aturan genre dalam filmnya daripada momen-momen ambisi di sekitar pinggiran yang mengarah ke karya selanjutnya: burung murai yang dipinjam dari Stranger Than Paradise karya Jim Jarmusch, musik ultralong. -urutan gaya video diatur ke sampul Cantopop dari “Take My Breath Away,” dan adegan pertarungan diambil dengan kecepatan setengah, kemudian dicetak ganda untuk memberikan aksi kabur halusinasi yang biasa disukai oleh Wong.
Wong menampilkan kisah cinta dengan cara yang berbeda. Hubungan na’as Wah dengan Ngor (dan, tentunya dengan temannya, Fly) mengantisipasi nasib para karakternya pada setiap romansa dalam karya Wong. Tidak peduli apakah kekasihnya sosok yang hangat atau sinis, muda atau setengah baya, gay atau hetero, terjerat duniawi atau seseorang yang agamis, manusia atau android — cinta mereka salah. Seseorang mampu menebak dari sini bahwa Wong telah menghabiskan masa-masa hidupnya dengan hati yang hancur berulang kali, layaknya Elizabeth Taylor di zaman akhir, namun justru kebalikannya. Pemeran cinta bernasib buruk tersebut adalah seorang siswa berusia sembilan belas tahun ketika dia bertemu dengan calon istrinya, Esther (Chan Ye Cheng), juga orang Shanghai, selama melakukan pekerjaan musim panas di sebuah toko yang menjual jeans. Mereka sudah bersama sejak saat itu. Tapi hidup adalah hidup dan seni adalah seni, dan imajinasi artistik yang dimiliki Wong berjalan menuju kehancuran, jika hanya karena dia tahu (mengutip kalimat dari Leo Tolstoy yang terkenal mengenai keluarga bahagia dan tidak bahagia) bahwa cinta yang tidak bahagia membuat cerita menjadi lebih menarik.
Popularitas As Tears Go By membuka jalan bagi film WKW pertama yang sangat personal, Days of Being Wild (1990), meluncurkan apa yang akan menjadi trilogi film yang sangat bebas (juga termasuk In the Mood for Love dan 2046) berlatar tahun enam puluhan Hong Kong. Dibintangi oleh aktor-aktor muda yang tenar di Hong Kong pada saat itu, film ini adalah bagian dari suasana hati yang bergairah, bernuansa hijau yang diliputi dengan kehilangan dan penderitaan, tetapi juga romatis dalam waktu yang bersamaan. Ceritanya mengacu pada novel tahun 1969 yakni Heartbreak Tango dari penulis Argentina, Manuel Puig, mengambil latar di komunitas Shanghai—di mana Wong menghabiskan masa mudanya di sana (termasuk skoring musik dari film Amarcord) kemudian karakter Rebel Without A Cause ala Yuddy (Leslie Cheung), yang ditinggalkan oleh sosok ibu yang tanpa pernah ia kenal dan dirinya dibesarkan oleh seorang ibu tiri yang manipulatif (Rebecca Pan yang mengerikan), ia membagi waktunya antara tenggelam dalam perasaan narsistik yang mengerikan dan rayuan. Preman Romeo tersebut melukai semua orang di sekitarnya, baik itu wanita yang dia rayu—Li-Zhen yang manis (Maggie Cheung), penari kabaret nakal Mimi/Lulu (Carina Lau Ka Ling)—atau para pria (Andy Lau dan Jacky Cheung) yang memuja mereka.
Dalam karir Wong, Days of Being Wild merupakan kapal dan sekocinya yang karam. Banyak penonton yang mengharapkan tontonan blockbuster bertemakan gangster. Mereka mendapatkan sebuah seni dari film tersebut—dan penonton tidak menyukainya. Para penonton yang menyaksikan Days of Being Wild perdana ketika filmnya usai, mereka berjalan keluar dengan hening, tampak tercengang, dan tidak bahagia; para penonton di Singapura, mereka marah hingga merusak kursi bioskop. Seluruh hal dari film tersebut adalah bencana. Kecuali bahwa film tersebut kemudian memenangkan banyak penghargaan di dalam dan luar negeri (termasuk enam penghargaan Golden Horse) dan saat ini dianggap sebagai salah satu film Hong Kong terbesar. Kecuali bahwa pada film tersebut menampilkan kolaborasinya yang luar biasa dari dua pembuatnya yang paling brilian: William Chang, yang memberikan dekorasi dan kostum dengan keindahan yang memukau, dan Christopher Doyle yang intim, yang Wong juluki sebagai “Charles Bukowski dari sinematografi.” Dan kecuali itu, dengan menjadi persona non grata di industri Hong Kong, Wong dikeluarkan dari industri tersebut karena kehendaknya yang liar dalam membuat film. Selanjutnya, ia akan dipaksa untuk memetakan jalannya sendiri dan memproduksi filmnya sendiri. Hal tersebut tentunya telah memberinya kendali penuh atas pekerjaannya.
Menonton Days of Being Wild hari ini, seseorang mungkin akan menemukan kepiawaian yang dimiliki WKW, dari bidikan kamera tembakan demi bidikan kamera hingga penampilannya yang luar biasa—Leslie Cheung begitu menakjubkan—namun masih ada yang paling terkesima dengan penceritaannya yang tanpa malu-malu. Jika urutan pembukaan Yuddy memukul Li-Zhen menawarkan kesenangan Hollywood— hal tersebut sangat menarik — film ini dibangun hingga akhir, bahkan tiga puluh tahun kemudian, film tersebut tetap mengejutkan. Ketika Tony Leung tiba-tiba muncul untuk pertama kalinya dalam film tersebut, kami merasa telah memasuki film yang sama sekali berbeda, dan kemudian—apa-apaan ini?!—kredit akhirnya bergulir. Mungkin hal tersebut adalah perubahan konteks yang paling berani sejak akhir jalan-jalan kosong yang terkenal dari L’eclisse karya Antonioni, yang berpengaruh besar pada Wong.
Keberanian seperti itu hanyalah permulaan. Memiliki kesadaran Borgesian tentang banyak jalan bercabang yang mengintai di setiap cerita, Wong tidak pernah berhenti menjadikan filmnya eksperimen naratif tiada henti, dan karya selanjutnya berutang sedikit pada linearitas. Melompat-lompat di antara karakter dan waktu, ia berurusan dengan akhir film yang terbuka, intertekstualitas, protagonis yang menghilang, dan cerita ganda yang mencerminkan dan membiaskan satu sama lain. Sementara deskripsi seperti itu mungkin membuat karyanya terdengar abstrak, bahkan sangat artistik. Tidak ada yang lebih jelas daripada di dua film—Chungking Express (1994) dan Fallen Angels (1995)—yang mengukuhkan reputasi Wong sebagai pembisik muda sinematik dan pewaris Tiongkok untuk joie de vivre dari la nouvelle vague.
Karya Wong yang paling menyenangkan dan paling bahagia—ia menyelesaikannya dalam beberapa minggu saat menyelesaikan Ashes of Time (yang akan keluar akhir tahun itu)—Chungking Express meluncur di layar seperti buletin dari garis depan romansa kontemporer. Terletak pada hiruk pikuk Hong Kong dan kedai makanan cepat saji serta toko serba ada, gaya inventif yang menggembirakan ini menceritakan kisah-kisah yang terkait secara longgar dari dua polisi muda yang dimabuk asmara (Takeshi Kaneshiro yang konyol dan Tony Leung yang melankolis), di mana karakternya masing-masing terlibat dengan seorang wanita yang sulit dipahami. (pengedar narkoba berambut pirang bernama Brigitte Lin Ching Hsia dan karyawan bar makanan ringan, Faye Wong). Namun film ini menawarkan lebih dari sekadar visi cerdas tentang penggambnaran cinta yang modern. Chungking Express adalah potret gemerlap Hong Kong pada tahun-tahun terakhir sebelum bergabung dengan Cina. Sementara Days of Being Wild berlatar di Hong Kong yang penuh mimpi dan sepi, Chungking Express adalah perpaduan dari kota asal Wong yang sebenarnya, Diwarnai dengan neon, apartemen sempit, eskalator luar ruangan, toko elektronik yang muram, dapur restoran yang berkeringat, sayuran yang dikemas oleh para pramusaji pinggir jalan, dan hiruk pikuk budaya pop yang tiada henti. Bidikan gambar tersebut diabadikan oleh Wong dan Doyle—di mana bakat visualnya tersebut telah menginspirasi dan ratusan orang telah meniru bidikan tersebut. Bidikan tersebut hasil curian ketika berada di jalanan—diambil oleh Wong dan Doyle yang visualnya terinspirasi dari ratusan peniru—filmnya begitu lirikal juga memusingkan. Beberapa adegan film modern lebih menyenangkan daripada Faye Wong melakukan gerakan badan yang menyengangkan pada lagu California Dreamin, tarian lucu tersebut yang diketahui membuat penonton bertepuk tangan.
Tapi meski terasa ceria, Chungking Express sebenarnya sangat berhasil. Kedua bagian dipenuhi dengan refleksi dan korespondensi ala Nabokov. Paruh pertama terjadi pada malam hari, di jalan-jalan Kowloon yang berantakan dan dipenuhi imigran; paruh kedua berlatar di bawah sinar matahari, di seberang pelabuhan di Pulau Hong Kong. Kedua bagian tersebut mencerminkan satu sama lain dalam banyak hal, dari motif makanan para karakter utama, hingga referensi waktu yang konstan dan tepat (salah satu obsesi Wong). Pencerminan seperti itu sekaligus merupakan ciri khas penulis, cara menyatukan kedua sisi Hong Kong, dan sebagai pengingat bahwa kita tidak hanya menonton serangkaian adegan perkotaan secara acak, tetapi kita dibawa masuk pada kota sinematik yang penuh imajinasi dan penuh dengan rahasia.
Semua pencerminan ini diterapkan lagi pada Fallen Angels yang memesona secara visual pada tahun setelahnya. Tetapi di mana film sebelumnya adalah seorang karakter yang hangat, karakter utamanya adalah polisi, Fallen Angels bercerita tentang seorang penjahat — seorang pembunuh bayaran (Leon Lai Ming) dan pelarinya (Michelle Reis), seorang perusuh gila yang gembira (Kaneshiro lagi) —dan itu disengaja tampak tidak mempesona. Lai dan Reis menyuguhkan penampilan yang tidak menarik; kejenakaan Kaneshiro cukup menyebalkan; juga Wong menggunakan lensa wide-angle, sementara itu dengan cekatan, Wong menekankan jarak emosional antar karakter, membuat hampir setiap adegan terasing. (Satu-satunya perasaan yang nyata dalam film ini adalah hubungan Kaneshiro dengan ayahnya, yang ditambahkan ketika Chang mengatakan dia menemukan potongan pertama terlalu dingin dan tidak manusiawi.) Pada saat film mencapai akhir yang luar biasa—langit yang mengintip di antara gedung pencakar langit hingga suara Flying Pickets menyanyikan Only You—tidak ada yang bisa disalahkan karena merasa lelah. Konon, kerennya film ini adalah bagian dari tujuan Wong, yang bukan untuk meniru Chungking Express tetapi untuk memutar pada porosnya dan mengikuti jalur percabangannya di suatu tempat yang baru. Memang, beberapa kritikus lebih memilih Fallen Angels, yang mereka kritik semangat membara pada film sebelumnya, seperti para kritikus yang mengomentari The Godfather Bagian II mengomentari dan merendahkan The Godfather.
Dua film ini, keduanya berlatar pada masa remaja, WKW menjadi sutradara ikon—dan menjadi target, di dalam dan luar negeri. Komedi Hong Kong memparodikan efek visual simbolisnya, seperti kerumunan yang mengalir seperti sungai dengan kecepatan statis. Memamerkan keindahan puritanisme yang suram, beberapa kritikus senior menuduhnya hanya menyajikan shot yang memanjakan mata, sementara yang lainnya menyatakan film WKW menyerupai MTV dan iklan. Mengesampingkan fakta bahwa gaya Wong berubah seiring berjalannya waktu—guna menyesuaikan cerita tertentu yang ingin dia tampilkan, faktanya adalah bahwa dirinya tidak menggunakan citra yang indah dan menawan sekadar untuk kepentingannya sendiri. Dia selalu mencari cara baru untuk menggambarkan rasa sakit, kerinduan, gairah, dan kebahagiaan. Tentunya kita semua pernah merasa sepi ketika berada di keramaian dan merasa terbelenggu oleh emosi kita sendiri. Dan jika Wong menggunakan beberapa teknik yang familiar dari iklan dan video musik, hal tersebut bukan untuk menjual sesuatu kepada pemirsa—ia hanya memperluas bahasa visual dan aura untuk menarik pemirsa ke dalam emosi ceritanya.
Namun, bahkan ketika suami dan ayah tersebut dianggap bodoh, dia sudah pindah—ke Buenos Aires—di mana dia sedang syuting film dengan kondisi psikis yang rapuh dan perasaan yang hancur. Merupakan kisah cinta lainnya diwarnai dengan pilu, Happy Together (1997) berpusat pada hubungan seksual yang tragis antara dua pelancong Hong Kong ke Argentina: Po-Wing (Leslie Cheung) yang memikat dan kasar, serta kekasihnya, Yiu-Fai yang sebenarnya baik hati dimainkan dalam pertunjukan dramatis kelas dunia pertamanya untuk Wong oleh Tony Leung.
Tarian Tango tersebut memenangkan hati para penonton dengan sekejap, dan secara reduktif dikenal sebagai film gay dari karya WKW, dan Happy Together merupakan sebuah tontonan yang menantang bagi penonton Asia—melihat dua bintang besar perfilman Asia melakukan adegan seks merupakan sebuah terobosan. Tapi tema cinta yang riskan bukanlah hal baru bagi Wong. Doyle mungkin telah melakukan karya terbaiknya dalam tampilan film-film Wong yang kontras, dengan interiornya milik Nan Goldin yang tajam, jalan raya Argentina yang indah, dan bidikan Iguazú Falls yang luar biasa. Secara tematis, Wong menggunakan hubungan menyakitkan antara Yiu-Fai yang tersiksa dengan Po-Wing (dan yang lebih bahagia dengan karakter Taiwan Chang Chen, Chang) untuk membuat komentar miring tentang kehilangan dan pemulihan, identitas budaya, diaspora Tiongkok, dan isu yang membayangi penyerahan Hong Kong ke tangan Po-Wing. Cina, yang berlangsung enam minggu setelah Happy Together tayang perdana di Cannes (di mana Wong memenangkan kategori sutradara terbaik). Hal tersebut diam-diam memunculkan pertanyaan yang bergema hingga hari ini: Bisakah Hong Kong dan daratannya bahagia bersama seutuhnya?
Pada titik ini, Wong, Doyle, dan Chang telah mengelaborasi sebuah gaya, sekaligus kegelisahan dan kecantikan, yang telah melebur begitu reflektif sehingga mereka bertiga—orang-orang yang mudah bosan ini menjadi bersemangat untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Hasilnya adalah film Wong yang paling dicintai dan diakui, In the Mood for Love (2000), bidikan kameranya yang elegan dan bergerak melalui lorong-lorong apartemen yang sesak dan jalanana malam yang gelap di Hong Kong pada tahun enam puluhan—bidikan jalanan tersebut merupakan jalanan di mana Wong menghabiskan masa kecilnya. Kisah dalam film ini begitu sederhana. Tony Leung dan Maggie Cheung (keduanya luar biasa) berperan sebagai Mo-Wan dan Li-Zhen (versi karakter yang lebih tua di Days of Being Wild?), tetangga paruh baya yang, mengetahui bahwa pasangan mereka masing-masing berselingkuh, mereka sendiri diam-diam mulai bertemu—apakah mereka juga akan menjadi sepasang kekasih?
Wong mengatakan bahwa semua filmnya seperti musikal kecuali para aktornya yang tidak menyanyi. Dia mendorong gagasan tersebut secara ekstrem dalam In the Mood for Love, sebuah film tentang pandangan sekilas dan petunjuk serta sindiran yang didorong oleh “Tema Yumeji” karya Shigeru Umebayashi, mungkin tema film paling menyentuh dalam seperempat abad terakhir. (Hanya mendengar hal tersebut, membuat gambar film membanjiri pikiranmu.) Begitu sedikit hal yang sebenarnya diungkapkan—bahkan bagian akhir di Angkor Wat sulit dipahami—In the Mood for Love memang terasa seperti musikal, atau mungkin tarian; faktanya, The Shanghai Ballet menampilkan versinya pada tahun 2007. Mempertimbangkan anggaran yang dia miliki, Chang mungkin adalah perancang film terhebat pada generasi kita, dan dalam meramu tampilan film yang mengilap—rumah susun, tatanan rambut, kostum—dia bahkan mengalahkan dirinya sendiri. Dua puluh cheongsam (dan qipao) yang dipakainya untuk mendandani Cheung sangat indah bahkan editor saya yang sulit terkesan di Vogue pernah membuat saya menulis tentang mereka. WKW selalu menjadi sutradara yang sulit diprediksi dalam tindakannya yang penuh makna, dan In the Mood for Love begitu indah serta menggoda sehingga mudah untuk menghapusnya sebagai topeng. Namun esensi seni ciptaan Wong terletak pada pemisahan antara daya pikat dunianya dari permukaan, kerinduan, kekecewaan, dan kegagalan yang ada di dalamnya. Film ini mungkin menarik kita dengan kemewahan gayanya, tetapi menahan kita dengan keinginan (keputusasaan) kita untuk melihat Leung dan Cheung bahagia bersama, perasaan rumit yang ditangkap dengan baik dalam judul Cina, film tersebut diterjemahkan sebagai “Saat-Saat Yang Paling Indah.”
Jika Wong memiliki tema yang tak terabaikan selain kegagalan cinta, hal tersebut adalah waktu, dalam banyak mutasinya—menit demi menit, waktu sejarah, waktu geologis, waktu pengalaman psikologis, belum lagi interaksi di antara mereka. Merayakan saat-saat yang cepat berlalu di mana realitas sederhana menghasilkan kilasan keajaiban—hanya sedikit sutradara yang menyukai gerak tubuh dan rekam jejak yang anggun—karyanya dipenuhi dengan jam, lompatan kronologis, dan kerjasama antara sepasang sejoli yang begitu memikat waktu, yakni kenangan. Semuanya datang bersama-sama pada tahun 2046 (2004), sebuah film yang judulnya menandai tahun terakhir dari lima puluh tahun keberadaan Hong Kong sebagai wilayah administrasi semi-otonom Cina dan yang ceritanya sekaligus membangkitkan dunia futuristik—menawarkan perumpamaan tentang keberadaan. Terjebak dalam masa lalu nostalgia yang tidak semegah seperti yang diingat oleh orang-orang.
Seperti yang dilakukan Fallen Angels dengan Chungking Express, 2046 dikerjakan ulang dan dibiaskan pada In the Mood for Love. Kami kembali lagi ke apartemen masa kecil Wong di Hong Kong, dan Tony Leung kembali menjadi bintang kami, kembali berperan sebagai Mo-Wan, yang dihantui oleh ingatannya tentang Li-Zhen. Tapi kali ini, temanya bukanlah keinginan yang terpendam, dan gayanya yang mewah dan mempesona telah lenyap. Dengan kumis ala Clark Gable, Mo-Wan sekarang menjadi penulis fiksi ilmiah caddish yang kesadisan romantisnya semakin berbahaya karena dia tersenyum begitu manis ketika menulis kisah tersebut. Dia menampilkan pesonanya pada beberapa wanita terkemuka Asia yang paling terkenal, termasuk Carina Lau (memerankan Mimi/Lulu lainnya), Gong Li (memerankan Li-Zhen lainnya), dan Madonna versi Cina, yang dimainkan oleh Faye Wong. Daya pikatnya mencapai puncaknya dalam pertemuan erotisnya—pertama terasa menyenangkan, kemudian berakhir kejam—dengan Ziyi Zhang sebagai Bai Ling, dalam penampilan penuh gairah yang memilukan—menandai puncak kariernya sejauh ini. Untuk alur cerita ini, Wong menambahkan lapisan jalinan kedua dengan membayangkan masa depan fiksi ilmiah yang diambil dari tulisan Mo-Wan. Sekali lagi, ada penggandaan yang melimpah—dimulai dengan penggunaan banyak pemeran yang sama di kedua alur cerita. Di dunia masa depan yang fiktif ini, Takuya Kimura (yang berperan sebagai kekasih Faye Wong di Hong Kong tahun enam puluhan) adalah seorang pemuda yang terjebak di kereta tanpa henti menuju kota yang dikenal sebagai 2046; dia jatuh cinta dengan salah satu pelayan androidnya, yang tentu saja dimainkan oleh Faye Wong sendiri.
Sementara 2046 adalah salah satu karya Wong yang paling kompleks dan paling berharga, produksinya sangat melelahkan dan berlarut-larut sehingga mengejutkan pihak Cannes dengan harus menunda jadwal pemutarannya (berbicara tentang bermain dengan waktu!). Orang-orang menduga bahwa sejarahnya yang menyiksa menjelaskan ketidaksempurnaan dalam cerita film tersebut: dunia masa depan yang kurang gizi, secara visual dan tematis dibandingkan dengan imajinasi yang kaya digambarkan oleh Wong mengenai Hong Kong pada era enam puluhan.
Ironisnya, selama jeda dari rilisnya sekitar 2046 yang menyiksa, WKW membuat karyanya yang paling sempurna, The Hand (di sini dalam “versi panjang” lima puluh enam menit), episodenya dari film antologi 2004 Eros yang benar-benar mengalahkan kontribusi idola lamanya, Antonioni. Menyatukan obsesi Wong dengan romansa dan waktu yang berlalu, film pendek tersebut mengikuti hubungan bertahun-tahun antara pelacur cantik kelas atas, Nona Hua (Gong Li yang mempesona) dan penjahit muda, Zhang (Chang Chen), yang terpikat atas mantranya dan tidak pernah kehilangan fantasinya sejak saat itu, bahkan saat kecantikannya memudar. Setiap momen bersinar, dari potret Chang yang memuja penuh gairah hingga bintang Gong dengan keangkuhannya bergerak pada sinematografi Doyle begitu halus, hal tersebut mengubah Zhang mengukur tubuh Nona Hua menjadi bentuk sensualitas yang hampir mirip seperti fetish.
Akan sangat menyakitkan untuk menyatakan bahwa kesempurnaan The Hand yang seperti permata entah bagaimana Wong membuatnya—karya ini lebih hebat daripada fitur-fitur Wong yang lainnya. Itu seperti membandingkan sebuah cerita pendek dengan serangkaian peristiwa pada novel. Namun film pendek yang rapi ini adalah aide-mémoire yang sangat baik untuk kualitas yang berhasil mendefinisikan semesta WKW dan menjadikannya sentuhan udaya: daya tariknya terhadap waktu, ingatan, dan kegagalan cinta; Produksi dan desain kostum Chang yang sempurna; Bakat Doyle untuk membidik kilauan yang bergairah dari wajah manusia; dan kemampuan Wong sendiri untuk memenangkan pertunjukan tanpa pernah berusaha terlalu keras, menghasilkan karya klasik. Tidak ada sutradara yang semasa hidupnya memperlakukan aktornya dengan lebih lembut atau membuat mereka terlihat lebih cantik.
Saya pernah bertanya kepadanya bagaimana dia berhasil membuat para aktornya berakting dengan sangat baik dan terlihat begitu memukau. Dia tersenyum: “Saya selalu memberi tahu pemeran saya, saya adalah jaring pengaman Anda. Jangan khawatir. Lompatlah—dan aku akan menangkapmu.”
Seseorang mampu memberikan saran yang sama kepada mereka yang membuka koleksi ini. Dalam hal kesenangan, tak ada satu sutradara pun yang menawarkan jaring pengaman yang lebih handal. Jadi jangan pernah khawatir atau ragu. Lompatlah pada film-filmnya. WKW akan menangkapmu.
John Powers, pernah menulis kritik film untuk LA Weekly, Vogue dan NPR’s Fresh Air bersama Terry Gross, di mana ia sering menulis di sana. Dia ikut andil dalam menulis (dengan Wong Kar Wai) buku WKW: The Cinema Of Wong Kar Wai, yang dirilis pada tahun 2016.
Diterjemahkan oleh: Mega Fadilla
Desain oleh: Shafa Salsabilla
Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan mencari uang, tidur, membantu orang tua, ibadah dan menonton bila sempat.
Leave a Reply