Mania Cinema

Ashiap Man: Melihat Atta Halilintar Mencintai Dirinya Sendiri

Atta Halilintar seperti hidup dalam semestanya sendiri. Di semestanya, sorotan adalah temannya dan mencari sensasi adalah hobi favoritnya. Tidak seperti youtuber lain yang menggunakan bakat dan ketertarikannya dalam membuat video, Atta Halilintar “bereksperimentasi” dengan hal lain: kuasa dan uang orang tuanya. Video-video YouTube Atta Halilintar yang menggunakan format vlog, fokus dalam mencari sensasi dan perhatian publik internet Indonesia yang sering terkecoh dengan pancingan clickbait untuk mendapatkan jumlah tontonan sebanyak-banyaknya. Tujuan dari video YouTube Atta Halilintar bukan memamerkan kelihaian dalam bakatnya, bukan juga menjadi alternatif sumber pengetahuan ataupun sebagai corong advokasi masyarakat. Tujuannya mencari sensasi dari hiburan yang direkayasa untuk mendapatkan sorotan. Karena sorotan adalah adalah teman terbaiknya.

Seperti tak puas mencari sorotan dan sensasi di medium YouTube, Atta Halilintar ingin memperluas jejaring sorotan “teman” di medium film panjang. Ashiap Man adalah hasil dari pencarian “teman” itu. Di Ashiap Man, Atta Halilintar menyutradarai filmnya. Atta Halilintar menggunakan genre super hero dengan balutan laga dan komedi. Pemilihan genre ini dibilang cukup strategis guna menarik perhatian calon penonton, mengingat citra film super hero yang cukup diminati oleh khalayak publik Indonesia. Belum lagi mengingat tujuan dari video YouTube Atta Halilintar yang ingin mencari sorotan juga terwujud dari format film yang diusung oleh Atta Halilintar. Ashiap Man bukan sekadar siasat Atta Halilintar untuk mencari sorotan dan memperkuat sorotan terhadap dirinya, namun juga ingin menumbuhkan citra diri positif dan ego narsisistik yang tinggi di dalam benak penonton.

Ashiap Man = Atta Halilintar

Pengalihan medium dari video YouTube ke film layar lebar sebenarnya sudah dilakukan oleh youtuber sebelum Atta Halilintar. Youtubers (2015) merupakan film layar lebar pertama yang dibuat oleh youtuber, Jovial da Lopez bersama komedian Kemal Palevi. Rampungnya film tersebut terkesan dipaksakan, dalam artian baik tata visual yang diberikan serta gagasan yang dihadirkan terkesan masih setengah matang dan prematur. Film itu terkesan seperti lelucon-lelucon yang digabung menjadi satu, bukan sebuah adegan film. Berbeda dengan Ashiap Man, Atta Halilintar tampaknya sudah matang dalam meramu kompleksitas visual dalam film ini. Kompleksitas warna yang hadir nampak lebih matang dan kuat ketimbang Youtubers (2015), walaupun visual efek yang diberikan masih terkesan seperti hasil kerja siswa SMK jurusan multi media yang sering bolos kelas. Kendati memiliki tatanan visual yang cukup matang, tetap saja gagasan yang dihadirkan di film ini tak lebih dari unjuk gigih Atta Halilintar dalam memperluas sorotan dan menjalankan hobi favoritnya: mencari sensasi.

Ashiap Man memiliki protagonis dengan nama Zulkarnaen (Atta Halilintar) atau disapa dengan Zul yang memiliki ambisi dan visi dari sejak kecil untuk menjadi pahlawan super yang dapat membantu warga kampungnya. Beranjak dewasa, ia bekerja menjadi pengantar air galon dan dikenal warga sebagai “Ashiap Man” karena ia selalu mengucapkan “Ashiap” setiap mengantar air galon. Karakter Zul yang dimainkan oleh Atta Halilintar itu sendiri, dan menggunakan slogan yang diciptakan olehnya juga menciptakan perasaan meta. Perasaan meta ini menghasilkan sebuah persepsi dalam imaji penonton: bahwa Zul itu adalah Atta Halilintar dalam dunia nyata. Sehingga, selama film berlangsung, ada perasaan bahwa Atta Halilintar memerankan dirinya sendiri, bukan Zul.

Karakterisasi Zul digambarkan sebagai standar orang “baik” dalam masyarakat Indonesiaia digambarkan menjadi imam sholat untuk keluarganya, selalu mengucapkan “Assalamualaikum” saat bertemu. Ia juga digambarkan cinta tanah air, bisa dilihat ketika ia selalu memberi hormat kepada bendera merah putih. Ia menyanyangi orang tua dan selalu membantu warga kampungnya jika memiliki masalah. Salah satu hal yang berbeda adalah Zul bukan orang Jawa, ia bersuku Minang.

Salah satu sifat Zul yang ia pegang adalah: kejujuran. Suatu ketika teman Zul, Diana (Gritte Agatha) dan Jon (Yudha Keling) memiliki siasat untuk menjadikan Zul pahlawan super yang kuat. Diana dan Jon menyarankan Zul menonton video Mr. Jamet (Yayan Ruhian) yang menampilkan aksi bela diri ala superhero yang memukau Zul dan teman-temannya. Singkat cerita, mereka bertemu dengan Mr. Jamet dan meminta membeberkan rahasia dari “kekuatan” yang dimilikinya. Ternyata, rahasia dari “kekuatan” Mr. Jamet adalah rekayasa teknik penyuntingan dan visual efek yang membuat sebuah ilusi. Zul kaget akan jawaban Mr. Jamet, sedangkan Diana dan Jon kegirangan dengan rahasia tersebut. Setelah itu, Diana dan  membujuk Zul untuk membuat video rekayasa Ashiap Man yang menyelamatkan orang dari bahaya. Video tersebut menjadi populer, dan warga kampung pun menyukai Zul. Respon Zul akan hal tersebut berbanding terbalik; ia galau dan merasa bersalah karena telah membohongi publik atas video itu.

Sikap Zul di sini sangat berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh Atta Halilintar di dunia nyata. Atta Halilintar senang mengelabui penontonnya dengan ilusi kebohongan melalui konten prank dan thumbnail yang menggugah penonton untuk mengklik videonya. Jika melihat laman kanal YouTube Atta Halilintar yang sekarang sudah berganti nama menjadi AH, kita bisa melihat pola mengelabui Atta Halilintar dengan judul video yang menggunakan huruf kapital, lingkaran warna merah dan judul yang cukup provokatif. Semenjak menikah, kanal Atta Halilintar lebih fokus menyoroti kehidupan berumah tangga, walaupun begitu pola-pola mengelabui ini masih digunakan walaupun tidak se-provokatif sebelum dia menikah. Dari sikap Zul yang jujur ini, Atta ingin mengisyarakatkan bahwa dia adalah pengkarya yang jujur, walaupun sangat berbeda dengan kenyataannya.

Menyampingkan konteks sosio-politik, medepankan citra diri positif

Hal yang membedakan film ini dengan film produksi youtuber yang lain adalah konteks sosio-politik yang kuat. Hal ini menjadi daya tawar yang menarik, namun, sayang, konteks sosio-politik ini seperti dieksploitasi oleh Atta Halilintar untuk citra diri dan memberi makan ego narsistiknya. Konteks sosio-politik dimulai ketika seorang kaki-tangan tuan tanah wilayah kampung, DP Man (Samuel Rizal) datang dan mengobrak-abrik rumah singgah yang dikelola oleh Aisyah (Aurel Hermansyah). DP Man mengancam jika uang sewa rumah singgah dan yang lain tidak dibayar, maka akan terjadi penggusuran lahan. Sebenarnya, ancaman DP Man tidak berguna karena mau dibayar atau tidak, lahan wilayah kampung akan tetap digusur demi pembangunan apartemen oleh bos DP Man, Gersang (Marcellino Lafrand). Melihat kejadian ini, naluri pahlawan Zul bangkit dan akan melindungi warga kampungnya dari penggusuran lahan. Atta Halilintar menggunakan kaum marginal dengan konteks penggusuran sebagai objek, bukan subjek. Kompleksitas kehidupan kaum marginal tidak terlalu memiliki kedalaman narasi cerita, hanya sebagai objek pemicu untuk melatarbelakangi motivasi karakter Zul dalam aksi pahlawannya. Bukan menunjukan rasa peduli Atta Halilintar kepada kaum marginal atau penggusuran lahan.

Upaya penggusuran ini coba dihentikan oleh Kiara (Nasya Marcella), anak seorang pejabat bernama Dwi Rupa (Ferry Irawan) yang menggunakan privilese yang dimiliki ayahnya untuk menghentikan penggusuran yang terjadi. Hal yang mengejutkan yang disadari Kiara adalah ketika mengetahui bahwa ayahnya mendukung proses penggusuran lahan tersebut karena perusahaan Gersang mendukung kerja-kerja politik Dwi Rupa. Kiara pun memberontak dengan menjebak Nico (Rizky Billar), anak Gersang untuk menikah dengannya dan membocorkan bukti dan data perusahaan Gersang ke publik bersama dengan Zul yang sudah bertransformasi menjadi Ashiap Man.

Konteks sosio-politik ini cukup kompleks dan menarik untuk dibahas. Penggusuran lahan yang dilakukan oleh perusahaan besar sudah umum terjadi di konteks masyarakat Indonesia sehari-hari. Saya tidak perlu memberikan contoh banyak atas kasus ini karena hal ini sudah sangat umum dan diketahui oleh masyarakat umum. Konflik sengketa tanah bandara Kulon Progo, konflik agraria Wadas, konflik sangketa sawit yang umum terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Papua yakni beberapa contoh kecil dari sejumlah konflik penggusuran lahan yang sering terjadi di Indonesia. Belum lagi dengan pejabat politik yang memanfaatkan perusahaan besar yang didanai oleh perusahaan besar problematik dan menyampingkan rasa moral dan iba demi manuver politik yang lebih aktif, demi citra dan nama besar.

Konflik sosio-politik ini seolah tidak dianggap serius oleh Atta Halilintar dan hanya dianggap sebagai pelengkap atau latar belakang cerita yang mendukung protagonisnya untuk menyelesaikan masalah dan menjadi pahlawan di akhir film. Konteks konflik sosio-politik tidak dianggap sebagai masalah struktural yang kompleks. Atta Halilintar juga tidak menyoroti secara dalam bagaimana perasaan warga-warga dengan dalam akan dampak penggusuran lahan, malah, Atta Halilintar menyelipkan lelucon-lelucon akan Zul, Diana dan Jon sebagai selipan. Pada akhrnya, Ashiap Man hanya menjadi salah satu medium Atta Halilintar untuk memberi makan egonya dan  memberikan citra diri positif ke dalam benak penonton. Ia juga menyampingkan masalah konteks sosio-politik yang kompleks dan hanya fokus pada dirinya sendiri. Dalam beberapa tahun ke depan, saya tidak akan heran jika Atta Halilintar menyalonkan dirinya menjadi presiden untuk memperluas “teman terbaiknya”: sorotan dan atensi.

Ashiap Man bisa disaksikan di Amazon Prime Video pada 17 November 2022.

Catatan: Ulasan ini adalah bagian dari kampanye promosi Ashiap Man yang dilakukan oleh Amazon Prime Video, ditulis atas permintaan berbayar kepada penulis dan tetap mempertahankan independensi penulis.

Ashiap Man |2022| Durasi: 101 Menit| Sutradara: Atta Halilintar & Herdanius Larobu (co-director)| Penulis: Cassandra Massardi| Produksi: Starvision| Pemeran: Atta Halilintar, Nasya Marcella, Aurel Hermansyah, Gritte Agatha, Yudha Keling, Rizky Billar.

 

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top