Mania Cinema

Melihat Pocong Hiu Berjoget sambil Mandi Darah: Analisis Semesta Sinema Azzam fi Rullah

Azzam fi Rullah ialah sosok yang sedang digemari belakangan ini. Kemunculannya dalam lanskap sinema Indonesia dimulai pada film pendek Derranged Behaviour (2017) yang mengambil inspirasi kuat film-film seksploitasi Indonesia pada era 1990-an. Perilisan film pendek ini juga dinilai tidak lumrah pada zamannya karena dirilis pada medium DVD yang dicetak secara terbatas. Atensi publik terhadap Azzam mulai meningkat mengikuti rilisnya film pendek selanjutnya, Pocong Hiu: Unleashed (2017). Film ini mengambil salah satu mitos hantu populer Indonesia, yaitu Pocong dan dikombinasikan dengan kepala Ikan Hiu ala film Sharknado dan gaya tutur film-film slasher tahun 1970-an. Perasaan saat menonton film ini seperti gabungan film horror Indonesia tahun 2000-an, slasher kelas B tahun 1970-1980an digabung dengan fiksi ilmiah monster seperti Sharknado. Sungguh sebuah momen yang membuat penonton mengelus dada dan mengusap kepala.

Setelahnya, Azzam fi Rullah kian bereksperimen dengan medium film, khususnya pada jenis film kelas B/Eksploitasi dan ia kombinasikan dengan elemen horror, muncratan darah (hampir di semua film Azzam ada darah yang bermuncratan), dan khazanah kearifan lokal Indonesia. Azzam patut diibaratkan dengan seniman kolase. Ia memadukan hampir apa saja hal yang kadang menjadi kontradiksi dan menyajikannya dalam medium film, yang terkadang melanggar pakem sinematik yang ada. Walaupun fokus pada jenis film kelas B, dalam filmografinya, Azzam kian berkembang dengan mencoba dan bereksperimen dengan pendekatan genre film dan tutur sinematik lain.

Artikel ini akan berfokus pada bentuk tutur sinematik Azzam yang selalu berubah-ubah dalam satu film ke film lainnya namun tetap pada benang merah yang sama. Juga membahas bagaimana ia menjadikan gaya film kelas B, yang merupakan jenis film terpinggir di Indonesia bahkan dunia) menjadi hal yang ‘lumrah’ dalam skena sinema Indonesia pada dekade 2010. Selain itu, artikel ini akan membahas materi film Azzam yang sering membahas hal tabu di Indonesia, seperti: seks, orientasi seksual, narkoba, dan tutur sinematiknya dalam politik selera sinema Indonesia.

Sebelum menelaah lebih lanjut mengenai bentuk sinema Azzam dan dinamika politik selera, saya akan membahas istilah dari film B/Eksploitasi. Dalam konteks film-film Azzam, kedua istilah ini tidak bisa dipisah. Film B atau B Movies lebih mengarah ke corak produksi, ia adalah jenis film-film yang dibuat murah. Label “B” dalam film B menunjukan arah kelasnya. Ia dinomor-duakan ketimbang film-film kelas “A” yang memiliki anggaran yang lebih tinggi. Sedangkan, film Eksploitasi atau Exploitation Films merupakan sebuah jenis film yang menghadirkan penggambaran eksplisit dari hal-hal tabu seperti: seks, narkoba, pembunuhan, hal-hal yang keluar dari norma umum publik. Jadi, film kelas B belum tentu film Eksploitasi, namun film-film Eksploitasi secara umum adalah film B. Hal ini merujuk pada keadaan film Eksploitasi yang susah masuk ke dalam industri arus utama dikarenakan isi film yang menentang norma (apalagi dengan kebijakan sensor di Indonesia) sehingga penjualannya secara luas cukup sulit dilakukan.

Film kelas B/Eksploitasi hadir di Indonesia pada dekade 1970an sampai akhirnya pada pertengahan 1990an. Film-film B/Eksploitasi ini hadir dalam berbagai jenis film, mulai dari: film zombi  (Satan’s Slave), film tentang kanibal (Primitif), Perempuan dalam penjara (Virgin from Hell), Film “Womensploitation” (Ferocious Female Freedom Fighters/Perempuan Bergairah), dan film supranatural/mistis (Leak, Queen of Black Magic/Ratu Ilmu Hitam). Ada juga beberapa genre yang spesifik masuk dalam budaya Indonesia, seperti “kumpeni”, diwakilkan oleh film seperti Jaka Sembung Sang Penakluk dan genre “legenda” yang ditemukan dalam film Nyi Blorong dan Pembalasan Ratu Laut Selatan.  Film-film sejenis juga dipinggirkan oleh rezim Orde Baru. Film B/Eksploitasi ini tidak punya tempat dalam wacana “film nasional”. Film-film sejenis lebih mengarah kepada distribusi untuk kelas menengah ke bawah, dengan pemutaran layar tancap.

Bentuk Sinema

Saat melihat dan menilai bentuk keseluruhan filmografi Azzam, saya teringat dengan keseluruhan filmografi dari Quentin Tarantino. Dari segi genre dan tema, keseluruhan filmografi Quentin Tarantino tak memiliki pakem dan jenis tertentu. Dilihat dari pola sinematik Tarantino, dari film ke film lainnya memiliki pola yang sama, yaitu homage (penghormatan) terhadap zaman atau periode film tertentu. Tarantino tak hanya dikenal sebagai seorang sutradara, melainkan juga sebagai seorang sinefil penuh pretensi yang melahap film jenis apapun. Tak heran apabila ia melakukan homage pada kebanyakan filmnya. Contohnya pada Jackie Brown (1997) merupakan homage pada film-film Blaxploitation tahun 1970-an, Death Proof (2007) merupakan homage pada film slasher kelas B, atau Django Unchained (2012) yang fokus melakukan homage pada film western koboi tahun 1950-1960an.

Melihat homage yang sering dilakukan oleh Tarantino, saya melihat pola yang sama terjadi dalam rentetan karir sinematik di film-film Azzam. Alih-alih terinspirasi oleh film-film French New Wave atau Naberu Begu yang terkesan niche dan edgy, Azzam justru terinspirasi dan melakukan homage-nya pada film-film horor, slasher kelas B, semua jenis film yang memiliki istilah ‘-ploitasi/-ploitation’ dalam sebutannya bahkan sinetron Indonesia yang cenderung terpinggir dalam konteks arus pasar dan selera sinema. Azzam tentu tidak hanya melakukan homage, ia mengadopsi gaya tutur sinema lain untuk dimasukkan dalam konteks filmnya sendiri. Adopsi gaya tutur sinema dalam berbagai jenis film membuat gaya tutur sinema Azzam tidak dapat ditebak dalam satu film ke film lainnya. Azzam fi Rullah adalah salah satu dari sedikit sineas Indonesia yang karya selanjutnya tidak bisa ditebak.

Bisa dilihat dari rentetan awal rilis film-film Azzam. Pada film pertama, Derranged Behaviour (2017) adalah sebuah film seksploitasi slasher yang terinspirasi dari film seksploitasi Indonesia tahun 1990-an. Alih-alih ia membuat jenis dan tema film yang sama pada karya keduanya, ia lantas melakukan eksperimentasi tema pada horor Indonesia tahun 2000-an awal (yang sangat terinspirasi penuh oleh karya-karya film Nayato fio Nuala, penggabungan pocong dan hewan yang membuat film ini sedikit ‘fiksi ilmiah’ dan penempatan waktu komedi yang pas. Ia membuat Pocong Hiu: Unleashed (2017) yang membuat namanya mulai melambung tinggi.

Berangkat dari filmografi Azzam yang berbeda dari satu film ke film lainnya, hal ini mengakibatkan gaya tutur sinema Azzam semakin liar, imajinatif, bahkan bersifat eksperimental dalam mengaburkan batas-batas kaidah sinematik yang ada. Kombinasi yang menurut saya menarik, namun masih jarang disebut adalah Kesurupan Erotik (2020). Dari judulnya saja sudah mengundang atensi karena mengandung jukstaposisi dua kata yang mungkin sebelumnya belum pernah dipadankan secara bersamaan. Film ini awalnya mengambil inspirasi dari film-film seksploitasi (jenis turunan dari film Eksploitasi yang mengeksplor dan mengeksploitasi seks sebagai plot utamanya) tahun 1990-an yang kemudian dipadukan dengan film laga generik pada era yang sama. Film ini menceritakan tentang sekelompok pembunuh bayaran wanita yang suka seks dan memiliki fetish seks aneh, mereka baru birahi ketika pasangan seksnya terjangkit kesurupan. Suatu saat, pasangan seks mereka bertingkah aneh, dan kemudian menyerang mereka dengan agresif. Ternyata pasangan seks mereka adalah alien yang ingin menyerang ketiga wanita tersebut.

Membaca ringkasan cerita dari film Kesurupan Erotik (2020) rasanya ingin menggarukkan kepala dan bingung atas apa yang telah dibaca, seolah tidak percaya bahwa hal ini telah ditulis, dirancang, diambil gambarnya dan disunting untuk menjadi satu kesatuan film pendek. Pengalaman menonton filmnya juga tak kalah aneh, tapi ini ‘aneh’ yang menyenangkan. Film ini direkam menggunakan kamera mini DV. Sebuah medium rekam digital berformat video yang populer pada pertengahan 1990-an dan awal 2000-an. Mini DV memiliki guratan estetikanya tersendiri, ia menghasilkan gambar yang sedikit mirip dengan estetika gambar VHS, namun lebih tegas dan tajam. Melihat estetika Mini DV, mengingatkan kita pada sinetron dan beberapa film anggaran rendah pada pertengahan 1990-an sampai awal 2000-an. Dalam estetika film ini, penggunaan Mini DV tak sekadar untuk menyampaikan homage Azzam terhadap film seksploitasi dan laga anggaran rendah medio 1990-an, namun juga dalam penekanan suasana dalam film.

Warna yang disuarkan dalam medium Mini DV tidak jernih dan tidak memiliki detail yang tajam seperti seluloid film. Dikarenakan tidak memiliki penyuaran warna yang tajam, warna dalam film ini terkesan sedikit kabur dan memiliki efek pembauran. Hal ini dihasilkan oleh warna visual tajam dalam film, warna tajam seperti merah dan biru yang saling beradu. Biru dalam film ini menandakan latar malam, sedangkan merah menandakan gairah seks sensual yang terjadi dalam tiga tokoh utama film ini. Pencahayaan warna yang tajam dan efek penyuaran gambar dalam Mini DV yang tidak sempurna, menghasilkan kombinasi menegangkan nan-campy. Belum lagi ditambah dengan adegan pembasmian alien di akhir. Membuat film ini dari laga erotis menjadi film fiksi ilmiah. Pembauran batas antara jenis dan genre inilah yang membuat bentuk sinema Azzam kian bereksperimen dan berubah

Reduksi gambar dan resolusi Mini DV dalam Kesurupan Erotik (2020)

Selain berkesperimen dengan jenis dan tema pada berbagai film, Azzam juga suka bereksplorasi dengan gaya tutur sinematik lainnya, salah satunya elemen penyuntingan. Eksplorasi penyuntingan ini terkesan lazim karena Azzam sendiri lah yang menyunting hampir semua film di filmografinya. Bergabung dengan Putra Merdeka dengan moniker Amer Bersaudara, Kuntilanak Pecah Ketuban (2018) wujud manisfestasi dari eksplorasi penyuntingan pada filmografi Azzam. Film ini bercerita tentang pasangan kembar Santi dan Sinta (Nadia Anindita) yang memiliki permasalahan rumah tangga. Santi kaget akan kabar perselingkuhan Sinta dengan suaminya, Krisna. Kemandulan Santi jadi alasan Krisna untuk berselingkuh. Sinta dan Krisna akhirnya membunuh Santi dengan pistol.  Saat mati, Santi berada dalam ruang tunggu neraka, ia melihat tayangan ulang ketika dibunuh. Ia ingin balas dendam, ia meminta Iblis penjaga ruang tunggu neraka (Sigit Pradityo) untuk mengkaruniakan Santi anak. Santi kembali dan membalas dendam dengan menggunakan janinnya sebagai senjata.

Kuntilanak Pecah Ketuban berfokus pada latar alam dunia dan alam baka. Pada transisi alam dunia dan baka, Azzam menggunakan beberapa teknik penyuntingan yang sebenarnya sudah cukup umum pada khazanah sinema dunia, namun ia mengemasnya dengan sedikit berbeda dan penuh dengan jenaka. Pada adegan di alam baka, ada adegan Santi sedang melirik ke sebuah pintu. Di pintu itu tiba-tiba muncul pocong yang sedang pelan-pelan melirik ke arah Santi, yang membuatnya semakin penasaran dan tetap melirik pocong itu. Azzam sebenarnya menggunakan teknik potongan montase a la Kuleshov, disebut juga dengan Efek Kuleshov (Kuleshov Effect). Teknik penyuntingan ini salah satu teknik penyuntingan awal sinema. Sekitar awal abad ke-20, Lev Kuleshov melakukan eksperimentasi pada gambar bergerak (film). Secara bolak-balik, ia memadukan dua gambar yang berbeda, untuk menghasilkan efek psikologi dan membuat sebuah wacana persepsi akan kedua gambar yang sedang diciptakan. Salah satu contohnya ada pada cuplikan gif satu ini:

Dalam eksperimentasi ini, Kuleshov menggabungkan kedua gambar. Gambar pertama adalah wajah pria dengan ekspresi datar, gambar kedua adalah makanan. Paduan gambar ini diciptakan untuk menghasilkan efek bahwa pria itu menginginkan makanan itu. Lebih lanjut, ada dua cuplikan gambar lagi yang mungkin bisa dijelaskan dalam gambar ini:

 

Cuplikan selanjutnya menggambarkan wajah pria yang sama, namun adegan dipotong dengan gambar yang berbeda. Dua gambar berbeda ini menghasilkan persepsi wacana akan gambar pertama yang direpresentasikan oleh pria itu. Efek Kuleshov ini sungguh berpengaruh pada teknik sinema kontemporer. Sebagai penonton abad ke-21 yang sudah terbiasa dengan potongan montase dalam film, mata kita terbiasa menerima potongan ini. Namun, pada awal abad ke-20 ini adalah sebuah teknik mutakhir yang berpengaruh pada sinema kontemporer.

Pada film ini, Azzam menggunakan konsep yang hampir sama dengan efek Kuleshov. Namun, bukan Azzam namanya tanpa eksperimentasi tutur sinematik yang jenaka. Balik pada adegan Santi melihat pocong, ketika potongan adegan sudah bolak-balik mengarah pada pocong dan Santi, potongan berhenti pada Santi yang sudah dibungkus dengan kain kafan dan menyerupai pocong. Potongan akhir pada adegan ini menandakan yang awalnya Santi penasaran dengan pocong yang ia lihat, akhirnya kaget karena pocong yang dilihatnya adalah refleksi dirinya sendiri. Adegan potongan ini cukup efektif nan jenaka. Efektif karena bisa menggambarkan perasaan Santi dengan cukup singkat. Jenaka karena ekspresi akting Nadia Anindita dan punchline akhir yang mengagetkan penonton.

Modfiikasi teknik penyuntingan Kuleshov dalam Kuntilanak Pecah Ketuban (2018)

Azzam tak sekadar mengeksploitasi subjek dalam film-filmnya. Dalam beberapa filmnya, ia suka mempertanyakan konvesi-konvensi atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Seperti dalam Azabku, Azabmu (2018) adalah pertanyaan soal oposisi biner baik dan buruk. Film ini terinspirasi oleh sinetron agama yang menjadikan agama sebagai jalan keluarnya. Film ini memiliki arketipe seperti sinetron agama pada umumnya; seorang anak durhaka kepada ibunya dan tuhan membalas anaknya dengan doa ibunya. Tapi dalam film ini, Azzam membalikkan logika, bagaimana jika sebab kedurhakaan anak ini mengakar pada ketidakmampuan orang tua dalam mendidik anaknya. Di akhir film, ibunya tak tahan dengan tingkah laku anaknya yang meminta uang, ia mulai menghadirknya sampai membunuhnya. Ia pun dikutuk dengan rasa gatal di wajahnya, sampai mengelupas kulitnya. Di film ini, Azzam mempertanyakan, sebenarnya yang durhaka itu anak atau ibunya? Atau konsep yang baik dan benar tidak sesederhana itu?

Di filmnya yang cukup baru, Bootlegging My Way Into Hell (2022) Azzam kembali mempertanyakan konvensi-konvensi norma. Kali ini soal gender dan seks. Bercerita tentang seorang bintang porno bawah tanah legendaris bernama Bima Jantan, ia mati saat berhubungan seks. Konon katanya, jika ada yang mencoba memperagakan ulang adegan tersebut, maka sang laki-laki akan hamil. Di film ini Azzam mempertanyakan soal bagaimana jika laki-laki yang mengandung? Apakah gender cuma konsep semata dan bagaimana kecanduan pornografi memengaruhi mental.

Di atas hanya dua contoh, masih banyak lagi pernyataan Azzam dalam film-filmnya. Secara umum, semesta sinematik Azzam selalu keluar dari konvensi norma, baik norma sinematik dan masyarakat. Mengeksploitasi konvensi subjek film-filmnya yang biasanya menampilkan hal-hal tabu: seks, narkoba, kekerasan dan lain-lainnya. Kemudian pernyataan dalam film-filmnya menekankan konvensi tabu tersebut. Aksi keluar dari norma ini tentu ada akibatnya: film-filmnya sering dianggap tidak “serius” dan disepelekan oleh publik.

Di Luar Layar Sinema

Bentuk dan gaya sinema Azzam cukup eksploratif, namun jenis tutur Azzam yang erat dengan jenis sinema Eksploitasi/B ini tampaknya cukup dipinggirkan dan dipandang sebelah mata. Hal ini berhubungan dengan politik selera terhadap sinema eksploitasi pada zaman Orde Baru. Suharto memegang penuh kuasa pada segala sektor, termasuk sektor perfilman. Kuasa Suharto ada pada bentuk kurasi dalam menilai mana film yang mencerminkan kebudayaan Indonesia, mana yang tidak. Istilah seperti “film nasional” dan “film kultural edukatif” dibuat sebagai upaya kuratorial dari negara atas sinema Indonesia. Secara singkat, “film nasional” dan “film kultural edukatif” adalah sebuah film yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia yang merefleksikan kehidupan masyarakat.

Kuratorial kebudayaan yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap sinema eksploitasi bisa dilihat dengan respon-respon elit kebudayaan terhadap film-film eksploitasi. Salah satunya adalah pemenang dan nominasi dari Festival Film Indonesia (FFI) saat itu dipegang oleh film-film yang memegang teguh nilai-nilai “kultural edukatif” tersebut. Film-film eksploitasi atau horor mendapatkan panggung lebih di FFI sampai ketika Pengabdi Setan (2017) karya Joko Anwar yang mendapatkan limpahan piala citra. Adapun film-film yang memasuki kategori nilai “kultural edukatif” adalah film-film drama pemenang piala citra seperti Usia 18 (Teguh Karya, 1980,), Perempuan dalam Pasungan (Soebardjo, 1980), Seputih Hatinya Semerah Bibirnya (Slamet Djarot, 1980,), and Bukan Sandiwara (Sjumandjaya, 1980) atau film-film biografi perang pejuang seperti Janur Kuning (Surawidjaya, 1979), Nila di Gaun Putih (Sandi Suwardi Hassan 1981), Lembah Duka (Jopi Burnama, 1981). Film-film tersebut cenderung memiliki gaya realis dan lebih menekankan nilai-nilai kehidupan yang dinilai sesuai dengan nilai Pancasila.

Lebih lanjut, pada awal 1980an, dibentuk badan ekspor film bernama Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Film Indonesia di Luar Negeri (Prokjatap Prosar) yang mengurus ekspor film dan Kerjasama dengan pihak luar yang terdiri dari produser film ternama pada saat itu. Ironisnya, ketika memasarkan film, film-film yang laku adalah film Eksploitasi yang diasingkan oleh negara. Pejabat negara saat itu menganggap Prokjatap Prosar gagal mempromosikan “wajah Indonesia” sebenarnya kepada publik luar. Film-film eksploitasi ini walaupun diasingkan dan dipinggirkan oleh negara, memiliki angka penjualan bioskop yang lumayan tinggi. Pemasaran film eksploitasi ini difokuskan untuk masyarakat menengah ke bawah dengan penayangan layar tancap dari desa ke desa. Menikmati film eksploitasi saat itu (bahkan sampai sekarang) dianggap sebagai selera rendahan dan kacangan.

Melalui alur sejarah ini, kita bisa melacak kembali posisi film eksploitasi/b di zaman kontemporer dan pengaruhnya terhadap film Azzam di dinamika politik selera film Indonesia. Film-film Azzam acapkali dianggap tidak “serius” karena tuturnya yang terpengaruh dengan film Ekpsloitasi (penuh dengan darah, adegan seks, dan kekerasan). Film-film Azzam selalu menentang norma yang ada, entah itu norma sinematik atau norma masyarakat. Hal ini yang membuat film-filmnya terasing di ranah apresiasi dan ekshibisi. Kesulitan Azzam menjangkau penontonnya tentu diakibatkan pada jenis film yang dibuatnya. Ia mau tak mau mengorganisir pemutaran sendiri bersama dengan kolektif lainnya. Pasca-pandemi, ia lebih mudah meraih penontonnya karena semakin familiar dengan film-film Azzam. Tahun lalu, filmnya diputar di JAFF NETPAC, salah satu festival film ternama di Indonesia.

Namun, kejadian itu baru studi kasus di Azzam saja, belum dengan sineas lainnya. Azzam terbilang beruntung karena menemukan audiens dan lingkungan yang tepat. Ia menemukan audiens-nya tidak dalam waktu yang cepat, perlu bertahun-tahun meski mungkin tidak banyak tapi ada di mana-mana. Lanskap sinema Indonesia terasa lebih bewarna dan hidup dengan sineas seperti Azzam. Ia menembus batas konvensi sinema konservatif, melanggar norma sinematik dan masyarakat. Azzam mengacungkan jari tengah untuk konvensi dan segala batas norma yang mengatur dan membatasi. Sinema Indonesia sepertinya harus mulai sering melihat sineas seperti Azzam karena membuat lanskap sinema lebih bewarna dan bervariasi.

Penulis: Galih Pramudito

Desain oleh: Shafa Salsabilla

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top