The Color Wheel : Tak Sama Tapi Serupa.
Seseorang biasanya memiliki cara tertentu dalam menjalin suatu hubungan. Entah itu suatu hubungan pacaran, adik-kakak, orang tua-anak, selingkuhan-peselingkuh, mantan istri-suami. Tak ada aturan baku ketika berhubungan dengan orang lain, selama dapat dipertanggungjawabkan serta ada komitmen, entah seabsurd apapun model hubungan tersebut. J.R (Carlen Altman) dan Collin (Alex Ross Perry) sepasang kakak beradik nampaknya menyiasati sendiri hubungan mereka. Kisah itu dimulai saat J.R mengajak Collin untuk mengadakan perjalanan ke apartement dosen J.R . Dosen ini pernah tidur dengan J.R dan memberinya iming-iming pekerjaan baru. Jarak
tempat tinggal Collin ke apartemen dosen J.R yang cukup panjang mengharuskan mereka untuk mengambil jeda perjalanan. Dari sinilah adegan-adegan menggelitik hadir dalam hubungan kakak-adik ini.
J.R, Collin dan Delusi.
Pada awal paruh film, Alex Ross Perry sebagai sutradara menggambarkan mereka bagaikan ambivalen yang saling
beradu satu sama lain. Tokoh J.R mengalami delusi. Saat ada orang bertanya apa pekerjaannya sekarang. Kendati menjawab, “Ya, aku lulusan sarjana yang masih menganggur”, Ia malah berkata bahwa dirinya adalah seorang pembawa acara berita di stasiun televisi dan memiliki rekan-rekan penting di dalam jaring spektrum sosialnya. Ia digambarkan ceria, meletup-letup dan penuh racau saat menjelaskan tentang pekerjaan yang ia geluti. Jawaban yang diberikannya selalu gonta-ganti. Antara orang satu dengan yang lain pasti tidak sama. Kadang ia mengaku bahwa ia bekerja di stasiun A, kadang juga ia mengaku bahwa ia masih dalam tahap percobaan. Dari penjelasan sebelumnya, Nampak bahwa J.R adalah seorang yang hidup dalam gelembungnya sendiri demi atensi dari orang yang bertanya. Kadang, sedikit kebohongan jauh lebih enak terdengar ketimbang pernyataan klasik dan membosankan seperti : “Ya, aku pengangguran”, bukan?
Lain lagi dengan Collin. Ia digambarkan sebagai lelaki dengan idiom “apa adanya dan adanya apa”. Collin kelewat
jujur, ia tidak terlalu memusingkan apa kata orang tentang dirinya. Hidupnya seperti arus kali yang mengalir begitu saja. Collin pernah bercerita bahwa ia ingin menjadi penulis, tapi sepertinya ia tidak ingin melanjutkan cita-cita itu.
Ia juga pernah bercerita bahwa ia ingin menjadi guru, namun ya menurutnya itu hanya angan-angan saja. Ia tak memiliki tekad dan gagasan yang kuat dalam hidup.
Kedekatan hubungan mereka mulai nampak pada di kamar motel. Ketika mereka sedang duduk berdua di ranjang motel. Collin bercerita bahwa ia pergi liburan bersama kedua orang tuanya, lalu J.R bertanya mengapa dirinya tidak diajak, Collin memang tak mengajaknya karena khawatir jika J.R bawel dan membuat onar, J.R menyangkal bahwa ia tidak bawel dan merupakan kesayangan kedua orang tua, namun Collin tetap bersikukuh bahwa J.R bawel dan pembuat onar. Sikap Collin yang menyangkal semua pernyataan delusif milik J.R merupakan cara mereka terhubung di sepanjang film.
Kendati fokus film berada di hubungan J.R dan Collin yang rumit, film ini juga menyorot bagaimana kehidupan pasca lulus J.R yang delusif serta haus atensi. Bisa dilihat ketika J.R tak sengaja bertemu teman sekolahnya yang kebetulan sedang mengadakan pesta. J.R memanfaatkan kesempatan dengan dalih mencari relasi di pesta tersebut. Awalnya J.R mengaku bahwa ia adalah pembawa berita di suatu stasiun TV, kemudian berubah menjadi perawat ketika teman-temannya membeberkan pekerjaan mereka yang rata-rata adalah pekerja kelas menengah. J.R seakan kehabisan kata, ia dipermalukan secara tidak langsung. Lidahnya tercekat. Di pesta itu ia juga turut serta membawa Collin yang juga bernasib serupa dengan kakaknya, ia disebut sebagai pecundang dengan orang yang sengaja menumpahkan minuman ke dirinya. Pada adegan ini, mereka tampak benar-benar lelah dan mengalah pada
para kaum kelas pekerja menengah tersebut.
J.R, Collin dan Realita
Di rumah singgah inilah dramaturgi hubungan J.R dan Collin semakin intens. Adegan ketika mereka berbaring berdua di sofa panjang saat J.R bercerita mengenai pekerja kelas menengah. J.R mengatakan yang kurang lebih “Persetan dengan mereka, kita bintang, kita bebas melakukan apa saja”, pernyataan J.R mungkin terdengar naïf
tetapi itu menegaskan suatu hal : mereka senasib. Di akhir paruh film , Alex Ross Perry menggambarkan bahwa kendati sifat mereka ambivalen, mereka tetap orang yang sama : memiliki masa depan yang tak tentu. J.R dan Collin yang sama-sama gamang dengan kehidupannya mendatang menyikapi hal tersebut dengan cara yang berbeda. J.R menghadapinya dengan sikap delusif nan narsis, sedangkan Collin mengalir di arus hidup yang deras. Alex Ross Perry kemudian menambahkan bumbu gairah di film setelah beberapa adegan kemudian; Collin mencium J.R dengan khidmat. Alex Ross Perry tidak meng-glorifikasi hubungan “yang beda” (atau yang mungkin disebut Inses), ia membiarkan itu dengan natural dalam sorotan kamera film 16mm, menyorot apa adanya yang ada di depan layar dengan teknik kamera handheld yang membuat film ini terasa natural dan tidak dibuat-buat atau bahkan dieksploitasi.
Apa yang dirasakan oleh J.R dan Collin mungkin dirasakan oleh sebagian dari anda. Fase ketika di mana bingung
mengerjakan apa untuk menyambung hidup ke depan. Hal ini dirasakan ketika pasca lulus sekolah atau kuliah dengan jebakan tanda tanya besar, “Habis ini mau kemana?”. Tanda tanya besar ini biasa disebut dengan krisis seperempat abad atau dikenal dengan quarter life crisis. Dalam buku “Ramen Noodles, Rent and Resumes: An After‑College Guide”, Kristen Fischer menyatakan bahwa quarter-life crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan mendatang seputar relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an.
Hubungan J.R dan Collin yang awalnya digambarkan merupakan ambivalen yang saling beradu satu sama lain
menjadi satu padu ketika mereka sadar bahwa mereka senasib. Rasa senasib ini diperoleh oleh rasa-rasa krisis separuh abad yang mereka rasakan. Dua hal inilah yang menjadi pembahasan di film ini. Sayangnya, dua bahasan ini tidak teracik dengan apik menjadi satu kesatuan utuh oleh Alex Ross Perry, ada beberapa bagian yang merasa sedikit jomplang dan tak terceritakan dengan baik. Dituturkan dalam kamera film 16mm dengan warna hitam-putih, dialog yang mengalir dan fluid serta peforma yang meyakinkan hubungan kakak-adik yang unik serta pencarian jati diri dan ketidakmenentuan di kala krisis separuh abad dari Alex Ross Perry dan Carlen Altman.
The Color Wheel adalah salah satu film favorit saya. Salah satu kenalan saya di Twitter, Ghina membuat daftar rekomendasi film favoritnya di blog filmnya, Journal Of Review. Film yang direkomendasi cocok untuk kalian yang menyukai film-film romansa atau fiksi ilmiah dengan sentuhan yang berbeda. Ayo, simak tulisannya di sini ! Favorite Movies: Before Sunrise, Snowpiercer & A Ghost Story Review
Desain : Hotman Nasution
The Color Wheel | 2011 | Durasi : 83 Menit | Sutradara : Alex Ross Perry | Negara Asal : Amerika Serikat | Pemeran : Carlen Altman, Alex Ross Perry, Bob Byington.
Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.
Leave a Reply