Mania Cinema

Sinema Eksploitasi Indonesia Orde Baru: Panggung Global, Status Cult, dan Perlawanan Rezim

Artikel ini diterjemahkan dari tulisan milik Ekky Imanjaya dengan judul The Other Side Of Indonesia: New Order’s Indonesian Explotation Cinema As Cult Films. Terbit di Jurnal COLLOQUY:  Text,  Theory,  Critique  Edisi 18 pada 18/10/2010.

Artikel ini mengeksplor bagaimana industri film Indonesia menggunakan cara yang subversif dan eksploitatif untuk berusaha melawan pemerintah yang dominan. Secara khusus, artikel ini membahas bagaimana film eksploitasi Indonesia diproduksi di bawah Rezim Orde Baru, yang memosisikan karakter preman dan bandit sebagai simbol pemerintahan Suharto. Artikel ini juga membahas bagaimana aktivitas  penggemar lokal dan internasional, juga distribusi DVD yang kemudian mendapatkan klasifikasi cult untuk film-film ini. Film-film yang akan dibahas adalah film yang diproduksi dan dirilis di bioskop Indonesia selama Rezim Orde Baru Suharto (1966-1998). Selama periode ini, tak seorang pun berani menyuarakan pendapat yang berbeda atau mengkritik rezim tanpa merasa takut untuk dibungkam atau ‘dihilangkan’. Sekarang, masyarakat Indonesia lebih bebas dalam menyuarakan perbedaan pendapat atau bahkan mengkritik pemerintah itu sendiri.[1] Periode yang kuat bagi genre film ini terjadi kira-kira dua puluh tahun sebelum perrgerakan Reformasi 1998[2]—yang berujung pada berakhirnya pemerintahan Suharto. Film-film ini, pada masa itu diabaikan dan ditinggalkan oleh rezim Orde Baru, bahkan banyak dari film tersebut sudah hilang. Kebanyakan film tersebut dianggap film yang marginal atau bahkan buruk di Indonesia, kendati begitu ada beberapa penggemar lokal yang masih setia mencari dan menonton film ini. Bahasan ini akan dibahas selanjutnya dalam artikel ini.

Film eksploitasi Indonesia dari 1980an (dan beberapa dari akhir 1970an dan awal 1990an) sekarang sudah didistribusikan secara internasional dan menarik banyak penggemar dari penjuru dunia. Distributor terbesar ialah Mondo Macabro DVD (Inggris), dan beberapa film yang dipasarkan oleh Troma Entertaiment (AS). Menurut informasi yang didapatkan dari Pete Tombs selaku perwakilan dari Mondo Macabro DVD[3], perusahaannya menjual film sejenis kebanyakan di pasar AS, namun juga terjual di Inggris. Distribusi film tersebut meliputi Belanda, Jerman, Italia, dan Perancis yang dilakukan oleh perusahaannya dan perusahaan yang lain juga. Menurut Tombs, penjualan mereka berkisar dari 2,000 sampai 8,000 keping cakram, tergantung akan judul film. Di wawancara lewat surel, Tomb menulis bahwa “..beberapa judul,misalnya Virgins from Hell (Perawan di Sarang Sindikat), lumayan laku terjual karena materi pokok filmnya (gadis seksi naik motor!).” Tombs mengatakan bahwa target pasar perusahaannya adalah penggemar horor dan film eksploitasi, juga orang yang suka film laga dan bela diri. “Pasarnya cukup kecil, cenderung niche ketimbang film arus utama seperti Hollywood. Faktor inilah yang membuat menjadi pembeda; film yang menekankan konten eksotik, ekstrim atau absurd,” jawab Tombs.

Beberapa contoh dari film sejenis adalah Ratu Ilmu Hitam (The Queen of Black Magic, Liliek Sudjio, 1981); Pembalasan Ratu Laut Selatan (Lady Terminator, Tjut Djalil, 1988); Perawan di Sarang Sindikat (Virgins From Hell, Fred Wardy Pilliang, 1986), yang menyertakan dokumenter menarik mengenai Sinema Eksploitasi Indonesia sebagai konten bonus DVD[4]. Deretan ini akan berlanjut jika kita menambahkan judul seperti  Perawan Rimba (Tales of Voodoo, Vol. 1: Jungle Virgin Force, Danu Umbara, 1982); Golok Setan (The Devil’s Sword, Ratno Timoer, 1983); Segi Tiga Emas (Stabilizer, Arizal, 1984); Leak (Mystic in Bali, Tjut Djalil, 1980); dan Bercinta dengan Maut (Dangerous Seductress, Tjut Djalil, 1992). Selain ini, ada DVD yang mengandung contoh dari sinema cult Indonesia, seperti Tales of Voodoo, Vol. 2: Ghost Ninja/Primitives (Primitif, Sisworo Gautama, 1978), dan Eastern Horror: Satan’s Slave (Pengabdi Setan, Sisworo Gautama, 1980)/Corpse Master[5]. Beberapa judul termasuk Jaka Sembung Sang Penakluk (The Warrior, Sisworo Gautama Putra, 1981); Jaka Sembung vs. Si Buta (The Warrior against the Blind Swordsman, Dasri Jacob, 1983); Komando Samber Nyawa (Daredevil Commando, Eddy G Bakker, 1985); Pembalasan Rambu (Rambu: Prince of Universe, Jopi Burnama, 1985); Cewek Jagoan (5 Deadly Angels, Danu Umbara, 1980); Perawan Rimba (Jungle Virgin Force, Danu Umbara, 1982); and Nyi Blorong (Snake Queen, Sisworo Gautama Putra, 1982).

Tema dan genre film-film ini cukup bervariasi, mulai dari: film zombi  (Satan’s Slave), film tentang kanibal (Primitif), Perempuan dalam penjara (Virgin from Hell), Film “Womensploitation” (Ferocious Female Freedom Fighters/Perempuan Bergairah), dan film supranatural/mistis (Leak, Queen of Black Magic/Ratu Ilmu Hitam). Ada juga beberapa genre yang spesifik masuk dalam budaya Indonesia, seperti “kumpeni”, diwakilkan oleh film seperti Jaka Sembung Sang Penakluk dan genre “legenda” yang ditemukan dalam film Nyi Blorong dan Pembalasan Ratu Laut Selatan.

Penonton Barat, Distribusi Internasional

Terdapat sejumlah blog, laman, dan zine di Barat (AS, Eropa, dan Australia) yang merayakan sinema eksploitasi Indonesia. Beberapa contohnya seperti World Weird Cinema[6], Monsters at Play[7], DVD Drivein[8], DVD Maniacs[9], Mitglied[10], Schlock Treatment[11], Greek’s The Cinehound Database[12] (khususnya Asian Room), dan Eccentric Cinema[13]. ‘Penggemar cult’ bahkan berpartipasi dalam forum daring, seperti AV Maniacs[14], untuk mendiskusikan dan membagi pengalaman mereka tentang sinema Indonesia dan koleksi film yang mereka punya. Pergerakan ini tentu saja mencuri perhatian organisasi yang agak lebih umum seperti Cult Movies Forum.[15] Beberapa toko rental DVD juga menyediakan film eksploitasi Indonesia, seperti Trash Online di Eropa,[16] yang menyediakan pojok khusus dengan tajuk “Indonesian Horror and Action”, dan Trash Video di Austrlia.[17] Banyak orang yang sudah berkontribusi atas penyebaran film sejenis. Salah satunya adalah Andrew Leavold, seorang sineas, kolektor film, mahasiswa doktoral sinema genre Filipina di Griffith University, dan co-owner sekaligus manajer di Trash Video. Trash Video adalah toko rental video yang ia miliki, berbasis di Brisbane. Toko ini mempublikasikan katalog Schlock Treatment, yang mencakup film eksploitasi Indonesia.

Saya diberi daftar judul film Indonesia yang dikoleksi oleh Leavold. Beberapa judul tidak bisa ditemukan di Mondo Macobro atau Troma Entertaiment.: The Blind Warrior (Neraka Perut Bumi, Ratno Timoer, 1987); Day of the Escape (aka War VictimsKamp Tawanan Wanita, Jopi Burnama, 1983); Hell Hole (aka Escape from Hell Hole, Maman Firmansyah, 1983); Hungry Snake Woman (aka Petualangan Cinta Nyi Blorong, Sisworo Gautama Putra, 1986); Lady Exterminator (Barang Terlarang, judul alternatif8: I Want to Get EvenCommando Wild Cat, and Violent Assassin, Maman Firmansyah, 1987); The Terrorists (Menumpas Teroris, Imam Tantowi, 1986); and White Crocodile Queen (Ratu Buaya Putih, H Tjut Djalil, 1988). [18] Leavold, lebih jauh, menjelaskan kepada saya mengapa dia menyewakan sejumlah film Indonesia:

“Keputusan saya membuat film ini tersedia bagi pelanggan kami karena ketertarikan saya pribadi mengenai genre film Indonesia; banyak dari pelanggan kami belum pernah dengar atau bahkan mempertimbangkan untuk menonton film genre Indonesia, karena itu ranah yang tidak tercakup secara detail di luar distribusi Mondo Macabro dan obrolan grup khusus, meskipun saya butuh untuk membuat permintaan baru untuk film sejenis ketimbang memanfaatkan pasar yang sudah ada. Banyak dari judul yang kami sediakan hanya tersedia dalam format VHS rilisan tahun 80an, dan hanya tersedia pada grey market para kolektor. Biasanya bersumber dari kolektor kaset dan dijual dari satu kolektor ke lainnya.”

Leavold menjelaskan bahwasannya ada masanya pada 1980an selama awal era VHS boom ketika film genre Indonesia terjual di perusahaan video seluruh dunia:

“Permintaan internasional untuk produk tersebut sangat tinggi; baik label utama seperti Warner dan Columbia, dan perusahaan VHS yang lebih kecil membutuhkan cara untuk berhemat dengan memperoleh judul-judul ‘filler’ ini. Salah satu caranya yakni mendapatkan film yang lebih tua; salah satunya mengambil tarif dengan anggaran rendah dari Asia dan Eropa. Bayangkan dirimu adalah distributor VHS dari Yunani, kamu punya pilihan antara membeli hak tayang akan film laga Amerika senilai $30,000, atau film ngasal/knock-off Indonesia senilai $5,000. Tidak akan menjadi masalah bagi penggemar film Yunani jika film tersebut disulihsuarakan secara buruk atau tidak. Di pasar film genre, ekspektasi penonton terlihat lebih rendah jika dibandingkan dengan penonton film arthouse atau film drama berkualitas. Selama di film-film tersebut masih ada adegan ledakan atau mengeluarkan isi perut, kamu pasti akan memiliki pelanggan sewa yang bahagia.”[19]

Leavold menjelaskan bahwa perusahaan film Indonesia antara menjual film mereka langsung ke Cannes atau pasar film Amerika, atau mempersiapkan kerjasama dengan distributor luar negeri (Atlas Films dari Jerman Barat, sebagai contoh). Leavold mengatakan, “Ada dua film Indonesia yang dirilis untuk VHS Australia selama periode ini: Primitif dan Pasukan Berani Mati, kedua film tersebut dibintangi oleh Barry Prima.” Saat itu, film-film ini, menurut Leavold dinilai sebagai genre film tidak dikenal yang bisa saja masuk dalam pasar film di negara Asia atau Amerika Selatan.

Demikian pula, Pete Tombs menulis bahwasannya film sejenis, khususnya film WIP/ perempuan-di-penjara, perang, laga dan horor, dieskpor secara luas pada 1980an. “Badan promosi pemerintah film Indonesia menemukan bahwa film sejenis yang menarik perhatian pembeli asing.”[20]

Sinema Eksploitasi dan Film Cult

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, distributor Barat, pemirsa, serta penonton pasca Orde Baru menganggap sejumlah film eksploitasi Indonesia 1980an sebagai film cult.

Makalah ini mengadopsi definisi Sinema Eksploitasi sebagai “….anggaran yang rendah, film sensasional dari berbagai jenis yang bermain-main dengan seks, ketelanjangan, sifat buruk, dan kekerasan…” [21] Film-film ini juga mengandung penggunaan narkoba, orang aneh, darah, monster, penghancuran, pemberontakan, dan kekacauan. Saya akan berargumen bahwasanya film-film ini sesuai dengan definisi dari sinema cult, khususnya film tengah malam (midnight movies), tapi dengan beberapa modifikasi yang mana akan saya bahas di bagian Ekonomi Politik. Bagian sekarang ini akan mengelaborasi dalam teori sinema cult dan menerapkan teori untuk sampai pada pembacaan mendalam film-film ini.

Terdapat beberapa kriteria bagi film agar bisa dianggap sebagai sinema cult. Bruce Kawin mendeskripsikan film cult sebagai “imaji/gambar apapun yang ditonton berulang kali oleh penonton setia; sebagai film yang devian  dan secara radikal berbeda dari yang lain, dianut oleh penonton yang  devian”.[22] Timothy Corrigan menambahkan bahwa film cult adalah film yang terpinggirkan, eksentrik, dan janggal.[23] Situs The Cultugraphies menyebutkan lebih detail tentang topik ini. Penjabaran ini memberi gagasan yang lebih komprehensif dengan karakteristik sebagai berikut:

“Film cult didefiniskan atas variasi kombinasi yang memasukkan empat elemen utama:

  • Anatomi: film itu sendiri—fiturnya (konten, gaya, format, dan metode umum)
  • Konsumsi: bagaimana film itu diterima—reaksi penonton, selebrasi penggemar, dan respon kritis akan film-film itu.
  • Ekonomi Politik: kondisi finansial dan fisik dari film—kepemilikannya, niatnya, promosinya, kanal pemutaran, tempat dan waktu akan eksibisi tersebut.
  • Status kebudayaan: Siasat dari film cult menyesuaikan dengan zaman berdasarkan waktu atau wilayah—tentang bagaimana cara mengkritik sekitar dengan mengikuti, mengeksploitasi, mengkritisi, atau menyerang.

Kami tidak menyatakan bahwa semua elemen ini harus ada secara bersamaan. Tapi, kami menyarankan bahwa setiap elemen ini memiliki tingkat siginifikansi yang tinggi dalam kriteria yang membuat mereka menjadi sebuah film cult.[24]

Sekarang akan saya jabarkan keempat elemen ini dalam mendefinisikan karakteristik film cult dalam bahasan sinema eksploitasi Indonesia.

Anatomi

Di bagian ini, saya akan membahas inovasi dari film eksploitasi Indonesia dari segi ‘kejelekan’ secara estetika film dan moral, pelanggaran moral, dan intertekstualitas. Saya akan memberi contoh dari setiap sub-genre sinema cult Indonesia, khususnya di genre yang hanya ada di film industri Indonesia, seperti ‘kumpeni’ dan ‘legenda’ menurut istilah yang dikembangkan oleh Karl Heider.[25]

Genre ‘Kumpeni’ mencertikan kisah mengenai kepahlawanan, biasanya dengan kekuatan supranatural, seperti Jaka Sembung dan Jaka Gledek, yang bertarung melawan pasukan Kolonial Belanda. Melainkan itu, genre ‘Legenda’ mendramatisasi legenda atau dongeng tradisional dan termasuk film seperti The Queen of the Southern Sea (Nyi Roro Kidul) dan Snake Queen (Nyi Blorong). Aspek lain seperti ilmu hitam, kekuatan supranatural dan ilmu klenik timur kadang juga hadir di beberapa film dari genre tersebut.

Pete Tombs, direktur Mondo Macabro DVD dan penulis Mondo Macabro; Weird and Wonderful Cinema around the World, menyatakan:

“Sekali lagi, bagi kami di Barat, eksplorasi akan mitos yang hadir di film eksploitasi Indonesia (Nyi Roro Kidul, Sundel Bolong, dll) terbilang baru dan sangat ‘eksotik’…. Ada yang menarik ketika melihat hal yang lumrah di film eksploitasi barat seperti film perempuan di penjara atau film monster hadir dalam perspektif Indonesia. Akhirnya, saya beranggapan bahwa film horor bertemakan supranatural atau ilmu hitam, mungkin dianggap lebih serius oleh penonton Indonesia ketimbang penonton Barat, dengan alasan konteks budaya/sejarah, sehingga filmnya tidak dianggap ‘norak’ (camp) seperti film produksi AS atau Inggris”[27]

Tombs menyatakan bahwa dirinya tidak menjual film eksploitasi Indonesia dengan cara berbeda dari film yang lainnya. “Tapi, orang di AS (setidaknya dalam pasar ‘cult’) punya gambaran tentang bagaimana film eksploitasi Indonesia,” ujar Tombs. Ketika Tombs ditanyai lewat surel tentang mengapa ia memilih untuk mendistribusikan sinema Indonesia 1890an ketimbang film yang baru beredar, ia menjawab bahwasannya sinema Indonesia 1980an cocok  dengan identitas perusahaannya, dan film-film ini cenderung bersifat menghibur: “Penyebabnya karena cerita yang bergerak cepat, plot yang sederhana, tipikal cerita si baik melawan si jahat (biasanya si baik selalu menang). Film-film ini juga dipengaruhi oleh sinema Jepang (pengambilan gambar layar lebar) dan sinema Hong Kong (seni bela diri) yang terlihat sangat sinematik bagi kami di Barat.” Tombs juga menambahkan, “Secara umum, sinema eksploitasi Indonesia cenderung tidak bisa ditebak, setidaknya untuk kami di Barat. Lebih banyak juga hal eksotis yang biasa kami lihat dari Jepang atau Hong Kong. Gaya penceritaannya juga selalu kuat. Film-film ini tidak berusaha terlihat pintar atau ‘postmodern’. Film-film ini hanya ingin menghibur kita.”[28]

Saya sepakat bahwa ‘eksotis’ dan ‘liyan’ adalah kata kunci dalam genre ini.

Konsumsi

Bagian ini akan menganalisa kanon alternatif atas sinema. Bagian ini termasuk sinema yang melibatkan selebrasi yang antusias, rasa kebersamaan, komitmen dan sifat memberontak. Di sini saya membagi jenis penonton menjadi dua: Orang Indonesia dan orang non-Indonesia. Bab ini hanya akan fokus pada penonton barat, yang mana penggemar berat—obsesif, penggemar dari Barat—merepresentasikan sebuah fenomena yang menarik. Saya akan mendiskusikan genre dan sifat alamiah penonton cult/eksploitasi/fantasi yang Mark Jancovich pernah bandingkan dengan buku Imagined Community milik Benedict Anderson: “Lebih dari sekadar sifat spontan, sub-kultur yang mandiri, pemirsa film cult bersama-sama membentuk diri mereka sendiri, rasa akan imagined  community (‘komunitas terbayang’) pun tercipta dan terjaga melalui media.”[29]

Sesuai yang sudah disebut di atas, film cult adalah film yang sudah ditonton berulang kali dan memiliki penggemar setia. Seperti yang dikatakan Corrigan, “Pada film cult, berbeda dengan film lainnya, penonton tidak hanya mencari hal yang tak biasa dalam karakter dan cerita, namun juga pada gaya, kerangka, dan tekstur imajinatif.”[30]

Penonton film cult merayakan marginalitas, sesuatu yang “tidak bisa ditonton dan/atau tidak bisa didapatkan” dan dipertimbangkan sebagai “tidak bisa dinikmati atau tidak bisa diakses” oleh klahayak luas[31] dan “… ada tedensi untuk membangun semesta komunitas penggemar.”[32] Singkatnya, penonton film cult menyukai “hal yang berbeda, untuk mereka, film ini memberi kesan yang berbeda, patut dicatat, dan bernilai..” Telotte menulis bahwa, “Film ini menembus batas waktu, kelaziman, bentuk, dan—banyak yang menambahkan—selera yang bagus.”[33]

Istilah lain digunakan untuk menggambarkan penonton film cult, termasuk “cult fanboys” (Oliver Dew), , nearly worshipful audience / penonton yang hampir memuja-muja” (Telotte), dan devoted audience/“penggemar setia” (Kawin). Sinema cult tentu genre yang berbasis pada aktivitas penggemar—terkadang dengan sikap yang militan—dan punya tujuan dalam mencari apa yang terpinggirkan, liyan, eksotis, dan janggal dalam film. Saya mengalami fenomena ini saat mengunjungi ritual The Night of Terror pada 2007 di Amsterdam Fantastic Film Festival dan juga menyaksikan “lahirnya penggemar cult Jakarta” saat menghadiri 2nd Indonesia International Fantasy Film Festival (INAFFF). Para penggemar ini juga ingin menjadi berbeda dari penonton dan penggemar film lainnya—seolah ingin pamer kalau mereka punya selera yang berbeda dan bisa menikmati film yang “aneh”—sebagaimana yang dituliskan Jancovich:

“Komunitas penggemar film cult, sekiranya, tidak tumbuh untuk melawan hal komersil dan akademis, tapi tumbuh atas rangkaian pengembangan ekonomi dan intelektual dalam periode pasca-perang, sebuah proses yang menciptakan pasar film selektif yang didefinisikan atas rasa perbedaan dari arus utama dan sinema komersil.”[34]

Distributor independen seperti Mondo Macobro DVD sudah sukses dalam hal membangun brand atau ‘kebiasaan’ dari menonton film yang menggabungkan beberapa judul film yang kurang berpotensi untuk film yang bersifat tunggal/mandiri atau yang memiliki seri. Hal ini yang menciptakan “sebuah komunitas bagi orang yang tertarik pada jenis film seperti Optimum Asia, Asia Extreme atau Eastern Cult”, di mana “….keseluruhan penonton utama memiliki target brand yang beririsan dengan film berbahasa asing dan film ‘cult’.” [35]

Saya pikir kedua label yang disebutkan di atas (dan label lain yang mendistribusikan sinema Indonesia) memiliki kesamaan dengan Asian Extreme-nya Tartan. Dengan demikian, saya tidak setuju dengan semua poin yang dipaparkan dalam artikel milik Dew, Asia Extreme: Japanese Cinema and British Hype. Dew menyebutkan dua aspek penting dalam sinema eksploitasi Indonesia yang menarik perhatian penonton Barat: ‘keliyanan’ (termasuk adegan eksotis) dan ‘hal yang tidak dikenal (the unknown)/misteri’. Dalam kasus film Jepang, Dew menulis bahwa kekerasan ekstrem dan horor adalah hal yang tak dapat dipisahkan dalam sinema modern Jepang yang cukup langka di negara lain. Mengkutip Rayns, Dew menggarisbahwahi bahwa “…film-film ini hanya mereplikasi kebejatan di kultur pop Jepang dengan melampaui hal yang dikenal di sini.”[36]

Singkatnya, strategi pemasaran distributor memiliki peran penting dan bekerja baik dalam penjualan DVD. Menurut Dew, “Pasokan (supply) film sendiri tidak bisa menjelaskan cara kerja Asia Extreme: perusahaan ini tak hanya ekspresi pasif atas budaya sinema Jepang, tapi budaya yang sudah dibangun oleh pemasaran dan menonton film bahasa asing di negara berbahasa Inggris (Anglophone).”[37]

Bagaimana bisa melihat Mondo Macabro DVD dalam konteks ini? Saya percaya bahwa dari awal baik produser dan distributor internasional Indonesia sudah menyusun dan memilih film mana yang cocok bagi penonton Barat. Sebagai contohnya, moto dari Mondo Macabro yakni “The Wild Side of World Cinema” (“Sisi Liar dari Sinema Dunia”). Cerita DVD yang diambil dari legenda dan mitos Indonesia seperti Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong dan Leak. Film Jaka Sembung menyertakan mantra ajaib dengan sebutan ‘Pancasona’, yang bisa memberi keabadian bagi perapal mantranya selama mereka mempertahankan organ mereka  untuk tak menyentuh bumi.[38] Penonton Barat menanggap cerita mistis Timur sebagai hal yang eksotis, tidak familiar dan menganggap film-film ini sebagai representasi dari yang ‘liyan’. Saya bertanya kepada Tombs, kenapa penonton Barat ingin menonton dan membeli sinema cult Indonesia dan dia hanya memberi jawaban singkat: “biar beda saja”. Sebagai distributor, Tombs menyadari bahwa penonton mengharapkan hal yang bergerak dengan cepat, sedikit gila, tapi tetap bersifat sinematik dengan bingkai layar lebar, adegan laga yang banyak dan tingkah-laku ekostis. [39]

Sebutan orde sinema eksploitasi (order exploitation cinema) lebih cocok ketimbang film Indonesia Orde Baru  (New Order Indonesian movies). Dalam konteks ini, Perawan di Sarang Sindikat pernah menjadi judul film Indonesia dengan penjualan terbaik, disusul Lady Terminator di peringkat kedua.

Strategi pemasaran dari Mondo Macobro DVD yang mendistribusikan sinema Indonesia (beserta film ‘aneh’ lain dari seluruh dunia) cocok dengan argument Telotte yang menyatakan bahwa “….banyak film yang menjadi cult karena kekuatan penonton—penggemar yang potensial—tidak bisa secara akurat dinilai melalui nilai konvensional, tidak memiliki ceruk yang tinggi.”[40] Untuk melengkapi aspek karakteristik, dia kemudian menambahkan: “Ketimbang berupaya mengadakan film untuk semua orang, produser dan penayang film sadar bahwa mereka harus menarik selera yang sangat berbeda.”[41]

Saya ingin mengelaborasi beberapa gimmick sebutan ini. Pertama, kita harus fokus dalam keunikan yang membedakan film ini dengan film lainnya. Seperti yang dinyatakan dalam materi promosi dari film Leak (Mystics in Bali):

“Film ini memperkenalkan monster jenis baru dalam layar sinema dunia. Menjadi sebuah sensasi saat pertamakali rilis di Asia, Leak (Mystics in Bali) dinilai terlalu aneh dan mengejutkan saat diputar di Barat. Sampai sekarang… ini kali pertama film ini dirilis di AS dengan utuh dan sudah didigitalisasi dari film seluloid yang asli.”

Sebuah pernyataan yang mirip bisa ditemukan dalam sampul depan film yang mendeskripsikan Leak sebagai “Sebuah mahakarya dari sinema cult Asia”. Contoh lain dari pernyataan materi promosi termasuk: : “Devil Sword: Sex, Savagery, and Mystical Arts” (“Pedang Setan: Seks, Kebiadaban, dan Seni Mistis” dan “An Astounding Voyage into the Unknown” (“Sebuah perjalanan memukau ke hal yang tak diketahui.)”.

Kedua, kita bisa melihat bahwa aspek mistis dan supranatural selalu disorot dalam beberapa film. Hal ini bisa dilihat dari cuplikan promosi film Jaka Sembung (yang di mana bisa dilihat di seksi ‘Coming Soon’ di situs web Mondo Macobro DVD), kita bisa membaca deksripsi cabul: “Duel of art of Eastern mystic”  (“Duel seni mistis timur”), dan “A mutilated body becomes a whole when touches the ground” (“Sebuah tubuh yang dimutilasi menjadi utuh ketika menginjak tanah, atau Rawarontek”), dan “Laga petualangan yang dibalut supranatural”

Ketiga, ada tedensi yang terlihat dalam menyesuaikan beberapa kultur Timur, dibuat lebih mudah diterima untuk selera Barat. Dalam cuplikan promosi untuk Jaka Sembung, elemen spiritual Islam dihapus. Contohnya, saat ayah mencoba menenangkan Surti, pada dialog aslinya dia berkata, “Tawakallah, Surti”, disulihsuarakan dengan “Jangan meremehkan Jaka Sembung, Surti!”.  Dalam kasus lain, saat Jaka Sembung ditahan dan mencoba untuk kabur, dalam adegan aslinya ia menyebutkan nama Tuhan sebagai  dzikir untuk memperkuat tubuhnya—mirip dengan Samson—tapi di dalam versi sulihsuara bahasa Inggris, hal seperti itu tidak muncul. Benar, sebuah proses sekulerisasi hadir saat film ini disulihsuarakan dalam bahasa Inggris untuk penonton Barat.

Dan terakhir, beberapa film menggunakan aktor/aktris Barat meskipun mereka bukan profesional (Mystic in BaliRambuDangerous SeductressLady Terminator). Mereka menambahkan teknis dari film Hollywood dalam menggunakan judul berbahasa Inggris, dan terkadang terjemahan bahasa Jepang dan Finlandia. Kita juga bisa menemukan persamaan dengan cerita Barat (Contoh: dalam Jaka Sembung, ada beberapa adegan yang mirip dengan proses penyaliban Yesus, tragedi dari Samson dan Delilah dan lain-lain).

Ekonomi Politik

Bagian ini akan membahas penonton lokal setia dari sinema eksploitasi Indonesia—dari memproduksi legenda dan petaka, pengkultusan atas film dari penggemar, promosi spesialis ajang spesial dan keterbatasan akses), sampai ke resepsi penonton.

Bahasan pertama yang akan dikaji berkaitan dengan penggemar Indonesia cult pasca Orde Baru. Sudah sangat jelas bahwa motif penampilan penggemar cult Indonesia berbeda dengan penonton Barat yang lebih menekankan eksotisme dan keliyanan.

Tentu saja, film-film eksploitasi Orde Baru yang sudah saya sebut sebelumnya pernah populer saat film itu rilis. Dalam sebutan yang dinyatakan oleh Barry Grant, bahwasannya film-film ini menjadi sinema ‘kultus massal’ (mass cult),[42] yang populer dan bahkan menjadi film paling laris saat film itu pertamakali rilis, tapi film-film itu juga “… cenderung membangun sebuah semesta komunitas dari para penggemar”—seperti film Star Wars atau E.T.

Bagaimanapun, di Era Reformasi, seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya dalam pengantar, film sejenis ini diperhitungkan sebagai film rendahan, pinggiran, dan dikategorikan sebagai film ‘buruk’ yang hanya ditonton oleh kaum buruh.[43] Film-film akhir 1970an dan awal 1990an tidak lagi populer, dan gaya filmnya sudah diabaikan. Dengan demikian, film-film ini sangat susah untuk ditemukan atau bahkan ditonton. Jadi, mengapa penggemar pasca Orde Baru mencari, menonton dan mengoleksi film-film ini? Saya ingin menjabarkan beberapa hipotesis.

Pertama, saya pikir generasi muda tertarik akan bintang film cult Indonesia yang lampau—contohnya, Suzanna dan Barry Prima—karena sekarang, Indonesia kekurangan figur cult ini. Kedua, penggemar lokal film cult menemukan kesenangan tidak hanya dalam menonton filmnya tapi juga mencari atau “menemukan” filmnya, dan memperlakukan film-film sebagai ‘barang kolektor’.[44] Kritikus film Eric Sasono menyoroti bahwasanya ada sekelompok orang dari kelas menengah di pasca Orde Baru yang mengagumi setiap karya kultur pop dari lampau dan mencoba untuk mendefinisikan ulang hal tersebut. Penggemar kelas menengah ini jatuh hati terhadap film yang dibintangi oleh Suzanna atau trio komedian Dono-Kasino-Indro (singkatnya, mereka tertarik terhadap film eksploitasi), meskipun terkadang target pasar untuk film tersebut ialah penonton kelas bawah. Sasono menyatakan bahwa film-film ini telah dinikmati dan dirayakan dalam cara yang berbeda dari tujuan sineas film-film tersebut.[45] Satu poin tambahan yaitu kelangkaan dari film-film ini, di mana ini salah satu faktor penting dari terciptanya sinema cult atau ketenaran. Sejak tidak adanya bioskop atau bioskop lewat mobil (drive-in cinema) untuk memutarkan film-film sejenis atau film tengah malam di Indonesia, akses penonton militan lokal memiliki jadi terbatas terhadap film-film ini.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bab ini menyediakan analisa promosi (spesialis ajang dan keterbatasan akses ) dan penerimaan penonton. Saya punya asumsi awal tentang tiga jenis akses yang berbeda untuk pemirsa cult Indonesia. Kanal ini kemudian termasuk layar tancap, festival film, dan VCD murah yang terbatas.

Pertama, kebanyakan para penggemar berasal dari masyarakat kelas bawah dan pekerja yang menikmati film lewat ‘layar tancap’ atau dikenal juga dengan bioskop keliling, gerimis bubar atau ‘misbar’. Layar tancap dianggap lebih tua ketimbang bioskop dalam ruangan. Saat pertamakali bioskop dalam ruangan dibuka dan diputarnya film dokumenter di Tanahabang, Kebonjae, Jakarta (dulu namanya Batavia) penonton membandingkan itu dengan ‘Layar Tancap’ yang dioperasikan oleh Talbot, di Lapangan Pasar Gambir dan Lokasari (Manggabesar), keduanya berlokasi di Jakarta.[46]

Jurnalis Putu Setia menulis bahwa pada 1950an, bioskop luar ruangan dihadiri oleh masyarakat kelas bawah dan beberapa dari bioskop itu tidak gratis (tapi harga tiketnya murah). Alih-alih menggunakan sebutan ‘teater’ untuk nama bioskop, mereka menggunakan ‘taman’ untuk sebutan nama bioskop. Contohnya, ‘Taman Luxor’ dan ‘Taman Luna’. Bioskop ini umumnya menampilkan dua pertunjukan secara bersamaan sebagai satu pertunjukan utuh, seperti orchestra atau ‘toneel’ (pertunjukan teater). Pertunjukan ini juga digunakan oleh para pedagang untuk menjual makanan, mainan, rokok, dan lain-lain.[47] Jurnalis film terkenal, JB Kristanto, menulis bahwa bioskop sejenis ini menampilkan film seks yang berkualitas rendah karena permintaan penonton.[48] Fenomena ini meluas dan pada 1977, pemilik Bioskop Keliling mencetuskan persatuan dengan nama Perfiki (Persatuan Perusahaan Pertunjukan Film Keliling).[49] Belakangan ini nama ‘layar tancap’ digunakan untuk situs web YouTube Indonesia (layartancap.com) di mana sudah mengumpulkan hampir 7,000 video hanya dalam dua bulan.[50]

Di awal Maret 2009, saya mewawancarai Pudjiasmanto, direktur dari Tito Films, sebuah perusahaan ‘layar tancap’. Pudji mengatakan, ia membeli salinan dan hak film langsung dari produser. Ia hanya memiliki sinema klasik Indonesia 1980an-1990an, “Tito Films tidak mampu membeli salinan film yang keluar belakangan ini,” kata Pudji. Kebanyakan film yang ia miliki sinema eksploitasi, dan hanya dalam format seluloid 16mm.

Kedua, masyarakat kelas menengah dan atas memiliki akses distribusi internasional, sesuai dengan saya sebutkan sebelumnya, dan juga internet (YouTube, dll). Sebagai tambahan, sejak 2007 Screamfest atau  Indonesian International Fantasy Film Festival (INAFFF), dikelola oleh jaringan bioskop Blitzmegaplex (sekarang menjadi CGV-EIJ), memperkenalkan sebuah bioskop alternatif mewah dan memiliki beberapa sinema klasik Indonesia dalam daftar mereka. Rusli Edy, direktur festival, memberitahu saya bahwa mereka kesulitan dalam mendapatkan salinan seluloid 35mm dari film sejenis, jadi film eksploitasi Orde Baru tidak bisa diputar dalam dua tahun terakhir. Akses lainnya yaitu ruang publik alternatif seperti Kineforum milik Dewan Kesenian Jakarta. Ruang publik ini menjadi sebuah ‘kuil’ atau tempat ritual (dalam istilah Bruce Kawin, After Midnight) dan ruang publik bagi mereka.[51]

Ketiga, kedua jenis penonton bisa menemukan film sejenis dengan membeli VCD murah terbatas dari sinema Indonesia cult/eksploitasi di Glodok (Pecinan Jakarta) atau pasar sejenis di Jakarta, seperti Pasar Festival di Jakarta Selatan. Dengan begitu, mereka bisa menonton film dalam format home video di ruang masing-masing. Ada setidaknya dua distributor yang menjual eksploitasi sinema—Navirindo Audio Visual dan Karyamas Vision. Kedua perusahaan ini menjual VCD lebih murah daripada film-film baru. Bagi para penggemar cult tidak terlalu susah untuk menemukan toko atau tempat yang menjual VCD sejenis. Sebagai contoh, di Glodok atau Pasar Festival dan pusat perbelanjaan Blok M Plaza di Jakarta Selatan. Saat saya mewawancarai sekretaris dari Navirindo, Bertha, ia menyebutkan bahwa perusahaannya membeli hak dari pemilik/produser, ditransfer dari format Betacam ke VCD. “Kami punya departemen khusus dalam merilis film klasik,” tambah Bertha.[52] Tampilan gambar VCD kebanyakan dipotong di bagian kanan dan kiri, karena format layar lebar tidak cocok di layar televisi.

Status Budaya

Subbab ini berisi tentang sinema sebagai objek keingintahuan, sensitivitas budaya, dan film yang dinilai bahaya secara politis atau konten subversif. Film yang akan dibahas diproduksi dan didistribusi pada 1980an di bawah rezim opresif Orde Baru milik Presiden Soeharto (1966-1998). Di sebuah dokumenter produksi Mondo Macabro DVD (Fantasy Films from Indonesia-EIJ ), Imam Tantowi, seorang penulis naskah dan sutradara dari beberapa film eksploitasi Indonesia, menyatakan bahwa sineas kala itu tidak memiliki kebebasan dalam mengekspresikan visi mereka, konsekuensinya mereka bungkam diam dan melawan lewat film-film mereka. Penjahat dan kriminal yang dihancurkan dalam film bisa dilihat sebagai simbol atas pemerintahan Orde Baru. Beberapa contohnya film legenda seperti Jaka Sembung dan Golok Setan.

Film ‘seksploitasi’ Indonesia diindikasi menjadi senstivitas budaya. Hal ini cukup disadari karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia.Genre ini dimulai dari film Bernapas Dalam Lumpur (Turino Djunaidi, 1970, dibintangi oleh Suzanna). Ini adalah film pertama yang menonjolkan adegan seks, perkosa, dan dialog jorok. Kemudian, diikuti dengan Bumi Makin Panas (, Ali Shahab, 1973, juga dibintangi oleh Suzanna) yang memiliki topik serupa, dan pernah dilarang tayang di Cianjur dan Malaysia.

Pada 1983 film seksploitasi lainnya, Bumi Bulat Bundar (Pitrajaya Burnama, 1983, dibintangi oleh Eva Arnaz, Yeni Farida, and Wieke Widowati) telah diproduksi. Genre ini meraih popularitasnya pada akhir 1980an dan mendominasi industri film pada 1990an. Film kontroversial lainnya adalah Pembalasan Ratu Laut Selatan (Lady Terminator, H Tjut Djalil, 1988, dibintangi oleh  Yurike Prastica) yang ditarik dari bioskop karena adegan erotis.[53] Hal yang sama juga terjadi pada Akibat Terlalu Genit (Hadi Poernono, 1988, dibintangi oleh Yurike Prastica) dan Ketika Musim Semi Tiba (Bobby Sandy 1986, dibintangi oleh Meriam Bellina). Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa kondisi dari sinema mencerminkan keadaan yang terjadi di negara, baik secara politis dan moral.

Kesimpulan

Beberapa film eksploitasi Indonesia telah dikenal baik di Barat maupun di Indonesia sendiri. Jumlah penggemar cult memang sedikit, tapi mereka punya metode, sifat, dan gaya sendiri dalam merayakan film yang mereka senangi. Para distributor mempertajam interaksi timbal-balik dari penggemar Barat dan film mistis/erotis Timur, dari beberapa metode pemerekan dan pemasaran yang tidak bisa ditolak oleh para penggemar cult. Di sisi lain, penonton setia lokal menggunakan tiga cara berbeda dalam menonton film sejenis: layar tancap, festival alternatif dan VCD murah terbatas. Film eksploitasi dari Orde Baru masih didistribusi, dengan akses terbatas baik di negara Barat dan Indonesia.

Terima kasih mendalam buat Hivos atas dukungan finansial yang membuat saya bisa menghadiri konferensi B for Bad Movies di Universitas Monash, Melbourne, 15-17 April 2009. Tak lupa, terima kasih banyak kepada Joko Anwar yang telah memperkenalkan saya kepada sisi liar Indonesia ini.

Ekky Imanjaya adalah seorang peneliti, krtikus film Indonesia, dan dosen tetap di Prodi Film Universitas Bina Nusantara. Ia menyelesaikan studi doktoralnya di bidang kajian film di Universitas East Angelia di kota Norwich, Inggris. Studinya dibiayai oleh Beasiswa DIKTI dan menghasilkan tesis berjudul The Cultural Traffic of Classic Indonesian Explotation Cinema. Sebagai akademisi, Ekky menulis di beberapa jurnal ilmiah dalam dan luar negeri, termasuk Asian Cinema, Cinemaya, Jump Cut, Plaridel, dan Cine-Excess.

Diterjemahkan oleh: Galih Pramudito

Desain oleh: Shafa Salsabilla

 

CATATAN

[1] Ekky Imanjaya. Who’s afraid of democracy? Politics of freedom in Indonesian films. Cinemaya, Asian Film Quarterly, Volume 1 & 4. Mumbai: Osian’s Connoisseurs of Art Private Limited, May, 2007, 8-11, 10.

[2] Dalam istilah politik, Reformasi menuntut demokrasi lebih besar, kejujuran dan akuntabilitas di sektor publik dan kebijakan yang melindungi kesejahteraan masyarakat. Untuk informasi lebih mengenai gerakan reformasi dan pengaruhnya dalam kehidupan pasca-Reformasi, lihat: Arief Budiman, (ed.). Reformasi, Crisis and Change in Indonesia. (Clayton: Monash Asia Institute: 1999)

[3] Wawancara melalui surel dengan penulis, 16 Oktober 2009

[4] Lihat di YouTube: Part 1Part 2, Part 3.

[5] Sebagai contoh, lihat videonya di YouTube

[6] Tersedia di  World Weird Cinema’s Blog. Blog ini mengambil artikel tentang Primitif di Majalah BRUTARIAN #33, pada 2001 lalu, Ditulis oleh Greg Goodsell. Ulasan lainnya tersedia di  here.

[7] Untuk contoh ulasannya bisa dibaca di Monster at Play..

[8] Tersedia di  DVD Drivein’s website.

[9] Tersedia di DVD Maniacs’s website.

[10] Tersedia di Mitglied’s website.

[11] Tersedia di Scholck Treatment’s website.

[12] Silakan lihat di cinehound.com.

[13] Bisa membaca ulasan Bercinta dengan Maut di  Eccentic Cinema’s website.

[14]  Forum ini menarik, berisi partisipan dari berbagai negara dari Barat.

[15] Silakan lihat di Cult Movie Forums.

[16] Silakan lihat di Europe’s Trash Online.

[17] Alamat situs webnya adalah  http://www.trashvideo.com.au

[18] Beberapa film memiliki judul berbeda. Contohnya, Perawan di Sarang Sindikat (Arizal, 1988), didistribusikan di bawah Other Thid World Oddities, memiliki dua judul, American Hunter dan Lethal Hunter, masing-masing. Dalam Under Asian Weirdness!!, ada Komando Samber Nyawa (Daredevil Commandos, EG Bakker, 1985) dan Angel of Fury (Triple Cross, Ackyl Anwari, 1991). Film lainnya dengan nama berbeda yaitu Pembalasan Ratu Pantai Selatan (Lady TerminatorNasty HunterThe Revenge of the South Seas Queen, Tjut Djalil, 1988). Satu detail menarik: nama sutradaranya Tjut Djalil dan Sisworo Gautama Putra, berubah jadi Jalil Jackson dan Sam Gardner (Tombs, Mondo Macabro, 71, 74).

[19] Wawancara secara tertulis, 22 Oktober 2009.

[20] Pete Tombs. Mondo Macabro: Weird and Wonderful Cinema around the World. London: Titan Books, 1997, halaman 70.

[21] Eric Schaefer. Exploitation films: teaching sin in the suburbs in Cinema Journal #47, Fall 2007, halaman 94-97.

[22] JP Telotte (ed). The Cult Film Experience, Beyond All Reason. Austin: University of Texass Press, 1991, halaman 18-19.

[23] Ibid., halaman 26.

[24] Cultographies.com, diakses pada 28 Oktober 2008.

[25] Karl Heider. Indonesian Cinema: National Culture on Screen. Honolulu : University of Hawaii, 1991.

[26] Lihat juga: Tombs, Mondo Macabro, hal. 66.

[27] Wawancara dengan penulis lewat surel, 9 Oktober 2008.

[28] Wawancara dengan penulis lewat surel, 9 Oktober 2008.

[29] Mark Jancovich. Cult fictions: cult movies, subcultural capital and the production of cultural distinctions in Cultural Studies, volume 16, March 2002 , hal. 306-322.

[30] JP Telotte (ed). The Cult Film Experience, Beyond All Reason. Austin: University of Texass Press, 1991, hal. 26.

[31] Oliver Dew. Asia Extreme: Japanese cinema and British hype. New Cinemas: Journal of Contemporary Film, Volume V, April 2007, hal. 53-73.

[32] Op. Cit., Telotte, The Cult Film Experience, hal. 123.

[33] Ibid., hal. 6.

[34] Mark Jancovich. Cult fictions: cult movies, subcultural capital and the production of cultural distinctions in Cultural Studies, Volume 16, March 2002, hal. 306-322.

[35] Op. Cit., Dew, Asia Extreme, page 54.

[36] Op. Cit., Dew, Asia Extreme, page 55.

[37] Op. Cit., Dew, Asia Extreme, page 56.

[38] Imam Tantowi, penulis naskah, memberitahu saya bahwa di komik aslinya, tidak ada mantra seperti Pancasona. Tantowi mengarang hal tersebut untuk membuatnya penuh aksi. Sang produser menyetujui hal tersebut.

[39] Wawancara lewat surel dengan penulis, 9 Oktober 2008.

[40] Op. Cit., Telotte, The Cult Film Experience, page 7.

[41] Op. Cit., Telotte, The Cult Film Experience, page 8.

[42] Op. Cit., Telotte, The Cult Film Experience, page 123.

[43] Sehubungan dengan film dan masyarakat kelas pekerja, Tombs menuliskan:

“Penonton Indonesia masih memiliki penonton masyarakat kelas pekerja terbanyak. Untuk memuaskan minat mereka, karakteristik film biasanya merupakan imitasi dari film anggaran rendah dari Amerika, film impor Hong Kong dan film-film India. Di sisi lain, film-film ini memiliki sedikit adegan seks, banyak adegan laga dan banyak sekali adegan kekerasan. Kombinasi ini secara tepat cocok dengan permintaan pasar video internasional. Potensi ekspor dari film-film ini dibantu dari hal-hal yang mirip dengan Barat, ras campuran atau actor Indonesia dalam peran utama”  (Tombs, Mondo Macabro, hal 71).

[44] Ada sebuah grup Facebook yang dibuat oleh pembuat film Joko Anwar, dengan nama Exploitation Indonesian Cinema. Ini adalah sebuah forum yang mempersatukan penggemar cult lokal di internet. Dalam bagian pengantar, ada sebuah pengumuman: “Memanggil semua penggemar sejati dari sinema eksploitasi Indonesia! Ayo berbagi informasi, bertukar video, apapun. Terbuka untuk seluruh warga negara dunia, dan melampauinya! (Film dibatasi hanya film yang direkam dengan seluloid film). Grup ini hanya untuk penggemar SEJATI. Kami tidak mempedulikan jumlah anggota, tapi lebih menekankan ke apresiasi sinema eksploitasi Indonesia. Para penggemar bohongan dan sok tau, tolong menjauh.” Menurut Joko Anwar, Pete Tombs menulis lewat surel pada 16 Oktober 2009: “Kamu harus mengingat bahwa gelombang baru sinema Indonesia yang belakangan ini diikuti oleh Joko Anwar dan lain-lain. Gelombang baru ini telah menciptakan diskusi tentang sinema Indonesia yang lampau”

[45] Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hal xxii.

[46] Haris Jauhari (ed). Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia (Silver Screen, 90 Years of Cinema in Indonesia). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama and Dewan Film Nasional, 1992, hal. 2 & 5.

[47] Op. Cit., Jauhari, Layar Perak, page 60.

[48] Op. Cit., Jauhari, Layar Perak, page 164.

[49] Lihat situs web PPHUI

[50] Majalah Tempo, 37/XXXVI/05, 11 November 2007.

[51] Op. Cit., Telotte, The Cult Film Experience, page 18-25.

[52] Wawancara lewat surel pada 8 dan 15 Mei 2009.

[53] Moch Jufri (ed). Indonesian Film Panorama. Jakarta: Permanent Committee of the Indonesian Film Festival, 1992.

 

Salah satu pendiri Mania Cinema. Sejak SMA, aktif berkomunitas film. Ia tumbuh dengan komunitas film di Pekanbaru. Pernah menjadi juru program di Palagan Films dan anggota di Sinelayu. Ia pernah menjadi peserta di Akademi ARKIPEL dan Lokakarya Cinema Poetica x FFD pada tahun 2020. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan sarjana Ekonomi Islam di UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top