Mania Cinema

80,000 Years Old: Kebiasaan Menggali Diri Sendiri dalam Layar Terpisah

Saat Youssef Ishaghpour dalam Cinema: The Archaeology of Film and the Memory of a Century mendemonstrasikan film-filmnya Jean-Luc Godard sebagai arkeologi sinema dalam artian tak sekadar menggali masa lalu dan menghubungkannya dengan saat ini, Godard menanggapi dengan mencontohkan kemungkinan The Old Place (2000) menuturkan kisahnya yakni sandingan. Godard melanjutkan, selihai apa pun kemampuanmu, tak akan tepat sasaran jika hanya berbekal satu narasi.

Semangat Godard ini tampaknya dihidupkan kembali dengan cara berbeda dalam film fiksi pendek 80,000 Years Old (2020) arahan Christelle Lheureux. Sutradara Prancis ini menyajikan sinematografi split-screen, sehingga penonton bisa melihat dua adegan berbeda secara bersamaan. Dalam banyak momen di 80,000 Years Old, dua karakter mengobrol secara terus-menerus dengan layar terpisah. Hal ini sebagaimana dikatakan Lheureux, “Penonton mendapati dirinya di antara dua realitas, dua waktu yang disandingkan.”

Film ini berkisah tentang seorang arkeolog, Céline Lefebvre (Laetitia Spigarelli) yang kembali ke kampung halamannya, Normandy karena pekerjaannya. Layaknya orang yang sedang pulang kampung, menghubungi sejawat adalah hal yang tak terhindarkan. Sayangnya, alih-alih kembali berkumpul bersama teman semasa kecil atau keluarga, Céline justru terjebak di kampungnya sendiri. Sepanjang film, Céline menjadi asing dan kian asing di kampungnya sendiri—bahkan di kehidupan yang sedang dijalaninya.

Sedari awal film ini narator berkata “Aku menantikan bisa kembali ke rumah tempatku dibesarkan. Tapi sekarang tak ada orang. Tak satu pun yang mengangkat telepon. Kuperiksa seluruh kontak di teleponku, bahkan teman-teman yang sudah lama tak berhubungan denganku. Nomornya sudah ganti.” Sebenarnya kemunculan narator yang mana suara Céline sendiri cukup mengantarkan kita pada seperti apa garis besar yang ingin disampaikan 80,000 Years Old. Narator itu muncul bersamaan dengan adegan Céline yang bersusah payah menghubungi teman dan keluarganya lewat telepon. Ia seperti orang kebingungan dan tak tahu harus apa di rumah kakaknya yang memberi tumpangan. Sendirian membaca dengan suara cukup keras catatan keponakannya di dinding rumah yang dingin, berbaring di kamar keponakannya, dan merokok. Sendirian.

80,000 Years Old, menggunakan keterasingan guna menuturkan kisah yang berangkat dari ingatan masa lalu, renungan hidup, hingga tekanan dalam menjalani aktivitas sehari-hari yang mengiringi Céline sepanjang film. Ada harapan dan kemungkinan yang coba dibangun Lheureux. Sebagai sutradara, ia bertumpu pada sang karakter tentang bagaimana menjelaskan kemungkinan pahit-manis hubungan antar manusia, hingga bagaimana manusia mencoba menggali dirinya sendiri.

Arkeologi di Kehidupan Sehari-hari

Premis yang ditawarkan 80,000 Years Old tentu saja bukan hal baru dalam sinema Prancis atau dunia. Kita kerap menemukan film dengan narasi yang mempertanyakan eksistensialisme seperti ini pada film fitur panjang. Ambil contoh salah satu pentolan Gelombang Baru Prancis, Eric Rohmer dalam karyanya The Green Ray (1986) yang menitikberatkan keterasingan pada si karakter utama melalui beragam cara, hingga menyentuh isu veganisme yang asing bagi masyarakat umum. Atau jauh di Iran sana Abbas Kiarostami dalam Taste of Cherry (1997) berupaya menghubungkan nilai-nilai agama dengan humanisme sebagai solusi karakternya yang bergelut di ranah eksistensialisme.

Sedangkan dalam film fiksi pendek, kita bisa menilik Dog (2001) garapan Andrea Arnold. Dalam menyampaikan narasinya lewat coming of age, Arnold tanpa tedeng aling-aling menegaskan meski memiliki kekuasaan di antara makhluk hidup lainnya, pada nyatanya manusia tak lebih baik ketimbang seekor anjing. Hal itu dengan sangat lugas dibungkus Arnold dalam durasi 10 menit.

Apa yang membedakan film ini dengan film lainnya yakni cara Lheureux dalam durasi 28 menit menawarkan kepada penonton, bahwa arkeologi sebagai alat berjibaku di kehidupan sehari-hari. Sementara film yang sudah-sudah terkesan menceramahi penonton dengan kesimpulan satu cara sebagai solusi, 80,000 Years Old justru menawarkan ragam cara lewat arkeologi pada adegannya.

Penonton dibuat mampu merasakan kondisi mental Céline saat seorang jurnalis (Inès Berdugo) meliput pekerjaannya sebagai arkeolog. Itu bisa dilihat ketika Céline tampak canggung saat menjelaskan temuannya selama bekerja dalam proyek arkeologi di Normandy. Secara terpisah di kanan layar, kamera close-up pada wajah Céline. Ia berbaring di ranjang keponakannya dengan mimik yang menyiratkan kesepian dan penuh tekanan, bahkan sesekali ia menarik napas dalam-dalam. Kita bisa sampai kepada kondisi mental Céline ketika mengetahui bahwa si jurnalis sama sekali tak mengetahui perihal pra-sejarah.

Lheureux menggunakan narator untuk menjelaskan status jurnalis itu yang merupakan mahasiswi magang yang sedang studi seni. Statusnya semakin diperjelas saat jurnalis menanyakan pertanyaan acak, bahkan menanyakan soal berapa lama keberadaan sapi lokal di situ. Tak berhenti di situ, jurnalis itu juga meminta Céline mengulangi jawabannya sebanyak tiga kali hingga Céline menyerah dan meragukan jawabannya. “Aku tak bisa melakukan ini, maaf. Aku bilang apa saja, ya? Aku terlalu banyak bicara.”

Ketika biasanya kesalahan ditujukan pada jawaban—menyebabkan Céline bingung bahkan meragukan aktivitas arkeologi yang sedang dijalaninya—kita dipaparkan untuk menilai sendiri bahwa kesalahannya bukan pada jawaban Céline, melainkan pertanyaan si jurnalis.

Lheureux juga melakukan pendekatan secara subtil untuk menjelaskan kondisi karakternya. Pada adegan pertemuan pertama Céline dengan Samuel (Andy Gillet) misalnya, saat ditawari rasa es krim apa yang diinginkannya, Céline menjawab, “Mangga. Tunggu…pir. Sebenarnya yang benar-benar kuinginkan rasa rhubarb.” Kebingungan dan keraguan dalam diri Céline terus berlanjut.

Kekuatannya, bahwa lintasan kisah dalam film ini menggunakan arkeologi sebagai metafora. Arkeologi ditegaskan menjadi aktivitas sehari-hari, secara sadar maupun tidak sadar guna menggali hubungan antar manusia atau dengan dirinya sendiri. Arkeologi tak lagi dipandang sekadar wadah dalam mencari sesuatu di masa lalu dan menghubungkannya dengan masa yang berlangsung saat ini.

Profesi Céline sebagai arkeolog, menghubungkannya dengan dirinya yang sedang dalam proses pencarian jalan terbaik bagi hidupnya. Misalnya pada saat Céline dalam perjalanan ke pantai dan bertemu saudara temannya, Aurélien, yang melihat Céline di televisi dan memuji pekerjaannya, ia justru menampik hal itu. Malahan, Céline menuturkan akan berhenti sebagai arkeolog dengan berbagai alasan. Narasi film yang metaforis ini, membuat sutradara jadi tak bisa—atau memang enggan—mendikte penonton, sehingga memungkinkan penonton menerima dan menyimpulkan sendiri maksud di balik adegan yang disajikan. Dengan begitu, makna atas narasinya beragam dan solusi konflik yang dibangun pun beragam pula.

Upaya Alternatif lewat Split-screen

Lheureux tak berhenti pada pendekatan arkeologi dan penyampaian pesan secara subtil saja. Sutradara Turning Tides (2015) ini juga memanfaatkan sinematografi split-screen dalam mengisahkan 80,000 Years Old. Senada dengan narasi eksistensialisme dalam ragam film, split-screen juga bukan hal yang baru. Bahkan memasuki era 1990-an hingga 2000-an split-screen semacam kebangkitan yang digunakan di banyak gaya film mainstream.

Berjejer mulai dari Boogie Nights (1997) karya Paul Thomas Anderson ke Timecode (2000) besutan Mike Figgis. Lanjut pada Kill Bill Volume 1 (2003) garapan Quentin Tarantino hingga Scott Pilgrim vs. the World (2010) yang disutradarai Edgar Wright.

Jika Malin Wahlberg melalui esainya, A Relative Timetable: picturing time in the era of new media dalam Allegories of Communication: Intermedial Concerns from Cinema to the Digital, berpendapat bahwa split-screen dielaborasikan sebagai perangkat estetika awal itu sendiri, guna memvisualisasikan nonlinier antara impian dan halusinasi, atau untuk mendorong efek gejolak dari sebuah adegan. Lheureux justru tak mengaminkan itu dan inilah yang membedakan 80,000 Years Old dengan film-film lain yang menggunakan sinematografi split-screen. Ketika kebanyakan film memanfaatkan split-screen hanya di sebagian kecil adegan untuk mendramatisasi agar konflik bergejolak dan memuncak, 80,000 Years Old berkebalikan dari itu. Nyaris sepanjang film menggunakan sinematografi split-screen.

Sebagai sutradara, Lheureux memanfaatkan split-screen tak sebatas agar filmnya kelihatan jauh lebih estetis atau sekadar berkutat pada adegan realitas yang disandingkan dengan impian. Atau seperti banyak ditemukan, menggunakan split-screen sebatas menunjukkan adegan nostalgia yang disandingkan dengan yang sebenarnya sedang terjadi.

Dalam 80,000 Years Old, split-screen dimanfaatkan sepenuhnya sebagai realitas. Lheureux tak pilih kasih terhadap salah satu adegannya karena kedua adegan yang berbeda itu ialah realitas itu sendiri, yang langsung menyasar pada kehidupan kita sebagai penonton. Misalnya, dalam dua adegan pertemuan Céline dengan Samuel di pantai, baik saat Samuel bersikap tak baik maupun yang beramah-tamah terhadap Céline, keduanya terbuka sebagai realitas. Samuel sendiri ialah teman sekolah Céline, di mana hubungan mereka sempat ‘tidak baik’ di sekolah hingga tak saling sapa. Céline yang merasa bersalah dihantui kemungkinan-kemungkinan pertemuannya dengan Samuel, yang bisa saja Samuel cetus atau justru beramah-tamah.

Hal itu menyiratkan dalam hidup, antar manusia bisa jadi menemukan perlakuan pahit-manis dengan orang lain, hingga ke diri sendiri. Realitas yang disajikan Lheureux di sini berperan dengan cara yang subtil, karena disajikan dengan dua adegan yang bersanding. Tak dipungkiri, gaya tutur Lheureux ini rawan membingungkan penonton. Kendati begitu, tetap saja itu realitas yang mungkin bakal dirasakan penonton dalam kehidupannya, selayaknya yang dirasakan Céline.

Memang, di sebagian kecil film ini gaya tutur visual Lheureux tak jauh-jauh dari Gelombang Baru Prancis. Beberapa kali kamera bergerak mengikuti si karakter. Kendati begitu, split-screen menyelamatkan film ini dari objektivikasi perasaan karakter utamanya. Dengan menggunakan split-screen di hampir sepanjang film, alternatif visual disajikan kepada penonton. Mulai dari landscape pantai, sabana dengan angin yang kencang, hingga kembang api dari perayaan Hari Bastille.

Terlepas dari upaya sutradara mendemonstrasikan 80,000 Years Old kepada penonton—yang saya yakini Lheureux punya makna narasinya sendiri—pilihan Lheureux dalam menggunakan arkeologi sebagai metafora guna menyokong narasi dan sinematografi split-screen, terbayar tuntas sebagai film yang jauh dari sikap mendikte dan memaksakan hanya satu cara. Baik Céline lagi penonton, diajak menjadi bagian dari film ini guna merengkuh kemungkinan, harapan, serta solusi yang disajikan secara melimpah.

Kelindan penggunaan split-screen dan arkeologi sebagai metafora mempersilakan penonton menjemput alat dan bahan yang sepanjang film disajikan Lheureux. Menggunakan arkeologi sebagai keranjang penampung ragam nilai yang dikemas secara subtil serta sinematografi split-screen yang seakan-akan berkata, tidak hanya ada satu cara—paling tidak masih ada satu cara lagi—dalam menghadapi hidup ini, 80,000 Years Old memberikan harapan untuk tidak mati hari ini dalam menghadapi kosmos yang mengerikan ini.

80, 000 Years Old | 2020 | Sutradara: Christelle Lheureux | Pemeran: Laetitia Spigarelli, Andy Gillet, Aurélien Gabrielli, Inès Berdugo | Negara Asal: Prancis | Durasi: 28 Menit | Produksi: Kidam, Les Films des Lucioles, Département de la Seine-Saint-Denis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top